Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini banyak permasalahan remaja yang berkaitan dengan kesehatan

reproduksi dan semuanya berakar dari kurangnya informasi, pemahaman, dan

kesadaran untuk mencapai keadaan sehat secara reproduksi. Banyak remaja yang

menunjukkan perilaku yang positif dan berprestasi di berbagai bidang,

namunbanyak juga dari mereka yang berperilaku negatif seperti merokok,

penggunaan napza, tawuran, adanya tindakan aborsi, seks bebas yang dapat

menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit menular lainnya.

Untuk itu diperlukan pemahaman mengenai pemeliharaan kebersihan alat

reproduksi, proses-proses reproduksi serta dampak dari perilaku yang tidak

bertanggung jawab seperti kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, dan penyakit

menular seksual lainnya yang sampai saat ini belum dapat untuk dipecahkan

(Irianti dan Herlina,2012).

Remaja merupakan sumber daya manusia (SDM) yang paling potensial

sebagai tunas dan penerus bagi bangsa. Menurut WHO 2011 menunjukan satu

dari lima manusia yang hidup di dunia ini adalah remaja (Usia 10-19 tahun) dan

85% berada di negara berkembang. Oleh sebab itu masa remaja perlu diperhatikan

secara serius agar dapat menjadi manusia yang mempunyai daya guna yang berarti

bagi suatu bangsa serta dapat meningkatkan kualitas dan kemampuannya yang

maksimal.

1
Remaja yang memasuki masa peralihan, memiliki pengetahuan yang

kurang tentang hubungan seksual pranikah. Hal ini disebabkan karena orang tua

merasa tabu membicarakan masalah seksual dengan anaknya dan hubungan orang

tua anak menjadi jauh sehingga anak berpaling ke sumber-sumber lain yang tidak

akurat khususnya teman (Sarwono, 2006).

Sikap seksual pranikah remaja dapat dipengaruhi oleh banyak hal, selain

dari faktor pengetahuan juga dipengaruhi oleh faktor kebudayaan, media masa,

pengalaman pribadi, lembaga pendidikan, lembaga agama dan emosi dari dalam

diri individu (Azwar, 2009). Salah satu faktor masalah seksualitas pada remaja

terjadi perubahan-perubahan hormonal yang meningkat hasrat seksual (libido

seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran

dalam bentuk tingkah laku tertentu. Penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan

karena adanya penundaan usia perkawinan. Selanjutnya remaja akan berkembang

lebih jauh terhadap hasrat seksual kepada tingkah laku yang lain seperti

berciuman dan masturbasi. Kecenderungan semakin meningkat oleh karena

adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang

dengan adanya teknologi canggih (video cassette, fotokopi, satelit, VCD, telepon

genggan, internet dan lain-lain) menjadi tidak terbendungnya lagi yang sedang

dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba tindakan perilaku seksual (Sarwono,

2011).

Data WHO (2011) menunjukkan 44 % wanita dan lebih dari 70% pria usia

remaja mengaku pernah melakukan hubungan seksual. Dari hasil Survei

Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 mengenai hubungan

2
seksual pranikah, bahwa jumlah presentase wanita menyetujui hubungan seksual

pranikah sangat rendah di banding kan pria, hanya 1% dari responden wanita dan

4% dari responden pria mengatakan boleh melakukan hubungan seksual sebelum

menikah.

Berdasarkan data WHO (2011) yang melakukan penelitian dibeberapa

Negara berkembang menunjukkan 40% remaja pria umur 18 tahun dan remaja

putri umur 18 tahun sekitar 40% telah melakukan hubungan seks meskipun tanpa

ada ikatan pernikahan. Akibat dari hubungan seksual pranikah, sekitar 12% telah

positif terkena Penyakit Menular Seksual, sekitar 27% positif HIV, dan 30%

remaja putri telah hamil, setengah dari mereka melahirkan namun setengahnya

lagi melakukan aborsi.

Jones (2005), mengatakan dalam 20 tahun terakhir terdapat peningkatan

jumlah remaja putri yang berhubungan seks pranikah di Inggris, Amerika Serikat,

Kanada dan Australia. Sekitar 17% remaja putri berhubungan seks pranikah

sebelum usia 16 tahun dan ketika usia 19 tahun, tiga perempat remaja putri satu

kali melakukan seks pranikah.

Hasil penelitian BKKBN (2007), terhadap lima kota besar di Indonesia

menemukan bahwa Jawa Barat diwakili kota Tasikmalaya dan Cirebon :

Tasikmalaya 17% remaja mengaku sudah melakukan hubungan seks pranikah dan

6,7% remaja Cirebon mengaku menganut seks bebas. Di Bandung sendiri temuan

penelitian BKKBN menyebutkan, sekitar 21-30% remaja melakukan hubungan

seks pranikah, menyamai DKI Jakarta dan Yogyakarta. Sedangkan di Cianjur

3
42,3% pelajar melakukan hubungan seks pranikah dengan lebih dari satu

pasangan.

