Oleh :
Marshal Agreno
NIM : 1407601010010
Pembimbing :
dr. Imam Hidayat, Sp.BS
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat dan rahmat-Nya yang telah memberikan kesehatan dan waktu untuk
penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas ini.
Akhirnya Penulis mohon maaf segala kekurangan dalam tulisan ini, kritik
dan saran sangat di harapkan dari pembaca sekalian untuk kesempurnaan tulisan
ini, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua.
Marshal Agreno
Abstract
Background: Post traumatic hydrocephalus (PTH) is frequent sequelae of
moderate and severe traumatic brain injury. It is a frequent case of delayed
deterioration and worsening of initial symptoms of head injury.
Material and methods: We studied 53 cases of hydrocephalus diagnosed and
treated at our hospital from January to December 2016. Retrospective study of
medical record of these patients diagnosed with hydrocephalus was noted at the
time of initial trauma and when PTH developed.
Results: In this study, 53 cases met the inclution criteria (14 male [63,6%] and 8
female [36,4%]). 17-25, 36-45, and 46-55 years old was the predominant age
group in this study consist from 5 patients (22,7%) for each group. Incidence of
PTH in our study is 22 from 53 cases (41,5%). Subdural hematoma (SDH) was
the most common cause of PTH on Computen Tomography (CT) scan evaluation
(36,4%).
Conclusion: PTH is sequelae of traumatic brain injury and can present in form of
various neurological symptoms after variable days of initial trauma CT scan is
the investigation of choice to quickly diagnose PTH.
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang..........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3. Tujuan Penelitian.......................................................................................2
1.3.1. Tujuan Umum....................................................................................2
1.3.2. Tujuan Khusus...................................................................................2
1
2
baik, 26% cacat sedang, 7% meninggal; sedangkan pasien dengan cedera otak
traumatik berat, hanya 25% yang mengalami pemulihan yang baik, 20% cacat
sedang, 15% cacat berat, 5% kondisi vegetatif dan 35% meninggal. Gejala sisa
akibat cedera otak traumatik dapat berupa gangguan neurologis ringan sampai
berat, gangguan psikologis/mental, gangguan fungsi kognisi dan perubahan
kepribadian. Gejala sisa tersebut berhubungan dengan berat ringannya cedera,
semakin berat cedera maka makin berat juga gejala sisa yang timbul.5
Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada
penderita pasca cedera kepala traumatik. Hidrosefalus pasca cedera kepala
traumatik atau Post Traumatic Hydrocphalus (PTH) pertama kali dilaporkan oleh
Dandy pada tahun 1914. PTH adalah berlebihnya akumulasi cairan serebrospinal
(CSS) yang bersifat aktif dan progresif akibat gangguan aliran cairan (fluid
dynamic) pasca cedera kepala. Identifikasi terhadap jumlah dan faktor resiko
terjadinya PTH di suatu rumah sakit peting dilakukan guna mengetahui prognosi
serta mencegah terjadinya PTH pada kelompok yang beresiko sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup penderitanya.2
Traumatik di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada
tahun 2016 berdasarkan usia
3. Mengetahui insidensi terjadinya Hidrosefalus Pasca Cedera Kepala
Traumatik di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada
tahun 2016 berdasarkan diagnosis trauma.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
Trauma kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu
gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.
kerusakan otak akibat cedera kepala disebabkan oleh gaya dari luar sebagai akibat
benturan langsung, proses akselerasi atau deselerasi, berupa cedera tembus atau
tumpul. Kekuatan, arah dan lamanya gaya tersebut mempengaruhi bentuk dan
luasnya kerusakan otak.1, 3
2.1.2. Patofisiologi
Cedera kepala traumatik biasanya terjadi secara cepat, dan kerusakan terjadi
dalam waktu yang sangat singkat yaitu di bawah 200 milidetik dan bahkan
seringkali kurang dari 20 milidetik yang disebut sebagai dynamic loading.
Dynamic loading tersebut hasil dari suatu impact dimana kepala terbentur oleh
benda yang bergerak atau kepala sendiri yang membentur permukaan diam.
