Anda di halaman 1dari 15

Drama Sebagai Seni Pertunjukan dan Teknik Penulisan Naskah Lakon

(Hakikat Fungsi dan Sifat Naskah Lakon. Struktur dan Tekstur Naskah Lakon.
Macam-Macam Jenis dan Bentuk Naskah Lakon, Teknik Penulisan Naskah
Lakon. Teknik Penggarapan Laskah lakon)

Fitri Utami1 MailiYusma 2 Yuza Hauda Mauladani3


1805110726, 1805112465, 1805112948

Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Riau, Pekanbaru, Indonesia
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Riau, Pekanbaru, Indonesia
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Riau, Pekanbaru, Indonesia

PENDAHULUAN

Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif pada
hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk
mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra
pada umumnya berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia.

Teater memiliki sekurang-kurangnya empat unsur penting dalam setiap


pementasan, yaitu pertama, lakon atau cerita yang ditampilkan, bisa berwujud
sebuah naskah atau skenario tertulis, skenario tak tertulis (dalam teater
kerakyatan). Kedua, pemain adalah orang yang membawakan lakon tersebut.
Ketiga, sutradara sebagai penata pertunjukan di panggung. Keempat, penonton
adalah sekelompok orang yang menyerahkan sebagian dari kemerdekaannya
untuk menjadi bagian dari tokoh yang tampil dalam suatu lakon dan
menikmatinya.

Lakon ditulis oleh seorang penulis naskah lakon berdasarkan apa yang
dilihat, apa yang dialami, dan apa yang dibaca atau diceritakan kepadanya oleh
orang lain. Penulis kemudian menyusun rangkaian kejadian, semakin lama
semakin rumit, sehingga pada puncaknya masuk ke dalam penyelesaian cerita.
Penting sekali bahwa dalam menyusun kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa
seorang penulis haruslah bersabar untuk melangkah dari satu kejadian ke kejadian
lain dalam suatu perkembangan yang logis, tetapi semakin lama semakin gawat
sehingga akhirnya ia sampai ke puncak yang disebut klimaks.
PEMBAHASAN
Drama Sebagai Seni Pertunjukan

Berdasarkan etimologi (asal usul bentuk kata), kata drama berasal dari
bahasa Yunani dram yang berarti gerak. Tontonan drama memang menonjolan
percakapan (dialog) dan gerak-gerik pemain (akting) di panggung. Percakapan
dan gerak-gerik itu memeragakan cerita yang tertulis dalam naskah. Dengan
demikian, penonton dapat langsung mengikuti dan menikmati cerita tanpa harus
membayangkannya Drama sering disebut sandiwara atau teater.

Kata sandiwara berasal dari bahasa jawa sandi yang berarti rahasia atau
warab yang berarti ujaran. Sandiwara berarti ajaran yang disampaikan secara
rahasia dan tidak terang-terangan. Karena lakon drama sebenarnya mengandung
pesan/ajaran (terutama ajaran moral) bagi penontonnya.penonton menemukan
ajaran itu secara tersirat dalam lakon drama. Misalnya, orang yang menebar
kejahatan dan menuai kehancuran.

Kata teater dipungut dari bahasa Inggris theater yang berarti gedung
pertunjukan atau dunia sandiwara. Kata theater dalam bahasa Inggris itu berasal
dari bahasa Yunani theatron yang artinya takjub melihat. Mungkin, banyak
penonton merasa takjub dan puas menyaksikan tontonan drama yang dipentaskan
di panggung itu. (dalam Wiyanto, 2002:1).

Seni drama diwujudkan dari berbagai bahan dasar karena dalam seni
drama terkandung seni-seni yang lain. Seni drama sebagai tontonan merupakan
perpaduan sejumlah cabang seni, yaitu

1. Seni sastra (naskah cerita),


2. Seni lukis (tata rias dan tata panggung),
3. Seni music (music penggiring),
4. Seni tari (gerak-gerik pemain, dan
5. Seni peran (pemeranan tokoh).