Dari hasil survei BKKBN tahun 2010 di 33 provinsi di Indonesia sebanyak

63% remaja mengaku sudah melakukan hubungan seksual sebelum menikah.

Penelitian yang dilakukan oleh SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan

Indonesia) menunjukkan sekitar 16,9% wanita setuju untuk melakukan hubugan

seks pranikah dan sekitar 12,4% pria yang setuju. Sekitar 11% pada pria yang

tidak tamat SD menyetujui hubungan seks pranikah sedangkan 8,8% pria yang

tamat SMTA setuju terhadap seks pranikah. Disisi lain, sekitar 4,9 % wanita tidak

tamat SD menyetujui seks pranikah dan 4,5% wanita yang tamat SMTA setuju

terhadap seks pranikah. Suatu penelitian yang dilakukan di salah satu perguruam

tinggi negeri di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian remaja telah melakukan

hubungan seks pranikah berupa, kissing 66,8%, necking 52%, petting 29,2%, oral

seks 25,6%, intercourse 20,4% dan anal seks sebanyak 6,8%.

Pengetahuan yang rendah akan mempengaruhi sikap remaja dalam

bersikap mengenai seks pranikah disertai dengan kuatnya pengaruh teman sebaya

pada usia remaja, menjadikan remaja mempunyai tindakan seksual yang tidak

sehat yang pada akhirnya mendekatkan mereka kepada resiko terinfeksi berbagai

macam penyakit menular seksual, termasuk didalamnya HIV dan AIDS

(Sulistianingsih, 2010).

Berdasarkan data dan uraian diatas, ternyata kejadian perilaku seks

pranikah seperti phenomena gunung es yang hanya menunjukkan sebagian kecil

dari kasus yang sebenarnya, tidak terlihat dari luar namun insidensinya terus

4
meningkat. Ditambah lagi dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat

menyodorkan terbukanya kesempatan penyalahgunaan teknologi di daerah yang

sangat mudah menjangkau sumber informasi seperti kota Mataram. Untuk itu

maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap, dan

perilaku remaja terhadap tindakan hubungan seksual pranikah pada siswa SMP

dan sederajat di wilayah puskesmas Ampenan.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan pengetahuan dan sikap remaja terhadap tindakan

hubungan seksual pranikah pada siswa SMP di wilayah kerja Puskesmas

Gunungsari ?

1.3 Tujuan Penelitan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap remaja terhadap

tindakan hubungan seksual pranikah pada siswa SMP di wilayah kerja Puskesmas

Gunungsari.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan tentang hubungan seksual

pranikah pada siswa SMP di wilayah kerja Puskesmas Gunungsari.

2. Untuk mengetahui sikap tentang hubungan seksual pranikah pada

siswa SMP di wilayah kerja Puskesmas Gunungsari.

5
3. Untuk mengetahui perilaku tentang hubungan seksual pranikah pada

siswa SMP di wilayah kerja Puskesmas Gunungsari.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Untuk menambah pengetahuan peneliti tentang bagaimana perilaku

seksual remaja terutama hubungan seksual pranikah pada siswa smp

dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Gunungsari dan sebagai

wahana dalam menerapkan ilmu metodelogi penelitian yang telah

didapatkan dalam kuliah

2. Bagi sekolah

Sebagai bahan masukan bagi smp dan sederajat di wilayah kerja

Puskesmas Gunungsari agar memberikan pendidikan seksual bagi

siswanya sehingga remaja memiliki pengetahuan dan sikap yang

bertanggung jawab mengenai kesehatan reproduksinya.

3. Bagi Puskesmas Gunungsari

Sebagai data yang dapat digunakan serta bahan masukan bagi

Puskesmas Gunungsari agar lebih intensif lagi dalam mengatasi

permasalahan seksualitas pada remaja

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif

mempunyai 6 tingkatan yaitu (Notoatmodjo, 2012):

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkatan ini adalah

mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifk dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima

2) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untukmenjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar.

3) Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

4) Analisis (analysis)

7
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5) Sintesis (syntesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap sutu materi atau objek.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo

(2012) yaitu:

1) Sosial ekonomi

Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang,

sedang ekonomi dikaitkan dengan pendidikan, ekonomi baik tingkat

pendidikan akan tinggin sehingga tingkat pengetahuan akan tinggi juga.

2) Kultur (budaya, agama)

Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang,

karena informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai tidak

dengan budaya yang ada dan agama yang dianut.

3) Pendidikan

Semakin tinggi pendidikan maka ia akan mudah menerima hal-hal

baru dan mudah menyesuaikan dengan hal yang baru tersebut.

8
4) Pengalaman

Berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, bahwa pendidikan yang

tinggi maka pengalaman akan luas, sedangkan semakin tua umur

seseorang maka pengalaman akan semakin banyak.

2.2 Sikap

2.2.1 Pengertian Sikap

Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri.

