Anda di halaman 1dari 51

SARI PUSTAKA

Respon Hepar Terhadap Sepsis

Oleh :

Taufan Prasetya

Pembimbing :

dr. I. Hartantyo, Sp.A(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNDIP/ RSUP dr.Kariadi
SEMARANG
2012

0
I. PENDAHULUAN

Latar belakang

Sepsis adalah infeksi yang disertai reaksi inflamasi dengan

manifestasi sistemik yang berhubungan dengan pelepasan sejumlah mediator

inflamasi endogen kedalam aliran darah. Sepsis dapat berkembang menjadi

berat (severe sepsis) yang berakhir dengan kematian.1,2 Dikatakan sepsis berat

bila sepsis yang diikuti dengan tanda kegagalan sedikitnya satu organ. Gagal

kardiovaskuler bermanifestasi dengan hipotensi, gagal respirasi ditandai

dengan hipoksemia, gagal ginjal ditandai dengan oliguria dan gagal

hematologi ditandai dengan koagulopati, asidosis laktat dan penurunan status

mental akut. Syok septik merupakan sepsis berat dengan hipoperfusi organ

dan hipotensi yang kurang respon terhadap resusitasi cairan. 1,2

Sepsis merupakan suatu infeksi yang menginduksi sekumpulan

gejala dan gambaran inflamasi sistemik, berupa demam atau hipotermi,

leukositosis atau leukopeni, takikardi, dan takipneu atau “supranormal minute

ventilation”.1 Sebuah konsensus menentukan bahwa yang dimaksud sepsis

adalah “systemic inflammatory response syndrome” yang timbul selama

terjadinya infeksi.2

Beberapa penelitian menemukan adanya “inflammatory cascade”

seperti kortikosteroid, antibodi endotoksin, antagonis TNF (Tumor Necrosis

Factor), antagonis reseptor interleukin-1 (IL-1).2 Sepsis terjadi bila bakteri

yang masuk kedalam tubuh atau sirkulasi dan tidak dapat dieliminasi secara

efektif oleh tubuh atau terjadi kegagalan mekanisme pertahanan tubuh secara

1
umum. Hal tersebut akan merangsang respon inflamasi sistemik (Systemic

Inflammatory Response Syndrome /SIRS).2 Saat terjadi SIRS oleh karena

infeksi, inflammatory cascade selalu diawali dengan endotoksin atau

eksotoksin. Makrofag, monosit, sel mast, trombosit dan sel endotel memiliki

kemampuan untuk memproduksi banyak sitokin. TNF-α dan IL-1 dilepaskan

pertama dan menginisiasi sejumlah kaskade. Pelepasan IL-1 dan TNF-α

menyebabkan pembelahan inhibitor nuclear factor-kB (NF-kB), lalu

menginisiasi mRNA yang dapat menginduksi produksi sitokin proinflamasi

lainnya.2 Mekanisme pertahanan tubuh terjadi dalam bentuk dilepasnya

sitokin, aktifasi lekosit dan monosit serta aktifasi kaskade protein plasma

seperti sistem komplemen, jalur koagulasi intrinsik, ekstrinsik dan sistem

fibrinolitik.1,2

Sepsis merupakan penyebab kematian tertinggi pada pasien dengan

sakit kritis. Di Amerika Serikat, dari data 750.000 penderita pertahun, lebih

dari 210.000 penderita sepsis meninggal dunia. Angka kematian sepsis di


1,3
PICU RSUP dr. Kariadi berkisar antara 60-70%. Sepsis lebih banyak

bermanifestasi jaundice pada neonatus dan anak-anak dibandingkan dewasa.

Jaundice terjadi oleh karena peningkatan bilirubin oleh karena berbagai proses

yang tidak teregulasi baik, sebagai salah satu komplikasi dari sepsis atau

infeksi ekstrabakterial pada lebih dari 20% dari kasus jaundice di South West

Wales pada semua usia di komunitas rumah sakit. 4

Hepar sebagai organ kunci pada sepsis, karena berkaitan dengan

proses metabolik serta mekanisme pertahanan tubuh yang terjadi selama

2
sepsis.5 Disfungsi hepar dini terjadi pada jam pertama sepsis berkaitan dengan

hipoperfusi hepatosplanknik yang dapat menyebabkan peningkatan akut pada

petanda biologi kerusakan hepar (transaminase, laktat dehidrogenase, bilirubin)

dan dapat segera kembali semula dengan penatalaksanaan suportif yang

adekuat.6 Tiga jenis sel hepatik utama yang memberikan kontribusi respon

terhadap sepsis, diantaranya adalah sel Kupffer, hepatosit dan sel endotelial

sinusoid. Selain itu, terlibat pula neutrofil teraktivasi yang direkrut kedalam

hepar dan berpotensi memproduksi enzim destruktif serta oxygen-derived

radicals, yang dapat berlanjut menjadi jejas pada hepar. 5

Terapi yang efektif terhadap gagal organ sangat penting karena

beratnya beban akibat kegagalan organ yang dapat menyebabkan kematian.

Rata-rata risiko kematian meningkat 15-20 persen pada tiap kegagalan satu

organ. Rata-rata terjadi kegagalan dua organ selama sepsis berat, dengan rata-

rata mortalitas 30-40 persen. Abnormalitas serius dari fungsi hepar, koagulasi

dan sistem saraf pusat cenderung terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa

hari setelah onset sepsis dan terus berlangsung selama beberapa waktu.

Banyaknya organ yang mengalami kegagalan dan beratnya gagal organ

mempengaruhi prognosis. Untungnya, sebagian besar gagal organ dapat

membaik dalam waktu satu bulan pada pasien sepsis yang dapat bertahan.7

3
Tujuan penulisan

Mengetahui mekanisme fisiologi dan biokimia, serta menjelaskan disfungsi

hepatik yang dapat terjadi selama sepsis, serta partisipasi nya kearah sindrom

disfungsi organ multipel dan mengetahui dampak sepsis terhadap hepar.

