Anda di halaman 1dari 18

ILEUS OBSTRUKTIF

A. Konsep Dasar Medis

1. Anatomi fisiologi

a. Anatomi

Usus halus membentang dari pylorus hingga katup ileosekal. Panjang usus halus sekitar 12 kaki
atau 3,6 meter . usus ini mengisi bagian tengah dan rongga abdomen. Ujung proksimalnya
berdiameter sekitar 3,8 cm tetapi makin kebawah garis tengahnya semakin berkurang sampai
menjadi sekitar dua cm. usus halus dibagi menjadi duodenum, jejunum dan ileum.

Panjang duedonum sekitar 25 cm mulai dari pylorus sampai jejunum. Pemisahan duodenum dan
jejunum ditandai oleh adanya ligamentum treitz yaitu suatu pita muskulo fibrosa yang berperan
sebagai Ligamentum Suspensorium (penggantung). Sekitar 2/5 dari usus halus adalah jejunum,
Jejunum terletak diregio mid abdominalis sinistra dan ileum terletak di regio mid abdominalis
dextra sebelah bawah. Tiga  perlima bagian akhir adalah ileum. Masuknya kimus kedalam usus
halus diatur oleh spingther pylorus, sedangkan pengeluaran zat yang telah tercerna kedalam
usus besar yang diatur oleh katup ileus sekal. Katup illeus sekal juga mencegah terjadinya
refluk dari usus besar ke dalam usus halus. Apendik fermivormis yang berbentuk tabung buntu
berukuran sebesar jari kelingking terletak pada daerah illeus sekal yaitu pada apeks sekum.

Dinding usus halus terdiri dari empat lapisan dasar yang paling luar dibentuk oleh peritoneum.
Peritoneum mempunyai lapisan visceral dan parietal. Ruang yang terletak diantara lapisan-
lapisan ini disebut sebagai rongga peritoneum. Omentum memilik lipatan-lipatan yang diberi
nama yaitu mesenterium yang merupakan lipatan peritoneum lebar menyerupai kipas yang
menggantung jejenum dan ileum dari dinding posterior abdomen, dan memungkinkan usus
bergerak dengan leluasa.  Omentum majus merupakan lapisan ganda peritoneum yang
menggantung dari kurva tura mayor lambung dan berjalan turun kedepan visera abdomen.
Omentum biasanya mengandung banyak lemak dan kelenjar limfe yang membantu melindungi
peritoneum terhadap infeksi. Omentum minus merupakan lipatan peritoneum yang terbentuk
dari kurvatura lambung dan bagian atas duodenum menuju ke hati, membentuk ligamentum
suspensorium hepatogastrika dan ligamentum hepatoduodenale .

            Usus halus mempunyai dua lapisan lapisan luar terdiri dari serabut serabut longitudinal
yang lebih tipis dan lapisan dalam terdiri atas serabut serabut sirkuler. Penataan yang demikian
membantu gerakan peristaltic usus halus. Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat
sedangkan lapisan mukosa bagian dalam tebal serta banyak mengandung pembuluh darah dan
kelenjar yang berfungsi sebagai absorbsi. Lapisan mukosa dan sub mukosa membentuk lipatan-
lipatn sirkuler yang disebut sebgai valvula coniventes atau lipatan kercking yang menonjol
kedalam lumen sekitar tiga sampai sepuluh millimeter. Villi merupakan tonjolan-tonjolan
mukosa seperti jari-jari yang jumlahnya sekitar 4 atau 5 juta yang terdapat di sepanjang usus
halus, dengan panjang 0,5 sampai 1,5 mm. Mikrovilli merupakan tonjolan yang menyerupai
jari-jari dengan panjang sekitar 1 mm pada permukaan luar setiap villus. Valvula coni ventes
vili dan mikrovilli sama sama-menambah luas permukaan absorbsi hingga 1,6 juta
cm2.b.      Fisiologi

            Usus halus memepunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan  dan absorbsi bahan-bahan
nutrisi dan air. Proses pencernaan yaitu proses pemecahan makanan menjadi bentuk yang dapat
tercerna melalui kerja berbagai enzim dalam saluran gastrointestinal. Proses pencernaan dimulai
dari mulut dan lambung oleh kerja ptyalin, HCL, Pepsin, mucus dan lipase lambung terhadap
makanan yang masuk. Proses ini berlanjut dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim
pancreas yang menghindrolisis karbohidrat, lemak dan protein menjadi zat-zat yang lebih
sederhana. Mucus memberikan perlindungan terhadap asam sekeresi empedu dari hati
membantu proses pemecahan dengan mengemulsikan lemak. Sehingga memberikan permukaan
yang lebih luas bagi kerja lipase pancreas.

Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir pencernaaan karbohidrat, lemak dan protein melalui
dinding usus kedalam sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain itu
juga diabsorbsi air, elektrolit dan vitamin. Walaupun banyak zat yang diabsorbsi disepanjang
usus halus namun terdapat tempat tempat absorbsi khusus bagi zat-zat gizi tertentu. Absorbsi
gula, asam amino dan lemak hampir selesai pada saat kimus mencapai pertengahan jejunum.
Besi dan kalsium sebagian besar diabsorbsi dalam duodenum dan jejunum. Dan absorbsi kalium
memerlukan vitamin D, larut dalam lemak (A,D,E,K) diabsorsi dalam duodenum dengan
bantuan garan-garam empedu. Sebagian besar vitamin yang larut dalam air diabsorbsi dalam
usus halus bagian atas. Absorbsi vitamin B12 berlangsung dalam ileum terminalis melalui
mekanisme transport usus yang membutuhkan factor intrinsic lambung. Sebagian asam empedu
yang dikeluarkan kantung empedu kedalam duodenum untuk membantu pencernaan lemak akan
di reabsorbsi dalam ileum terminalis dan masuk kembali ke hati. Siklus ini disebut sebagai
sirkulasi entero hepatic garam empedu, dan sangat penting untuk mempertahankan cadangan
empedu.(Sabara, 2007)

2. Definisi

a.       Ileus obstruksi adalah gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi usus pada
traktus intestinal (Price & Wilson, 2007).

b.      Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana

 merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus
(Sabara, 2007).

c.       Ileus obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran
normal isi usus sedangkan peristaltiknya normal (Reeves, 2005).

d.      Obstruksi Ilius adalah gangguan aliran isi usus yang bisa disebabkan oleh adanya mekanik
dan non mekanik sehingga terjadi askumuli cairan dan gas di lumen usus.

3.      Etiologi

a.       Adhesi (perlekatan usus halus)  merupakan  penyebab  tersering  ileus  obstruktif,  sekitar
50-70%  dari semua kasus. Adhesi bisa disebabkan oleh riwayat operasi intraabdominal
sebelumnya atau proses inflamasi intraabdominal. Obstruksi yang disebabkan oleh adhesi
berkembang sekitar 5% dari pasien yang mengalami operasi abdomen dalam hidupnya.
Perlengketan kongenital juga dapat menimbulkan ileus obstruktif di dalam masa anak-anak.

b.      Hernia  inkarserata  eksternal ( inguinal, femoral, umbilikal, insisional,  atau  parastomal )


merupakan yang terbanyak kedua sebagai penyebab ileus obstruktif, dan merupakan penyebab
tersering pada pasien yang tidak mempunyai riwayat operasi abdomen. Hernia interna
(paraduodenal, kecacatan mesentericus, dan hernia foramen Winslow) juga bisa menyebabkan
hernia.
c.       Neoplasma.Tumor primer usus halus dapat menyebabkan obstruksi intralumen,
sedangkan tumor metastase atau tumor intra abdominal dapat menyebabkan obstruksi melalui
kompresi eksternal.

d.      Intususepsi usus halus menimbulkan obstruksi dan iskhemia terhadap bagian usus yang
mengalami intususepsi. Tumor, polip, atau pembesaran limphanodus mesentericus dapat
sebagai petunjuk awal adanya intususepsi.

e.       Penyakit Crohn dapat menyebabkan obstruksi sekunder sampai inflamasi akut selama
masa infeksi atau karena striktur yang kronik.

f.       Volvulus sering  disebabkan oleh  adhesi  atau  kelainan  kongenital, seperti  malrotasi 
usus. Volvulus lebih sering sebagai penyebab obstruksi usus besar.

