Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENEGAKAN HUKUM BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan

DISUSUN OLEH :

SAMSIDAR. S (1962040003)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2020
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan limpahan rahmat-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Dan sholawat
serta salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Rasulullah SAW yang telah
memberikan kita kenikmatan Islam, Iman dan Ihsan.
Adapun judul makalah yang kami bahas mengenai “Penegakan Hukum
Berbasis Kearifan Lokal”. Makalah ini kami susun dengan memanfaatkan sumber
buku, jurnal penelitian, informasi dari web internet dan e-book.
Namun terlepas dari semua itu, kami menyusun makalah ini dengan segala
keterbatasan dan kekurangan, sehingga kami menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih banyak terdapat kesalahan, kekurangan dan sangat jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dalam usaha penyempurnaannya, dan upaya-upaya pemahaman yang
lebih luas.
Dengan segala kekurangan dan kelebihan semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua, dan semoga Allah SWT selalu meridhai segala usaha
yang dilakukan. Aamiin.

Makassar, 11 April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................i

Kata Pengantar................................................................................................ii

Daftar Isi.........................................................................................................iii

Bab 1 Pendahuluan.........................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................1

B. Rumusan Masalah..............................................................................2

C. Tujuan Makalah.................................................................................2

Bab 2 Pembahasan...........................................................................................3

A. Hubungan Antara Hukum dan Kearifan Lokal…………………….3


B. Potensi Kearifan Lokal dalam Pembangunan Nasional……………5

Bab 3 Kesimpulan dan Saran..........................................................................10

A. Kesimpulan.........................................................................................10

B. Saran...................................................................................................10

Daftar Pustaka.................................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang becorak multi etnik, agama, ras dan golongan.
Sesanti Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan kemajemukan
budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah
negara yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke selain memiliki
sumber daya alam (natural recsources) juga mempunyai sumber daya budaya
(cultural resources) yang beraneka ragam coraknya. Keragaman etnik yang ada di
Indonesia sudah tentu mengandung dimensi multibudaya (multikultural).
Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang memiliki
kelompokkelompok etnik yang berbeda dalam kebudayaan, bahasa, nilai, adat
istiadat dan tata kelakuan yang diakui sebagai jalan positif untuk menciptakan
toleransi dalam sebuah komunitas. Masyarakat yang terdiri dari berbagai suku
bangsa atau masyarakat yang berbhineka juga didefinisikan sebagai masyarakat
majemuk, masyarakat plural atau pluralistik. Paradigma pluralisme pada awalnya
digunakan untuk melakukan counter terhadap teori-teori tradisional mengenai
kedaulatan negara. Hal ini karena teori-teori tradisional tersebut tidak atau kurang
memertimbangkan adanya bermacam-macam hak, kepentingan dan
perkembangan dari aneka warna kelompok atau golongan di dalam negara.
Pembangunan hukum, sebagaimana aspek pembangunan di bidang lainnya,
sudah seharusnya memertimbangkan aspek multikultural yang ada dalam suatu
komunitas negara. Pembangunan hukum yang mengabaikan fakta kemajemukan
masyarakat (political of legal plurality ignorance) dapat menjadi pemicu
terjadinya konflik nilai dan norma dalam masyarakat. Hukum positif/hukum
nasional bahkan menjadi beban bagi sebagian masyarakat lokal. Hal ini terjadi
karena meskipun fakta kehidupan yang menunjukkan keragaman hukum (legal
plurality), namun pembangunan hukum di Indonesia masih dominan pada sistem
hukum nasional dan kurang memberi perhatian pada sistem hukum adat, hukum

