Anda di halaman 1dari 6

Paradigma Pemikiran Islam

Iftitah

Sejarah pertumbuhan gerakan pembaruan Islam di Indonesia sudah berjalan hampir satu abad. Selama
rentang waktu itu banyak terjadi perubahan, baik yang bersifat sosial, politik, ekonomi maupun
perubahan sikap dan pandangan hidup umat Islam yang disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan
masa dan situasi politik yang penuh gejolak dan pergolakan.

Pola, sasaran dan unsur-unsur gerakan pembaruan tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan-
perubahan ini. Semangat dan kecenderungannya pun menjadi berbeda dilihat dari tingkat pemahaman
terhadap corak perubahan yang terjadi, ruang lingkup dan batas-batas yang memungkinkan ditolelirnya
perubahan dan pembaharuan. Karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba membahas unsur-unsur
gerakan pembaruan tersebut, lewat pemikiran Kuntowijoyo yang tertuang dalam beberapa karya dan
tulisannya di berbagai tempat, terutama yang berkaitan dengan gagasan paradigma Islam dan
transformasi sosialnya.

Setting Sosial Pemikiran Kuntowijoyo

Kuntowijoyo (selanjutnya disebut Kunto), pemikir yang dikenal sangat optimis akan masa depan Islam,
dan sosok yang oleh Fakhri Ali dan Bachtiar Efendy dimasukkan dalam kelompok sosialisme-demokrasi
Islam disamping Dawam Raharjo dan Adi Sasono ini, lahir di Yogyakarta, 18 September 1943. Pemikiran
keislamannya ditempa dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya. Ia pernah aktif di PII dan kelompok
diskusi Limited Group. Selama menjadi mahasiswa dia banyak aktif dalam bidang kesenian dan
kebudayaan sehingga dia lebih dikenal sebagai seorang sastrawan dan budayawan. Karya sastranya
banyak yang diterbitkan dan mendapat penghargaan. Interesnya yang sangat besar terhadap masalah
sosial umat Islam juga dilatarbelakangi oleh bidang keilmuan yang ditekuninya, yaitu ilmu sejarah. Dia
menyelesaikan sarjananya di fakultas sastra jurusan sejarah UGM pada 1969. Gelar MA-nya diperoleh
dari University of Connecticut, USA, sedang Ph.D dalam studi sejarah dari University of Columbia pada
1980 dengan disertasi berjudul: Social Change in Agrarian Society: Madura 1850-1940.

Selain hal di atas, ada dua hal penting yang melatar belakangi pemikirannya terutama dalam
merumuskan gagasan-gagasannya tentang Islam. Pertama, perhatiannya yang sangat besar terhadap
pola pikir masyarakat yang masih dibelenggu mitos-mitos dan kemudian berkembang hanya sampai
pada tingkat ideologi. Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia telah mengalami agrarisasi.
Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit dan merupakan mata-rantai penting
peradaban dunia telah mengalami penyempitan dan stagnasi dalam bentuk budaya-budaya lokal.

Untuk itu dia melakukan analisis-analisis historis dan kultural untuk melihat perkembangan umat Islam
di Indonesia. Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk melontarkan gagasan-gagasan transformasi
sosial melalui re-interpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah mendorong manusia
berpikir secara rasional dan empiris.

Kedua, adanya respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama dan
menekankan sekularisasi sebagai keharusan sejarah. Industrialisasi dan teknokratisasi akan melahirkan
moralitas baru yang menekankan pada rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan dan kesamaan. Ini
mendorongnya melontarkan gagasannya tentang paradigma Islam, terutama yang berkaitan dengan
rumusan teori ilmu-ilmu sosial Islam.