g.      Batu   empedu   yang    masuk   ke  ileus.  Inflamasi   yang   berat     dari   kantong  
empedu menyebabkan fistul dari saluran empedu ke duodenum atau usus halus yang
menyebabkan batu empedu masuk ke traktus gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat
terjepit di usus halus, umumnya pada bagian ileum terminal atau katup ileocaecal yang
menyebabkan obstruksi.

h.      Striktur yang  sekunder yang berhubungan dengan  iskhemia, inflamasi,  terapi radiasi,
atau trauma operasi.

i.        Penekanan eksternal oleh tumor, abses, hematoma, intususepsi, atau penumpukan cairan.

j.        Benda asing, seperti bezoar.

k.      Divertikulum Meckel yang bisa menyebabkan volvulus, intususepsi, atau hernia Littre.

l.        Fibrosis kistik dapat menyebabkan obstruksi parsial kronik pada ileum distalis dan kolon
kanan sebagai akibat adanya benda seperti mekonium

4.      Insiden

       Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus obstruksi

Di Amerika diperkirakan sekitar 300.000-400.000 menderita ileus obstruksi setiap tahunnya

Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan obstruktif tanpa hernia yang dirawat
inap dan 7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004 menurut Bank data Departemen Kesehatan
Indonesia.

5.      Jenis – jenis Obstruksi

Terdapat 2 jenis obstruksi :


a.       Obstruksi paralitik (ileus paralitik)

Peristaltik usus dihambat sebagian akibat pengaruh toksin atau trauma yang mempengaruhi
kontrol otonom pergerakan usus. Peristaltik tidak efektif, suplai darah tidak terganggu dan
kondisi tersebut hilang secara spontan setelah 2 sampai 3 hari.

b.      Obstruksi mekanik

Terdapat obstruksi intralumen atau obstruksi mural oleh tekanan ekstrinsik. Obstruksi mekanik
digolongkan sebagai obstruksi mekanik simpleks (satu tempat obstruksi) dan obstruksi
lengkung tertutup (paling sedikit 2 obstruksi). Karena lengkung tertutup tidak dapat
didekompresi, tekanan intralumen meningkat dengan cepat, mengakibatkan penekanan pebuluh
darah, iskemia dan infark (strangulasi) sehingga menimbulkan obstruksi strangulate yang
disebabkan obstruksi mekanik yang berkepanjangan. Obstruksi ini mengganggu suplai darah,
kematian jaringan dan menyebabkan gangren dinding usus.

6.      Patofisiologi

Semua peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa
memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau non mekanik.
Perbedaan utama adalah pada obstruksi paralitik peristaltik dihambat dari permulaan,
sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan
akhirnya hilang. Sekitar 6-8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari.
Sebagian besar cairan diasorbsi sebelum mendekati kolon. Perubahan patofisiologi utama pada
obstruksi usus adalah adanya lumen usus yang tersumbat, ini  menjadi tempat perkembangan
bakteri sehingga terjadi akumulasi gas dan cairan (70% dari gas yang tertelan). Akumulasi gas
dan cairan dapat terjadi di bagian proksimal atau distal usus. Apabila akumulasi terjadi di
daerah distal mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intra abdomen dan intra lumen.
Hal ini dapat meningkatkan terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler dan ekstravasasi air
dan elektrolit di peritoneal. Dengan peningkatan permeabilitas dan ekstravasasi menimbulkan
retensi cairan di usus dan rongga peritoneum mengakibatakan terjadi penurunan sirkulasi dan
volume darah. Akumulasi gas dan cairan di bagian proksimal mengakibatkan kolapsnya usus
sehingga terjadi distensi abdomen. Terjadi penekanan pada vena mesenterika yang
mengakibatkan kegagalan oksigenasi dinding usus sehingga aliran darah ke usus menurun,
terjadilah iskemi dan kemudian nekrotik usus. Pada usus yang mengalami nekrotik terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan pelepasan bakteri dan toksin  sehingga terjadi perforasi.
Dengan adanya perforais akan menyebabkan bakteri akan masuk ke dalam sirkulasi sehingga
terjadi sepsis dan peritonitis.
Masalah lain yang timbul dari distensi abdomen adalah penurunan fungsi usus dan peningkatan
sekresi sehingga terjadi peminbunan di intra lumen secara progresif yang akan menyebabkan
terjadinya retrograde peristaltic sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Bila hal ini
tidak ditangani dapat menyebabkan syok hipovolemik. Kehilangan cairan dan elektrolit yang
berlebih berdampak pada penurunanan curah jantung sehingga darah yang dipompakan tidak
dapat memenuhi kebutuhan seluruh tubuh sehingga terjadi gangguan perfusi jaringan pada otak,
sel dan ginjal. Penurunan perfusi dalam sel menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob yang
akan meningkatkan asam laktat dan menyebabkan asidosis metabolic. Bila terjadi pada otak
akan menyebabkan hipoksia jaringan otak, iskemik dan infark. Bila terjadi pada ginjal akan
merangsang pertukaran natrium dan hydrogen di tubulus prksimal dan pelepasan aldosteron,
merangsang sekresi hidrogen di nefron bagian distal sehingga terjadi peningaktan reabsorbsi
HCO3- dan penurunan kemampuan ginjal untuk membuang HCO3. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya alkalosis metabolic. (Price &Wilson, 2007)