1
agama dan juga mekanisme-mekanisme regulasi sendiri (self regulation) yang ada
dalam komunitas masyarakat di daerah.
B. Rumusan Masalah
Berdasakan pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana hubungan antara hukum dan kearifan lokal?
2. Bagaimana potensi kearifan lokal dapat menjadi salah satu bahan pembangunan
hukum di Indonesia?
C. TUJUAN MAKALAH
1. Mengetahui dan mengidentifikasi hubungan antara hukum dan kearifan local.
2. Mengetahui dan mengidentifikasi potensi kearifan lokal yang merupakan tema
utama dari kebudayaan dapat menjadi salah satu bahan pembangunan hukum di
Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hubungan Antara Hukum dan Kearifan Lokal
Sebelum lahirnya beberapan undang-undang dan peraturan di atas, masyarakat
Indonesia dalam realitasnya di beberapa daerah bahwa hukum Islam sejak
kedatangannya ke Nusantara merupakan hukum yang hidup (living law) di
masyarakat, tidak hanya pada tataran simbol melainkan juga pada tataran praktis.
Hal tersebut bukan semata-mata sebuah tanda bahwa mayoritas penduduk di
Indonesia adalah Islam, tetapi sudah menjadi tradisi (adat) yang terkadang
dianggap sakral.
Hal itu pula berlaku pada hukum pidana di Indonesia dengan tidak menafikan
adanya local wisdom (kearifan lokal) yang terimplementasi dari adat budaya pada
daerah-daerah yang masih memegang prinsip-prinsip adat budayanya dalam
menyelesaikan kasus-kasus pidana. Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi
kehidupan mereka, sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada
kehidupan masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas
hubungan sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam
persamaan visi dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera
bersama. Dalam bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok
masyarakat saling melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai
dan norma sosial yang berlaku.
Sejak muncul Budaya hukum, sistem hukum dipercaya dengan satu
komponen yang tidak berupa peraturan formal maupun institusi-institusi,
melainkan sesuatu yang lebih bersifat spiritual. Budaya hukum merupakan
semacam kekuatan yang menggerakkan bekerjanya hukum. Budaya hukum berupa
nilai-nilai, tradisi, dan lain-lain kekuatan spiritual yang menentukan bagaimana
hukum itu dijalankan dalam masyarakat.
Dari pemikiran tersebut di atas, untuk dapat melakukan kehidupan berbangsa
dan bernegara yang berbudaya setiap Warga Negaradan setiap Pelaksana
Pemerintahan harusmemahami, menyadari dan menempatkan dirinya sebagai

3
hambaTuhan Yang MahaKuasa. Dengan kata lain, kehidupan berbangsa dan
bernegara harus dilandasi dengan ajaran agama. Pada dasarnya konsep dasar
ajaran agama adalah budi pekerti dan tata krama. Sebagai contoh, ajaran Agama
Islam adalah al-akhlaq wal adab artinya mengedepankan budi pekerti dan tata
krama sebagai konsep intensitas kehidupan yaitu rahmatan lil ‘alamin.
Konsep dasar kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia yang
berbudaya dilandasi dengan ketekunan melaksanakan ibadah menurut agama dan
kepercayaan masing-masing itulah kepribadian bangsa Indonesia.Dengan bekal
kehidupan beragama, manusia berbudaya akan selalu ingat bahwasanya perilaku
nyata akan membawa konsekwensi pada pertanggung jawaban terhadap
perilakunya tersebut. Oleh karenanya para pelaku yang berada pada tataran law
making institutions dan sanctioning institutions/guardian law institutions harus
memperhatikan hal itu supaya tidak merugikan pihak yang berada pada tataran
role occupant, yaitu masyarakat.
Pembangunan hukum yang berbasiskan kebudayaan sebenarnya telah diawali
sejak zaman kolonial Belanda. Pada tahun 1925, C van Vollenhoven melakukan
penelitian untuk memetakan persebaran hukum adat di Indonesia. Penelitian
tersebut berhasil melakukan analisis terhadap ciri-ciri khusus atas hukum adat
yang terdapat pada masyarakat-masyarakat di daerah-daerah lingkungan hukum
adat dan menghasilkan 19 lingkungan hukum adat di Indonesia. Berkat
perjuangannya, hukum-hukum negara yang diterapkan (oleh badanbadan yudisial
pemerintah kolonial) menjadi tidak banyak menyimpang dari hukum yang hidup di
tengah-tengah masyarakat. Eksistensi hukum adat di Indonesia sampai saat ini
telah diakui secara konstitusional. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 18B ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.
Selanjutnya dalam Pasal 28I ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 dinyatakan
bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