Metode penulisan

Sari pustaka ini berupa penelusuran dan kajian beberapa sumber pustaka yang

relevan

II. ANATOMI, FISIOLOGI DAN BIOKIMIA HEPAR NORMAL

Hepar manusia mengandung 50.000 sampai 100.000 lobulus yang merupakan

unit dasar fungsional hepar yang merupakan struktur berbentuk silinder

dengan panjang beberapa milimeter dan garis tengah 0,8 sampai 2 mm. 9

Hepar terdiri dari dua jenis sel utama yaitu hepatosit, berasal dari

epitel, yang berperan aktif dalam proses metabolisme dan sel Kupffer yang

bersifat fagositik dan merupakan bagian dari sistem retikuloendotelial. Secara

mikroskopik, sel-sel ini tersusun membentuk suatu satuan anatomik hepar

yang disebut lobulus. Lobulus hepar tersusun di sekitar vena sentralis yang

mengalirkan darah ke arah vena hepatika dan kemudian bermuara ke dalam

vena kava (gambar. 1), lobulus hepar terdiri dari lempengan-lempengan sel

hepar yang berjajar secara radial dari vena sentralis seperti jari-jari roda dan

ditunjang oleh kerangka retikulin di sekitar pembuluh darah vaskular yang

disebut sinusoid. Setiap lempengan hepar biasanya setebal dua sel dan diantara

4
sel-sel yang berdekatan terletak kanalikuli empedu kecil yang bermuara ke

dalam saluran empedu terminal yang terdapat pada septa antara lobulus hepar

yang berdekatan. 9,10

Gambar 1. Lobulus hepar10


(Sumber : Kuntz E, Kuntz HD. Hepatology principles and practice. )

Hubungan vaskular di hepar tersusun sedemikian rupa sehingga

darah masuk ke masing-masing lobulus di bagian perifernya, tersaring ke arah

dalam menuju pusat lobulus melalui sinusoid, dan kemudian keluar melalui

sebuah vena sentral. Darah sinusoid dan sel hepar yang melapisi sinusoid

berhubungan erat sehingga terjadi pertukaran zat yang ekstensif antara darah

dan hepatosit. Regio mikroskopik sebenarnya antara sinusoid dan lempeng

hepatosit disebut ruang Disse. Ruang ini mengandung cairan interstisium

(tanpa eritrosit), tempat zat gizi dan produk sisa berdifusi untuk berpindah dari

hepar ke darah sirkulasi.9,10

Vaskularisasi hepar

Hepar memiliki dua sumber pendarahan yaitu arteri hepatika dan vena porta

hepatika. Sekitar 30% darah per menit memasuki hepar melalu arteri hepatika

dan sekitar 70% memasuki hepar melalui vena porta yang mengalirkan darah

5
dari gaster, intestinal, pankreas dan limpa. Darah vena porta dengan saturasi

oksigen yang rendah memenuhi sekitar 60-70% oksigen yang dibutuhkan oleh

hepar.11

Hampir seluruh aliran darah yang memasuki hepar melalui traktus

portal berasal dari traktus gastrointestinal, termasuk dari limpa, pankreas dan

kandung empedu. Aliran kedua menuju ke hepar berasal dari arteri hepatika,

cabang langsung dari trunkus coeliaka dan aorta desenden (gambar 2). Vena

porta mengalirkan darah vena dengan tekanan yang rendah ke hepar sementara

arteri hepatika mengalirkan darah arteri ke hepar dengan tekanan tinggi.

Bantalan kapiler traktus gastrointestinal sudah dapat mengekstraksi hampir

semua O2. Vena porta memiliki konten O2 yang rendah. Sedangkan darah yang

berasal dari arteri hepatika, karena berasal langsung dari aorta, telah tersaturasi

dengan O2 dan memenuhi sekitar 65% kebutuhan hepar akan O2. Arteri

hepatika juga memiliki peranan penting dalam perfusi dinding pembuluh darah

dan jaringan ikat di hepar. Juga berperan dalam mempertahankan integritas

duktus biliaris. Darah yang berasal dari vena porta kaya akan nutrisi berasal

dari intestinal yang memacu hepatosit melakukan fungsinya. Darah dari kedua

pembuluh darah tersebut bergabung di dalam bantalan kapiler hepar dan keluar

melalui vena kava inferior.9,11

6
8
Gambar 2. Pendarahan organ hepar
(Sumber : Kuntz E, Kuntz HD. Hepatology principles and practice)

Permukaan dalam sinusoid hepar banyak mengandung sel Kupffer

yang menonjol masuk dalam aliran darah. Sel ini bersifat sangat fagositik yang

begitu hebat sehingga dapat menyingkirkan 99% (atau lebih) bakteri dalam

darah vena porta sebelum mereka dapat masuk semua sinusoid hepar. Darah

porta berasal dari usus sehingga hampir selalu mengandung basil kolon dalam

jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu, sistim filtrasi sel Kupffer dalam

sinusoid meningkat dengan nyata bila jumlah zat tertentu atau debris lain yang

terdapat dalam darah bertambah.9,11

Fisiologi hepar

Fungsi metabolik

Fungsi metabolisme hepar sangat banyak. Metabolisme terutama adalah

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Fungsi spesifik dalam

metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen, merubah galaktosa

menjadi glukosa, glukoneogenesis dan pembentukan berbagai senyawa kimia

penting dari hasil antara metabolisme karbohidrat. 9,11

7
Beberapa fungsi spesifik hepar pada metabolisme lemak adalah:

a. Kecepatan beta oksidasi asam lemak dan pembentukan asam asetoasetat

yang sangat tinggi

b. Pembentukan lipoprotein

c. Pembentukan kolesterol dan fosfolipid dalam jumlah besar.

d. Perubahan karbohidrat dan protein dalam jumlah besar menjadi lemak.


9,11

Peranan hepar dalam metabolisme protein adalah:

a. Deaminasi asam amino

b. Pembentukan urea untuk pembuangan ammonia dan cairan tubuh

c. Pembentukan protein plasma

d. Interkonversi berbagai asam amino dan senyawa lain yang penting pada

proses metabolisme tubuh.10

Semua protein plasma (85%), kecuali gamma globulin, dibentuk

oleh sel hepar. Gamma globulin merupakan zat imun yang terutama dibentuk

oleh sel plasma dalam jaringan limfoid tubuh. Hepar dapat membentuk protein

plasma dengan kecepatan maksimal 50 - 100 gram perhari. Oleh karena itu

setelah kehilangan separuh protein plasma dari tubuh, kehilangan ini dapat

diganti kira-kira dalam 4-7 hari. Penurunan protein plasma menyebabkan

mitosis sel hepar dengan cepat dan ukuran hepar menjadi lebih besar, efek ini

disertai pengeluaran protein plasma yang cepat sampai konsentrasi plasma

kembali ke normal. Fungsi terpenting lainnya adalah sintesis asam amino non

esensial.11 Fungsi metabolik hepar lainnya adalah tempat penyimpanan

8
vitamin. Vitamin yang disimpan dalam hepar adalah: vitamin A. D, B12.