Karena banyaknya cabang seni yang terlibat, tak mungkin suatu


pementasan drama merupakan hasil karya seorang seniman. Gedung pementasan
drama adalah tempat bertemunya para seniman, seperti sastrawan, actor,
komponis, dan pelukis. Para seniman itu bekerja sama (sesuai dengan bidangnya
masing-masing) mewujudkan seni drama yang akan dinikmati keindahannya oleh
penonton.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipertegas bahwa keberadaan


drama sebagai karya seni, yaitu seperti dibawah ini.
1. Drama termasuk salah satu jenis seni atau lengkapnya seni drama karna
didalamnya terdapat berbagai keindahan yang dapat dinikmati penonton.
2. Drama adalah satu-satunya jenis seni yang paling kompleks karena untuk
mewujudkannya perlu melibatkan berbagai seniman, seperti sastrawan,
pemain, komponis, dan pelukis.
3. Drama merupakan perpaduan berbagai jenis seni yang membentuk satu
kesatuan yang utuh.

Teknik Penulisan Naskah Lakon

A. Hakikat, Fungsi, dan Sifat Naskah Lakon


1. Hakikat Naskah Lakon
Menurut Muhammad (dalam Satoto, 2012:7) semua produksi
drama bertolak dari naskah lakon sebagai “pralakon”. Dengan kata lain
seni teater merupakan kegiatan memproduksi atau menggarap naskah
lakon. Jadi, pementasan drama merupakan konkretisasi naskah
(visualisasi naskah, audio visualisasi naskah).
2. Fungsi Naskah Lakon
Naskah lakon merupakan sumber cerita yang harus ditafsirkan oleh
seluruh kerabat kerja teater sebelum dipentaskan. Jadi, naskah lakon
berfungsi sebagai sarana pertama dan utama terbukanya kemungkinan
proses pementasan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanpa adanya naskah
lakon, maka pementasan tidak akan pernah terjadi.
3. Sifat Naskah Lakon
Dikatakan oleh Satoto (2012:8) bahwa naskah lakon itu dapat
dikatakan baik apabila naskah itu kaya akan ide-ide baru, baik jika
dilihat dari segi filsafat, kejiwaan, pendidikan, sosial, budaya, politik,
ekonomi, pertahanan dan keamanan, dan asli (bukan tiruan).
Naskah yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Dapat atau mudah dipentaskan sesuai dengan situasi dan
kondisinya.
b. Memberikan kekayaan batin, memberikan kegairahan hidup,
membebaskan manusia dari prasangka-prasangka yang tidak
beralasan.
c. Menciptakan situasi-situasi yang memerlukan jawaban,
menampung pengalaman-pengalaman dan memberi kemungkinan
peningkatan daya imajinasi.
d. Terdapat konfliks-konfliks yang memerlukan pemecahan yang
wajar. Pemecahan masalah dalam drama tidak selancar dan
semulus seperti yang diharapkan. Sering timbul tegangan-
tegangan.
e. Tidak sekadar memuat pernyataan-pernyataan (apalagi
indoktrinasi), tetapi ia melontarkan persoalan-persoalan yang harus
dijawab oleh para penonton.
f. Dialognya tidak terlalu panjang dan bertele-tele. Bahasanya enak
didengar, lancar, dan baik serta benar.
g. Mungkin saja temanya diambil dari dunia realitas atau nyata, tetapi
digarap secara imajiner.
h. Memenuhi persyaratan-persyaratan teateral.

