Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

Tidak bisa di pungkiri lagi bahwa Indonesia adalah daerah dengan


keberagaman yang cukup tinggi, baik dalam segi ras, suku, bahasa, budaya,
bahkan kepercayaan serta hal- hal lainnya. Tidakdiragukan bahwa Jawa
mempunyai andil yang cukup besar dalam keberagaman tersebut, dalam segi
tradisi misalnya, begitu banyak tradisi yang ada di Jawa, contoh saja slametan,
slametandilakukan masyarakat Jawa dalam rangka syukuran terhadap suatu hal
yang yang terjadi, begitu banyak macam- macam slametan yang ada di Jawa yang
pelaksaannyapun juga tidak jarang berbeda satu dearah dengan daerah lainnya.
Bukan tidak mungkin bahwa penyebab keberagaman itu adalah kepercayaan tiap-
tiap masyarakat Jawa yang beragam pula.

Kepercayaan merupakan sesuatu yang telah mendasar dalam diri manusia,


kepercayaan pula yang mendasari seseorang bahkan kelompok dalam melakukan
suatu hal bahkan menjadi pedoman hidup. Dengan beragamnya kepercayaan di
Jawa maka pola hidup masyarakat Jawa pun juga berbeda yang kemudian
melahirkan beberapa struktur sosial yang berbeda dalam masyarakat Jawa itu
sendiri.

Menurut Clifford Geertz, dalam struktur sosial masyarakat Jawa terbagi


atas, abangan, santri, dan priyayi, jadi perlulah diketaui apa itu struktur sosial
masyarkat? Dan apa saja komponen dalam struktur sosial masyarakat Jawa? Apa
itu Abangan? Siapa itu santri dan siapa itu priyayi?
PEMBAHASAN

A. Pengertian struktur sosial

Istilah struktur berasal dari kata structum (bahasa Latin) yang berarti
menyusun. Dengan demikian, struktur sosial memiliki arti susunan masyarakat.

Pada dasarnya yang terpenting dalam struktur sosial ialah relasi-relasi


sosial yang penting dalam menentukan tingkah laku manusia.1

B. Struktur sosial masyarakat Jawa

Menurut Clifford Geertz, seorang ahli antripologi Amerika terkemuka,


berdasarkan penelitian yang dilakuknnya di Mojokuto, ia membagi masyarakat
Jawa kedalam tiga varian; abangan, santri, dan priyayi.

Abangan yang menekankan aspek-aspek animisme singkrikritisme Jawa


secara keseluruhan dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani desa;
santri, yang menekankan aspek-aspek Islam sinkritisme secara umumnya
diasosiasikan dengan unsur-unsur tententu dengan kaum pedagang (dan juga
dengan unsur- unsur tertentu dalam kaum tani); priyayi, yang menekankan aspek-
aspek Hindu dan diasosiasikan dengan unsur birokrasi.2

Adapun istilah yang diterapkan oleh Clifford Geertz pada kebudayaan


orang desa, yaitu para petani yang kurang dipengaruhi oleh pihak luar
dibandingkan dengan golongan-golongan lain di antara penduduk. Adapun istilah
santri diterapkannya pada kebudayaan para muslimin yang memegang peraturan
agama dengan keras dan biasanya tinggal bersama di kota dalam perkampungan
dekat dengan masjid. Istilah priyayi di kaitkan dengan kebudayaan kelas atas yang
pada umumnya merupakan golongan bangsawan berpankat tinggi atau rendah.3

Dalam kenyataannya masyarakat Jawa tempo dulu hanya dibagi menjadi


tiga bagian; raja (pangeran), bangsawan dan petani. Puncak foedalisme Jawa
1
Bagja Waluya, Sosiologi 2: menyelami fenomena social di masyarakat, Jakarta: Pusat
Pembukuan Departeme Nasinal, 2009, hlm 2
2
Clifford Geerts, Agama Jawa: abangan, santri, priyayi dalam kebudayaan Jawa,
Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hlm 572
3
Zaini Muchtarom, Islam di jawa dalam perspektif santri dan abangan, Jakarta: Salemba
Diniyah, 2002, hlm 5
bertepatan dengan pengaruh Belanda yang telah merembes bukan saja dalam arti
geografis, melainkan juga merembes ke dalam struktur masyarakat Jawa.
Sepanjang zaman itu empat tingkat dapat dibedakan; pertama para raja
(Monarkhi), kedua para kepala daerah (provinsi) lebih kurang setaraf dengan para
bupati modern, ketiga para kepala desa, dan keempat masa penghuni desa.4