Pathway
7.      Manifestasi Klinik

a.       Mekanik sederhana – usus halus atas


Kolik (kram) pada abdomen pertengahan sampai ke atas, distensi, muntah,
peningkatan bising usus, nyeri tekan abdomen.
b.      Mekanik sederhana – usus halus bawah
Kolik (kram) signifikan midabdomen, distensi berat, bising usus meningkat, nyeri
tekan abdomen.
c.       Mekanik sederhana – kolon
Kram (abdomen tengah sampai bawah), distensi yang muncul terakhir, kemudian
terjadi muntah (fekulen), peningkatan bising usus, nyeri tekan abdomen.
d.      Obstruksi mekanik parsial
Dapat terjadi bersama granulomatosa usus pada penyakit Crohn. Gejalanya kram
nyeri abdomen, distensi ringan dan diare.
e.       Strangulasi
Gejala berkembang dengan cepat: nyeri hebat, terus menerus dan terlokalisir,
distensi sedang, muntah persisten, biasanya bising usus menurun dan nyeri tekan
terlokalisir hebat. Feses atau vomitus menjadi berwarna gelap atau berdarah atau
mengandung darah samar. (Price &Wilson, 2007)
  Gejala  ileus  obstruktif  tersebut  bervariasi  tergantung  kepada  (Winslet,2002;
Sabiston,1995).
1.      Lokasi obstruksi
2.      Lamanya obstruksi
3.      Penyebabnya
4.      Ada atau tidaknya iskemia usus

8.      Pemeriksaan Penunjang
a.       Sinar x abdomen menunjukkan gas atau cairan di dalam usus
b.      Barium enema menunjukkan kolon yang terdistensi, berisi udara atau lipatan
sigmoid yang tertutup.
c.       Penurunan kadar serum natrium, kalium dan klorida akibat muntah, peningkatan
hitung SDP dengan nekrosis, strangulasi atau peritonitis dan peningkatan kadar
serum amilase karena iritasi pankreas oleh lipatan usus.
d.      Arteri gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis metabolic.

9. Penatalaksanaan
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit dan cairan,
menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi, mengatasi peritonitis dan
syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan
fungsi usus kembali normal.
a.       Resusitasi
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda - tanda vital,
dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami dehidrasi
dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan intravena
seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan memonitor tanda -
tanda vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian cairan intravena,
diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT digunakan untuk
mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila muntah dan
mengurangi distensi abdomen.
b.      Farmakologis
Pemberian obat - obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai profilaksis.
Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.
c.       Operatif          
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk mencegah
sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan
teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi. Berikut
ini beberapa kondisi atau pertimbangan untuk dilakukan operasi: Jika obstruksinya
berhubungan dengan suatu simple obstruksi atau adhesi, maka tindakan lisis yang
dianjurkan. Jika terjadi obstruksi stangulasi maka reseksi intestinal sangat
diperlukan. Pada umumnya dikenal 4 macam cara/tindakan bedah yang dilakukan
pada obstruksi ileus:
1)      Koreksi sederhana (simple correction).
Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana untuk membebaskan usus dari
jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi
atau pada volvulus ringan.
2)      Tindakan operatif by-pass.
Membuat saluran usus baru yang “melewati” bagian usus yang tersumbat, misalnya
pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.
3)      Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,
misalnya pada Ca stadium lanjut.
4)      Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung
usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinoma
colon, invaginasi, strangulata, dan sebagainya. Pada beberapa obstruksi ileus,
kadang-kadang dilakukan tindakan operatif  bertahap, baik oleh karena penyakitnya
sendiri maupun karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif,
mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan
anastomosis. 