Orang lain, objek atau isu (Azwar, 2005). Sikap adalah merupakan reaksi atau

respon seseorang yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulasi atau objek

(Notoatmodjo, 2003).

2.2.2 Ciri-ciri Sikap

1. Sikap bukan dibawa sejak lahir melahirkan dibentuk atau dipelajari

sepanjang perkembangan itu dalam hubungan dengan objek.

2. Sikap dapat berubah-ubah karena sikap itu dapat dipelajari dan sikap dapat

berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat

tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu

terhadap objek.

4. Objek sikap itu merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan

kumpulan dari hal-hal berikut.

9
5. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat alamiah

yang membedakan sikap dan kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan

yang dimiliki orang.

2.2.3 Komponen Sikap

Struktur sikap terdiri atas 3 komponan utama yaitu (Neil, 2000) :

1. Komponen Afektif merupakan komponen yang berhubungan dengan

perasaan dan emosi tentang seseorang atau sesuatu.

2. Komponen Kognitif merupakan pemikiran atau kepercayaan tentang

seseorang atau sesuatu objek.

3. Komponen Prilaku merupakan sikap yang terbentuk dari tingkah lau

seseorang.

2.2.4 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Menurut Azwar (2005) dalam Wawan dan Dewi (2010), faktor- faktor

yang mempengaruhi sikap keluarga terhadap objek sikap antara lain :

1. Pengalaman Pribadi

Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi

haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih

mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi

yang melibatkan faktor emosional.

2. Pengaruh Orang Lain yang di Anggap Penting

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis

atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Keinginan untuk

10
berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang

dianggap penting tersebut.

3. Pengaruh Kebudayaan

Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita

terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota

masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman

individu-individu masyarakat asuhannya.

4. Media Massa

Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi

lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara objektif

cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh

terhadap sikap konsumennya.

5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama

sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah mengherankan jika kalau

pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.

6. Faktor Emosional

Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari

emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau

penglihatan bentuk mekanisme pertahanan ego.

2.2.5 Tingkatan Sikap

Sikap terdiri dari berrbagai tingkatan yakni (Notoatmodjo, 2003) :

11
1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang (subyek) mau dan memperhatikan

stimulasi yang diberikan (obyek).

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi karena dengan suatu usaha

untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang

lain terhadap suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga. 

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi.

2.3 Remaja

2.3.1 Pengertian Remaja

Remaja atau adolescene berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti

“tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” istilah ini mencakup kematangan

mental, emosional, sosial dan fisik (Rahmawati, 2006) Menurut Piaget (dalam

Hurlock, 1999) secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu

berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Masa remaja adalah usia dimana anak

tidak lagi merasa di bawah tingkat orang dewasa melainkan berada dalam tingkat

yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat,

12
mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber.

Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok, transformasi yang khas dari

cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan

sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari

periode perkembangan (Rahmawati, 2006).

Sedangkan pada tahun 1974, WHO memberikan defenisi tentang remaja

lebih konseptual. Dalam defenisi tersebut dikemukakan kriteria yaitu biologis,

psikologis dan sosial ekonomi. Remaja adalah suatu masa dimana:

1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda

seksual sekundernya sampai ia mencapai kematangan seksual.

2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari

kanak-kanak menjadi dewasa.

3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada

keadaan yang relatif lebih mandiri.

Ditinjau dari kesehatan WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai

batasan usia remaja (Rahmawati, 2006).Sementara itu defenisi remaja untuk

masyarakat Indonesia yang dikutip dalam Sarwono (2000) adalah menggunakan

batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah dengan pertimbangan sebagai

berikut:

1. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual

sekunder mulai tampak (kriteria fisik).

13
2. Dibanyak masyarakat Indonesia, usia dianggap akil balik, baik menurut

adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan

mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial).

3. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan

jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erik Erikson),

tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (Freud) dan

tercapainya puncak perkembangan kognitif (Piaget) maupun moral

(Kohilberg) (kriteria psikologis).

4. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal yaitu untuk memberi

peluang bagi mereka sampai batas usia tersebut masih menggantungkan

diri kepada orangtua.

5. Dalam defenisi di atas, status perkawinan sangat menentukan karena arti

perkawinan masih sangat penting dalam masyarakat kita secara

menyeluruh, seseorang yang sudah menikah pada usia berapa pun,

dianggap dan di perlakukan sebagai orang dewasa (Rahmawati, 2006).

2.3.2 Ciri-Ciri Remaja

Hurlock (1999) mengatakan ada delapan ciri-ciri remaja, yaitu:

1. Masa remaja sebagai periode yang penting

Dianggap periode yang penting karena fisik dan akibat psikologis.

Perkembangan fisik yang cepat penting disertai dengan cepatnya

perkembangan mental, terutama pada awal masa remaja. Semua

perkembangan ini menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan

perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.