Vitamin A dalam jumlah terbesar disimpan dalam hepar. Dalam jumlah cukup

dapat disimpan untuk mencegah defisiensi vitamin A selama satu sampai dua

tahun.11

Sebagian zat pembekuan darah dibentuk oleh hepar, yaitu:

fibrinogen, protrombin, accelerator globulin, faktor VII dan beberapa faktor

pembekuan lainnya. Vitamin K dibutuhkan untuk proses metabolisme dalam

hepar untuk pembentukan protrombin dan faktor VII, IX dan X. Tanpa adanya

vitamin K, konsentrasi zat-zat tersebut turun sangat rendah dan hampir selalu

menghambat pembekuan darah.9,11

Fungsi sekresi

Semua sel hepar secara terus menerus mensekresi empedu dalam jumlah kecil,

masuk ke dalam kanalikuli empedu yang terletak antara sel-sel hepar dalam

lembaran hepatika dan kemudian mengalir menuju septa interlobaris dimana

kanalikuli bermuara dalam duktus biliaris terminal dan secara progresif masuk

kedalam duktus yang lebih besar, akhirnya mencapai duktus hepatikus dan

duktus koledokus dimana empedu dimasukkan langsung dalam duodenum atau

diarahkan ke dalam kandung empedu.11

Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh sel hepar pada

keadaan normal disimpan dalam kandung empedu sampai dibutuhkan dalam

duodenum. Sekresi total empedu setiap hari adalah 800 - 1000 ml dan volume

maksimal kandung empedu hanya 40 sampai 70 ml. Air, natrium klorida dan

9
sebagian besar elektrolit kecil secara terus menerus diabsorbsi oleh mukosa

kandung empedu, memekatkan unsur-unsur empedu lain termasuk garam

empedu, kolesterol dan bilirubin.10

Sebagian besar zat yang disekresi dalam empedu adalah garam

empedu. Disamping itu juga mensekresi bilirubin, kolesterol, lesitin dan

elektrolit serta air. Prekursor garam empedu adalah kolesterol, yang disuplai

dalam diet atau disintesis dalam hepar selama metabolisme lemak dan

kemudian diubah menjadi asam kolat atau asam kenodeoksikolat dalam

jumlah yang kurang lebih sama. Asam-asam tersebut kemudian berikatan

dengan glisin dan dengan taurin untuk membetuk asam gliko terkonjugasi atau

asam tauro terkonjugasi. Garam-garam dan asam asam tersebut disekresi

dalam empedu. Peranan penting garam empedu dalam saluran cerna antara

lain bersifat detergen (emulsifikasi) dan membantu absorbsi lemak, mono

gliserida, kolesterol dan lipid.9,11

Fungsi ekskresi

Selain mensekresi zat-zat yang disintesis oleh hepar sendiri, sel hepar juga

mengekskresi sejumlah zat yang dibentuk di bagian lain tubuh. Zat yang

terpenting diantaranya adalah bilirubin (gambar 3), yang merupakan salah satu

hasil akhir utama dekomposisi hemoglobin.11 Setelah eritrosit telah melampaui

masa hidupnya, rata-rata 120 hari, membran eritrosit akan pecah, hemoglobin

akan dikeluarkan dan akan difagositosis oleh sel retikuloendotelial di seluruh

tubuh. Hemoglobin akan dipecah menjadi globin dan heme. Kemudian cincin

10
heme dibuka sehingga terbentuk biliverdin, dengan cepat zat ini direduksi

menjadi bilirubin bebas. Bilirubin bebas akan segera berikatan sangat kuat

dengan albumin plasma dan ditransport dalam bentuk gabungan ke seluruh

darah dan cairan interstitial. Bilirubin bebas yang telah berikatan dengan

albumin ini diabsorpsi melalui membran sel hepar. Pada proses ini bilirubin

dilepaskan dari albumin plasma dan segera berikatan dengan protein lain

(protein Y) yang terdapat dalam sel hepar, setelah itu bilirubin juga akan

dilepaskan ikatannya dengan protein Y dan berkonjugasi dengan zat lain,

sekitar 80% berkonjugasi dengan asam glukoronat dan 10% lagi berkonjugasi

dengan banyak zat lain. Dalam bentuk ini bilirubin diekskresi masuk saluran

empedu. Sebagian kecil bilirubin terkonjugasi kembali ke plasma, langsung

masuk sinusoid hepar atau secara tidak langsung dengan absorbsi masuk darah

dan duktus biliaris atau kelenjar getah bening.9,11

Dalam usus, bilirubin diubah oleh bakteri terutama menjadi

urobilinogen yang bersifat sangat larut. Sebagian urobilinogen direabsorbsi

melalui mukosa usus masuk darah. Sebagian besar zat ini diekskresi kembali

oleh hepar masuk ke dalam usus, dan lebih kurang 5% diekskresi oleh ginjal

dalam urin. Setelah urin terkena udara, urobilinogen teroksidasi menjadi

urobilin atau diubah dan dioksidasi dalam tinja membentuk sterkobilin.9,11,12

11
Gambar 3. Jalur bilirubin13
(Sumber : Rosenthal P. Assessing
liver function and hyperbilirubinemia
in the newborn.Clinical )

III. KRITERIA GAGAL ORGAN PADA SEPSIS

Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) masih menjadi penyebab

penting dan sering menjadi penyebab kematian pasien pada perawatan intensif.

MODS didefinisikan sebagai sindrom klinik yang ditandai dengan terdapatnya

disfungsi fisiologis yang progresif dan cenderung reversibel pada satu atau

lebih sistem atau organ yang dipicu oleh berbagai macam penyebab akut.

Untuk menetukan adanya disfungsi organ pada anak, dibuatlah kriteria yang

dikembangkan oleh Wilkonson dkk dan Proulx.14

12
Sistem Organ Kriteria ringan Kriteria berat
Hipoksia/ hiperkarbia ARDS yang memerlukan
Paru yang membutuhkan PEEP >10 cmH2O dan
ventilasi 3-5 hari FiO2 <0,5
Bilirubin 2-3 mg/dL atau
tes fungsi hepar lain lebih Ikterik dengan bilirubin
Hepatik
dari 2x normal, PT 8-10 mg/dL
meningkat 2 x normal
Ginjal Intoleransi Dialisis
Stres ulkus yang
Intoleransi asupan
Gastrointestinal membutuhan transfusi,
lambung lebih dari 5 hari
kolesistitis akalkulus
aPTT >125% dari normal, Koagulasi intravaskular
Hematologi
platelet <50-80.000 diseminasi
Penurunan fraksi ejeksi
Hiperdinamik yang tidak
Kardiovaskuler dengan penurunan kapiler
respon oleh pressor
persisten
Sistem saraf pusat Confusion Koma
Kombinasi defisit
Sistem saraf tepi Neuropati sensorik ringan
sensori dan motorik
Tabel 1. Karakteristik gagal organ pada sepsis2
(Sumber : Setiati TE, Soemantri AG. Patologi dan Penanganan Sepsis)