10.  Komplikasi
a.       Nekrosis usus, perforasi usus, dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi selalu lama
pada organ intra abdomen.
b.      Sepsis, infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan cepat.
c.       Syok-dehidrasi, terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.
d.      Abses Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi, karena absorbsi
toksin dalam rongga peritonium sehinnga terjadi peradangan atau infeksi yang
hebat pada intra abdomen.
e.       Pneumonia aspirasi dari proses muntah,
f.       Gangguan elektrolit, karena terjadi gangguan absorbsi cairan dan elektrolit pada
usus.
g.      Kematian ( Brunner and Suddarth, 2002 )
B. Konsep Dasar Keperawatan

PENGKAJIAN
1) Identitas Pasien

2)   Keluhan utama pasien


Nyeri pada daerah luka post operasi.
3)      Riwayat penyakit sekarang (sesuai pola PQRST)
Klien masuk RS tanggal 01 Oktober 2020 jam 05.00 WIB dan langsung dilakukan
operasi cyto jam 08.00 WIB. Saat pengkajian tanggal 01 Oktober 2020 klien mengeluh
nyeri pada daerah luka post operasi seperti diiris-iris dan ditusuk-tusuk, nyeri terasa
sampai ke samping kiri/ kanan perut nyeri lebih terasa apabila klien melakukan
pernafasan perut. Nyeri ilang apabila klien tenang dan tidak merasa tegang pada daerah
perut. Intensitas nyeri ± 3 – 5 menit.

4)      Riwayat penyakit dahulu.


Klien pernah menderita penyakit yang sama dengan riwayat operasi 2 kali yaitu pada
tahun 2010 di RSU SMC, 2011 di RS Islam dan yang terakhir di RSUD Tsm, tidak ada
riwayat hypertensi, penyakit menular ataupun keganasan.

5)     Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada diantara anggota keluarga yang mengalami sakit seperti klien, tidak ada
diantara keluarga yang mempunyai riwayat hypertensi, penyakit menular atau
keganasan.

  Diagnostik Test
1)      Pemeriksaan sinar X: akan menunjukkan kuantitas abnormal   dari gas dan cairan
dalam usus.
2)      Pemeriksaan simtologi
3)      Hb dan PCV: meningkat akibat dehidrasi
4)      Leukosit: normal atau sedikit meningkat
5)      Ureum dan eletrolit: ureum meningkat, Na+ dan Cl-  rendah
6)      Rontgen toraks: diafragma meninggi akibat distensi abdomen
7)      Rontgen abdomen dalam posisi telentang: mencari penyebab (batu empedu,
volvulus, hernia).
8)      Sigmoidoskopi: menunjukkan tempat obstruktif.