B. Struktur dan Tekstur Naskah Lakon


1. Struktur Naskah Lakon
Oemarjati (dalam Satoto, 2012:9) menyebutkan bahwa struktur
merupakan elemen paling utama dan merupakan prinsip kesatuan
lakuan dalam drama. Sistematika pembicaraannya dilakukan dalam
hubungannya dengan alur (plot) dan penokohan. Menurut Ali (dalam
Satoto, 2012:9) unsur-unsur penting yang membina struktur sebuah
drama dapat disimpulkan tema dan amanat, alur, penokohan, dan
pertikaian atau konflik serta setting.
Lovitt (dalam Satoto, 2012:9) mengemukakan bahwa adegan di
dalam lakon merupakan hubungan unsur-unsur yang tersusun ke dalam
satu kesatuan. Tegasnya, struktur lakon adalah tempat hubungan dan
fungsi dari adegan-adegan di dalam peristiwa-peristiwa dan di dalam
satu keseluruhan lakon.
Jadi, jika kita hendak mengkaji sebuah struktur naskah lakon, kita
harus memulai dengan unit dasar dari bangunan lakon, yaitu adegan.
a. Tema dan Amanat
Langkah pertama dan utama bagi seorang penulis naskah
lakon ialah menentukan temanya terlebih dahulu sebelum ia
memulai mengarang. Hal ini sangat penting karena tema berfungsi
sebagai pedoman dan arah kerja atau penggarapan lebih lanjut.
Untuk memilih materi yang akan dijadikan tema, sebaiknya
diperhatikan hal-hal berikut:
1. Tema naskah lakon hendaknya tidak bertentangan dengan dasar
falsafah negara yang berlaku (pancasila).
2. Tidak bertentangan dan melanggar UUD 1945 atau hukum-
hukum dan peraturan atau ketentuan yang berlaku di Indonesia.
3. Tidak memojokkan atau menyinggung salah satu agama, aliran
kepercayaan, atau adat istiadat yang diakui negara, serta
norma-norma susila.
4. Masalah-masalah diambil dari lingkungan kita sendiri.
5. Disamping memberikan hiburan, juga dapat memberikan
kegunaan atau manfaat, bahkan seringkali ditambah lagi dapat
menggerakkan pembaca ke kegiatan yang bertanggung jawab.
6. Masalah yang hendak dikemukakan memang mendesak dan
penting untuk dikemukakan.
7. Dapat memberi motivasi yang positif.
8. Bersifat pembaharuan
9. Dapat memperkaya daya imajinasi

Tema yang bagus, kaya akan pesan, tetapi jika teknik penyampaian
pesan tidak digarap dengan baik, yang terjadi seperti dakwah,
khotbah, atau indoktrinasi. Hal ini bertentangan dengan hakikat
drama, yaitu konflik atau tikaian.

Sedangkan amanat menurut Zaini (2016:63) adalah ajaran moral


atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui
karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara
implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan
dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh
menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara
eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan,
nasihat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan
utama cerita.