IV. GANGGUAN FUNGSI HEPAR PADA SEPSIS

Hepar sebagai organ kunci pada sepsis, dapat berperan sebagai aktor

maupun korban, hal ini menjadi substansial oleh karena pengaruh dari proses

metabolik serta mekanisme pertahanan tubuh yang terjadi selama sepsis. Hepar

secara aktif menstimulasi dirinya dengan memproduksi dan melepaskankan

berbagai macam sitokin, lipid bioaktif dan protein fase akut (APPs) dalam

jumlah yang besar.5

Sebagai aktor, hepar sebagai organ utama, yaitu sel Kupffer, berperan

dalam pemusnahan bakteri, inaktivasi produk bakterial dan klirens mediator

inflamasi. Hepatosit mengeluarkan reseptor untuk berbagai mediator (misalnya

TNF, IL-1 dan IL-6) yang akan merubah jalur metabolik terhadap ambilan

13
asam amino dan metabolisme glukoneogenesis. Selain itu, pada hepatosit dapat

terjadi peningkatan sintesis dan peningkatan pelepasan faktor koagulasi,

peningkatan faktor komplemen dan enzim antiproteolitik, yang dikenal dengan

protein fase akut [APPs], misalnya α1-antitripsin. Oleh karena berbagai

mekanisme pada sepsis, respon APPs memberikan kontribusi pada pro-

koagulasi serta kontribusi terhadap penghambatan fibrinolisis.5

Sebagai korban, dampak dari sepsis, sel hepar dapat terluka dan

fungsinya berubah. Disfungsi hepatik dipandang sebagai disfungsi primer yang

terjadi pada jam pertama setelah jejas awal. Biasanya berkaitan dengan syok

dan hipoperfusi hepar yang menyebabkan perubahan berat pada fungsi hepar,

berkaitan dengan koagulasi intravaskular diseminata dan sering terjadi

komplikasi perdarahan.5

Disfungsi hepar dini terjadi pada jam pertama sepsis berkaitan dengan

hipoperfusi hepatosplanknik. Kejadian tersebut dapat menyebabkan

peningkatan akut pada petanda biologi kerusakan hepar (transaminase, laktat

dehidrogenase, bilirubin) dan dapat segera kembali semula dengan

penatalaksanaan suportif yang adekuat.6

Sepsis menginduksi perubahan fungsi hepatik

Sepsis yang menginduksi perubahan fungsi hepatik dengan melibatkan

berbagai jenis sel hepar dan beberapa sekresi mediator lokal. Tiga jenis sel

hepatik utama yang memberikan kontribusi respon terhadap sepsis, diantaranya

adalah sel Kupffer, hepatosit dan sel endotelial sinusoid. Disamping itu, terlibat

14
juga neutrofil teraktivasi yang direkrut kedalam hepar dan berpotensi

memproduksi enzim destruktif serta oxygen-derived radicals, yang dapat

berlanjut menjadi jejas pada hepar.5

Sel Kupffer

Sel ini merupakan 70% dari total populasi makrofag pada tubuh. Sel Kupffer

diperkirakan sebagai pertahanan utama dalam melawan bakteremia dan

endotoksemia. Sel Kupffer mencegah bakteri dan endotoksin masuk ke dalam

sistem sirkulasi dengan menyingkirkannya dari darah vena porta. Sel Kupffer

memproduksi sitokin, yang dapat mengatur fungsi hepatosit dan sel endotelial

melalui interaksi parakrin dan pada akhirnya dilepaskan kedalam sirkulasi

sistemik. Selain itu, sel Kupffer memiliki potensi dalam memburu mediator

inflamasi, produk toksin dan sitokin di sistemik dan usus, serta berperan

penting dalam membatasi perluasan respon inflamasi sistemik.5,9

Hepar adalah tempat utama dari inaktivasi endotoksin dan produk-

produk bakteri lainnya. Pada penelitian Katz dkk (1991), ditemukan lebih dari

70% Escherichia coli yang diberi radiolabel, disuntikan pada tikus dan

terlokalisir di hepar dalam 10 menit. Sekitar 90% tikus yang telah di

hepatektomi didapatkan bakteremia dalam 2 jam, meskipun fungsi fagosit di

paru dan limpa juga segera meningkat.15

Disfungsi hepar dapat meningkatkan upaya pengeluaran bakteri

beserta endotoksin-nya dari sistemik, tetapi mekanisme ini sulit dinilai jika

terlibat dalam patogenesis sindrom respon inflamasi persisten dan gagal organ

15
multipel. Sel Kupffer berbagi dengan sel makrofag lainnya dalam meng-inisiasi

dan mengatur respon imun, serta memproduksi dan melepaskan mediator

imunomodulator pejamu. Setelah distimulasi oleh endotoksin, sel Kupffer

menghasilkan molekul proinflamasi yang meliputi : TNF-α, IL-1α-β, IL-8,

Granulocyte Colony-Stimulating Factor (G-CSF), IL-12,IL-18 dan

Granulocyte Macrophage Colony-Stimulating Factor (GM-CSF), yang akan

menimbulkan efek balik dalam upaya mengimbangi aksi tersebut

(antiinflamasi), berupa reseptor TNF-soluble, reseptor antagonis IL-1, IL-4, IL-

6, IL-10 dan Transforming Growth Factor-β.5

TNF-α memiliki efek langsung terhadap ekspresi gen APPs hepatik,

serupa dengan efek dari IL-1β, namun melibatkan reseptor permukaan sel dan

jalur sinyal transduksi. TNF-α juga terlibat dalam induksi transkripsi gen nitrit

oksida sintesis (NOS2), sejumlah produksi nitrit oksida hepatik dan memiliki

efek positif langsung pada sintesis protein. TNF-α menunjukkan efek sekunder

dalam berbagai spektrum, dapat berbahaya dalam meningkatkan aktivitas pro-

koagulan dari sel endotelial vaskular, meningkatkan aktivasi neutrofil, bersama

dengan interferon-γ dapat meningkatkan ekspresi gen adhesi molekul,

meningkatkan kemampuan adheren neutrofil terhadap sel endotelial sinusoid

pada hepar, serta memberi kontribusi terhadap jejas hepar yang di mediasi oleh

neutrofil (gambar 4).5

16
Gambar 4. Interaksi antara sel Kupffer, hepatosit, neutrofil
dan sel endotel pada jejas hepar selama sepsis dan SIRS16
(Sumber : Szabo G, Romics L, Frendl G. Liver in Sepsis and
Systemic Inflammatory Response Syndrome)