14
2. Masa remaja sebagai periode peralihan

Dalam periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat

keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan

lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Status yangtidak jelas ini

menguntungkan karena status memberi waktukepadanya untuk mencoba

gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat

yang paling sesuai bagi dirinya.

3. Masa remaja sebagai periode perubahan

Ada lima perubahan yang dialami oleh remaja yaitu:

o Pertama, meningginya emosi

o Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh

kelompok sosial.

o Ketiga, remaja selalu merasa ditimbuni banyak masalah.

o Keempat, dengan berubahnya minat dan pola maka nilai-nilai berubah.

o Kelima, sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap perubahan.

4. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Ada dua hal yang menyebabkan kesulitan mengatasi masalah baik pria

maupun wanita, yaitu:

 Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian

diselesaikan oleh orangtua dan guru, sehingga banyak remaja tidak

berpengalaman dalam mengatasi masalah.

 Kedua, karena para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin

mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan dari orangtua dan guru.

15
5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Erik Erikson, yaitu masa mencari

identitas dari seperti usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya

dalam masyarakat.

6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan streotipe budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak

rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku

merusak, menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi

kehidupan remaja takut bertanggungjawab dan bersikap tidak simpatik

terhadap perilaku remaja normal.

7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistic

Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah

jambu. Ia melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang dia inginkan

dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang

tidak realistik ini hanya bagi dirinya juga bagi keluarga dan teman-

temannya, menyebabkan meningginya emosi yang merupakan cirri dari

awal masa remaja.

8. Masa remaja sebagai masa ambang dewasa

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja

menjadi gelisah untuk meninggalkan streotipe belasan tahun dan untuk

memberikan kesan bahwa mereka sudah ampir dewasa. Berpakaian dan

bertindak sebagai orang dewasa ternyata tidaklah cukup (Rahmawati,

16
2006).Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai

berikut:

a. Masa remaja awal (12-15 tahun)

Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak

dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan

tidak tergantung pada orangtua. Fokus dari tahap ini adalah

penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas

yang kuat dengan teman sebaya.

b. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)

Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang

baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting. Namun

individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self-directed).

Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangantingkah laku,

belajar mengendalikan impulsifitas, dan membuat keputusan-

keputusan awal yang berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin

dicapai. Selain itu penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi

individu.

c. Masa remaja akhir (19-22 tahun)

Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran

orang dewasa. Selama periode in remaja berusaha memantapkan tujuan

vokasional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan

yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman

17
sebaya dan orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini (Agustiani,

2006).

2.4 Hubungan Seksual Pranikah pada Remaja

2.4.1 Definisi

Pengertian seksual secara umum ialah suatu kondisi yang berkaitan

dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara hubungan

intim antara laki-laki dan perempuan. Hubungan seksual adalah perilaku yang

dilakukan sepasang invidu karena adanya dorongan seksual dalam bentuk

penetrasi penis ke dalam vagina. Perilaku yang dimaksud Intercourse/senggama,

tetapi ada juga penetrasi ke mulut (oral) atau ke anus. (Darmasih, 2009)

Sedangkan prilaku seksual pranikah merupakan segala tingkah laku yang

didorong oleh hasrat atau kemauan seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria

dan wanita diluar perkawinan yang sah. Definisi lain menyatakan bahwa prilaku

seksual pranikah adalah segala macam tindakan seperti bergandengan tangan,

berciuman sampai dengan bersenggama yang dilakukan dengan adanya dorongan

hasrat seksual yang dilakukan sebelum ada ikatan pernikahan yang sah, dan aturan

dalam budaya, keagamaan, dan kepercayaan yang berlaku. (Fitriyani, 2009)

2.4.2 Bentuk Hubungan Seksual Pra-nikah pada Remaja

Duvall, E.M & Miller, B.C (1985) mengatakan bahwa bentuk prilaku

seksual pranikah mengalami peningkatan secara bertahap. Adapun bentuk –

bentuk prilaku seksual tersebut adalah: (Widyastuti, 2009)

18
1. Touching

Berpegangan tangan, berpelukan.

2. Kissing

Berkisar dari ciuman singkat dan cepat sampai kepada ciuman yang lama

dan lebih intim.Cium sendiri terdapat dua tipe, yaitu:

a. Cium kering

Perilaku seksual cium kering berupa sentuhan pipi dengan pipi dan pipi

dengan bibir (Ginting, 2008). Dampak dari cium pipi bisa

mengakibatkan imajinasi atau fantasi seksual menjadi berkembang

disamping juga dapat menimbulkan keinginan untuk melanjutkan ke

bentuk aktifitas seksual lainnya yang lebih dapat dinikmati.

b. Cium basah

Aktifitas cium basah berupa sentuhan bibir dengan bibir. Dampak dari

cium bibir dapat menimbulkan sensasi seksual yang kuat dan

menimbulkan dorongan seksual hingga tidak terkendali, dan apabila

dilakukan terus menerus akan menimbulkan perasaan ingin mengulangi

nya lagi.