b. Alur (plot)
Alur cerita adalah jalinan peristiwa (baik linier maupun
nonlinier) yang disusun berdasarkan hukum kausal (sebab-akibat).
Jadi, alur drama adalah alur yang menganut hukum dramatik.
Artinya, tiap-tiap tahap dalam teknik pengaluran merupakan
konsekuensi yang menimbulkan gerak atau lakuan dramatik dalam
lakon. Semua gerak atau lakuan yang terjadi di atas pentas
hendaknya dilakukan dengan wajar.
Naskah lakon yang baik hendaknya memiliki alur dramatik.
Struktur alur dramatik sebuah lakon umumnya memiliki lima
tahapan:
1. Eksposisi, perkenalan, atau introduksi.
2. Penggawatan atau perumitan (complication).
3. Klimaks atau puncak.
4. Peleraian (resolution).
5. Penutupan atau kesimpulan.
c. Penokohan
Tokoh sentral dalam sebuah lakon merupakan perwujudan
dari gerak dramatik yang membangun suatu struktur dramatik.
Lewat penokohan pula kita bisa mengetahui watak diri, watak
tokoh lain, peristiwa-peristiwa yang mendahului, peristiwa-
peristiwa yang sering terjadi, dan peristiwa-peristiwa yang akan
datang.
Tarigan (1984:76) menyebutkan bahwa suatu lakon perlu
singkat dan padat, maka sang dramawan haruslah dapat memotret
para pelakunya dengan tepat dan jelas untuk menghidupkan
impresi. Demi tujuan itulah maka sang pengarang mempergunakan
beberapa jenis pelaku atau aktor yang biasa dipergunakan dalam
teater. Beberapa diantaranya adalah :
a. The foil: tokoh yang kontras dengan tokoh lainnya, tokoh yang
membantu menjelaskan tokoh lainnya.
b. The type character: tokoh yang dapat berperan dengan tepat
dan tangkas. Kemampuan tokoh serba bisa, inilah yang
membuat tokoh individual yang sebenarnya itu semakin
menjadi luar biasa, semakin menarik hati.
c. The static character: tokoh statis, yang tetap saja keadaannya,
baik pada awal maupun pada akhir suatu lakon. Dengan kata
lain tokoh ini tidak mengalami perubahan.
d. The character who develops in the course of the play: tokoh
yang mengalami perkembangan selama pertunjukan.
d. Setting
Istilah setting sering diterjemahkan latar, tapi pengertian
setting tidak hanya mencakup latar, tetapi mencakup aspek ruang,
waktu, dan dalam keadaan apa action ditempatkan. Aristoteles
mengemukakan “trilogi kesatuan” dalam lakon, yaitu kesatuan
ruang, waktu, dan gerak (terjadinya peristiwa).
Teknik penggambaran ruang atau latar berbeda antara
drama panggung, radio, televisi, dan film. Teknik penulisan naskah
lakon, dekorasi, teknik panggung, dan teknik perlengkapan atau
penunjang panggung yang lain, harus disesuaikan dengan kekhasan
dan situasi serta kondisi media pementasan yang akan
dipergunakan.
2. Tekstur Naskah Lakon
Prinsip struktur naskah memberi kesan adanya satu kesatuan.
Naskah lakon yang aspek teateralnya menonjol mengesankan adanya
suatu kesan seperti ini hanya dapat ditimbulkan oleh prinsip tekstur,
yaitu prinsip keselarasan bagian-bagian atau unsur-unsur yang
mendukungnya.
Menurut Satoto (2012:16) unsur-unsur pendukung aspek tekstur
dalam lakon, yang dapat memberi keselarasan teateral misalnya musik,
koor, gerak, tari, dan diksi.
A. Musik
Pengertian musik disini tidak hanya sebagai pengiring atau
ilustrator, tetapi termasuk juga bunyi-bunyi yang memberi dampak
musikalitas, dapat berupa suara angin, suara burung, suara katak,
suara hujan rintik-rintik, suara rumput yang bergoyang, suara
langkah sepatu kaki berjalan, suara tepuk tangan, dan sebagainya.
B. Koor
Koor memberikan penekanan pada inti “gestik” (isyarat
atau gerak tangan, gesture), yaitu harapan yang harus disikapinya
oleh seluruh tokoh dalam lakon.
C. Gerak
Struktur lakuan dramatik atau gerak dramatik diwujudkan
oleh tokoh sentral. Hal ini tidak hanya bersifat fisik atau visual.
Yang penting, gerak dramatik harus berakibat pada tokoh sentral
yang membina kesatuan alur dramatik. Disini berfungsi membina
keselarasan dramatik.
D. Tari
Musik dan gerakan-gerakan geografis merupakan
pengalaman ekspresi yang sulit diucapkan lewat media bahasa.
Dalam hal demikian, teater memanfaatkan “gestik” (gerak dan
isyarat).
E. Diksi
Dalam arti luas, diksi bukan hanya pilihan kata, tetapi
meliputi juga bahasa kias, citraan, saran-saran retorika, dan saran
apa saja yang berhubungan dengan penggunaan kata dalam bahasa
secara tepat guna dan berdaya guna.
Dalam drama, diksi sering diartikan kemampuan tokoh
(pemain) memberi isi yang terkandung dalam naskah lakon melalui
media bahasa, wacana, kalimat, kelompok kata, kata dengan
intonasi yang tepat, sesuai dengan suasana dan nada dasar naskah
lakon. Dalam hal ini, penulis naskah lakon hendaknya
memperhitungkan pemanfaatan dan kmungkinan pelaksanaan diksi
tersebut.

C. Macam-Macam, Jenis, dan Bentuk Naskah Lakon


Satoto (2012:17-20) menyebutkan bahwa jika dilihat dari media
pementasannya, jenis drama dapat dibedakan dalam empat macam, yaitu:
1. Drama panggung
Drama panggung lebih menekankan pada aspek pendengaran,
penglihatan, dan bauan atau tiga dimensi.
2. Drama Radio
3. Drama Televisi
Pada tahun 1980, TVRI menyelenggarakan “ceramah dan Diskusi
Penulisan Naskah Drama Televisi”. Beberapa naskah lakon drama
televisi yang menjadi pemenang dan disajikan dalam lomba penulisan
naskah lakon drama televisi tersebut kini telah didokumentasikan
kedalam buku yang berjudul Serba Serbi Penyelenggaraan Ceramah,
Diskusi dan Sayembara Penulisan Drama Televisi Tahun 1980.
4. Drama Film
Naskah lakon drama film sering disebut skenario film. Setiap penulis
skenario film berbeda teknik dari gaya penulisannya. Namun, pada
dasarnya ada aturan atau pedomannya. Untuk mengetahui bermacam-
macam teknik dan gaya penulisan skenario film, tidak mungkin hanya
melihat pemutaran filmnya.