Cedera terhadap tulang wajah dapat menghasilkan tenaga yang cukup besar yang
diantarkan sehingga dapat merusak otak. Kerusakan otak dapat juga terjadi tanpa
adanya kontak, akibat adanya proses akselerasi dan deselerasi pada tulang
belakang leher. Secara garis besar terdapat dua mekanisme secara teori yang
bertanggung jawab terhadap kerusakan otak, yaitu mekanisme inersia dan
mekanisme kontak.6, 7
Mekanisme inersia secara umum disebut sebagai akselerasi atau
deselerasi, yang secara biomekanis sebagai proses yang sama. Kerusakan otak
dapat terjadi karena dua mekanisme, yaitu melalui regangan yang dihasilkan
dalam jaringan otak sendiri dan melalui perbedaan pergerakan antara jaringan
otak dan tulang kepala. Terdapat tiga tipe akselerasi yaitu angulasi, translasi dan
rotasi.8
Akselerasi - deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
4
5
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).
Mekanisme kontak terjadi baik pada tempat terjadinya benturan ataupun
pada tempat lain yang dapat menyebabkan fraktur tulang dan kontusio serebri.
Fraktur terjadi ketika deformasi yang terjadi melebihi toleransi tulang kepala. Jika
benda yang berbenturan dengan tulang berukuran kecil (luas permukaan kurang
dari 2 inci), akan terjadi fraktur impresi. Deformasi ke dalam dari tulang dapat
menyebabkan cedera secara langsung terhadap jaringan otak yang terdapat
dibawah tulang tersebut dan menyebabkan kontusio. Kontusio juga dapat terjadi
ketika indentasi tulang secara cepat kembali dan menghasilkan tekanan negatif
yang tinggi dan regangan dari jaringan otak.7, 8
Kerusakan otak pada cedera kepala traumatik dapat terjadi dalam dua
tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Secara definisi, cedera kepala
primer terjadi pada saat benturan dan melibatkan elemen vaskular dan neural dari
jaringan otak. Cedera yang termasuk dalam kategori ini adalah cedera pada kulit
kepala dan tulang tengkorak, sebagaimana kerusakan pada jaringan otak
diakibatkan luka tusuk atau luka tembak. Pada cedera otak traumatika, cedera
primer dapat berupa kerusakan fokal atau difus. Lesi fokal termasuk kontusio
serebri dan laserasi, hematoma, cedera batang otak, cedera pada saraf kranial dan
tangkai hipofise. Lesi difus termasuk konkusi serebral dan diffuse axonal injury
(DAI). Cedera sekunder terjadi akibat proses fisiologis yang terjadi segera setelah
terjadinya trauma, yang mungkin membutuhkan waktu dalam menit, jam, atau
hari setelah trauma primer. 4, 7, 8
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini
berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya
6
2.1.3. Klasifikasi
- Lokasi anatomis, dibedakan atas kalvarium, basis cranii dan keadaan luka.
b. Lesi Intrakranial
Klasifikasi lesiintrakranial dapat berupa:
- Cedera otak difus
- Perdarahan epidural
- Perdarahan subdural
- Kontusio dan perdarahan intraserebral
- Nyeri kepala menetap atau muntah - muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat - obatan analgesia / anti muntah.
- Adanya kejang - kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
8
A B C
D E
Gambar 2.1 Gambaran CT scan pada cedera kepala; (A) Epidural Hematom, (B)
Perdarahan Intraventrikular, (C) Perdarahan Subaraknoid, (D) Perdarahan
Intraserebral, (E) Fraktur depress.
9
2.1.5. Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat muncul saat dan pasca terjadinya cedera kepala
traumatik, diantaranya:
2. Infeksi
Kemungkinan terjadinya infeksi sekunder pada trauma kapitis meningkat bila
duramater robek terutama sekali bila terjadi di daerah basal yang letaknya
11
berdekatan dengan sinus - sinus tulang dan nasofaring. Keadaan ini juga bisa
terjadi bila ada fraktur basis kranii.15
4. Epilepsi
Pada sebagian penderita trauma kepala dapat terjadi serangan kejang. Serangan ini
dapat timbul dini pada minggu - minggu pertama sesudah trauma, mungkin pula
timbul berbulan – bulan sesudahnya. Epilepsi kasip cenderung terjadi pada pasien
yang mengalami serangan kejang dini, fraktur impresi dan hematoma akut.