3. Petting

Menyentuh atau meraba daerah erotis dari tubuh pasangan biasanya

meningkat dari meraba ringan sampai meraba alat kelamin. Hal ini

merupakan suatu kegiatan meraba atau memegang bagian tubuh yang

sensitif seperti payudara, vagina dan penis. Dampak dari tersentuhnya

bagian yang paling sensitif tersebut akan menimbulkan rangsangan seksual

19
sehingga melemahkan kontrol diri dan akal sehat, akibatnya bisa

melakukan aktifitas seksual selanjutnya seperti intercourse.

4. Sexual Intercourse

Hubungan kelamin atau senggama dengan memasukan alat kelamin laki-

laki ke dalam alat kelamin perempuan.

Faktor menyebabkan remaja melakukan hubungan seksual pranikah:

(Darmasih, 2009)

1. Adanya dorongan biologis

Dorongan biologis untuk melakukan hubungan seksual merupakan insting

alamiah dari berfungsinya organ sistem reproduksi dan kerja hormone.

2. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan biologis

Mengendalikan dorongan biologis dipengaruhi oleh nilai-nilai moral dan

keimananseseorang. Remaja yang memiliki keimanan yang kuat tidak

akan melakukan hubungan seksual pranikah.

3. Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi

Kurangnya pengetahuan atau mempunyai konsep yang salah tentang

kesehatan reproduksi.

4. Pengalaman Seksual

Semakin banyak remaja mendengar, melihat dan mengalami hubungan

seksual maka semakin kuat stimulasi yang mendorong munculnya prilaku

seksual tersebut, misalnya melihat gambar – gambar porno diinternet

ataupun mendengar obrolan dari teman mengenai pengalaman seksual.

20
5. Adanya kesempatan untuk melakukan hubungan seksual pranikah

Terbukanya kesempatan pada remaja untuk melakukan hubungan seksual

didukung olehhal-hal sebagai berikut:

a. Kesibukan orang tua yang menyebabkan kurangnya perhatian pada

anak.

b. Pemberian fasilitas (termasuk uang) pada remaja secara berlebihan.

Adanya uang yang berlebihan membuka peluang bagi remaja untuk

membeli fasilitas. Misalnya menginap di hotel.

c. Pergeseran nilai-nilai moral dan etika dimasyarakat dapat membuka

peluang yang mendukung hubungan seksual pranikah Misalnya dewasa

ini pasangan remaja yang menginap dihotel adalah hal yang biasa,

sehingga tidak ditanyakan akte nikah.

d. Kemiskinan.

6. Kemiskinan

Mendorong terbukanya kesempatan bagi remaja khususnya puteri untuk

melakukan hubungan seksual pranikah.

2.5 Kesehatan Reproduksi

Secara sederhana reproduksi berasal dari kata “re” kembali dan

“produksi” membuat atau menghasilkan. Jadi reproduksi mempunyai arti suatu

proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidup.

Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh

21
bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala hal yang berkaitan

dengan fungsi, peran & sistem reproduksi (IDAI, 2013).

Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut

sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat

disini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun

juga sehat secara mental serta sosial kultural. Remaja perlu mengetahui kesehatan

reproduksi agar memiliki informasi yang benar mengenai proses reproduksi serta

berbagai faktor yang berhubungan. Dengan informasi yang benar, diharapkan

remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab mengenai proses

reproduksi (IDAI, 2013).

Menurut Sarwono dalam Sekarrini (2012), faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku seksual adalah:

1. Perubahan hormonal

Yaitu terjadinya perubahan seperti peningkatan hormone testosteron pada

laki-laki dan estrogen pada perempuan, dapat menimbulkan hasrat (libido

seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan

penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.

2. Penundaan usia perkawinan

Merupakan penyaluran hasrat seksual yang tidak dapat segera dilakukan

karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena

adanya undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia

minimal (sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki)

22
3. Norma-norma di masyarakat

Yaitu norma-norma agama tetap yang berlaku dimana seseorang dilarang

untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah, bahkan larangannya

berkembang lebih jauh kepada tingkah laku yang lain seperti berciuman

dan masturbasi. Remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat

kecenderungan untuk melanggar saja larangan-larangan tersebut. Norma

budaya dalam perilau seksual pranikah adalah tidak melakukan hubungan

seks sebelum menikah.

4. Penyebaran informasi melalui media massa

Merupakan kecenderungan pelanggaran semakin meningkat oleh karena

adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media

massa dengan adanya teknologi canggih (video cassette, foto copy, satelit

palapa, dan lain-lain) menjadi tidak tebendung lagi. Remaja yang sedang

dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat

atau didengarnya dari media massa, khususnya karena mereka pada

umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari

orang tuanya.

5. Tabu-larangan

Orang tua sendiri baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya

yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, tidak

terbuka terhadap anak sehingga cenderung membuat jarak dengan anak

dalam masalah seksual.