D. Teknik Penulisan Naskah Lakon


Sesuai dengan media pementasannya, berbeda pula teknik
penulisan dan penggarapan antara naskah lakon drama panggung, drama
radio, drama televise, dan drama film. Perbedaan itu terutama terletak pada
penekanannya jika dilihat dari segi audience (public atau penonton).
Naskah lakon drama panggung hendaknya memberi kemungkinan sebesar-
besarnya citraan lihatan, citraan dengaran, dan citraan ciuman atau rabaan
tersebut. Struktur naskah lakon (tema&amanat, alur, perwatakan, dan
setting) hendaknya disesuaikan dengan kemungkinan-kemungkinan
pemanggungannya. Naskah lakon pada panggung terbuka berbeda dengan
penggung tertutup. Naskah lakon panggung terbuka bentuk arena berbeda
dengan bentuk cicin (0), tapal kuda (U), bentuk I, bentuk U, setengah
lingkaran dan sebagainya (terutama jika dilihat dari segi penggarapannya).
Drama hanya bisa disaksikan melalui citraan dengan naskah lakon.
Drama radio harus lebih banyak menampilkan efek (effect) dengaran,
misalnya bunyi pintu dibuka, bunyi langkah sepatu, bunyi pintu
dihentakkan, bunyi piring pecah, ilustrasi musik yang memberi efek
makna lakon, dan sebagainya. Pendek kata, visualisasi naskah lakon harus
bisa diganti auditivikasi naskah lakon.
Drama televisi bisa dilihat dan didengar, tetapi tidak bisa diraba
dan dicium. Penonton menyaksikan drama televisi secara langsung
(indirect). Artinya penonton hanya melihat gambar pementasan melalui
layar televisi dengan bantuan alat-alat elektronik.

Skenario (Drama Film)


Hasil penulisan scenario film tidak dapat digariskan ke dalam suatu
hasil karya sastra. Menulis scenario film bukanlah sekaar mengemukakan
keindahan bahasa, tetapi bagaimana caranya mengemukakan suatu
rangkaian gambar yang menggambarkan suatu peristiwa, dan sisusun
sedemikian rupa sehingga ia merupakan suatu rangkaian gambar yang
dapat bercerita “langsung” melalui layar putih/ kepada para
penontonnya.menurut Soelarko (dalam Wiyanto, 2002:22) mengemukakan
bahwa scenario adalah bentuk cerita yang diadaptasi untuk perfilman yang
penyajiannya mempunyai kemampuan-kemampuan yang lebih dari cerit
panggung. Akan tetapi, juga mempunyai batas-batas kemampuan.
Jika seorang penulis naskah drama panggung harus bisa berfikir
secara teatrik, maka seorang penulis scenario (drama film) harus bisa
berfikir secara fismis.