Koentjaraningrat mencoba menggambarkan stratafikasi masyarakat Jawa


dengan menganalisa dan membuat perbedaan yang jelas antara pembagian-
pembagian masyarakat Jawa yang horizontal dan vertikal. Menurutnya Jawa
sendiri membedakan empat tinggkat sosial sebagai stratafikasi status; yaitu; ndara
(bangsawan), priyayi (birokrat), wong dagang atau saudagar (pedagang) dan
wong cilik (rakyat kecil).5

Berbeda dengan stratafikasi secara horizontal, ada pula klasifikasi


masyarakat Jawa yang didasarkan pada ukuran sampai dimana kebaktian agama
Islamnya atau ukuran kepatuhan seseorang dalam mengamalkan sarengat
(syari’at). Pertama terdapat santri, orang muslim saleh yang memeluk agama
Islam dengan sungguh dan dengan teliti menjalankan perintah- perintah agama
Islam sebagaimana yang diketahuinya, sambil berusaha membersihkan akidahnya
dari syirik yang terdapat di daerahnya. Lagi pula rupanya ia ditandai dengan
keikutsertaannya dalam upacara- upacara agama yang dilakukan oleh ummah
(umat Islam), atau sekurang- kurangnya ia menunjukkan rasa menyatu dengan
umat Islam secara keleruhan. Kedua, terdapatkan abangan yang secara harfiah
berarti “yang merah”, yang diturunkan dari pangkal kata abang (merah). Istilah ini
mengenai orang muslim Jawa yang tidak seberapa memperhatikan perintah-
perintah agama Islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban-kewajiban
agama.6

Menurut pendapat orang Jawa seperti juga sudah diterangkan


Koentjaraningrat, istilah santri dan abangan telah menunjukkan dua varian
religius dalam kebudayaan Jawa, padahal istilah priyayi tidak menunjukkan
tradisi religius apapun juga. Para priyayi dapat digolongkan baik santri maupun
abangan, sebab mereka mungkin beragama Kristen, Buddha, atau Hindu.
4
Ibid, hlm 6
5
Ibid, hlm 7
6
Ibid, hlm 11
Dalam hal ini J.D. Legge menegaskan bahwa terdapat orang muslim yang saleh
maupun orang muslim formalitas dalam jajaran para priyayi. Penggolongan atas
abangan, santri, dan para priyayi menimbulkan bahaya mengacaukan kategori-
kategori yang berbeda. Dalam kenyataan priyayi merupakan kelas-kelas sosial
atau golongann manusia yang berasal-usul bangsawan. Hanya dengan
mengisahkan antara dimensi-dimensi unsur horisontal, dan dari vertikal dalam
masyarakat Jawa orang dapat memulai meghargai pembagian-pembagian dalam
masyarakat Jawa.7

C. Abangan

Sebagian besar orang Jawa adalah memluk agama Islam, namun terdapat
beberapa ragam dalam pengamalan ajaran Islam, tetapi sekaligus dalam kategori
umum, pengakuan semacam itu mereka sendiri dengan jelas membedakan antara
para santri, yaitu para orang muslim yang taat menjalankan syari’at dengan
sungguh-sungguh dan para abangan yang tidak seberapa mengindahkan ajaran-
ajaran Islam, sementara cara hidupnya yang dipengaruhi oleh tradisi pra-Islam.
Tradisi tersebut menekankan kepada integrasi unsur-unsur Islam, Buddha-Hindu
dan kepercayaan asli sebagai satu sinkritisme Jawa yang mendasar dan sering
dinamakan Agama Jawa.8

Kepercayaan-kepercayaan religious para abangan merupakan campuran


khas penyembahan unsur-unsur alamiyah secara animis yang berakar dalam
agama-agama Hinduisme yang semuanya telah ditumpangi oleh ajaran Islam.9