Al-Qur’an Sebagai Paradigma : Interpretasi Untuk Aksi

Uraian-uraian tentang Islam di Indonesia yang disoroti oleh Kunto lewat pendekatan historis-sosiologis,
sebenarnya ingin diarahkan pada suatu grand project, yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma
Islam. Paradigma ini dimaksudkan untuk membangun teori-teori sosial khas Islam yang disebutnya ilmu-
ilmu sosial profetik. Paradigma ini dimaksudkan sebagai mode of thought, mode of inquiry, yang
kemudian menghasilkan mode of knowing. Dengan pengertian paradigmatik ini, dari al-Qur’an dapat
diharapkan suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan memahami realitas sebagaimana al-
Quir’an memahaminya. Demikian lebih lanjut, Kunto menjelaskan:

Paradigma al-Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan itu pada mulanya
dibangun dengan tujuan agar kita memeiliki “hikmah” untuk membentuk perilaku yang sejalan dengan
sistem Islam, termasuk sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, disamping memberikan gambaran aksiologis,
paradigma al-Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.

Sebagai contoh, kata Kunto, statemen-statemen yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits adalah nilai-
nilai normatif. Nilai-nilai normatif ini ada dua, yaitu niali-nilai praktis yang dapat diaktualkan dalam
perilaku sehari-hari dan nilai-nilai yang harus diterjemahkan dulu dalam bentuk teori sebelum
diterapkan dalam perilaku. Nilai-nilai pertama menurutnya telah dikembangkan dalam bentuk ilmu fiqh,
sedang yang kedua perlu ditransformasikan dalam bentuk ilmu-ilmu sosial Islam. Cara yang kedua ini
lebih relevan pada saat ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks
masyarakat industri. Sampai sekarang ini menurut Konto, kita kekurang ini. Kita memang sudah didesak
untuk segera memikirkan metode transformasi nilai Islam pada level yang empiris melalui diciptakannya
ilmu-ilmu sosial Islam.

Tampaknya pemikiran Kunto tentang paradigma al-Qur’an ini dipengaruhi oleh pemikiran Fazlur Rahman
tentang operasi metodologi tafsir. Cara kerja metodologis penafsiran Rahman yang berusaha
memehami al-Qur’an, aktivitas Nabi dan latar sosio-historisnya diarahkan pada perumusan kembali
suatu Islam yang utuh, koheren serta berorientasi kepada masa kini. untuk itu menurut Rahman perlu
lebih dahulu perumusan pandangan dunia al-Qur’an.
Sehubungan dengan perumusan worldview al-Qur’an ini, Rahman mengemukakan bahwa prinsip
penafsiran dengan latar belakang sosio-historis tidak diterapkan dengan cara yang sama dengan
perumusan etika al-Qur’an, atau oleh Kunto disebut nilai normatif praktis. Menurut Rahman, untuk
pertanyaan-pertanyaan teologis atau metafisis, latar belakang spesisfik turunnya wahyu tidak
dibutuhkan. Hanya saja dalam merumuskan pandangan dunia al-Qur’an tersebut, Rahman tampaknya
lebih cenderung menggunakan prosedur sintesis.

Menurut Kunto, salah satu pendekatan yang menurutnya perlu diperkenalkan dalam rangka
mendapatkan pemahaman yang konprehensif terhadap al-Qur’an adalah apa yang dinamakan
pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu
terdiri dari dua bagian, pertama berisi konsep-konsep yang disebut ideal-type, dan kedua berisi kisah-
kisah sejarah dan amsal-amsal yang disebut arche-type.

Dalam bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang
konprehensif mengenai ajaran Islam. Sedang dalam bagian yang berisi kisah-kisah historis, al-Qur’an
ingin mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh wisdom. Dengan pendekatan sintetik
dimaksudkan untuk menonjolkan nilai subjektif-normatifnya, dengan tujuan mengembangkan perspektif
etik dan moral individual. Sedangkan dengan pendekatan analitik dimaksudkan untuk menterjemahkan
nilai-nilai normatif ke dalam level objektif. Ini berarti al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk
konstruk-konstruk teoritis.

Untuk dapat menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma dan kemudian merumuskan nilai-nilai
normatifnya ke dalam teori-teori sosial, menurut Kunto, diperlukan adanya lima program reinterpretasi,
yaitu:

1. Pengembangan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami
ketentuan-ketentuan al-Qur’an. Ketentuan larangan berfoya-foya misalnya, bukan diarahkan kepada
individualnya, tetapi kepada struktur sosial yang menjadi penyebabnya.