Epilepsi juga lebih sering terjadi pada trauma yang menembus durameter. Lesi di
daerah sekitar sulkus sentralis cenderung menimbulkan epilepsi fokal.16
5. Hidrosefalus
dan inkontinensia urin. PTH harus ditentukan baik dengan kriteria radiologis
maupun neurologis, karena setiap kelainan harus ada untuk menegakkan
diagnosis. PTH sangat berdampak pada morbiditas setelah cedera otak dan dapat
mengakibatkan meningkatkan mortalitas jika tidak dikenali dan diobati. 2
2.2. Hidrosefalus
2.2.1. Definisi
Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang berarti
kepala. Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan serebrospinal (CSS) secara
aktif yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak.17
Hidrosefalus adalah terjadinya pengumpulan cairan otak secara berlebihan
di dalam sistem ventrikel yang normal sehingga menyebabkan pelebaran sistem
ventrikel dan terjadi peninggian tekanan.17
darah, dan jaringan otak. Sebagian besar (80 - 90%) CSS dihasilkan oleh pleksus
khoroidalis pada ventrikel lateralis sedangkan sisanya (10-20%) di ventrikel III,
ventrikel IV, juga melalui difusi pembuluh-pembuluh ependim dan piamater.
Kecepatan pembentukan CSS 0,3 - 0,4 cc / menit atau antara 0,2 - 0,5% volume
total per menit dan ada yang menyebut antara 14 - 38 cc / jam. Sekresi total CSS
dalam 24 jam adalah sekitar 500 - 600 cc, sedangkan jumlah total CSS adalah 150
cc, berarti dalam 1 hari terjadi pertukaran atau pembaharuan dari CSS sebanyak 4
- 5 kali / hari. Pada neonatus jumlah total CSS berkisar 20 - 50 cc dan akan
meningkat sesuai usia sampai mencapai 150 cc pada orang dewasa.20
Setelah CSS diproduksi oleh pleksus khoroideus pada ventrikel lateralis,
kemudian mengalir ke ventrikel III melalui foramen Monro. Selanjutnya melalui
akuaduktus serebri (Sylvius) menuju ventrikel IV. Dari ventrikel IV sebagian
besar CSS dialirkan melalui foramen Luschka dan Magendie menuju ruang
subarakhnoid, setinggi medula oblongata dan hanya sebagian kecil CSS yang
menuju kanalis sentralis.20
Dalam ruang subarakhnoid CSS selanjutnya menyebar ke segala arah
untuk mengisi ruang subarakhnoid, serebral maupun spinal. Kecepatan aliran CSS
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tekanan CSS, tekanan dalam
sinus durameter dalam sistem vena kortikal dan tekanan pada vili arachnoid.20
Absorpsi CSS dilakukan oleh vili - vili arakhnoid yang jumlahnya sangat
banyak pada permukaan hemisferium serebri, basis serebri dan sekeliling radiks
nervi spinalis. Vili arakhnoid yang besar dikenal sebagai granulasi arakhnoid
pacchioni yang merupakan jonjot piaarakhnoid yang luas bersama lapisan dura
yang menipis dan menonjol ke dalam ruang - ruang sinus sagitalis superior. Vili
arakhnoid terdiri dari anyaman - anyaman yang berupa saluran. Anyaman ini
bekerja sebagai katup yang memungkinkan adanya aliran CSS yaitu dari ruang
subarakhnoid menuju ke dalam aliran darah vena pada sinus sagitalis superior.
Apabila tekanan CSS melebihi tekanan vena maka katup akan membuka dan
mengalirkan CSS ke sinus. Akan tetapi apabila tekanan vena yang meningkat
maka vili arakhnoid akan mengalami kompresi dan katup akan menutup. Perlu
diketahui bahwa kemampuan vili - vili arakhnoid mengabsorpsi CSS adalah 2 - 4
kali lebih besar dari produksi CSS normal.20
14
PTH mungkin muncul dengan berbagai cara. Seperti yang dilaporkan oleh
Kishore, sebagian besar sindroma muncul dalam dua minggu sejak cedera. Ada
laporan kasus tentang pembesaran ventrikular dalam tujuh jam sejak cedera,
berakibat pemburukan yang cepat dari tingkat kesadaran serta herniasi dini.