1. Slametan sebagai ritual

Di pusat keseluruhan sistem agama Jawa terdapat suatu ritus yang


sederhana, formal, jauh dari keramaian, dan apa adanya, itulah slametan.
Masyarakat Jawa sebagai komunitas yang telah terislamkan memang memeluk
agama Islam. Namun dalam prakteknya, pola-pola keberagaman mereka tidak
jauh dari unsur keyakinan dan kepercayaan pra-Islam, yakni keyakinan animisme-
dinamisme dan hindu-budha.10

7
Ibid, 17-18
8
Ibid, hlm xxiv
9
Ibid, hlm 57
Slametan dilaksanakan untuk peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang. Peristiwa penting tersebut seperti kelahiran, kematian, pernikahan,
membangun rumah, permulaan bajak sawah atau panenan, sunatan, perayaan hari
besar dan masih banyak lagi peristiwa- peristiawa yang dihiasi dengan tradisi
slametan.11

Secara umum, tujuan slametan adalah untuk menciptakan keadaan


sejahtera, aman, dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata dan juga makhluk
halus (suata keadaan yang disebut slamet).12

Dalam hal ini, penyelenggaraan slametan memiliki kegunaan lebih luas,


antara lain meningkatkan tali silaturrahmi, rasa persaudaraan, dan rukun diantara
tetangga, saudara, atau, buruh (disawah dan ketika mendirikan rumah). Rukun
yang berarti harmoni sosial dan ketentraman serta ketenangan bersama merupakan
nilai sosial yang amat penting bagi kehidupan masyarakt desa, dengan demikian
slametan bukan hanya pesta makan untuk menunjukkan gensi tertentu di mata
masyarakat, melainkan wujud rasa syukur atas karunia yang maha kuasa, dan
harapan untuk selalu berada dalam lindungan dan rahmat-Nya.13

Kebanyakan slametan dilaksanakan di waktu malam, segera setelah


matahari terbenam dan sembahyang magrib dilakukan oleh mereka yang
mengamalkannya, kalau peristiwa menyangkut, katakanlah, ganti nama, panen,
atau khitanan, tuan rumha akan mengundang seorang ahli agama untuk
menentukan hari baik menurut sistem hitungan kalender Jawa.14

Salah satu contoh slametan masyarakat Jawa adalah slametan kelahiran


Jawa. Dalam slametan kelahiran Jawa sendiri terbagi menjadi beberapa siklus,
diantaranya :

10
AhmadKhalil, M.Fil.I., Islam Jawa, sufinisme dalam Etika dan tradisi Jawa, Malang: UIN-
Malang Press, 2008, Hlm 277-278
11
Ibid, Hlm 278
12
Ibid, Hlm 279
13
Ibid, Hlm 283
14
Clifford Geerts, Agama Jawa: abangan, santri, priyayi dalam kebudayaan Jawa,
Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hlm 4
1. Tingkeban, diselenggarakan pada masa ketujuh kehamilan.

2. Babaran, dilaksanakan menjelang kelahiran, akan tetapi siklus ini sering


ditinggalkan, bahkan oleh orang abangan yang cukup ketat.

3. Pasaran, lima hari setelah slamatan untuk bayi diselenggarakan, diadakan


pula sebuah slametan yang agak besar, pasaran, dimana antara lain, bayi
itu diberi nama.

4. Pitonan, atau tujuh bulanan yang masih banyak diselenggarakan, walupun


kini sudah mulai menjadi hal yang kurang penting.15

2. Penanggalan Jawa

Penanggalan Jawa itu dimulai pada zaman pemerintahan Sultan Agung


Anyakrakusuma yaitu tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 yang jatuh pada hari
jumu’ah Legi, 8 Juli 1633 Masehi, atau 1 Muharran 1043 Hijriah.16

Clifford Geertz bercerita dalam bukunya Agama Jawa: abangan, santri, priyayi
dalam kebudayaan Jawa :

Saya lalu bertanya kepada pak Ardjo (tuan rumah saya) bagaimana ia menetapkan
hari baik buat kita untuk pindah kerumahnya. Ia mengatakan bahwa tiap hari
memiliki sebuat angka (neptu): senin empat, minggu lima, selasa tiga, rabu tujuh,
kamis delapan, jum’at enam, sabtu sembilan; legi lima, pahing sembilan, pon
tujuh, wage empat, kliwon delapan, anda jumlahkan angka-angka itu, jadi saya
dating pada hari sabtu-wage, dengan neptu Sembilan untuk sabtu, ditambah empat
untuk wage, jadi 13. Apakah hari ini baik tergantung arah kepindahan anda, kami
pindah dari selatan ke utara, karena itu, hari itu baik.17