2. Reorientasi cara berpikir dari subjektif ke objektif. Tujuan dilakukannya reorientasi berpikir secara
objektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektifnya. Misalnya zakat yang secara
subjektif adalah untuk membersih diri, tetapi juga untuk tertcapainya kesejahteraan umat.

3. Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis, misalnya konsep fuqara dan masakin yang
normatif dapat diformulasikan menjadi teori-teori sosial.

4. Mengubah pehaman yang a historis menjadi historis. Kisah-kisah dalam al-Qur’an yang selama ini
dipandang a historis, sebenarnya menceriterakan peristiwa yang benar-benar historis, seperti kaum
tertindas pada zaman nabi Musa dan lain-lain.

5. Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi yang spesifik dan empiris.
alam hal konsep umum tentang kecaman terhadap sirkulasi kekayaan yang hanya berputar pada
orang-orang kaya harus dapat diterjemahkan ke dalam formulasi-formulasi spesifik dan empiris ke
dalam realitas yang kita hadapi sekarang. Dengan menterjemahkan pernyataan umum secara spesifik
untuk menatap gejala yang empiris, pemahaman terhadap Islam akan selalu menjadi kontekstual,
sehingga dapat menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial dan pada gilirannya akan
menyebabkan Islam menjadi agamayang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sisal.

Dari uraian tentang paradigma al-Qur’an dan program reinterpretasi, bisa dilihat bahwa Kunto ingin
merintis metode baru penafsiran al-Qur’an. Metode tafsir yang ditawarkan adalah memandang al-
Qur’an sebagai akumulasi konsep-konsep normatif. Nilai-nilai yang ada di dalamnya bersifat
transendental yang bebas dari konteks dan bias-bias yang mengitarinya. Tampaknya di sini, dia
berpegang pada kaidah al-‘ibrah bi umum al-lafaz la bi khusus as-sabab.

Dari konsep-konsep al-Qur’an, menurutnya dapat diciptakan teori-teori “ilmu sosial profetik” yang pada
dasarnya bersifat transformatif. Yang dimaksud transformatif di sini oleh Kunto adalah perubahan
sosial, baik cara berpikir, sikap dan perilaku secara individual maupun sosial.

Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Baker A. Bagder, ilmu-ilmu sosial telah mendapatkan penghargaan
tertinggi di dunia modern karena diyakini bahwa ia menampilkan analisis terhadap peristiwa-peristiwa
kontemporer dalam masyarakat. Para pejabat mengambil keputusan dan para perencana program yang
menaruh perhatian pada masalah sosial meminta bantuan kepada para pakar ilmu sosial. Para ahli ilmu
sosial sendiri mengambil alih berbagai metodologi penelitian ilmu-ilmu kealaman.

Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial tidak lagi dikategorikan dengan ilmu-ilmu humaniora dan tidak juga di
anggap membawa pendapat-pendapat yang bersifat impresionistik, intuitif ataupun subyektif.

Salah satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah
masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi atau
filsafat sosial menghadapai suatu pertanyaan pokok, yaitu bagaimana mengubah masyarakat dari
kondisinya sekarang menuju keadaan yang lebih dekat dengan tataanan idealnya. Elaborasi terhadaap
pertanyaan pokok semacam ini biasanya menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk
menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada masa kini,dan sekaligus memberikan insight
mengenai perubahan dan transformasinya. Karena teori-teori yang diderivasi dari ideologi-ideologi
sosial sangat berkepentingan terhadap terjadinya transformasi sosial, maka dapat dikatakan bahwa
hampir semua teori sosial tersebut bersifat transformatif.
Muslim Abdurrahman pernah menawarkan teologi transformatif, yaitu menekankan hubungan dialogis
antara teks dengan konteks dan tidak cenderung melakukan pemaksaan realitas menurut model ideal –
suatu upaya untuk menghidupkan teks dalam realitas empiris dan mengubah keadaan masyarakat ke
arah transformasi sosial yang diridhoi Allah SWT. Pengembangan teologi transformatif menurutnya
merupakan upaya untuk mengatasi perdebatan tentang pilihan antara pendekatan budaya atau
pendekatan struktural dalam pengembangan masyarakat.