E. Teknik Penggarapan Naskah Lakon


Pergelaran (pementasan, pemanggungan, pemuatan) teater atau film
pada dasarnya adalah visualisasi naskah lakon bagaimanapun bentuknya.
Istilah visualisasi naskah lakon hendaknya tidak diartikan secara
sempit hanya memperlihatkan (memvisualisasikan) naskah lakon, tetapi
harus diartikan mempublikasikan, pempertontonkan. Penonton dapat saja
menikmatinya dengan indra matanya atau citraan lihatan visual imagery),
indera telinganya atau citraan dengaran (audiotory imagery), gabungan
indera telinga dan matanya (audio visual imagery), atau citraan lainnya.
Seorang penulis naskah hendaknya mempertimbangkan dan
memperhitungkan dengan citraan apa penonton nanti “bakal” / akan
menikmati visualisasi naskahnya. Untuk keperluan itu penulis naskah
lakon hendaknya memahami teknik-teknik khusus berkenaan dengan
citraan apa yang ditekankan. Sehingga penggarapan naskah tidak harus
lebih berpayah-payah lagi mengubah naskah lakon dengan citraan lihatan
kedalam citraan dengaran misalnya, penggarapan naskah lakon tinggal
menentukan teknik mana yang tepat untuk menjadikan naskah lakon
dengan citraan dengaran (drama radio) bisa sampai dengan baik kepada
penontonnya. Dengan kata lain, “penonton” drama radio bisa menikmati
lakon dengan “membaca” naskah lakonnya dengan telingannya, misalnya
naskah lakon yang berbunyi, “karena terkejutnya, piring itu lepas dari
tangannya, jatuh dan pecah.”. cukup ditulis . “suara piring pecah karena
jatuh dari tangannya.”. sedang penggarap naskah lakon tidak harus
menjadikan piring baru dan utuh untuk dijatuhkan oleh pemainnya, tetapi
cukup pecahan piring/ kaca yang diajtuhkan oleh orang lain atau pembantu
tepat pada waktunya. Begitu juga suara langkah sepatu diatas batu
krikil/pasir, cukup meletakan batukrikil dan pasir didalam bak kecil,
pembantu mengijak-ijak dengan sepatunya. Pendek kata, dengan teknik
penggarapan naskah lakon drama radio kita butuhkan efek bunyi sesuai
dengan apa yang kita kehendaki.
Dalam naskah lakon drama panggung, penulis naskah sering memberi
“pendanda pementasan”. Dengan demikian, penggarap naskah tersebut
dibawah pimpinan sutradara dengan mudah menyesuaikan. Akan tetapi,
ada penulis yang sengaa tidak mencantumkan “penanda pementasan”,
bahkan tidak secara eksplisit mencantumkan babak dan adegan keberapa.
Dengan demikian, sutradara dan segenap penggarap naskah lakon dengan
bebas dan leluasa untuk menafsirkannya. Tentang mana yang lebih baik,
itu bergantung situasi dan kondisinya. jika sutradara dan seluruh pekerja
(crew) teater punya pengalaman dan kreativitas tinggi, model kedualan
yang baik tetapi bagi sutradara/penggarap pemula,.
Diindonesia ini, terasa masih sangat kurang tersedianya naskah-
naskah lakon yang baik dan siap pakai. Ini membutuhkan tangan-tangan
penggarap yang punya pngalaman luas, kaya daya kreasi, dan trampil.
Caranya hanya dengan bekerja dan bekerja,latihan dan latihan. Itulah yang
oleh putu wijaya dan Danarto bahwa kerja teater adalah proses-proses-
proses-proses-proses-proses-proses-proses.
Dibawah ini penulis kutipan “penanda pementasan” dalam naskah
lakon drama panggung :
1. Pada awal babak pertama sebagai prolog
1948
Wajah sebuah kota kecil bernama kota tengah, sudah mati. Tentara
dan kesatuan-kesatuan laskar sudah menarik diri jauh ke perbatasan Kota
kecil itu sdah menjadi kora terbuka. Tinggal menanti saat-saat diambil alih
tentara musuh. Tapi disebuah rumah tembok disalah satu sudut jalan,
nampak gerak hidup yang dramatis. didalamnya masih ada lima orang.
Seorang perempuan dan empat orang lelaki. Keempat lelaki itu adalah
tamu. Yang perempuan adalah pemlik losmen. Ia berparas lumayan, manis
dengan potongan tubuh yang laras. Berumur dua puluh lima tahun, tidak
bersuami.
Lelaki yang pertama seorang seniman. Ia seorang penyair yang belum
terkenal , seorang pengembara, lontang-lantung. Berumur duapuluh empat
tahun.
Lelaki yang kedua, seorang petualang. Lelaki yang ketiga, seoarang
politikus. Dan lelaki yang keempat seorang pedagang. Dalam keadaan
yang gawat tegang itu, hanya sipenyair yang berani keluar untuk
memperoleh kabar berita.
PEREMPUAN : sudah kuduga bung tentu pulang dengan selamat, seperti
kemari kalau bung keluar, aku selalu cemas-cemas harap. Siapa tahu, bung
ditimpa malang. Maklumlah dalam keadaan begini, ada peluru yang jatuh
salah alamat.
PENYAIR : itulah yang menjadi aku kagum.
..
(dikutip dari domba-domba Revolusi, B soelarto, 1975:9-10)
2. Penanda pementasan yang terdapat pada akhir Bab
...
Yang KELAM : Rombongan lenong,Mak ?
EMAK : Tentu. Tentu. Semuanya. Semuanya.
WULAN : Saya yang menyanyi.
Ketika terdengar koor KELOMPOK KAKEK ketiganya menyingkir.
KELOMPOK KAKEK lewat.
IYEM muncul membawa canting mendekat ABU LAYAR.
(Dikutip dari Kapal-kapal, Arifin C. Noer, 1979:65)
3. Penanda Pementasan yang terdapat di Antara Adegan
...
ISTRI : (berseru) cokro!!! Cokro!!! (kedengaran suara menyahut jauh).
Jemuran nasi pindah! Bikin air panas lagi !! Telor ayam ambil ! jangn
lepas yang putih! (jawab kedengaran dikejauhan hendak ngomong., tetapi
suaminya melihat kedepan dan lalu berdiri)
SUAMI : itu datang
(mereka bersikap menerima).
...
(Dikutip dari dag-dig-dug, Putu Wijaya,1975:11)
4. Penanda pementasan yang lain
Apa yang dikemukakan dalam nomor 1-3 merupakan penanda
pementasan yang sudah terlazim. Karenanya, teknik penggarapannya pun
tidak mengalami kesulitan.
Dibawah ini, dikutikan penafsiran yang lebih kreatif dari
penggarapannya. Yang dimaksud penanda pementasan yang lain tersebut
diatas antara lain :
a. “perjalanan kehilangan” sebuah naskah lakon drama panggung buah
karya Noorca Marendra.
b. “naskah” lakon drama panggung yang berjudul “RE” karya Akhudiat
pada halaman cover Tertulis.