4
perkembangan jaman dan peradaban. Dalam berbagai undang-undang juga
disinggung memgenai eksistensi hukum adat dan masyarakat adat, antara lain
dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 5 tahun 1994 tentang pengesahan
Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati yang memuat prinsip free and
prior inform consent; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah yang mengatur prinsip desentralisasi dalam pengelolaan sumber daya
alam; dan Pasal 1 ayat (30) UndangUndang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Apabila ditelusuri lebih lanjut,
hukum adat dalam prakteknya adalah berisi kearifan-kearian lokal yang saat ini
sedang mengemuka karena kapasitasnya telah terbukti bermanfaat sebagai
pendekatan dalam berbagai aspek kehidupan.
Secara yuridis formal kearifan lokal telah diperkenalkan dalam Pasal 1 ayat
(30) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 yang menyatakan bahwa kearifan
lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk
antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Dalam
undang-undang tersebut juga diperkenalkan asas kearifan lokal dalam pengelolaan
lingkungan di Indonesia, yaitu bahwa dalam upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup harus memerhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat. Berdasarkan penelusuran berbagai literatur, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud sebagai kearifan lokal adalah nilai-nilai,
norma, hukum-hukum dan pengetahuan yang dibentuk oleh ajaran agama,
kepercayaan-kepercayaan, tata nilai tradisional dan pengalaman-pengalaman yang
diwariskan oleh leluhur yang akhirnya membentuk sistem pengetahuan lokal yang
digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan sehari-hari oleh
masyarakat.
B. Potensi Kearifan Lokal dalam Pembangunan Nasional
Pembangunan di bidang hukum berarti mengusahakan keserasian yang lebih
mantap antara ketertiban dengan ketentraman. Pembangunan hukum sekaligus
mengandung dua makna, yaitu usaha memperbaharui hukum positif sehingga sesuai

5
dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang
mutakhir (modernisasi hukum) sekaligus sebagai usaha untuk memfungsional hukum
dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara turut mengadakan perubahan-
perubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang
membangun. Pembangunan hukum merupakan usaha yang tidak berdiri sendiri,
melainkan perlu dilihat kehadirannya dalam konteks perubahan sosial dan tata nilai
(modernisasi). Pembangunan hukum pada hakekatnya berkaitan pula dengan segi-
segi kehidupan lainnya. Kaitan hukum dengan segi-segi lainnya adalah sama-sama
merupakan gejala sosial. Oleh karena itu, proses pembangunan hukum selalu dibatasi
oleh perubahan sosial yang terjadi. Pembangunan hukum memiliki makna yang
progresif sekaligus adaptif.
Fenomena kehidupan di awal abad ke-21 ini diwarnai dengan terjadinya
reformasi di berbagai bidang kehidupan manusia. Pengaruh kemajuan di bidang
teknologi dan informasi menyingkap tabir pembatas hubungan antar bangsa-bangsa di
dunia dengan berbagai dampak positif maupun negatif bagi bangsa yang satu dengan
bangsa yang lain. Tak terkecuali Negara Indonesia, dalam usianya yang ke 67 harus
mengikuti tuntutan perkembangan kehidupan dunia internasional tersebut dengan
segala konsekuensinya. Interaksi di antara bangsa-bangsa telah mempengaruhi pola
hidup dan tuntutan-tuntutan baru yang selama ini tidak pernah diperolehnya. Namun
demikian diantara dampak timbul, kiranya lebih banyak dampak negatifnya bagi
tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Pola kehidupan bermasyarakat beralih ke
induvidualis, kehidupan musyawarah beralih ke tata cara vootingdan kontroversi,
kehidupan konsumtif menjadi pilihan lebih utama. Perubahan pola dan tatanan
kehidupan ini berakibat luas, diantaranya, korupsi seakan menjadi hal yang biasa,
konflik dengan kekerasan menjadi model penyelesaian masalah, serta disiplin dan
ketaatan terhadap peraturan menjadi lemah. Munculnya premanisme di tengah
masyarakat seakan tak terkendali, akibatnya warga masyarakat hanya dapat melihat
dan menjadi korban, tanpa tahu apa yang harus dilakukan dan kemana mencari
tempat perlindungan. Hal inipun nampak pada lembaga kepemimpinan nasional,
anggota wakil rakyat dan pejabat negara banyak terlibat korupusi, kekerasan sampai

