Anda di halaman 1dari 10

MANIFESTASI KLINIS

Pasien dengan Gangguan Somatoform (Somatic Syndrome Disorders) percaya


bahwa mereka memiliki penyakit serius yang tidak terdeteksi dan mereka
mempertahankan keyakinan tersebut meskipun hasil pemeriksaan laboratorium yang
negatif. Namun, kepercayaan pasien tentang suatu penyakit ini tidak sampai mengarah
pada delusi. Somatic Syndrome Disorders sering kali muncul disertai dengan gejala
depresi dan kecemasan.1 (Sadock, B.J., Sadock, V.A., Ruiz, P. Kaplan & Sadock’s
Synopsis of Psychiatry. 11th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015)

Pasien dengan Gangguan Somatoform juga memiliki perilaku yang khas,


seperti sering melakukan konsultasi kesehatan untuk memverifikasi diagnosis, social
withdrawal, dan mengkonsumsi obat-obatan yang tidak diperlukan. Ada juga bukti
kognisi yang menunjukkan bahwa pasien menyukasi atribusi kausal yang lebih
beorientasi pada sensasi somatik, dan lebih berfokus pada proses fisiologi.
Secara khusus, pasien dengan Gangguan Somatoform memiliki kesulitan dalan
mengidentifikasi perasaan mereka sendiri. Pasien cenderung salah menafsirkan
sensasi somatik yang disebabkan oleh situasi emosional. Faktor risiko yang dapat
menyebabkan Gangguan Somatoform dapat meliputi pengalaman masa kecil dengan
somatisasi orang tua dan paparan penyakit fisik kronis dalam keluarga dekat. Faktor
risiko nonspesifik seperti trauma pada masa anak-anak.2 (Henker, J., Keller, A., Reiss,
N., Siepmann, M., Croy, I., Weidner, K. Early maladaptive schemas in patients with
somatoform disorders and somatization. Clin Psychol Psychother. 2019; 26: 418-429)
Beberapa pasien biasanya memiliki beberapa gejala somatik yang dapat
mengakibatkan gangguan dalam kehidupan sehari-hari, seperti nyeri dan kelelahan.
Gejala terkadang menunjukkan sensai tidak nyaman pada tubuh, namun tidak
menandakan penyakit yang serius. Pasien cenderung memiliki tingkat kekhawatiran
yang sangat tinggi tentang penyakitnya. Mereka menilai gejala yang dirasakan dapat
mengancam, berbahaya atau menyulitkan kesehatan mereka. Pada Gangguan
Somatoform yang parah, pasien biasanya mengalami tekanan yang berfokus pada
gejala somatik dan signifikansinya. Ketika ditanya secara langsung tentang kesulitan
yang dirasakan, beberapa pasien menjelaskan terdapar hubungan dengan aspek lain
dari kehidupan mereka sementara beberapa pasien yang lain menyangkalnya. Kualitas
hidup pasien juga seringkali terganggu, baik secara fisik maupun mental, dan bila
terus-menerus dapat menyebabkan invalidisme.3 (American Psychiatric Association.
Diagnostic And Statistical Manual of Mental Disorder Edition “DSM-5”. Washinton
DC: American Psychiatric Publishing; 2013)
DIAGNOSIS

Ciri utama Gangguan Somatoform adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik


yang berulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah
berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa
tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya. Penderita juga menyangkal
dan menolak untuk membahas kemungkinan kaitan antara keluhan fisiknya dengan
problem atau konflik dalam kehidupan yang dialaminya, bahkan meskipun didapatkan
gejala-gejala axietas dan depresi. Selain itu, tidak adanya saling pengertian antara
dokter dan pasien mengenai kemungkinan penyebab keluhan-keluhannya
menimbulkan frustasi dan kekecewaan pada kedua belah pihak.