Namun tampilan yang lebih lambat mungkin saja terjadi. Trauma yang sudah
lama lebih sering dilaporkan pada kasus hidrosefalus tekanan normal (NPH).24
PTH mungkin tampil sebagai NPH klasik, dengan demensia, ataksia, dan
inkontinensia urin. Namun perubahan tingkat kesadaran dan bahkan koma
mungkin terjadi sebagai bagian dari sindroma. Karena cedera kepala berat sering
berakibat disfungsi neurologis luas yang berat, gambaran tersebut mungkin sulit
untuk dipisahkan dari akibat cedera otak pada fase akuta. Pemantauan TIK serta
CT Scan serial berguna pada keadaan ini. Pada fase pemulihan yang lebih kronik,
perburukan tingkat kesadaran, penurunan kapasitas fungsional, atau semua
gambaran NPH harus dianggap sebagai pertanda. Manifestasi tidak khas, seperti
masalah emosi, respon ekstensor bilateral, kejang, dan spastisitas tungkai juga
pernah dilaporkan.24
2.2.7. Tatalaksana
Sebelum pengobatan PTH, kondisi seperti infeksi, anemia, hipoksia, gangguan
kejang, uremia, dan ensefalopati harus disingkirkan atau ditangani. Jika dicurigai
adanya PTH, evaluasi bedah saraf yang cepat sangat dianjurkan. Prinsip
pengobatan pasien dengan hidrosefalus tergantung atas dua hal yakni ada atau
tidaknya fasilitas bedah saraf di rumah sakit tempat pasien dirawat dan gawat atau
tidaknya pasien. Pengobatan PTH relative sederhana. VP shunt adalah prosedur
pilihan pada kasus hidrosefalus obstruktif. Pada hidrosefalus komunikan, pungsi
lumbal berulang atau lumboperitoneal shunt memberikan hasil yang cukup
bagus.25
1. Terapi Medikamentosa
18
terbukanya katup pada alat shunt disebut opening pressure. Secara umum
terdapat katup tekanan rendah, sedang, dan tinggi merujuk pada opening
pressure sekitar 5, 10, dan 15 cm H2O. Aliran cairan otak baru akan terjadi jika
tekanan intraventrikular melebihi opening pressure dari katup alat shunt. Flow -
regulating valves mampu mempertahankan aliran cairan otak yang tetap
walaupun terjadi perubahan tekanan dan posisi. Siphon - resisting valves
digunakan untuk mencegah pengaliran berlebih dari cairan serebrospinal akibat
pengaruh gravitasi. Pilihan penggunaan jenis katup tergantung pengalaman dari
ahli bedah saraf. Sampai saat ini belum terdapat data tentang keunggulan satu
jenis katup dibanding yang lain.
Selang distal dapat diletakkan di rongga peritoneal, atrium kanan jantung,
rongga pleura, dan kandung kemih. Tempat yang paling sering digunakan adalah
rongga peritoneum karena ruangannya yang besar memungkinkan memasukkan
selang peritoneal yang panjang sehingga dapat mengikuti pertumbuhan tubuh
dengan kebutuhan revisi yang rendah, memiliki kemampuan absorbsi yang
efisien, mudah diakses dan jika terjadi infeksi biasanya lebih terlokalisir.24, 25
2.2.8. Prognosis
Outcome pengobatan PTH tergantung dari beberapa faktor. Beberapa faktor yang
21
22
23
medik lengkap mencakup; usia, jenis kelamin, anamnesis yang jelas, diagnosis
berdasarkan CT scan dan jenis tindakan operatif yang dilakukan.
Usia
Post Traumatic
Jenis Kelamin
Hidrocphalus
Diagnosis
Tabel 4.1 Distribusi penderita hidrosefalus di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2016
25
26
Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2016 berdasarkan jenis
kelamin.
Berdasarkan data yang disajikan pada table 4.4, penyebab Post Traumatic
Hidrocephalus di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
tahun 2016 terbanyak adalah Subdural Hematoma (SDH) yaitu sebanyak 8 orang
(36,4%).
28
4.2. Pembahasan
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh tahun 2016 terhadap penderita Post Traumatic Hidrocephalus
didapatkan beberapa data distributif mencakup usia, jenis kelamin, dan diagnosis
trauma penyebabnya.