Pemeriksaan fisik pada pasien ileus obstruksi


1.      Inspeksi
Dapat  ditemukan  tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup
kehilangan  turgor  kulit  maupun  mulut  dan  lidah  kering.  Pada  abdomen
harus  dilihat  adanya distensi, parut abdomen,  hernia dan massa abdomen.
Terkadang  dapat  dilihat  gerakan  peristaltik  usus  (Gambar  2.4)  yang  bisa
bekorelasi  dengan  mulainya  nyeri  kolik  yang  disertai  mual  dan 
muntah. Penderita  tampak  gelisah  dan  menggeliat  sewaktu  serangan 
kolik (Sabiston, 1995; Sabara, 2007)
2.      Palpasi
Pada  palpasi  bertujuan  mencari  adanya  tanda  iritasi  peritoneum
apapun  atau  nyeri  tekan,  yang  mencakup  ‘defance  musculair’  involunter
atau  rebound  dan  pembengkakan  atau  massa  yang  abnormal  (Sabiston, 1995;
Sabara, 2007).
3.      Auskultasi
Pada  ileus  obstruktif  pada  auskultasi  terdengar  kehadiran  episodik
gemerincing  logam  bernada  tinggi  dan  gelora  (rush’)  diantara  masa
tenang.  Tetapi setelah  beberapa  hari   dalam  perjalanan  penyakit dan usus
di  atas  telah  berdilatasi,  maka  aktivitas  peristaltik  (sehingga  juga  bising
usus)  bisa  tidak  ada  atau  menurun  parah.  Tidak  adanya  nyeri  usus  bisa
juga  ditemukan  dalam  ileus  paralitikus  atau  ileus  obstruksi  strangulata
(Sabiston, 1995).
 Bagian  akhir  yang  diharuskan  dari  pemeriksaan  adalah  pemeriksaan  rektum
dan  pelvis.  Ia  bisa  membangkitkan  penemuan  massa  atau  tumor  serta  tidak
adanya  feses  di  dalam  kubah  rektum  menggambarkan  ileus  obstruktif  usus
halus.  Jika  darah  makroskopik  atau  feses  postif  banyak  ditemukan  di  dalam
rektum,  maka  sangat  mungkin  bahwa  ileus  obstruktif  didasarkan  atas  lesi
intrinsik  di  dalam  usus  (Sabiston,  1995).  Apabila  isi  rektum  menyemprot;
penyakit Hirdchprung (Anonym, 2007).

2.      Diagnosa Keperawatan
a.       Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang tidak
adequat dan ketidakefektifan penyerapan usus halus yang ditandai dengan adanya
mual, muntah, demam dan diaforesis.
b.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrisi.
c.       Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen
d.      Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan dengan disfungsi motilitas usus.
e.       Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
f.       Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

3. Perencanaan Keperawatan
a.       Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang tidak
adequat dan ketidakefektifan penyerapan usus halus yang ditandai dengan adanya
mual, muntah, demam dan diaforesis.
Tujuan :
Kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi, Mempertahankan hidrasi adekuat dengan
bukti membran mukosa lembab, turgor kulit baik, dan pengisian kapiler baik, tanda-
tanda vital stabil, dan secara individual mengeluarkan urine dengan tepat.
        Kriteria hasil:
1.      Tanda vital normal (N:70-80 x/menit, S: 36-37 C, TD: 110/70 -120/80 mmHg)
2.      Intake dan output cairan seimbang
3.      Turgor kulit elastic
4.      Mukosa lembab
5.      Elektrolit dalam batas normal (Na: 135-147 mmol/L, K: 3,5-5,5 mmol/L, Cl:
94-111 mmol/L).

Intervensi Rasional
1.  Kaji kebutuhan cairan pasien 1.  Mengetahui kebutuhan cairan
pasien.

2.  Observasi tanda-tanda vital: N, TD, 2.  Perubahan yang drastis pada tanda-
P, S tanda vital merupakan indikasi
kekurangan cairan.

3.  Observasi tingkat kesadaran dan 3.  kekurangan cairan dan elektrolit
tanda-tanda syok dapat mempengaruhi tingkat
kesadaran dan mengakibatkan syok.

4.  Observasi bising usus pasien tiap 1- 4.  Menilai fungsi usus
2 jam
5.  Monitor intake dan output secara 5.  Menilai  keseimbangan cairan
ketat
6.  Pantau hasil laboratorium serum 6.  Menilai keseimbangan cairan dan
elektrolit, hematokrit elektrolit
7.  Beri penjelasan kepada pasien dan 7.  Meningkatkan  pengetahuan pasien
keluarga tentang tindakan yang dan keluarga serta kerjasama antara
dilakukan: pemasangan NGT dan perawat-pasien-keluarga.
puasa.
8.  Kolaborasi dengan medik untuk 8.  Memenuhi  kebutuhan cairan dan
pemberian terapi intravena elektrolit pasien.