Disamping memiliki kemampuan untuk mensekresi dan melepaskan

TNF, hepar juga mampu mengambil dan membersihkan kembali TNF. Seperti

bakteri dan endotoksin, luapan TNF sistemik merupakan bentuk dari disfungsi

hepatik dan terlibat dalam perkembangan gagal organ multipel.5

Secara in vitro, IL-6 disintesis oleh beberapa sel yang berbeda,

sebagai penghuni tetap sel Kupffer normal, hepatosit dan sel endotelial. Salah

satu yang terpenting dari fungsi IL-6 dalam hepar adalah meningkatkan aktifasi

transkripsi pada ekspresi gen APPs. Selanjutnya, IL-6 menstimulasi sel

Kupffer untuk memproduksi PGE2, dimana sel kupffer dapat menurunkan

regulasi sekresi IL-6. Hepar juga terlibat dalam ambilan dan klirens dari IL-6

serta mediator inflamasi lainnya.5

Hepatosit

Selama sepsis, sel parenkim hepar terlibat dalam respon imun sebagai upaya

meningkatkan pertahanan pejamu dan terjadi pergeseran metabolik ke arah

17
glukoneogenesis sebagai upaya memprioritaskan kembali sintesis protein untuk

perbaikan selular. Hepatosit mengeluarkan reseptor untuk endotoksin, sitokin

sebagai mediator inflamasi atau substansi vasoaktif yang merubah jalur

metabolik ambilan asam amino, ureagenesis dan glukoneogenesis, begitu pula

dalam peningkatan sintesis dan pelepasan faktor koagulan, faktor komplemen

dan enzim antiproteolitik, yang dikenal dengan protein fase akut (APPs).5

Peranan APPs dalam meningkatkan fungsi pertahanan dan

perlindungan pejamu dalam proses pemusnahan bakteri dapat mengakibatkan

kerusakan jaringan. Hal tersebut menyebabkan peningkatan sintesis yang

disebut dengan APPs positif dan penurunan produksi pada APPs negatif.

Selama respon fase akut terjadi peningkatan konsentrasi dari CRP, α1-

antitripsin, fibrinogen, protrombin, haptoglobin, seruloplasmin, ferritin,

amiloid A serum, asam α1-glikoprotein, lipopolysaccharide-binding protein

dan fibronektin, yang dikenal dengan APPs positif. Sebaliknya pada APPs

negatif terjadi penurunan kadar albumin, properdin, HDL, protein C dan

antitrombin (gambar 5).5,17

Perbedaan regulasi memberikan kesan bahwa selama sepsis terjadi re-

prioritisasi sintesis dan pelepasan protein spesifik ke dalam sistemik. Selain itu,

peningkatan biosintesis protein non-sekretori hepatik yang tinggi selama sepsis

disertai peningkatan berat hepar dan peningkatan muatan protein hepatik.

Walaupun peningkatan sintesis protein non-sekretori lebih sedikit

dibandingkan peningkatan protein sekretori, sintesis protein non-sekretori

relatif lebih sedikit dibandingkan sintesis protein endogen, hal tersebut

18
merupakan salah satu mekanisme yang terlibat dalam kegagalan hepar pada

beberapa pasien.5

18
Gambar 5. Regulasi protein fase akut terhadap infeksi
(Sumber : Anonymous. Acute Phase Proteins.www.hycult biotech)

Transkripsi dari gen fase akut diinduksi oleh sitokin (TNF-α,

interferon-γ, IL-1 dan IL-6), baik didalam sirkulasi atau pelepasan secara

parakrin oleh monosit dan makrofag yang teraktivasi didalam hepar.5,17,19

Kontribusi respon APPs pada pro-koagulasi ditandai dengan:5

a. Meningkatkan penghambatan terhadap protein-C (α1-antitripsin dan α2-

makroglobulin)

b. Meningkatkan C4-binding protein (APPs positif)

c. Menurunkan sintesis hepar terhadap protein C dan antitrombin (APPs

negatif)

d. Meningkatkan ekspresi faktor jaringan (Tissue Factor; TF), berhubungan

dengan elevasi protein C reaktif (CRP)

19
e. Meningkatkan produksi thrombin-activatable fibrinolytic inhibitor (APPs

positif) pada hepar, dengan menghambat fibrinolisis

Kadar C4-binding protein meningkat selama sepsis, sehingga dapat

meningkatan pengikatan terhadap protein S. Penurunan sintesis protein C dan

antitrombin oleh hepar, memberikan kontribusi terhadap deplesi protein

antikoagulan, hal ini dapat sebagai prediksi yang sangat tinggi terhadap luaran

yang fatal. Protein C reaktif (CRP) merupakan protein kunci pada pertahanan

pejamu melawan bakteri, yang juga dapat memicu ekspresi TF (Tissue Factor)

sebagai aktivator awal pada sistem pembekuan ekstrinsik oleh sel mononukleus

dan neutrofil. CRP juga mengaktifasi jalur komplemen melalui jalur

komplemen klasik, dimana perubahan peningkatan paparan terhadap

permukaan dari fosfatidilserin (prokoagulan poten) pada permukaan

endotelial.5 Sebagian zat pembekuan darah dibentuk oleh hepar, yaitu:

fibrinogen, protrombin, accelerator globulin, faktor VII dan beberapa faktor

pembekuan lainnya.40

Pada sepsis terjadi respons inflamasi yang dapat menyebabkan

kerusakan jaringan. Respons inflamasi diawali dengan munculnya reseptor

pengenal seperti toll-like receptors (TLR) yang terdapat pada permukaan

makrofag, neutrofil, epitel, endotel, sel B dan sel T. Toll-like receptors

mengenali peptidoglikan atau lipopolisakarida yang terdapat pada bakteri dan

akan merangsang sinyal intraselular dan menyebabkan aktivasi protein

pengatur nuclear factor kB (NFkB) sehingga sitokin proinflamasi seperti tumor

20
necrosis factor (TNF-α), interleukin (IL)-1, IL-6, IL-12, dan interferon-g (IFN-

g) akan meningkat.41

Pada awal sepsis, sitokin proinflamasi akan mengaktifkan proses

koagulasi yang diperantarai oleh faktor jaringan (Tissue Factor) (gambar 6),

sedangkan respons fibrinolisis belum adekuat, sehingga biasanya didapatkan

suatu fase hiperkoagulasi. Sitokin proinflamasi selain menyebabkan aktivasi

koagulasi yang berlebihan juga menyebabkan penurunan kadar antikoagulan

fisiologis dan defek pada proses fibrinolisis, sehingga timbul koagulopati yang

terjadi secara meluas, yang disebut dengan disseminated intravascular

coagulation (DIC).40

Secara garis besar DIC dapat dibedakan atas compensated atau non-

overt DIC dan decompensated atau overt DIC. Pada compensated DIC terjadi

fase hiperkoagulasi atau sering pula disebut DIC tahap I. Pada fase ini akan

didapatkan hasil laboratorium berupa PT dan aPTT memendek atau normal;

kadar fibrinogen, FDP, D-Dimer, dan jumlah trombosit meningkat atau normal.

