Istilah struktur berasal dari kata structum (bahasa Latin) yang berarti
menyusun. Dengan demikian, struktur sosial memiliki arti susunan masyarakat.
C. Abangan
Sebagian besar orang Jawa adalah memluk agama Islam, namun terdapat
beberapa ragam dalam pengamalan ajaran Islam, tetapi sekaligus dalam kategori
umum, pengakuan semacam itu mereka sendiri dengan jelas membedakan antara
para santri, yaitu para orang muslim yang taat menjalankan syari’at dengan
sungguh-sungguh dan para abangan yang tidak seberapa mengindahkan ajaran-
ajaran Islam, sementara cara hidupnya yang dipengaruhi oleh tradisi pra-Islam.
Tradisi tersebut menekankan kepada integrasi unsur-unsur Islam, Buddha-Hindu
dan kepercayaan asli sebagai satu sinkritisme Jawa yang mendasar dan sering
dinamakan Agama Jawa.8
7
Ibid, 17-18
8
Ibid, hlm xxiv
9
Ibid, hlm 57
Slametan dilaksanakan untuk peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang. Peristiwa penting tersebut seperti kelahiran, kematian, pernikahan,
membangun rumah, permulaan bajak sawah atau panenan, sunatan, perayaan hari
besar dan masih banyak lagi peristiwa- peristiawa yang dihiasi dengan tradisi
slametan.11
10
AhmadKhalil, M.Fil.I., Islam Jawa, sufinisme dalam Etika dan tradisi Jawa, Malang: UIN-
Malang Press, 2008, Hlm 277-278
11
Ibid, Hlm 278
12
Ibid, Hlm 279
13
Ibid, Hlm 283
14
Clifford Geerts, Agama Jawa: abangan, santri, priyayi dalam kebudayaan Jawa,
Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hlm 4
1. Tingkeban, diselenggarakan pada masa ketujuh kehamilan.
2. Penanggalan Jawa
Clifford Geertz bercerita dalam bukunya Agama Jawa: abangan, santri, priyayi
dalam kebudayaan Jawa :
Saya lalu bertanya kepada pak Ardjo (tuan rumah saya) bagaimana ia menetapkan
hari baik buat kita untuk pindah kerumahnya. Ia mengatakan bahwa tiap hari
memiliki sebuat angka (neptu): senin empat, minggu lima, selasa tiga, rabu tujuh,
kamis delapan, jum’at enam, sabtu sembilan; legi lima, pahing sembilan, pon
tujuh, wage empat, kliwon delapan, anda jumlahkan angka-angka itu, jadi saya
dating pada hari sabtu-wage, dengan neptu Sembilan untuk sabtu, ditambah empat
untuk wage, jadi 13. Apakah hari ini baik tergantung arah kepindahan anda, kami
pindah dari selatan ke utara, karena itu, hari itu baik.17
3. Mitos
15
Clifford Geerts, Agama Jawa: abangan, santri, priyayi dalam kebudayaan Jawa,
Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hlm 41-57
16
H. Djanudji, Penanggalan Jawa 120 tahun Kurup Asapon, Semarang: Dahara Prize,
2006, hlm 29
17
Clifford Geerts, Agama Jawa: abangan, santri, priyayi dalam kebudayaan Jawa,
Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hlm 33
Azimath atau jimat, kepercayaan orang Jawa terhadap jimat sangat
beragam dan banyak yang saling bertentangan, rakyat jelata menamai
setiap baran gyang daopat mendatangkan keberuntungan sebagai jimat.
D. Santri
C.C. Berg berpedapat bahwa istilah santri berasal dari istilah shastri yang
dalam bahasa India berarti orang-orang yang tahu kitab-kitab suci agama Hindu,
atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Adapun kata shastri berasal dari
kata shastra yang berarti kitab suci, atau buku-buku keagamaan, atau buku-buku
pengetahuan.19
Definisi santri telah banya dikemukakan oleh orang, namun dari definisi
ta’rif bir rasmi (definisi dengan menyebtkan ciri dan gambarannya), memiliki tiga
ciri; pertama, peduli terhadap kegiatan- kegiatan ainiyah (ihtimam bil furuudil
‘ainiyah), kedua, mengaja hubungan baik dengan al-khaliq (husnul mu’amalah
ma’al kholiq). Ketiga, menjaga hubungan baik dengan sesama makhluq (husnul
mu’amalah ma’al kholqi).20
18
Capt. R. P. Suyono, Dunia mistik orange Jawa: roh, ritual, dan benda magis,
Yogyakarta: LKiS, 2007, hlm 235-259
19
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: St. Tentang pandangan hidup kyai, Jakarta:
LP3KS, 1982
20
KH. Drs. A. Wahid Zaini, SH., Dunia pmikir kaum santri, Yogyakarta: LKPSM NU DIY,
1995, hlm 86
Sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Jawa dan
Madura lebih dikenal dengan istilah pondok. Istilah pondok barangkali berasal
dari asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang
dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari bahasa Arab fundug yang berarti
hotel atau asrama.21
Untuk mencapai suatu tujuan, tentulah harus ada metode. Metode utama
sistem pengajaran di lingkungaan pesantren ialah sistem bondongan, atau
seringkali disebut sistem weton, dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5
sampai 500) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan,
menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab,
setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik
arti maupun catatan-catatan) tentang kata-kata atau pikiran yang sulit.