6
dengan tindakan asusila. Semuanya itu mengancam terhadap integritas dan identitas
bangsa.
Di tengah proses peralihan pola dan tatanan kehidupan, saat ini, ternyata di
dalam suatu lingkungan tata kehidupan bangsa Indonesia masih ada, hidup dan
berkembang pola dan tatanan kehidupan yang memegang teguh prinsip kehidupan
berdasarkan nilai-nilai kebangsaan dan budi pekerti bangsa, dan sangat disiplin dan
taat terhadap peraturan yang berlaku di lingkungannya. Salah satu lingkungan
kehidupan tersebut adalah lingkungan masyarakat Jawa, khususnya Keraton
Kasultanan Yogyakarta. Prinsip hidup “hamemayu hayuning bawono” dengan kredo
nyawiji, greget, sengguh dan ora mingkuh, merupakan kunci utama tetap terjaganya
pola dan tatanan hidup yang mengedepankan kebersamaan, tata krama, budi pekerti
dan ketaatan terhadap peraturan. Oleh karenanya sebagai suatu bukti
pranatakehidupan berbangsa dan bernegara berbasis kearifan lokal yang melembaga
kiranya perlu diungkap untuk dapat dipakai sebagai refleksi terhadap pola dan tata
kehidupan bangsa Indonesia, saat ini.
Pembangunan bermakna progresif karena sifatnya yang selalu aktif
memperbaharui hukum menuju ke arah yang diinginkan oleh masyarakat dan
usahanya untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial. Sedangkan adaptif karena
usahanya untuk untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang
mutakhir. Sebagai bagian dari produk kebudayaan, hukum tidak hanya dipandang
sebagai bangunan norma peraturan yang dibuat oleh pihak yang memiliki otoritas
untuk membuat hukum negara. Lebih dari itu, perspektif antropologi hukum
memerlihatkan wujudnya sebagai sistem pengendalian sosial (social control) untuk
menciptakan keteraturan sosial (social order) dan menjaga ketertiban dalam
kehidupan bersama (legal order). Perubahan sosial di era reformasi telah melahirkan
politik hukum yang mempertegas diri bahwa ada kemauan politik menuju ke arah
negara maju yang bercirikan otonomi. Dengan diberlakukannya otonomi daerah
segera memunculkan serangkaian kebangkitan daerah, etnik, politik dan hukum.
Menguatnya kesadaran akan peran nilai-nilai lokal dalam menopang
pembangunan yang berkelanjutan membawa dampak dalam proses pembangunan

7
hukum nasional. Hukum adat dan kearifan lokal sudah semestinya dijadikan
komponen dan sendi dari pembangunan hukum nasional. Tujuan-tujuan hukum
sebagai pengendalian sosial, penjaga keteraturan sosial dan menjaga ketertiban
kehidupan bersama tersebut harus ditempatkan pada bingkai besarnya yaitu
kebudayaan. Setting sosial negara Indonesia yang multi etnik, multi ras dan multi
religi tidak boleh dilupakan oleh para pengambil kebijakan pembangunan sehingga
dapat memahami keinginan masyarakat dan sekaligus mengarahkan pembangunan
hukum ke tujuan yang lebih baik. Dalam konteks kebijakan pembangunan,
pembangunan hukum dalam masyarakat yang multikultural harus dimaknai sebagai
seperangkat kebijakan pemerintah yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh
masyarakat dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok
etnik atau suku bangsa. Hal ini beralasan karena bagaimanapun juga, semua
kelompok etnik atau suku dan bangsa telah memberi kontribusi bagi pembentukan
dan pembangunan suatu bangsa.
Pengalaman menghadapi berbagai konflik sosial yang selama ini terjadi,
seharusnya menjadi bahan pengingat untuk dapat mengelola pembangunan hukum
yang berbasis kemajemukan. Selanjutnya berikut akan disampaikan beberapa langkah
yang dapat diambil dalam rangka pembangunan hukum yang berbasiskan
kemajemukan dan kearifan lokal yaitu: Membangun pemahaman mengenai
pluralisme hukum bagi setiap pelaku pembangunan hukum. Hal ini penting untuk
menyadarkan kita bahwa hukum negara yang tertulis dalam dokumen-dokumen dan
kitab-kitab hukum itu tidak selamanya mencerminkan hukum rakyat yang hidup dan
dianut rakyat setempat dalam kehidupan sehari-hari. Melakukan reorientasi
paradigma pembangunan hukum. Reorientasi paradigma pembangunan hukum
dilakukan dengan mengedepankan hukum yang memberi pengakuan dan
perlindungan yang utuh dan hakiki terhadap sistem-sistem hukum selain hukum
negara tetapi juga terhadap hukum adat dan hukum agama, termasuk mekanisme-
mekanisme pengaturan lokal (inner order mechanism) yang secara empirik eksis dan
hidup, serta dioperasikan dalam masyarakat (I Nyoman Nurjaya, 2008). Sistem
pengendalian sosial yang telah digunakan oleh masyarakat secara turun temurun