Aktivasi koagulasi melalui jalur ekstrinsik maupun jalur intrinsik akan

menyebabkan pembentukan trombin. Penumpukan trombin akan mengaktivasi

endotel untuk melepaskan tissue plasminogen activator (tPA) yang akan

mengubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin akan memecah cross-linked

fibrin dan menghasilkan D-dimer. Aktivasi endotel untuk melepaskan tPA akan

mengawali fase fibrinolisis sekunder atau DIC tahap II. Pada keadaan ini

biasanya didapatkan hasil laboratorium berupa peningkatan kadar D-Dimer,

sedangkan nilai PT, aPTT, kadar fibrinogen, dan jumlah trombosit akan

21
memberikan hasil normal. Apabila keadaan ini terus berlanjut akan terjadi

decompensated DIC. Pada decompensated DIC terjadi aktivasi koagulasi yang

berlebihan disertai dengan peningkatan aktivitas fibrinolisis sehingga

didapatkan fase hipokoagulasi atau disebut DIC tahap III, yaitu keadaan yang

ditandai dengan trombositopenia, penurunan kadar fibrinogen, serta nilai PT

dan aPTT yang memanjang.42

Gambar 6. Peran faktor jaringan pada proses pembekuan


ekstrinsik42
(Sumber : Wada H, Gabazza EC, Asakura H, Koike K,
Okamoto K, Maruyama I, dkk. Am J Hematol)

Decompensated DIC dapat ditemukan pada sebagian besar penderita

sepsis, oleh karena itu diperlukan pemeriksaan laboratorium yang dapat

memprediksi kejadian decompensated DIC, sehingga dapat dilakukan

penanganan yang lebih intensif terhadap penderita sepsis dan kejadian

decompensated DIC dapat dicegah.10,11 Pemeriksaan hemostasis konvensional

yang rutin dilakukan untuk mengetahui aktivasi koagulasi adalah pemeriksaan

22
PT, aPTT, dan kadar fibrinogen, sedangkan pemeriksaan hemostasis yang rutin

dilakukan untuk mengetahui aktivasi fibrinolisis adalah pemeriksaan D-

dimer.43

Sel endotelial

Sel endotelial hepatik yang diisolasi dari hepar normal memproduksi IL-1 dan

IL-6 secara spontan. Produksinya meningkat saat sel terpicu oleh endotoksin.

Sel endotel juga memiliki kontribusi terhadap aktifitas pro-koagulan dan

proinflamasi yang dapat diamati pada sepsis.5

Spitzer (1994), menunjukkan Nitrit Oksida (NO) dalam jumlah sedikit

secara spontan dilepaskan oleh kultur sel endotel dan hal serupa juga terjadi

pada hepatosit, dimana produksi NO meningkat setelah sel dipicu oleh sitokin

endotoksin dan proinflamasi. Produksi NO oleh sel endotelial dapat menjaga

pertahanan tubuh pejamu dengan meningkatan aktifitas antimikroba dan

dengan pemusnahan anion superoksid dapat membatasi jejas jaringan secara

ekstensif serta menghambat adesi lekosit pada sel endotel hepatosit. 5,20

Interaksi Neutrofil-Hepatosit

Klirens sel Kupffer terhadap bahan berbahaya dapat melindungi sel-

sel lainnya dari cedera, namun pengeluaran protease dan/ atau radikal bebas

oksigen post-fagositik dapat merusak hepatosit yang berdekatan. Holman dan

Saba(1988),21 menunjukkan bahwa sel-sel Kupffer membersihkan

23
Pseudomonas, tetapi hepatosit mengeluarkan aspartat aminotransferase dan

ornitin carboxyltransferase. Enzim ini lebih besar dilepaskan ketika hepatosit

yang dikultur dengan neutrofil teraktifasi dibandingkan ketika dikultur dengan

makrofag atau sel-sel Kupffer, hal ini menunjukkan bahwa sel-sel Kupfer post-

fagositik menyebabkan sedikit cedera pada parenkim. Penarikan dan migrasi

neutrofil serta pelepasan protease memainkan peran penting terhadap

perlindungan terhadap infeksi, tetapi hal ini juga memiliki peran utama dalam

kerusakan hepatosit.5

Akumulasi neutrofil terjadi di vaskularisasi hepar oleh karena respon

terhadap paparan mediator inflamasi, seperti TNF-α, IL-1 α atau IL-1β,

kemokin CXC (seperti IL-8, Keratinocyte-derived cytokine (KC), Macrophage

inflammatory Protein-2 (MIP-2), cytokine-induced neutrophil chemoattractant

(CINC-1), faktor komplemen teraktivasi (seperti C5a), platelet-activating

factor (PAF) dan lain-lain.22 Secara umum, respon neutrofil terhadap

kerusakan sel parenkim oleh karena ekstravasasi dari sinusoid. Proses

ekstravasasi melibatkan bagian dari β2-integrin family serta counterreceptor

pada sel endotelial ICAM-1, β1-integrins dan VCAM-1.23 Pada mekanisme

neutrofil yang terinduksi sel hepar ini terfokus pada dua aspek utama yaitu

ekstravasasi dan kematian sel (apoptosis).23

Ektravasasi neutrofil, membutuhkan sinyal dari parenkim. Glutamic

acid-leucine-arginine (ELR) yang mengandung kemokin CXC, seperti IL-8,

MIP-2, KC atau CINC-1, merupakan kemoatraktan yang kuat untuk neutrofil.23

Produksi yang berlebih dari kemokin CXC secara selektif pada hepatosit

24
menyebabkan infiltrasi neutrofil, ekstravasasi dan jejas pada hepar.23,24

Penetralan antibodi yang melawan kemokin CXC atau antagonis reseptor CXC

dilemahkan oleh akumulasi neutrofil hepatik dan kerusakan hepar selama

reperfusi-iskemia.24

Apoptosis yang berlebihan dapat memicu ekstravasasi neutrofil di

hepar. Penghambat pan-kaspase secara efektif mencegah apoptosis

hepatoseluler dan meng-eliminasi ekstravasasi neutrofil kedalam parenkim.25

Neutrofil mengenal sel yang sedang dalam proses apoptosis, sel apoptosis

dapat menyebabkan kemokin CXC larut, sebagai efek yang mungkin di picu

oleh faktor kemotaktik. Alternatif lain, gap pada sel endotelial sinusoid dapat

memfasilitasi kontak langsung neutrofil dengan pseudopod dengan dasar

hepatik apoptosis. Perubahan komposisi membran dari sel apoptosis (ekspresi

fosfatidilserin dari permukaan sel) dapat memicu migrasi, fagositosis dan

formasi mediator inflamasi oleh fagosit.26

Interaksi neutrofil-sel Kupffer

Aktivasi kaskade komplemen, dapat memicu aktivasi sel Kupffer.23

Faktor komplemen merangsang formasi oksigen reaktif dengan sel Kupffer dan

secara langsung mengaktifkan dan merekrut neutrofil menuju sinusoid hepatik.