Sistem yang lain adalah sorogan, sorogan terbukti sangat efektif sebagai
taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem
ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai, dan membimbing secara
maksimal.23
3. Ritual Santri
21
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: St. Tentang pandangan hidup kyai, Jakarta:
LP3KS, 1982
22
Ibid, hlm 21
23
Ibid, 28-29
Berbeda dengan pola upacara abangan yang berkisar pada slametan, maka
kehidupan upacra santri diatur sepanjang waktu oleh shalat lima waktu yang
berulang setiap hari dalam bentuk yang sama.24 selain itu Clifford Geertz ritual
para santri meliputi shalat, shalat Jum’at, ngaji, puasa, dan haji bagi yang mampu.
E. Priyayi
Priyayi berasal dari kata priya dan yayi, pria adalah laki- laki, yayi adalah
adik, adik disini yang dimaksud adalah adik raja, jadi priyayi adalah adik raja.
Kemudian dia juga berarti jamak, yaitu para adik-adik raja baik laki-laki maupun
perempuan. Tetapi karena adik-adik raja berarti anak-anak raja yang terdahulu,
maka priyayi lalu berarti keturunan raja atau para bangsawan. Dalam
perkembangannya priyayi mencakup orang-orang menjalankan tugas kenegaraan,
atau pejabat-pejabat kerajaan.25
Salah satu cirri kepriyayian Jawa pada masa yang lalu tampak pada gelar
yang dipakai di depan nama seseorang, gelar priyayi tidak semata- mata
ditentukan oleh asal keturunan, tetapi juga oleh jabatan seseorang dalam
pemerintahan.27
24
Zaini Muchtarom, Islam di jawa dalam perspektif santri dan abangan, Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002, hlm 69
25
Sufaat M, Beberapa pembahasan tentang kebatinan, Yogyakarta: Kota Kembang,
1985, hlm. 111
26
Sartono Kartodirdjo, dkk, Perkembangan pradaban priyayi, Yogyakarta: Gadjah Mada
University, 1993, hlm. 52
27
Ibid, 46
raden mas atau bendara raden ajeng. Di kemudian hari setelah menjadi dewasa
dan kawin maka bendara raden mas diganti dengan pangeran, dan bendara raden
ajeng diganti dengan raden ayu dan kemudian gelar raden mas dan raden ajeng
diperuntukkan untuk cucu, cicit, dan piut raja.28
2. Agama Priyayi
Bagi priyayi agama adalah suatu hal yang penting, sebab pada dasarnya
budaya priayi bersumber pada agama, yaitu mistik, walaupun mistik tersebut
sudah tidak ketat mistik yang murni.30
KESIMPULAN
Slametan adalah salah satu ritual Jawa yang cukup populer, slametan
adalah dalam arti luas, dalam slametan sendiri terdapat begitu banyak macam
karena slametan didasarkan atas peristiwa-peristiwa yang terjadi disekitar mereka,
seperti slametan kelahiran anak, sunatan, pernikahan, dan lain-lain. Slametan
biasanya dilaksanakan pada hari dan tanggal yang telah dipilih berdasarkan
perjitungan Jawa.
Ketika kata santri disebut, temtu pasti muncul kata pesantren yang
merupakan tempat belajar santri dengan beberapa metode, seperti bondongan dan
sorogan. Tujuan pesantren tidak lain adalah untuk mempersiapkan santri menjadi
seorang alim, yang tak bergantung kepada yang lain kecuali Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Geerts, Clifford, 2013. Agama Jawa: abangan, santri, priyayi dalam kebudayaan
Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu.
H. Djanudji, 2006. Penanggalan Jawa 120 tahun Kurup Asapon, Semarang:
Dahara Prize.
Khalil, Ahmad M.Fil.I., 2008. Islam Jawa, sufinisme dalam Etika dan tradisi
Jawa, Malang: UIN-Malang Press.
Muchtarom, Zaini, 2002. Islam di jawa dalam perspektif santri dan abangan,
Jakarta: Salemba Diniyah.
Suyono, Capt. R.P, 2007. Dunia mistik orange Jawa: roh, ritual, dan benda
magis, Yogyakarta: LKiS,.
Zaini, KH. Drs. A. Wahid SH., 1995. Dunia pmikir kaum santri, Yogyakarta:
LKPSM NU DIY.