Pedoman diagnostik Gangguan Somatoform berdasarkan PPDGJ-III dan DSM


V sebagai berikut:
 Gangguan Somatisasi, diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut:
a) Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak
dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung
sedikitnya 2 tahun
b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya
c) Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang
berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.
 Gangguan Somatoform Tak Terinci, meliputi:
a) Keluhan-keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi dan menetap, akan tetapi
gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somatisasi tidak
terpenuhi
b) Kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyebab psikologis belum jelas, akan
tetapi tidak boleh ada penyebab fisik dari keluhan-keluhannya
 Gangguan Hipokondrik, untuk diagnosis pasti kedua hal ini harus ada meliputi:
a) Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik
yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang
berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun
adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau perubahan
bentuk penampakkan fisiknya (tidak sampai waham)
b) Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi
keluhan-keluhannya.
 Disfungsi Otonomik Somatoform, diagnosis pasti memerlukan semua hal ini
meliputi:
a) Adanya gejala-gejala bangkitan otonomik, seperti palpitasi, berkeringat,
tremor, muka panas/flushing, yang menetap dan mengganggu
b) Gejala subyektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (gejala
tidak khas)
c) Preokupasi dengan dan penderitaan (distress) mengenasi kemungkinan
adanya gangguan yang serius (sering tidak begitu khas) dari sistem atau organ
tertentu, yang tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan-pemeriksaan
berulang, maupun penjelasan-penjelasan dari para dokter
d) Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur/fungsi dari
sistem atau organ yang dimaksud.
 Gangguan Nyeri Somatoform Menetap, meliputi:
a) Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya gangguan
fisik
b) Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau problem
psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam
mempengaruhi terjadinya gangguan tersebut
c) Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal
maupun medis, untuk yang bersangkutan.
 Gangguan Somatoform Lainnya, meliputi:
a) Pada gangguan ini keluhan-keluhannya tidak melalui sistem saraf otonom,
dan terbatas secara spesifik pada bagian tubuh atau sistem tertentu. Ini sangat
berbeda dengan Gangguan Somatisasi dan Gangguan Somatoform Tak
Terinci yang menunjukkan keluhan yang banyak dan berganti-ganti
b) Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan.
 Gangguan Somatoform yang Tidak Tergolongkan (YTT). 4
(Maslim, R. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III dan DSM-5.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya; 2013)

Diagnosis Gangguan Somatoform umumnya 6-13 gejala tidak dapat dijelaskan secara
medis dengan durasi setidaknya dua tahun.5 (Haller, H., Cramer, H., Lauche, R.,
Dobos, G. Somatoform disorders and medically unexplained symptoms in primary
care. Deutsches Ärzteblatt International. 2015; 112: 279-287 )

Pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, pasien biasanya datang dengan