3. Mitos

Beberapa macam mitos yang timbul di Jawa adalah sebagai berikut :

15
Clifford Geerts, Agama Jawa: abangan, santri, priyayi dalam kebudayaan Jawa,
Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hlm 41-57
16
H. Djanudji, Penanggalan Jawa 120 tahun Kurup Asapon, Semarang: Dahara Prize,
2006, hlm 29
17
Clifford Geerts, Agama Jawa: abangan, santri, priyayi dalam kebudayaan Jawa,
Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hlm 33
Azimath atau jimat, kepercayaan orang Jawa terhadap jimat sangat
beragam dan banyak yang saling bertentangan, rakyat jelata menamai
setiap baran gyang daopat mendatangkan keberuntungan sebagai jimat.

Batu mustika, diangap mampu member kebahagian, kemajuan, dan


keberuntungan.

Tumbal, yang mana penanamannya selalu didasarkan pada nilai buruk.

Guna-guna, dengan tujuan membuat pikiran seseorang men jadi ruwet.


Tujuan akhir guna-guna adalah mendapatkan si dia yang sedang bingung.

Kayu pellet, dihargai karena dianggap membawa peruntungan atau


menolak kesialan.18

D. Santri

C.C. Berg berpedapat bahwa istilah santri berasal dari istilah shastri yang
dalam bahasa India berarti orang-orang yang tahu kitab-kitab suci agama Hindu,
atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Adapun kata shastri berasal dari
kata shastra yang berarti kitab suci, atau buku-buku keagamaan, atau buku-buku
pengetahuan.19

Definisi santri telah banya dikemukakan oleh orang, namun dari definisi
ta’rif bir rasmi (definisi dengan menyebtkan ciri dan gambarannya), memiliki tiga
ciri; pertama, peduli terhadap kegiatan- kegiatan ainiyah (ihtimam bil furuudil
‘ainiyah), kedua, mengaja hubungan baik dengan al-khaliq (husnul mu’amalah
ma’al kholiq). Ketiga, menjaga hubungan baik dengan sesama makhluq (husnul
mu’amalah ma’al kholqi).20

1. Pondok Pesantren sebagai tempat pendidikan santri

18
Capt. R. P. Suyono, Dunia mistik orange Jawa: roh, ritual, dan benda magis,
Yogyakarta: LKiS, 2007, hlm 235-259
19
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: St. Tentang pandangan hidup kyai, Jakarta:
LP3KS, 1982
20
KH. Drs. A. Wahid Zaini, SH., Dunia pmikir kaum santri, Yogyakarta: LKPSM NU DIY,
1995, hlm 86
Sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Jawa dan
Madura lebih dikenal dengan istilah pondok. Istilah pondok barangkali berasal
dari asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang
dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari bahasa Arab fundug yang berarti
hotel atau asrama.21

2. Tujuan dan sistem pengajaran pesantren

Tujuan pendidikan tidak semata- mata untuk memperkaya pikiran murid


dengan penjelasan-penjelaan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan
mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan,
mengajarkan sikap dan tinggkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan
para murid untuk hidup sederhana dan bersihhati. Tujuan pendidikan pesantren
bukanlah untuk mengejar kepantingan kekuaasan, uang, dan keagungan duniawi,
tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata- mata kewajiban
dan pengabdian kepada tuhan. Diantara cita-cita pendidikan pesantren adalah
latihan untuk dapat berdiri sendiri dan membina diri agar tidak menggantungkan
sesuatu kepada orang lain kecuali kepada tuhan.22

Untuk mencapai suatu tujuan, tentulah harus ada metode. Metode utama
sistem pengajaran di lingkungaan pesantren ialah sistem bondongan, atau
seringkali disebut sistem weton, dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5
sampai 500) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan,
menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab,
setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik
arti maupun catatan-catatan) tentang kata-kata atau pikiran yang sulit.