Mediator spesifik dilepaskan oleh sel, antara lain high mobility group box-1

(HMGB-1).27 Netralisir antibodi terhadap HMGB-1 dilemahkan oleh formasi

dari sitokin proinflamasi yang dapat mereduksi infiltrasi neutrofil hepatik dan

menyebabkan proteksi terhadap kerusakan oleh karena reperfusi iskemia.27

25
HMGB-1 dapat mengikat Toll-like receptor-4 (TLR-4) didalam sel Kupffer

dan dapat menginduksi generasi sitokin proinflamatori. 28 Berbagai macam

produk lipid perioksidasi (LPO) terbentuk selama inflamasi karena formasi

oksigen reaktif merupakan konsekuensi penting dari aktivasi sel Kupffer oleh

faktor komplemen dan neutrophil recruitment. Beberapa produk LPO

diantaranya, seperti lipid aldehida, berpotensi sebagai faktor kemotaktik untuk

neutrofil.29

Karena LPO jarang sekali secara kuantitatif memiliki relevansi

langsung terhadap mekanisme jejas sel in vivo, efek proteksi dari kelator besi

dan antioksidan larut dalam lemak seperti vitamin E dapat dijelaskan dengan

adanya reduksi formasi dari produk kemotaktik LPO, yang dapat memperburuk

respon neutrofil.30 Aktivasi neutrofil dapat menghasilkan faktor kemotaktik

poten, seperti leukotrien B4 (LTB4). Eikosanoid ini dapat dihasilkan dalam

jumlah besar selama fase jejas neutrofil saat terjadi reperfusi.23 Sehingga

neutrofil teraktivasi dapat merekrut lebih banyak neutrofil dan memperburuk

jejas inflamasi (gambar 7).29

Gambar 7. Peran dari neutrofil pada sel endotel dan jejas hepatosit. 5
(Sumber : Dhainaut J.F, Marin N, Mignon A, Vinsonneau. Hepatic Response to Sepsis)

26
Paradigma saat ini mengenai interaksi neutrofil dengan sel Kupffer

pada pertahanan pejamu terhadap infeksi bakteri sistemik meliputi mekanisme

sebagai berikut:31

I. Sebagian besar organisme diambil di dalam hepar, diikat secara

ekstrasel oleh sel Kupffer

II. Adhesi molekul komplemen (yaitu, CD11b/CD18 dan CD54)

memfasilitasi akumulasi neutrofil bakterisida pada permukaan sel

Kupffer

III. Infiltrasi neutrofil internal dan membunuh organisme yang terikat sel

Kupffer

IV. Neutrofil yang ditelan dan dihancurkan oleh sel Kupfer diasingkan di

sinusoid hepar, hal ini dapat menekan pelepasan produk metabolik

beracun serta degradasi enzim

V. Pencernaan, apoptosis neutrofil meningkatkan atau menurunkan

regulasi respon proinflamasi dari sel Kupffer yang tergantung pada

identifikasi dari reseptor yang memediasi pencernaan

Gambar 8. Model: interaksi neutrofil-Sel Kupffer dengan sinusoid hepar31


(Sumber : Gregory S.H, Wing E.J. Journal of Leukocyte Biology)

27
Sepsis menginduksi disfungsi dan gagal hepar

Disfungsi hepatik primer

Disfungsi hepatik primer terjadi pada disfungsi hepatik yang diinduksi

oleh sepsis segera setelah episode syok dan resusitasi, disfungsi ini sering

berkembang menjadi koagulasi intravaskuler diseminata serta perdarahan.

Klirens laktat dan asam amino, sebagai reduksi dari sintesis protein. Dapat pula

terjadi peningkatan glukoneogenesis dan glikogenolisis, serta hipoglikemia.

Kebocoran enzim transaminase merupakan karakteristik dari jejas (kerusakan),

refleksi selular akut dan jejas mitokondrial. Enzim tersebut biasanya kembali

normal beberapa hari setelah resusitasi.5,6

Reduksi perfusi tampil menjadi inisiasi yang penting pada disfungsi

hepatik primer. Pengukuran aliran arteri portal dan hepatik sangat sulit pada

manusia dan hanya beberapa penelitian tersedia secara terperinci mengenai

sirkulasi hepatosplanknik.5,6

Disfungsi hepatik sekunder

Secara tidak diketahui dan berkaitan dengan waktu, disfungsi lebih

sering terjadi karena luapan bakteri, endotoksin dan media inflamatori pada

sisa fungsi hepar yang masih utuh. Area lokal hepatik dapat terinflamasi oleh

karena konsekuensi dari detoksifikasi produk bakteri oleh sel Kupfer, induksi

aktifasi dari koagulasi, kallikrein dan kaskade komplemen. Aktifasi tersebut

karena jaringan lokal melepaskan eikosanoid, NO, produk dari aktifasi sel

Mast, endotelin dan mediator inflamasi lainya.5,6

28
Sepsis menginduksi kolestasis

Patogenesis jaundice pada infeksi sistemik adalah multifaktor.

Perkembangan jaundice dapat terjadi dari penyimpangan proses dari bilirubin

oleh hepatosit atau dari efek lain pada hepar yang mengarah pada akumulasi

bilirubin pada tubuh. Seperti proses yang meliputi peningkatan muatan

bilirubin dari hemolisis, jejas hepatoseluler dan kolestasis dari bagian sepsis

dan dari berbagai macam obat yang digunakan dalam penatalaksanaan sepsis.

Bilirubin merupakan produk akhir dari pemecahan heme dari hemoprotein.