Ilmu-ilmu sosial profetik yang ditawarkan Kunto pada mulanya lebih bersifat tawaran alternatif, karena
dia kurang sependapat dengan istilah teologi transformatifnya Muslim. Dia mengatakan bahwa
dilingkungan kita, gagasan mengenai pembaruan teologi dan sejenisnya tampak belum dapat diterima.
Ini terjadi karena beberapa alasan, terutama berkenaan dengan konsep teologi itu sendiri. Umat Islam
memehami teologi dengan persepsi yang berbeda-beda, sebgaian besar mengartikan konsep tersebut
sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang
ketuhanan (tauhid). Mereka menganggap masalah teologi sudah selesai dan tidak perlu dirombak.

Ini berbeda dengan persepsi penganjur pembaruan teologi yang mengartikan teologi sebagai usaha
untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun kolektif untuk
menyikapi kenyataan-kenyataan yang empiris menurut perspektif ketuhanan. Yang mereka tawarkan
bukan rekomendasi untuk mengubah doktrin, tetapi mengubah interpretasi terhadapnya, agar ajaran
agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas. Istilah “teologi” menurut Kunto sebaiknya
diganti dengan “ilmu sosial” yaitu mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial,
sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi,
tapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.

Optimisme Kunto untuk membangun paradigma baru ilmu sosial ini didasari oleh keyakinan bahwa ilmu
itu bersifat relatif, atau dalam bahasa Thomas Khun “paradigmatik”, Marx, bersifat ideologis dan
Wittgenstain, bersifat cagar bahasa. Dalam pandangan Kunto, ilmu-ilmu sosial sekarang mengalami
kemandekan, fungsinya hanya terbatas pada memberi penjelasan terhadap gejala-gejala saja. Ini
menurutnya tidak cukup. Ilmu-ilmu sosial disamping menjelaskan, juga harus dapat memberi petunjuk
ke arah transformasi, sesuai dengan cita-cita profetiknya, yaitu humanisasi atau emansipasi, liberalisasi
dan transendental.

Ikhtitam

Gagasan-gagasan Kuntowijoyo tentang Islam di Indonesia merupakan salah satu fenomena yang unik,
menarik dan sangat mengesankan untuk ukuran intelektual yang dibesarkan bukan dari latar belakang
taradisi keagamaan santri, meminjam klasifikasi Gertz. Meskipun pengetahuan keagamaannya lebih
banyak diperoleh lewat studi-studi non-formal, namun kecintaannya terhadap Islam dan kuatnya basic
keilmuan sejarah dan sosial, telah mendorongnya untuk merumuskan sebuah alternatif keberagamaan
yang bersifat profetik dan transformatif.
Al-Qur’an, yang oleh Kunto dijadikan sebagai paradigma ilmu-ilmu sosial, tidaklah semata-mata
dipahami dari sisi normativitas kewahyuan Islam, yaitu dengan melaksanakan tuntutan-tuntutan ritual-
ubudiyah keagamaan saja, tapi juga dan bahkan ini yang terpenting adalah memanifestasikan nilai-nilai
historisitas al-Qur’an, dengan cara mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial,
sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen, tapi pada aspek-
aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.

Dari pemahaman seperti ini, meskipun tawaran teori-teori sosial Qur’ani ini tidak mudah untuk
direalisasikan dalam realitas empiris, namun Kunto –dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya--
paling tidak telah membuka dan merintis sebuah pendekatan baru dalam studi-studi keislaman, lewat
kajian-kajian saintis, yang oleh Arkoun dianggap sebagai sebuah keniscayaan untuk umat Islam
kontemporer.

Anda mungkin juga menyukai