23
6. Pergaulan dan akses yang semakin mudah

Adanya kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara laki-laki dan

perempuan dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan

pendidikan wanita sehingga kedudukan perempuan makin sejajar dengan

laki-laki.

2.6 Infeksi Menular Seksual

2.6.1 Definisi Infeksi Menular Seksual

Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang penularannya terutama

melalui hubungan seksual yang mencakup infeksi yang disertai gejala-gejala

klinis maupun asimptomatis (Daili, 2009). Penyebab infeksi menular seksual ini

sangat beragam dan setiap penyebab tersebut akan menimbulkan gejala klinis atau

penyakit spesifik yang beragam pula. Penyebab IMS dapat dikelompokkan atas

beberapa jenis, yaitu: (WHO,2009)

- bakteri ( diantaranya N.gonorrhoeae, C.trachomatis, T.pallidum)

- virus (diantaranya HSV,HPV,HIV, Herpes B virus, Molluscum

contagiosum virus)

- protozoa (diantaranya Trichomonas vaginalis)

- jamur (diantaranya Candida albicans)

- ektoparasit (diantaranya Sarcoptes scabiei)

2.6.2 Penularan Infeksi Menular Seksual

Cara penularan IMS adalah dengan cara kontak langsung yaitu kontak

dengan eksudat infeksius dari lesi kulit atau selaput lendir pada saat melakukan

24
hubungan seksual dengan pasangan yang telah tertular. Lesi bisa terlihat jelas

ataupun tidak terlihat dengan jelas. Pemajanan hampir seluruhnya terjadi karena

hubungan seksual (vaginal, oral, anal).

Penularan IMS juga dapat terjadi dengan media lain seperti darah melalui

berbagai cara,yaitu:

- Transfusi darah dengan darah yang sudah terinfeksi HIV

- Saling bertukar jarum suntik pada pemakaian narkoba

- Tertusuk jarum suntik yang tidak steril secara sengaja/tidak sengaja

- Menindik telinga atau tato dengan jarum yang tidak steril,

- Penggunaan alat pisau cukur secara bersama-sama (khususnya jika terluka

dan menyisakan darah pada alat).

- Penularan juga pada terjadi dari ibu kepada bayi pada saat hamil, saat

melahirkan dan saat menyusui. Penularan karena mencium atau pada saat

menimang bayi dengan IMS kongenital jarang sekali terjadi.

2.6.3 Diagnosa Infeksi Menular Seksual

Pemeriksaan klinis pada IMS memiliki 3 prinsip yaitu anamnesa,

pemeriksaan fisik dan pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboratorium (Daili,

2009). Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan informasi penting terutama pada

waktu menanyakan riwayat seksual. Hal yang sangat penting dijaga adalah

kerahasiaan terhadap hasil anamnesa pasien. Pertanyaan yang diajukan kepada

pasien dengan dugaan IMS meliputi:

- Keluhan dan riwayat penyakit saat ini.

- Keadaan umum yang dirasakan.

25
- Pengobatan yang telah diberikan, baik topikal ataupun sistemik dengan

penekanan pada antibiotik.

- Riwayat seksual yaitu kontak seksual baik di dalam maupun di luar

pernikahan, berganti-ganti pasangan, kontak seksual dengan pasangan

setelah mengalami gejala penyakit, frekuensi dan jenis kontak seksual,

cara melakukan kontak seksual, dan apakah pasangan juga mengalami

keluhan atau gejala yang sama.

- Riwayat penyakit terdahulu yang berhubungan dengan IMS atau penyakit

di daerah genital lain.

- Riwayat penyakit berat lainnya.

- Riwayat keluarga yaitu dugaan IMS yang ditularkan oleh ibu kepada

bayinya.

- Keluhan lain yang mungkin berkaitan dengan komplikasi IMS, misalnya

erupsi kulit, nyeri sendi dan pada wanita tentang nyeri perut bawah,

gangguan haid, kehamilan dan hasilnya.

- Riwayat alergi obat.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan kepada pasien harus memperhatikan hal

penting seperti kerahasiaan pribadi pasien, sumber cahaya yang baik untuk dokter

pemeriksa dan selalu harus menggunakan sarung tangan setiap kali memeriksa

pasien. Pada pasien pria, organ reproduksi lebih mudah diraba. Mula-mula

inspeksi daerah inguinal dan raba adakah pembesaran kelenjar dan catat

konsistensi, ukuran, mobilitas, rasa nyeri, serta tanda radang pada kulit di atasnya.