keluhan fisik tertentu, sehingga dokter harus mempertimbangkan diagnosis gangguan
somatoform bila terdapat beberapa karakteristik berikut ini:
 Keluhan atau gejala fisik berulang
 Dapat disertai dengan permintaan pemeriksaan medis
 Hasil pemeriksaan medis tidak menunjukkan adanya kelainan yang dapat
menjelaskan keluhan tersebut
 Onset dan kelanjutan dari keluhan berhubungan erat dengan peristiwa kehidupan
yang tidak menyenangkan atau konflik-konflik
 Pasien biasanya menolak upaya untuk membahas kemungkinan adanya penyebab
psikologis
 Dapat terlihat perilaku mencari perhatian (historinik), terutama pada pasien yang
tidak puas karena tidak berhasil membujuk dokter untuk menerima persepsinya
bahwa keluhan yang dialami merupakan penyakit fisik dan memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut.
Anamnesis sangat berguna untuk penegakkan diagnosis dan menggali
pemahaman serta persepsi pasien mengenai kondisi yang dialaminya. Seringkali
tujuan ini baru didapat setelah beberapa kali pertemuan, dokter juga harus
mengklarifikasi keluhan-keluhan pasien hingga mencapai kesamaan persepsi. Selain
itu, perlu digali tentang harapan dan keinginan pasien, keyakinan dan ketakutan yang
mungkin pasien miliki, serta stresor psikososial yang mungkin dialami dan menjadi
penyebab gangguan.
Tidak ada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang spesifik yang
diperlukan untuk menegakkan diagnosis Gangguan Somatoform. Pemeriksaan fisik
dan penunjang dilakukan untuk mengeksklusi kelainan organik yang dianggap relevan
dengan keluhan pasien. Pemeriksaan penunjang yang terlalu berlebihan perlu
dihindari agar tidak menambah kekhawatiran pasien. Dalam praktik sehari-hari,
dokter dapat menggunakan kuesioner khusus sebagai alat bantu skrining Gangguan
Somatoform, salah satu contohnya adalah Patient Health Questionnaire 15 (PHQ-15).
Berikut ini adalah langkah-langkah pendekatan terhadap keluhan fisik pasien
hingga dokter sampai pada kesimpulan diagnosis Gangguan Somatoform:
1. Mengeksklusi kelainan organik
Keluhan dan gejala fisik yang dialami oleh pasien perlu ditindaklanjuti sesuai
dengan panduan tatalaksana medis terkait, dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang relevan
2. Mengeksklusi gangguan-gangguan psikiatri yang tergolong dalam kelompok dan
blok yang hirarkinya lebih tinggi
Penegakkan diagnosis gangguan psikiatrik dilakukan secara hirarkis. Dalam
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III, gangguan somatoform
memiliki kode F45 dan merupakan blok penyakit yang termasuk dalam kelompok
F40-F48, yaitu gangguan neurotik, gangguan somatoform dan gangguan yang
berkaitan dengan stres. Sehingga, dokter perlu mengeksklusi gangguan mental
organik (F00-F09), gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif
(F10-F19), skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan waham (F20-F29), serta
gangguan suasana perasaan atau mood atau afektif (F30-F39). Pada blok F40-F48,
dokter perlu terlebih dahulu memastikan ada tidaknya tanda-tanda gangguan
ansietas (F40-F41), obsesif kompulsif (F42), reaksi stres dan gangguan penyesuaian
(F43), dan gangguan disosiatif atau konversi (F44). Gangguan somatoform tidak
dapat ditegakkan bila gejala dan tanda pada pasien memenuhi kriteria diagnostik
gangguan di hirarki yang lebih tinggi.
3. Mengeksklusi kondisi factitious disorder dan melingerling
Pada kondisi factitious disorder, pasien mengadopsi keluhan-keluhan fisik, tanpa ia
sadari, sebagai upaya memperoleh keuntungan internal, misalnya: untuk mendapat
perhatian lebih dari orang-orang tertentu disekitarnya. Berbeda halnya dengan
kondisi malingering, dimana pasien sengaja atau berpura-pura sakit untuk
memperoleh keuntungan eksternal, misalnya agar terhindar dari tanggung jawab
atas kondisi tertentu, atau untuk memperoleh kompensasi uang tertentu. Pada
gangguan somatoform, tidak ada keuntungan yang coba didapat oleh pasien.
Keluhan-keluhan yang disampaikan juga bukan sesuatu yang disengaja, malahan
adanya keluhan-keluhan tersebut dipicu, dipertahankan, dan diperparah oleh
kekhawatiran dan ketakutan tertentu.
4. Menggolongkan ke dalam jenis gangguan somatoform yang spesifik. Blok
gangguan somatoform terdiri atas:
 F45.0. Gangguan Somatisasi
 F45.1. Gangguan Somatoform Tak Terinci
 F45.2. Gangguan Hipokondrik
 F45.3. Disfungsi Otonomik Somatoform
 F45.4. Gangguan Nyeri Somatoform Menetap
 F45.5. Gangguan Somatoform Lainnya
 F45.6. Gangguan Somatoform yang Tidak Tergolongkan (YTT). 6 (Pengurus
Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia; 2017 )

Diagnosis banding untuk Gangguan Somatoform dapat meliputi beberapa


penyakit. Gangguan somatisasi harus dibedakan dengan kondisi medis nonpsikiatri
terutama kelainan yang menunjukkan gejala yang sulit didiagnosis, seperti sindrom
imunodefisienai didapat (AIDS), endokrinopati, miastenia gravis, multiple sklerosis,
penyakit degeneratif sistem saraf, Lupus Eritematosus Sistemik, dan gangguan
neoplastik. Gangguan somatik dibedakan dengan penyakit gangguan kecemasan
dengan penekanan pada rasa ketakutan yang lebih besar dibandingkan kekhawatiran
tentang gejala yang dirasakan. Pada gangguan kecemasan biasanya mengeluhkan
gejala yang lebih sedikit dibandingkan gangguan somatik, pasien dengan gangguan
kecemasan terutama merasa khawatir tentang sakitnya. Gangguan konversi dapat
dibedakan dengan Gangguan Somatoform, dimana gangguan konversi bersifat akut
dan umumnya sementara serta melibatkan gejala tertentu dari suatu penyakit. Pada
penderita gangguan Body Dysmorphic biasanya ingin terlihat normal, namun
penderita percata bahwa orang lain memperhatikan mereka. Pada gangguan
somatoform, penderota mencari perhatian orang lain untuk penyakit yang
dirasakannya.1 (Sadock, B.J., Sadock, V.A., Ruiz, P. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry. 11th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015)
TATA LAKSANA