Sistem yang lain adalah sorogan, sorogan terbukti sangat efektif sebagai
taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem
ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai, dan membimbing secara
maksimal.23

3. Ritual Santri
21
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: St. Tentang pandangan hidup kyai, Jakarta:
LP3KS, 1982
22
Ibid, hlm 21
23
Ibid, 28-29
Berbeda dengan pola upacara abangan yang berkisar pada slametan, maka
kehidupan upacra santri diatur sepanjang waktu oleh shalat lima waktu yang
berulang setiap hari dalam bentuk yang sama.24 selain itu Clifford Geertz ritual
para santri meliputi shalat, shalat Jum’at, ngaji, puasa, dan haji bagi yang mampu.

E. Priyayi

Priyayi berasal dari kata priya dan yayi, pria adalah laki- laki, yayi adalah
adik, adik disini yang dimaksud adalah adik raja, jadi priyayi adalah adik raja.
Kemudian dia juga berarti jamak, yaitu para adik-adik raja baik laki-laki maupun
perempuan. Tetapi karena adik-adik raja berarti anak-anak raja yang terdahulu,
maka priyayi lalu berarti keturunan raja atau para bangsawan. Dalam
perkembangannya priyayi mencakup orang-orang menjalankan tugas kenegaraan,
atau pejabat-pejabat kerajaan.25

1. Gaya hidup priyayi

Dikalangan masyarakat Jawa tradisional juga dibedakan jelas-jelas antara


kaum elit dan orang kebanyakan. Golongan elit ini terdiri atas kaum bangsawan
dan priyayi. Mereka yang tidak termasuk kedua golongan tersebut disebut wong
cilik.26

Salah satu cirri kepriyayian Jawa pada masa yang lalu tampak pada gelar
yang dipakai di depan nama seseorang, gelar priyayi tidak semata- mata
ditentukan oleh asal keturunan, tetapi juga oleh jabatan seseorang dalam
pemerintahan.27

Gelar kebangsawaanan terbagi menjadi dua; kesunanan Surakarta dan


kesultanan Yogyakarta. Di kerajaaan Jawa gelar kebangsaan yang tertinggi adalah
raden mas bagi anak laki-laki, dan raden ayu bagi anak perempuan, bagi putra
atau putri raja maka di depan gelar raden di tambah gelar bendara. Jadi bendara

24
Zaini Muchtarom, Islam di jawa dalam perspektif santri dan abangan, Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002, hlm 69
25
Sufaat M, Beberapa pembahasan tentang kebatinan, Yogyakarta: Kota Kembang,
1985, hlm. 111
26
Sartono Kartodirdjo, dkk, Perkembangan pradaban priyayi, Yogyakarta: Gadjah Mada
University, 1993, hlm. 52
27
Ibid, 46
raden mas atau bendara raden ajeng. Di kemudian hari setelah menjadi dewasa
dan kawin maka bendara raden mas diganti dengan pangeran, dan bendara raden
ajeng diganti dengan raden ayu dan kemudian gelar raden mas dan raden ajeng
diperuntukkan untuk cucu, cicit, dan piut raja.28

Selain gelar keturunan, ada pula gelar kebangsawaanan, di daerah


Gupernemen, bupati itu dapat bergelar, tumenggung, tumenggung arya, adipati
(arya), dan pangeran (arya). Gelar itu selain menunjukkan kedudukkan sebagai
kepala daerah, juga menunjukkan tingkat yang dasarkan pada jasa-jasa yang
dianggap pernah diberikan kepada Pemerintah.29

2. Agama Priyayi

Bagi priyayi agama adalah suatu hal yang penting, sebab pada dasarnya
budaya priayi bersumber pada agama, yaitu mistik, walaupun mistik tersebut
sudah tidak ketat mistik yang murni.30

Orientasi keagamaan priyayi lebih sulit dibedakan dengan para abangan


dan pada dengan santri karena perubahan dari politeisme Asia Tenggara yang
sinkretik (atau animisme) kepada monoteisme Timur Tengah lebih besar dari pada
pergesean agama itu kepada pateisme Hindhu-Buddha.31

KESIMPULAN

Menurut Geertz masyarakat Jawa ternegi menjadi tiga golongan; abangan


yang menekankan aspek-aspek animisme singkrikritisme Jawa secara
keseluruhan; santri, yang menekankan aspek-aspek Islam; priyayi, yang
menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan dengan unsur birokrasi.