Pada waktu bersamaan, perhatikan daerah pubis dan kulit sekitarnya, adanya

26
pedikulosis, folikulitis atau lesi kulit lainnya. Lakukan inspeksi skrotum, apakah

asimetris, eritema, lesi superfisial dan palpasi isi skrotum dengan hati-hati. Dan

akhirnya perhatikan keadaan penis mulai dari dasar hingga ujung. Inspeksi daerah

perineum dan anus dengan posisi pasien sebaiknya bertumpu pada siku dan

lutut.Berbeda dengan pasien pria, organ reproduksi wanita terdapat dalam rongga

pelvik sehingga pemeriksaan tidak segampang pria. Pemeriksaan meliputi

inspeksi dan palpasi dimulai dari daerah inguinal dan sekitarnya. Untuk menilai

keadaan di dalam vagina, gunakan spekulum dengan memberitahukannya kepada

pasien terlebih dahulu. Dan akhirnya lakukan pemeriksaan bimanual untuk

menilai ukuran, bentuk, posisi, mobilitas, konsistensi dan kontur uterus serta

deteksi kelainan pada adneksa.

Pengambilan bahan duh tubuh uretra pria, dapat dilakukan dengan

menggunakan sengkelit maupun lidi kapas yang dimasukkan ke dalam uretra.

Sedangkan pengambilan duh tubuh genital pada wanita dilakukan dengan

spekulum dan mengusapkan kapas lidi di dalam vagina dan kemudian dioleskan

ke kaca objek bersih.

2.6.4 Pencegahan IMS

Prinsip umum pengendalian IMS adalah:

Tujuan utama:

 Memutuskan rantai penularan infeksi IMS

 Mencegah berkembangnya IMS dan komplikasinya

Tujuan ini dicapai melalui:

27
 Mengurangi pajanan IMS dengan program penyuluhan untuk menjauhkan

masyarakat terhadap perilaku berisiko tinggi

 Mencegah infeksi dengan anjuran pemakaian kondom bagi yang

berperilaku risiko tinggi

 Meningkatkan kemampuan diagnosa dan pengobatan serta anjutan untuk

mencari pengobatan yang tepat

 Membatasi komplikasi dengan melakukan pengobatan dini dan efektif

baik untuk yang simptomatik maupun asimptomatik serta pasangan

seksualnya. (Daili, 2009)

Menurut Direktorat Jenderal PPM & PL (Pemberantasan Penyakit

Menular dan Penyehatan Lingkungan) Departemen Kesehatan RI, tindakan

pencegahan dapat dilakukan dengan beberapa tindakan, seperti:

1. Mendidik masyarakat untuk menjaga kesehatan dan hubungan seks yang

sehat, pentingnya menunda usia aktivitas hubungan seksual, perkawinan

monogami, dan mengurangi jumlah pasangan seksual.

2. Melindungi masyarakat dari IMS dengan mencegah dan mengendalikan

IMS pada para pekerja seks komersial dan pelanggan mereka dengan

melakukan penyuluhan mengenai bahaya IMS, menghindari hubungan

seksual dengan berganti-ganti pasangan, tindakan profilaksis dan terutama

mengajarkan cara penggunaan kondom yang tepat dan konsisten.

3. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan untuk diagnosa dini dan

pengobatan dini terhadap IMS. Jelaskan tentang manfaat fasilitas ini dan

tentang gejala-gejala IMS dan cara-cara penyebarannya.

28
2.7 Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep pada penelitian Hubungan pengetahuan dan sikap remaja

terhadap tindakan hubungan seksual pranikah adalah variabel independen

yaitu pengetahuan dan sikap siswa tentang hubungan seksual pranikah dan

variabel dependen yaitu tindakan hubungan seksual pranikah. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 2.1. Tabel kerangka konsep

Variabel Independen Variabel dependen

Pengetahuan
Hubungan Seksual
Pranikah
Sikap

2.8 Hipotesis

Pengetahuan:

H0 = Tidak ada hubungan antara pengetahuan remaja tentang seks

pranikah terhadap tindakan hubungan seksual pranikah di SMP di Wilayah Kerja

Puskesmas Gunungsari.

Ha = Terdapat hubungan antara pengetahuan remaja tentang seks pranikah

terhadap tindakan hubungan seksual pranikah di SMP di Wilayah Kerja

Puskesmas Gunungsari.

Sikap:

H0 = Tidak ada hubungan antara sikap remaja tentang seks pranikah

terhadap tindakan hubungan seksual pranikah di SMP di Wilayah Kerja

Puskesmas Gunungsari.

29
Ha = Terdapat hubungan antara sikap remaja tentang seks pranikah

terhadap tindakan hubungan seksual pranikah di SMP di Wilayah Kerja

Puskesmas Gunungsari.

30
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif-

analitik dengan menggunakan desain Cross sectional.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu

Penelitian ini dilakukan mulai bulan November hingga Desember 2020.

Dimulai dari penelusuran pustaka, survei awal, pengumpulan data, sampai

penulisan laporan.

3.2.2 Tempat

Penelitian ini dilakukan di SMP dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas

Gunungsari.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa/siswi SMP dan

sederajat yang berada di wilayah kerja Puskesmas Gunungsari, Sehingga

populasi dalam penelitian ini berjumlah 628 siswa.