1. Hakikat, fungsi, dan sifat Naskah lakon


a. Pementasan drama merupakan konkretisasi naskah (visualisasi naskah,
auditivikisai naskah, atau audiovisualisasi naskah ) dan lazimnya
disebut saja visualisasi
b. Naskah lakon berfungsi sebagai sarana pertama dan utama terbukanya
kemungkinan dalam proses pemerintahan.
c. Sifat naskah lakon yang baik ilah kaya akan ide-ide baru, baik dilihat
dari segi filsafat, ipoleksosbudhankam, dan asli (bukan tiruan),
2. Struktur dan Tekstur Naskah Lakon
a. Struktur adalah tempat, hubungan, dan fungsi dari adegan-adegan
didalam peristiwa-peristiwa dan disatu keseluruhan lakon. Adapun
unsur-unsurnya terdiri dari berikut ini :
1) Tema dan amanat
 Tema berupa pokok pikiran atau dasar sutau cerita yang
dipersoalkan atau permasalahan serta dicari jawabnya yang
datangnya dari pembaca/penonton.
 Amanat atau pesan (message) ialah materi yang terkandung
dalam tema untuk disampaikan kepada pembaca/penonton
yang datangnya selalu dari pencipta maupun penyaji.
2) Alur (Plot) cerita adalah jalinan peristiwa (baik linear maupun
nonlinear) yang disusun berdasarkan hukum kausal sebab
akibat.
3) Penokohan (karakteristik, perwatakan) dalam sebuah lakon
merupakan perwujudan dari pada gerak dramatik yang
membangun suatu struktur dramatik.
4) Pengertian setting mencakup tidak hanya aspek latar, tetapi
juga mencakup aspek ruang, waktu, dan dalam keadaan apa
action ditempatkan (cf. Grimes,1975:51)
b. prinsip tekstur yaitu prinsip keselarasan bagian-bagian atau unsur-
unsur pendukung yang dapat memberi keselarasan teateral misalnya
musik, koor, gerak, tari, dan diksi.
3. Jenis drama
a. Drama panggung
Lebih menekankan pada aspek dengaran, lihatan dan bauan, atau tiga
dimensi (dimensi ruang)
b. Dramaa radio
Lebih menekaan pada aspek dengaran (auditivje)
c. Drama televisi dan drama film dalam ukuranj yang berbeda. Lebjih
menekankan pada aspek dengaran dan lihatan(audio visual), atau dua
dimensi(dimensi luar)
4. Teknik penulisan naskah lakon
a. Naskah lakon drama panggung hendaknya memberi kemungkinan
sebesar-besarnya bagi citraan lihatan, citraan dengaran, dan ciuman
atau rabaan.
b. Naskah lakon drama radio harus lebih banyak menampilkan efek
dengaran. Visualisasi naskah lakon harus bisa diganti auditivikasi
naskah lakon.
c. Penonton menyaksikan drama televisi hanya dengan mendengar dan
melihat gambar pementasannya melalui layar televisi dengan bantuan
alat-alat elektronik.
d. skenario film bukanlah sekadar mengemukakan keindahan bahasa,
tetapi bagaimana caranya mengemukakan suatu rangkaian gambar
yang menggambarkan suatu peristiwa dan disusun sedemikian rupa
sehingga ia merupakan suatu rangkaian gambar yang dapat bercerita
”langsung” melalui layar putih/kepada penontonnya.
5. Producer
Pemimpin perusahaan produksi film yang bertanggung jawab atas
pendanaan seluruh biaya produksi.
6. Director atau sutradara
Pemimpin dari suatu produksi yang (terutama) bertanggung jawab
tentang mutu pembuatan ffilm(product) sebagi hasil karya seni kolektif.
7. Aktor dan aktris
Pemeran watak tokoh dalam skenario yang biasanya hanya mendapat
priefing dari sutradara tentang perwatakan (character)
8. Tugas cameraman dan crew
Pembuat catatan-catatan yang ditulis didalam script, yaitu mengenai
pemotretannya, sudut pengambilannya, kamera jenis atau tipe apa yang
hendak dipakai, apakah dia perlu menggunakan “dolly” atau “crane” dan
sistem tata cahaya (lighting) untuk mendapatkan efek yang diperlukan
sesuai dengan adegan-adegan yang dilukiskan damendapatkanatau
skenario.
9. Art director (penata artistik)
Mengkoordinasi tugas para ahli tata rias, tata rambut, tata busana, tata
perlengkapan, tukang untuk “special effect”. Dan sebagainya yang turut
mengikuti dalam pembicaraan visualisasi naskah atau script (skenario)
10. Visualisasi adalah usaha untuk menempatkan sesuatu yang pada dasarnya
tidak tampak untuk kepentingan jalannya cerita (agar supaya menjadi
konkret dan jelas)