Berdasarkan laporan dari Centers for Disease Control and Prevention
Amerika Serikat, sebanyak 1,7 juta orang mengalami cedera otak traumatik
(COT) setiap tahunnya di Amerika Serikat. Sebagian besar penyebab COT
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, dimana 1,36 juta diantaranya masuk ke
instalasi gawat darurat, 275.000 orang membutuhkan rawat inap dan 52.000 orang
meninggal dunia. COT akan meyebabkan kerusakan otak primer dan sekunder,
yang mana PTH merupakan salah satu dampak dari kerusakan otak sekunder yang
ditandai dengan melebarnya ventrikel oleh karena obstruksi aliran atau
malabsorpsi cairan serebro spinal.2
Total penderita PTH di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh tahun 2016 berjumlah 22 orang dengan persentase 41,5% dari
seluruh penderita hidrosefalus pada tahun tersebut. Seluruh penderita PTH pada
penelitian ini ditataksana dengan VP shunt. Sama halnya dengan penelitian yang
dilaporkan oleh Bhagwati dan Kunal yang mengevaluasi terjadinya PTH pada
pasien COT secara retrospektif, sebanyak 31 kasus (7,8%) dari 398 penderita
COT mengalami PTH dan sebanyak 93,54% diantaranya memberikan perbaikan
klinis yang cukup baik setelah dilakukan VP shunt.25
Berdasarkan kelompok usia, sebagian besar penderita PTH pasca COT
pada penelitian ini berada pada kelompok usia 17-25 tahun, 36-45 tahun, dan 46-
55 tahun dengan jumlah masing-masing sebanyak 5 orang (22,7%). Penelitian
sebelumnya juga membuktikan hal yang sama dimana kelompok usia yang paling
banyak mengalami PTH pasca COT adalah 41-50 tahun (35,48%), 31-40 tahun
dan 21-30 tahun (22,58%).25
Selain kelompok usia, jenis kelamin juga menjadi salah satu variable yang
dideskripsikan pada penelitian ini, yang mana jenis kelamin laki-laki memiliki
prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan jenis kelamin perempuan dengan
29
jumlah masing secara berurutan yaitu 14 orang (63,6%) dan 8 orang (36,4%).
Penelitian sebelumnya juga membuktikan perbandingan yang sama, yaitu dari 126
kasus PTH pasca COT, sebanyak 102 orang (81%) berjenis kelamin laki-laki dan
24 orang (19%) berjenis kelamin perempuan.2 Penelitian lainnya menunjukkan
nilai serupa, sebanyak 26 orang (83,87%) dari 31 penderita PTH pasca COT
berjenis kelamin laki-laki.25 Namun demikian, jenis kelamin dan usia tidak
membuktikan hubungan yang signifikan secara statistik oleh karena PTH terjadi
secara multifaktorial.2, 27
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya PTH, seperti
diantaranya kraniotomi dekompresi,28 tingginya tekanan intrakranial sebelum
dilakukan kraniotomi dekompresi,29 perdarahan subarakroid (SAH),28 ketebalan
SAH,27 perdarahan intraventricular (IVH),27 subdural hygroma,30 interhemispheric
subdural hygroma,31 derajat hipoperfusi pada lobus temporal, GCS yang rendah
pasca resusitasi,29 operasi berulang dan lamanya status koma.32
Diagnosis yang berkaitan dengan terjadinya PTH pasca COT juga
diuraikan pada penelitian ini yaitu, perdarahan subdural (SDH) sebanyak 8 orang
(36,4%), perdarahan intrakranial (ICH) sebanyak 4 orang (18,2%) dan perdarahan
intraventrikular (IVH) sebanyak 2 orang (9,1%). Selain diagnosis tunggal,
sebagian pasien pada penelitian ini juga menderita dua kondisi patologis
sekaligus, berupa ICH-SDH dan ICH-IVH dengan jumlah masing-masing
sebanyak 4 orang (18,2%).
Terjadinya SDH diketahui memiliki berbagai dampak negative terhadap
pasien, seperti diantaranya terjadi SDH kronis dan PTH. Kedua merupakan
komplikasi yang terjadi akibat COT serta dapat menyebabkan dimensia. Pada
SDH, terjadi gangguan aliran dan reabsorpsi cairan serebro spinal yang dapat
menyebabkan terjadinya PTH. SDH yang terjadi pada bagian medial
meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi SDH kronis, PTH dan
dimensia.23
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka pada penelitian ini
disimpulkan bahwa:
5.2. Saran
1. Penelitian selanjutnya dapat mengkaji variabel yang sama dengan
penelitian ini namun dengan rentang waktu yang lebih lama
2. Cakupan wilayah penelitian selanjutnya dapat lebih luas lagi tidak hanya
terbatas pada satu rumah sakit di satu kota.
3. Perlu dilakukan penelitian deskriptif analitik untuk mengevaluasi berbagai
faktor resiko yang menyebabkan terjadi Post Traumatic Hidrocephalus.
30
31
DAFTAR PUSTAKA