b.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrisi.
Tujuan :
 Berat badan stabil dan nutrisi teratasi.
         Kriteria hasil :
1.      Tidak ada tanda-tanda mal nutrisi.       
2.      Berat badan stabil.
3.      Pasien tidak mengalami mual muntah. 
Intervensi Rasional
1.  Tinjau faktor-faktor individual 1.    Mempengaruhi pilihan
yang mempengaruhi intervensi.
kemampuan untuk mencerna
makanan, mis: status puasa,
mual, ileus paralitik setelah
selang dilepas. 2.     Menentukan kembalinya
2.     Auskultasi bising usus; peristaltik ( biasanya dalam 2-4
palpasi   abdomen; catat pasase hari ).
flatus. 3.     Meningkatkan kerjasama
3.  Identifikasi kesukaan / pasien dengan aturan diet.
ketidaksukaan diet dari pasien. Protein/vitamin C adalah
Anjurkan pilihan makanan kontributor utuma untuk
tinggi protein dan vitamin C. pemeliharaan jaringan dan
perbaikan. Malnutrisi adalah
fator dalam menurunkan
pertahanan terhadap infeksi.
4.     Sindrom malabsorbsi dapat
terjadi setelah pembedahan usus
4.  Observasi terhadap terjadinya halus, memerlukan evaluasi
diare; makanan bau busuk dan  lanjut dan perubahan diet, mis:
berminyak. diet rendah serat.
5.     Mencegah muntah.
Menetralkan atau menurunkan
5.  Kolaborasi dalam pemberian pembentukan asam untuk
obat-obatan sesuai indikasi: mencegah erosi mukosa dan
Antimetik, mis: proklorperazin kemungkinan ulserasi.
(Compazine). Antasida dan
inhibitor histamin, mis:
simetidin (tagamet).

c.       Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen


Tujuan :
pola nafas menjadi efektif
         Kriteria hasil :
pasien memiliki pola pernafasan: irama vesikuler, frekuensi: 18-20x/menit

Intervensi Rasional
1.  Observasi TTV: P, TD, N,S 1.      Perubahan pada pola nafas
akibat adanya distensi abdomen
dapat mempengaruhi
peningkatan hasil TTV.
Intervensi Rasional
2.  Kaji status pernafasan: pola, 2.      Adanya distensi pada
frekuensi, kedalaman abdomen dapat menyebabkan
perubahan pola nafas.
3.  Kaji bising usus pasien 3.      Berkurangnya/hilangnya
bising usus menyebabkan terjadi
distensi abdomen sehingga
mempengaruhi pola nafas.
4.  Tinggikan kepala tempat tidur 4.      Mengurangi penekanan pada
40-60 derajat paru akibat distensi abdomen.
5.  Observasi adanya tanda-tanda 5.      Perubahan pola nafas akibat
hipoksia jaringan perifer: adanya distensi abdomen dapat
cianosis menyebabkan oksigenasi perifer
terganggu yang dimanifestasikan
dengan adanya cianosis.
6.      Mendeteksi adanya asidosis
6.  Monitor hasil AGD respiratorik.
7.      Meningkatkan pengetahuan
7.  Berikan penjelasan kepada dan kerjasama dengan keluarga
keluarga pasien tentang pasien.
penyebab terjadinya distensi
abdomen yang dialami oleh
pasien 8.      Memenuhi kebutuhan
8.  Laksanakan program medic oksigenasi pasien
pemberian terapi oksigen

d.      Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan dengan disfungsi motilitas usus.


Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola eliminasi kembali normal.
         Kriteria hasil:
Pola eliminasi BAB normal: 1x/hari, dengan konsistensi lembek, BU normal: 5-
35 x/menit, tidak ada distensi abdomen.
Intervensi Rasional
1.  Kaji dan catat frekuensi, warna 1. Mengetahui  ada atau tidaknya
dan konsistensi feces kelainan yang terjadi pada
eliminasi fekal.
2.  Auskultasi bising usus 2. Mengetahui normal atau
tidaknya pergerakan usus.

3.  Kaji adanya flatus 3. Adanya flatus menunjukan


perbaikan fungsi usus.
4.  Kaji adanya distensi abdomen 4. Gangguan motilitas usus dapat
Intervensi Rasional
menyebabkan akumulasi gas di
dalam lumen usus sehingga
terjadi distensi abdomen.
5.  Berikan penjelasan kepada 5. Meningkatkan pengetahuan
pasien dan keluarga penyebab pasien dan keluarga serta untuk
terjadinya gangguan dalam meningkatkan kerjasana antara
BAB perawat-pasien dan keluarga.
6. Membantu dalam pemenuhan
6.  Kolaborasi dalam pemberian kebutuhan eliminasi
terapi pencahar (Laxatif)

e.  Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen


Tujuan :
rasa nyeri teratasi atau terkontrol

         Kriteria hasil:
pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan; menyatakan nyeri pada
tingkat dapat ditoleransi, menunjukkan relaks.