Tujuan dari tatalaksana gangguan somatoform adalah mengelola gejala dan bukan
menyembuhkan, karena pada dasarnya tidak ada kelainan medis yang dialami oleh
pasien. (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktik klinis bagi dokter
di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia; 2017)
Keluhan pada pasien harus ditanggapi dengan serius meskipun tidak ada patologi
organik yang ditunjukkan dan tidak ada gangguan mental lainnya yang jelas.
Komunikasi antara dokter dan pasien sangat penting untuk setiap tahap perawatan
keluhan, termasuk kepastian, antisipasi, kemungkinan hasil tes diagnostik, penjelasan
tentang fungsional gangguan, dan memotivasi pasien untuk terlibat secara aktif dalam
mengatasi tekanan yang dialami. Selain itu, pasien memerlukan dorongan dan
dukungan untuk melakukan gaya hidup sehat, melakukan aktivitas lain, olahraga yang
teratur dan melakukan hobi sehingga sangat membantu dalam proses perawatan
pasien sendiri. 7 (Henningsen, P. Management of somatic symptom disorder.Dialogues
in Clinical Neuroscience. 2018; 20(1): 23-30)
Prinsip-prinsip dasar dalam pengelolaan pasien dengan gangguan somatoform,
meliputi :
 Dokter harus menerima bahwa pasien memang betul-betul merasakan gejala pada
tubuhnya dan memahami bahwa gejala-gejala tersebut mengganggu pasien.
Dokter perlu melatih diri untuk tidak terlalu menganggap lebih dulu pasien
berpura-pura tanpa didukung bukti yang kuat. Kunci utama tatalaksana gangguan
somatoform adalah membangun kemitraan dengan kepercayaan dari pasien
 Bila terdapat kecurigaan adanya gangguan somatoform, dokter pelu
mendiskusikan kemungkinan ini sedini mungkin dengan pasien. Bila diagnosis
gangguan somatoform sudah ditegakkan, dokter perlu mendiskusikannya dengan
pasien
 Dokter perlu mengedukasi pasien mengenai gangguan yang dialaminya dengan
berempati dan menghindari konfrontasi. Dokter harus menunjukkan kesungguhan
untuk membantu pasien sebaik-baiknya, tanpa memaksa pasien untuk menerima
pendapat dokter
 Pemeriksaan medis dan rujukan ke layanan sekunder yang tidak perlu harus
dihindari. Bila ada gejala baru, dokter perlu berhati-hati dalam menganjurkan
pemeriksaan atau rujukan
 Dokter harus memfokuskan penatalaksanaan pada fungsi pasien sehari-hari,
bukan gejala, serta pada pengelolaan gejala, bukan penyembuhan
 Dokter perlu menekankan modifikasi gaya hidup dan reduksi stres. Keluarga
pasien dapat dilibatkan dalam tatalakasana bila memungkinkan dan diperlukan.
Pasien mungkin perlu dibantu untuk mengidentifikasi serta mengelola stres secara
efektif, misalnya dengan relaksasi dan breathing control. Peningkatan aktifitas
fisik dapat disarankan untuk mengurangi fatigue dan nyeri muskuloskeletal
 Bila gangguan somatoform merupakan bagian dari kelainan psikiatrik lain, dokter
harus mengintervensi dengan tepat
 Dokter pelu menjadwalkan pertemuan yang reguler sebagai follow up. Pertemuan
dapat singkat saja, misalnya 1 kali setiap 5-10 menit, terutama untuk memberi
dukungan dan reassurance. Dokter perlu membatasi dan menghindari konsultasi
via telepon atau kunjungan-kunjungan yang bersifat mendesak
 Dokter perlu berkolaborasi dengan psikiater bila diperlukan, misalnya saat
penegakkan diagnosis yang sulit, menentukan adanya komorbid psikiatrik lain,
atau terkait pengobatan.(Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan
praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.
Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia; 2017)