8
harus dipahami sebagai bangunan elemen sistem hukum nasional. Hal ini dikarenakan
hukum nasional beserta seluruh aparat penegak hukumnya tidak akan mampu
menjangkau setiap dimensi kehidupan sosial masyarakat. Pada kenyataannya sistem
pengendalian sosial masyarakatlah yang menjaga ritme keteraturan dan ketertiban
kehidupan bersama. Perbaikan aspek substansi hukum. Secara substansi hukum (legal
substance), proses pambuatan hukum (law making process), implementasi dan
penegakan hukum negara (law implementation and enforcement) wajib merespon dan
mengakomodasi hukum yang hidup (living law) sebagai ekspresi nilai-nilai, norma,
institusi dan tradisi hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang
bernuansa multicultural.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep kearifan lokal di dalam pranata kehidupan berbangsa dan bernegara
seperti diuraikan di atas, apabila dipahami, dihayati dan dilaksanakan akan
terwujud tujuan utamanya yaitu tata kehidupan yang harmonis dan berbudaya
antara para pemimpin dan rakyatnya, serta penegakan hukum dan keadilan
sehingga tercapai tata kehidupan yang sejahtera, adil dan makmur bagi seluruh
bangsa Negara Republik Indonesia. Dalam tata kehidupan dan hukum modern
sekarang ini, lebih didominasi oleh paham positivistik dengan berbagai kritik
yang berawal dari konsistensi tekstual perundang-undangan. Oleh karenanya
secara hermanutik, memerlukan penafsiran yang lebih mendasar dari latar
belakang pengaturan suatu gejala hukum dan fenomena hukum yang terjadi.
Eksistensi pranata berbasis kearifan lokal menjadi sangat penting karena telah
menyatu dalam tata kehidupan masyarakat. Substansinya tersirat di dalam
Grundnorm Pancasila dan UUD 1945, namun di dalam peraturan perundang-
undangan belum mendapat tempat yang semestinya sehingga menimbulkan
perilaku yang menyimpang dari tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh
karenanya Semboyan Bhinneka Tungal Ika seyogyanya dilengkapi sesuai aslinya
yaitu Tan Hana Dharma Hangrowa. Para pemimpin negara bukan sekedar
politicus tetapi ‘negarawan’ yang dapat menerapkan manunggaling kawula gusti
secara golong gilig dengan rakyatnya, dan bekerja dengan nyawiji, greget,
sengguh dan ora mingguh, dengan tujuan utamahamemayu hayuning bawono.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekuarangan. Untuk
kedepannya penulis akan menjelaskan makalah secara lebih fokus dan detail
dengan sumber yang lebih banyak dan dapat dipertanggungjawabkan. Kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca sangat dibutuhkan penulis.

10
DAFTAR PUSTAKA
Ali Mahrus, 2009, Menggugat Dominasi Hukum Negara: Penyelesaian Perkara
Carok Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Madura, Penerbit Rangkang,
Yogyakarta
Benard L. Tanya, 2011 (cetakan kedua), Hukum dalam Ruang Sosial, Genta
Publishing, Yogyakarta
Budi Agus Riwandi, 2004, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum,Raja
Grfindo Persada, Jakarta
Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama,
Semarang
Rachmad Syafaat, dkk, 2008, Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal, In-
Trans, Malang
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perilaku, Penerbit KOMPAS, Jakarta
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis
Serta Pengalaman-Pengalam di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2010
Sulistyowati Irianto, 2009, Hukum yang Bergerak, Tinjauan Antropologi Hukum,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

11

Anda mungkin juga menyukai