Intervensi Rasional
1.      Observasi TTV: N, TD, HR, P tiap 1.      Nyeri hebat yang dirasakan pasien
shif akibat adanya distensi abdomen
dapat menyebabkan peningkatan
hasih TTV.
2.      Kaji keluhan nyeri, karakteristik 2.      Mengetahui kekuatan nyeri yang
dan skala nyeri yang dirasakan dirasakan pasien dan menentukan
pesien sehubungan dengan adanya tindakan selanjutnya guna mengatasi
distensi abdomen nyeri.
3.      Berikan posisi yang nyaman: posisi 3.      Posisi yang nyaman dapat
semi fowler mengurangi rasa nyeri yang
dirasakan pasien
4.      Ajarkan dan anjurkan tehnik 4.      Relaksasi dapat mengurangi rasa
relaksasi tarik nafas dalam saat nyeri
merasa nyeri
5.      Anjurkan pasien untuk 5.      Mengurangi nyeri yang dirasakan
menggunakan tehnik pengalihan saat pasien.
merasa nyeri hebat.
6.      Kolaborasi dengan medic untuk 6.      Analgetik dapat mengurangi rasa
terapi analgetik nyeri

f.       Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.


Tujuan:
Kecemasan teratasi.
         Kriteria hasil :
pasien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat ini dan
mendemonstrasikan keterampilan koping positif.
Intervensi Rasional
1.      Observasi adanya 1.      Rasa cemas yang dirasakan
peningkatan kecemasan: wajah pasien dapat terlihat dalam
tegang, gelisah ekspresi wajah dan tingkah
laku.
2.      Kaji adanya rasa cemas yang 2.      Mengetahui  tingkat
dirasakan pasien kecemasan pasien.
3.      Berikan penjelasan kepada 3.      Dengan mengetahui tindakan
pasien dan keluarga tentang yang akan dilakukan akan
tindakan yang akan dilakukan mengurangi tingkat kecemasan
sehubungan dengan keadaan pasien dan meningkatkan
penyakit pasien kerjasama
4.      Berikan kesempatan pada 4.      Dengan mengungkapkan
pasien untuk mengungkapkan kecemasan akan mengurangi
rasa takut atau kecemasan yang rasa takut/cemas pasien
dirasakan
5.      Pertahankan lingkungan yang 5.      Lingkungan yang tenang dan
tenang dan tanpa stres. nyaman dapat mengurangi
stress pasien berhadapan
dengan penyakitnya
6.      Dorong dukungan keluarga 6.      Support system dapat
dan orang terdekat untuk mengurani rasa cemas dan
memberikan support kepada menguatkan pasien dalam
pasien memerima keadaan sakitnya.

4. Evaluasi
Hasil yang diharapkan sesuai diagnose keperawatan
1.      Tidak ada atau nyeri abdomen berkurang
2.      Menunjukkan tanda-tanda keseimbangan cairan elektrolit
3.      Membuat pola eliminasi sesuai kebutuhan fisik dan gaya hidup dengan ketetapan
jumlah dan konsistensi
4.      Mendapat nutrisi yang optimal
5.      Tidak adanya depresi pernafasan
6.      Tidur/istirahat tidak ada gangguan
7.      Tidak mengalami komplikasi dengan suhu batas normal
8.      Menunjukkan rileks dan tidak cemas
9.      Memperoleh pemahaman dan pengetahuan tentang proses penyakitnya
DAFTAR PUSTAKA

Donna Ignatavician, (2006). Medical Surgical Nursing. Volume 2. St. Louis Missouri: Elsevier
Sounders

Lewis Heitkemper Diksen, (2007). Medical Surgical Nursing. Volume 2. St. Louis Missouri:
Mosby Elsevier.

Price &Wilson, (2007). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi  6,


Volume1. Jakarta: EGC.

Rahayu Rejeki handayani, bahar asril. Buku ajar ilmu penyakit Dalam. Jakarta : Departemen
Pendidikan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jilid III edisi IV ;
2007. 1405-1410

Anda mungkin juga menyukai