Jika prinsip-prinsip dasar ini tidak dapat mengatasi gangguan somatoform pada
pasien, maka dapat dilakukan beberapa hal sebagai berikut:
 Perkenalkan dan jelaskan pada pasien mengenai konteks faktor yang
menyebabkan gejala pada pasien. Bangun komunikasi yang efektif dengan narasi
yang tidak menyalahkan mekanisme fisik dan psikososial serta masuk akan bagi
pasien
 Mendorong dan memantau sikap dan perilaku fungsional, seperti berfikir positif,
teknik relaksasi, latihan yang bertahap, panduan swadaya dan kelompok.
Tetapkan tujuan yang realistis bersama pasien
 Berikan penjelasan kepada pasien bahwa tindakan pereda keluhan tidak efektif
dalam menangani keluhan pasien, selain manajemen diri pasien sendiri
 Pertimbangkan pengobatan anti depresan jika terdapat nyeri atau depresi yang
lebih dominan
 Pastikan bahwa penyebab stres traumatis dan faktor lain seperti kekerasan dalam
rumah tangga, pengobatan, atau litigasi juga dinilai
 Jika rawat jalan tidak tersedia atau tidak memadai, pertimbangkan perawatan
terintegrasi dengan multidisiplin pengobatan, termasuk tindakan simtomatik,
aktivasi fisioterapi, terapi okupasi dan juga psikoterapi. (Henningsen, P.
Management of somatic symptom disorder.Dialogues in Clinical Neuroscience.
2018; 20(1): 23-30)
Cognitive Behavior Therapy (CBT) merupakan salah satu tatalaksana yang efektif
untuk mengelola gangguan somatoform. Dalam CBT, dokter memposisikan diri
sebagai mitra yang membantu pasien. Tahap awal dari CBT adalah mengkaji masalah
pasien dengan tepat dan membantu pasien mengidentifikasi hal-hal yang selama ini
menimbulkan atau memperparah gejala fisik yang dialami, misalnya distorsi kognitif,
keyakinan yang tidak realistis, kekhawatiran, atau perilaku tertentu. Tahap selanjutnya
adalah membantu pasien mengidentifikasi dan mencoba alternatif perilaku yang dapat
mengurangi atau mencegah timbulnya gejala-gejala fisik, yang dikenal sebagai
behavioral experiments. (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktik
klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Jakarta: Pengurus
Besar Ikatan Dokter Indonesia; 2017)
PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia
Ad sanationam : dubia
Perjalanan penyakit biasanya episodik, mungkin terdapat hubungan yang jelas antara
eksaserbasi gejala somatik dan stres psikososial. Meskipun belum ada studi yang
menunjukkan hasil yang besar, namun diperkirakan sepertiga hingga setengah dari
semua pasien dengan gangguan somatik akhirnya membaik secara signifikan.
Prognosis yang baik dikaitkan dengan status sosial ekonomi yang tinggi, kecemasan
atau depresi yang responsif terhadap pengobatan, tidak adanya gangguan kepribadian
dan tidak adanya kondisi medis nonpsikiatri yang terkait. (Sadock, B.J., Sadock, V.A.,
Ruiz, P. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry. 11th ed. Philadelphia: Wolters
Kluwer; 2015)
Sebagian pasien tidak menunjukkan respon positif atas tatalaksana yang dilakukan
dan gangguan somatoform terus berlanjut bahkan hingga seumur hidup. Kondisi ini
diperkirakan terjadi pada 0,2-0,5% anggota populasi. Diagnosis dan tatalaksana dini
dapat memperbaiki prognosis dan mengurangi hambatan pada fungsi sosial dan
okupasi sehari-hari. (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktik klinis
bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Jakarta: Pengurus Besar
Ikatan Dokter Indonesia; 2017)

Anda mungkin juga menyukai