Namun Koentjaraningrat mencoba menggambarkan stratafikasi


masyarakat Jawa dengan menganalisa dan membuat perbedaan yang jelas antara
28
Ibid, 48
29
Ibid, 50
30
Sufaat M, Beberapa pembahasan tentang kebatinan, Yogyakarta: Kota Kembang,
1985, hlm. 122
31
Clifford Geerts, Agama Jawa: abangan, santri, priyayi dalam kebudayaan Jawa,
Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hlm 337
pembagian-pembagian masyarakat Jawa yang horizontal dan vertikal. Menurutnya
Jawa sendiri membedakan empat tinggkat sosial sebagai stratafikasi status; yaitu;
ndara (bangsawan), priyayi (birokrat), wong dagang atau saudagar (pedagang)
dan wong cilik (rakyat kecil). Sedangkan stratafikasi secara vertikal, didasarkan
pada ukuran sampai dimana kebaktian agama Islamnya atau ukuran kepatuhan
seseorang dalam mengamalkan sarengat (syari’at). Pertama terdapat santri, orang
muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh dan dengan teliti
menjalankan perintah-perintah agama Islam. Kedua, terdapatkan abangan yaitu
orang muslim Jawa yang tidak seberapa memperhatikan perintah-perintah agama
Islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban-kewajiban agama.

Slametan adalah salah satu ritual Jawa yang cukup populer, slametan
adalah dalam arti luas, dalam slametan sendiri terdapat begitu banyak macam
karena slametan didasarkan atas peristiwa-peristiwa yang terjadi disekitar mereka,
seperti slametan kelahiran anak, sunatan, pernikahan, dan lain-lain. Slametan
biasanya dilaksanakan pada hari dan tanggal yang telah dipilih berdasarkan
perjitungan Jawa.

Ketika kata santri disebut, temtu pasti muncul kata pesantren yang
merupakan tempat belajar santri dengan beberapa metode, seperti bondongan dan
sorogan. Tujuan pesantren tidak lain adalah untuk mempersiapkan santri menjadi
seorang alim, yang tak bergantung kepada yang lain kecuali Allah SWT.

Karena priyayi adalah golongan keturunan atau pejabat kerajaan, maka


dalam masyarakat priyayi dikenal beberapa gelar. Gelar kebangsawaanan terbagi

menjadi dua; kesunanan Surakarta dan kesultanan Yogyakarta. Di kerajaaan Jawa


gelar kebangsaan yang tertinggi adalah raden mas bagi anak laki-laki, dan raden
ayu bagi anak perempuan, bagi putra atau putri raja maka di depan gelar raden di
tambah gelar bendara. Jadi bendara raden mas atau bendara raden ajeng.

Selain gelar keturunan, ada pula gelar kebangsawaanan, seperti,


tumenggung, tumenggung arya, adipati (arya), dan pangeran (arya). Gelar itu
selain menunjukkan kedudukkan sebagai kepala daerah, juga menunjukkan
tingkat yang dasarkan pada jasa-jasa yang dianggap pernah diberikan kepada
Pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Dhofier, Zamakhsyari, 1982. Tradisi Pesantren: St. Tentang pandangan hidup


kyai, Jakarta: LP3KS.

Geerts, Clifford, 2013. Agama Jawa: abangan, santri, priyayi dalam kebudayaan
Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu.
H. Djanudji, 2006. Penanggalan Jawa 120 tahun Kurup Asapon, Semarang:
Dahara Prize.

Kartodirdjo, Sartono, dkk, 1993. Perkembangan pradaban priyayi, Yogyakarta:


Gadjah Mada University.

Khalil, Ahmad M.Fil.I., 2008. Islam Jawa, sufinisme dalam Etika dan tradisi
Jawa, Malang: UIN-Malang Press.

M, Sufaat, 1985. Beberapa pembahasan tentang kebatinan, Yogyakarta: Kota


Kembang.

Muchtarom, Zaini, 2002. Islam di jawa dalam perspektif santri dan abangan,
Jakarta: Salemba Diniyah.

Suyono, Capt. R.P, 2007. Dunia mistik orange Jawa: roh, ritual, dan benda
magis, Yogyakarta: LKiS,.

Waluya, Bagja, 2009. Sosiologi 2: menyelami fenomena social di masyarakat,


Jakarta: Pusat Pembukuan Departeme Nasinal.

Zaini, KH. Drs. A. Wahid SH., 1995. Dunia pmikir kaum santri, Yogyakarta:
LKPSM NU DIY.

Anda mungkin juga menyukai