3.3.2 Jumlah dan cara pengambilan sampel

Pemilihan Sampel dilakukan dalam tiga tahap yaitu :

31
1. Penghitungan Jumlah Sampel

Rumus besar sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah:

N Z 21−α /2 P(1−P)
n=
( N −1 ) d 2+ Z 21−α / 2 P(1−P)

Keterangan:

N = besar populasi

n = besar sampel minimum

Z1-/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada  tertentu

P = harga proporsi di populasi

d = kesalahan (absolut) yang dapat ditolerir

Dengan jumlah populasi sebanyak 928 orang, nilai =0.05, nilai

P=0.5, dan nilai d =5% maka didapatkan jumlah sampel sebesar 225,7

orang yang dibulatkan menjadi 226 orang responden.

2. Pemilihan SMP

Pemilihan SMP yang dijadikan tempat penelitian, dilakukan

menggunakan teknik “simple random sampling”. Pada teknik ini,

dilakukan pengundian pada semua SMP sehingga semua SMP

mempunyai kesempatan yang sama untuk dijadikan tempat penelitian.

3. Pemilihan Kelas

Pada penelitian ini diambil siswa kelas I dan II pada SMP yang

terpilih.

32
3.4 Kriteria Pemilihan Sampel

3.4.1 Kriteri inkusi

Kriteria Inklusi pada penelitian ini adalah siswa yang terdaftar sebagai

siswa kelas I di SMP di wiliayah kerja Puskesmas Gunungsari dan

bersedia menjadi responden penelitian.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah siswa yang tidak hadir pada

saat pengambilan data penelitian ini.

3.5 Definisi Operasional

Variable penelitian yang akan diteliti sebagai berikut :

1. Pengetahuan siswa adalah segala sesuatu yang diketahui siswa tentang

hubungan seksual pranikah dan memahaminya. Pengetahuan responden

diukur melalui 20 pertanyaan, responden yang menjawab Benar akan

diberi skor 1, sedangkan Salah diberi skor 0, sehingga skor tertinggi yang

dapat dicapai responden adalah 20.

2. Sikap siswa adalah respon/penilaian siswa terhadap segala sesuatu

tentang hubungan seksual pranikah. Sikap diukur melalui 10 pertanyaan,

responden yang menjawab salah diberi skor 0, Benar akan diberi skor 1.

sehingga skor tertinggi yang dapat dicapai responden adalah 10.

3. Hubungan seksual pranikah merupakan respon seseorang terhadap

stimulus dalam bentuk nyata atau terbuka. Ada dua hal mengenai

33
tindakan yaitu Ya, jika siswa melakukan hubungan seksual pranikah, dan

Tidak, jika siswa tidak melakukan hubungan seksual pranikah. Hubungan

seksual pranikah diukur melalui 11 pertanyaan, responden yang

menjawab Ya diberi skor 0, Tidak akan diberi skor 1. sehingga skor

tertinggi yang dapat dicapai responden adalah 11.

Tabel Variabel, Definisi Operasional, Alat Ukur, Hasil ukur, dan Skala ukur

Defenisi Skala
Variabel Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur
Pengetahuan Pengetahuan Kuesioner Tinggi, apabila menjawab Ordinal
siswa Tentang benar > 75%
Hubungan Sedang, apabila
seksual menjawab benar 40-75%
Pranikah Rendah, apabila
menjawab benar <40%
Defenisi Skala
Variabel Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur
Sikap Sikap Siswa Kuesioner Baik, apabila menjawab Ordinal
tentang benar > 75%
Hubungan Sedang, apabila
seksual menjawab benar 40-75%
Pranikah Kurang, apabila
menjawab benar <40%
Tindakan Tindakan atau Kuesioner Baik apabila siswa tidak Ordinal
praktek secara Melakukan hubungan
nyata dalam seksual pranikah.
Hubungan Tidak baik, apabila siswa
seksual Melakukan hubungan
Pranikah seksual pranikah

3.6 Metode Pengumpulan Data

34
Pengumpulan data dilakukan dengan data primer dan data sekunder, yaitu:

3.6.1 Data Primer

Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner serta memberikan

penjelasan dan cara pengisian kuesioner tersebut sebelumnya. Dan telah

dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap kuesioner.

3.6.2 Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui data rekapitulasi

hasil penjaringan kesehatan peserta didik Puskesmas Gunungsari tahun

2020 yang meliputi gambaran umum tentang siswa SMP di wilayah kerja

Puskesmas Gunungsari.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan, diolah dengan menggunakan program SPSS

(Statistical Product and Service Solution) versi 20, dan analisis data dilihat

analisastatistik univariat dan bivariat antara pengetahuan dan sikap

terhadap tindakan seksual pranikah menggunakan uji Chi Square dengan

tingkat kemaknaan 95% dan p value hitung yang diharapkan adalah < 0,05

yang menyatakan terdapatnya hubungan. Hasil disajikan dalam bentuk

narasi dan tabel distribusi frekuensi.

35

Anda mungkin juga menyukai