KESIMPULAN

Seni drama diwujudkan dari berbagai bahan dasar karena dalam seni
drama terkandung seni-seni yang lain. Drama sebagai karya seni, yaitu seperti
dibawah ini.

1. Drama termasuk salah satu jenis seni atau lengkapnya seni drama karna
didalamnya terdapat berbagai keindahan yang dapat dinikmati penonton.
2. Drama adalah satu-satunya jenis seni yang paling kompleks karena untuk
mewujudkannya perlu melibatkan berbagai seniman, seperti sastrawan,
pemain, komponis, dan pelukis.
3. Drama merupakan perpaduan berbagai jenis seni yang membentuk satu
kesatuan yang utuh.

Naskah lakon merupakan sumber cerita yang harus ditafsirkan oleh


seluruh kerabat kerja teater sebelum dipentaskan. Jadi, naskah lakon berfungsi
sebagai sarana pertama dan utama terbukanya kemungkinan proses pementasan.

Satoto (2012:17-20) menyebutkan bahwa jika dilihat dari media pementasannya,


jenis drama dapat dibedakan dalam empat macam, yaitu:

1. Drama panggung
Drama panggung lebih menekankan pada aspek pendengaran,
penglihatan, dan bauan atau tiga dimensi.
2. Drama Radio
3. Drama Televisi
Beberapa naskah lakon drama televisi yang menjadi pemenang dan
disajikan dalam lomba penulisan naskah lakon drama televisi tersebut
kini telah didokumentasikan kedalam buku yang berjudul Serba Serbi
Penyelenggaraan Ceramah, Diskusi dan Sayembara Penulisan Drama
Televisi Tahun 1980.
4. Drama Film
Naskah lakon drama film sering disebut skenario film. Setiap penulis
skenario film berbeda teknik dari gaya penulisannya. Namun, pada
dasarnya ada aturan atau pedomannya. Untuk mengetahui bermacam-
macam teknik dan gaya penulisan skenario film, tidak mungkin hanya
melihat pemutaran filmnya.

REFERENSI

Luxemburg, Jan Van. Dkk. 1982. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia.

Satoro, Satoto. 2012. Analisis Drama dan Teater. Yogyakarta: Ombak Dua.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Wiyanto, Asul. 2002. Terampil Bermain Drama. Jakarta: PT Grasindo.

Zaini, Satoto. 2016. Seni Teater. Pekanbaru: Frame Publishing.

Anda mungkin juga menyukai