Bilirubin yang terpisahkan dari albumin di permukaan sinusoid hepatosit akan

diambil oleh hepatosit. Didalam hepatosit, bilirubin terikat dengan protein

sitosolik yang akan mencegah efluks dari sel. Bilirubin selanjutnya

berkonjugasi dengan monoglukoronida dan diglukuronida oleh enzim uridin

difosfat glukuronosiltransferase. Bilirubin glukuronida di ekskresikan kedalam

empedu dengan bantuan canalicular multispecific organic anion transporter

(cMOAT).12

Terdapat berbagai macam mekanisme terjadinya hiperbilirubinemia

selama infeksi sistemik. Mekanisme hiperbilirubinemia pada sepsis diantaranya

oleh karena hemolitik, disfungsi hepar dan kolestasis. Perkembangan hemolisis

sebagai penyebab pada peningkatan bilirubin pada individu dengan sepsis

terdiri dari beberapa kategori mekanisme, diantaranya:12

1. Berkaitan dengan sel darah merah normal

Beberapa infeksi oleh karena gram positif dan gram negatif, diantaranya

Clostridium perfringens yang memproduksi C fosfolipase dan bereaksi

29
dengan membran lipoprotein sel darah merah mengeluarkan lysolechitin

dan berlanjut menjadi lisis pada membran sel darah merah sehingga terjadi

hemolisis.32

Selain C. perfringens, infeksi lain yang dapat menyebabkan hemolisis pada

sel darah merah yang normal antara lain malaria dan babesiosis. Infeksi

Escherichia coli secara periodik pun dapat berlanjut ke dalam keadaan

hemolisis pada sel darah merah yang normal.33

Kerusakan sel darah merah yang dimediasi secara imunologi merupakan

mekanisme lain terjadinya anemia hemolitik sel darah merah yang normal

pada pasien sepsis. Hemolitik yang dimediasi oleh proses imunologi

tersebut dapat berkembang dari 3 mekanisme, yaitu antibodi berkaitan

dengan antigen sel darah merah (di mediasi oleh IgM atau IgG), kompleks

antigen/ antibodi atau poliaglutinasi. Antibodi IgM meningkatkan

hemolisis intravaskular dan antibodi IgG meningkatkan hemolisis

ekstravaskular.12

2. Berkaitan dengan defek sel darah merah yang mendasarinya

Defek yang paling sering terjadi berkaitan dengan peningkatan hemolisis

pada sepsis adalah defisiensi glukosa-6-fosfatdehidrogenase (G-6-PD).

Ketiadaan G-6-PD, penyimpanan Nicotinamide Adenine Dinucleotide

Dehydrogenase (NADPH) sel darah merah menjadi berkurang, dengan

demikian menurunnya ambang batas untuk stres oksidan yang dimediasi

oleh kerusakan sel. Sepsis selalu berkaitan dengan stres oksidan dan dapat

30
menginduksi hemolisis, khususnya pada ambang batas yang rendah untuk

oksidan yang dimediasi oleh jejas tersebut.34

Pada pasien sepsis di perawatan ICU faktor lainnya dan sering terjadi,

yang dapat menyebabkan hemolisis diantaranya oleh karena obat yang

dapat menyebabkan peningkatan stres oksidan, transfusi, resorpsi

hematom yang besar serta trauma.35

Disfungsi hepatosit sebagai sebab dari hiperbilirubinemia, baik itu

peningkatan bilirubin, penurunan ambilan bilirubin, proses intrahepatik dan

ekskresi kanalikuler merupakan mekanisme penting dari jaundice yang

berhubungan dengan infeksi. Hal ini didukung oleh hiperbilirubinemia

terkonjugasi yang utamanya terjadi pada sepsis. Yang mendasari pelepasan

endotoksemia dan produk-produk pada respon pada infeksi memiliki peran

penting pada patofisiologi kolestesis pada sepsis. Penurunan fungsi

hepatoseluler ditunjukkan terjadi segera setelah onset sepsis, saat peningkatan

cardiac output dan perfusi hepatik. Disfungsi hepatoseluler pada sepsis dapat

berkaitan dengan pelepasan sitokin proinflamatori. Invasi langsung pada hepar

oleh bakteri bukan merupakan penyebab kolestasis atau jejas hepatik pada

kebanyakan kasus septikemia.12

Asam amino pada sepsis

Pada pasien sepsis dan SIRS, terjadi perubahan ekstraksi asam amino,

akibatnya adalah peningkatan konsentrasi asam amino plasma. Penelitian yang

dilakukan oleh Wilfred Druml, dkk yang dipublikasikan Jurnal Clinical

31
Nutrition tahun 2001, didapatkan konsentrasi plasma asam amino rendah pada

pasien sepsis dibandingkan pasien sehat, kecuali lisin, metionin, glutamat,

ornitin, fenilalanin dan tirosin dan hanya konsentrasi asam amino fenilalanin

yang sangat meningkat. Penelitian ini pun menunjukkan klirens infus asam

amino intravena yang sangat meningkat, dimana eliminasi asam amino

mencapai hampir 70% lebih tinggi dari pada kontrol subyek sehat, kecuali

fenilalanin, ornitin, prolin dan glutamat.44

Stimulasi sintesis protein hepatik, glukoneogenesis dari asam amino

dan ureagenesis, secara bersamaan diperbesar oleh katabolisme sel otot lurik,

hal ini timbul sebagai elemen pokok dari sindrom sepsis. Hormon katabolik,

mediator inflamasi dan prostaglandin memiliki peranan, namun penyebab pasti

dari peningkatan ektraksi sintesis asam amino dan protein pada pasien sepsis

belum dapat diketahui benar. Hal ini telah ditunjukkan dengan meningkatnya

katabolisme otot perifer oleh pengaruh dari mediator inflamasi, terutama TNF

dan dapat menstimulasi ambilan asam amino kedalam hepatosit.44

Peningkatan katabolisme protein perifer dan stimulasi metabolisme

hepatik secara bersamaan tampak sebagai elemen tak terpisahkan dari reaksi

fase akut dan SIRS. Peningkatan ketersediaan asam amino melalui stimulasi

katabolisme protein otot sebagai bentuk kebutuhan dan sangat penting untuk

menanggulangi proses penyakit akut. Hal tersebut memiliki kaitan erat antara

klirens dari asam amino dengan prognosis dan menjelaskan bahwa

meningkatnya frekuensi dari perkembangan gagal organ pada pasien gawat

darurat yang ditatalaksanan dengan recombinant human growth hormone dapat

32
menekan proteolisis perifer dan melepaskan asam amino. Pada pasien dengan

sepsis, klirens asam amino meningkat, konsentrasi asam amino plasma secara

signifikan ditekan dan jumlah infus asam amino yang besar dibutuhkan untuk

meningkatkan konsentrasi plasma. Investigasi sifat farmakokinetik asam amino

dapat memberikan dasar untuk merancang beberapa solusio asam amino

optimal dengan mempertimbangkan stimulasi sintesis protein dan reduksi

katabolisme otot untuk nutrisi pasien sepsis.44

Sepsis menginduksi perubahan pada pemeliharaan glutamin

Glutamin interorgan (GLN) berbeda antara saat sepsis dan sehat. Pada kontrol

binatang, usus halus sebagai organ dasar pada proses ambilan glutamin. Pada

sepsis, hepar menjadi organ mayor pada ambilan glutamin dari persediaan di

otot lurik sebagai eksporter.45

Gambar 9. Metabolisme glutamin pada sepsis45


(Sumber : Karinch AM, Pan M, Lin CM, Strange R,
Souba WW. Glutamine Metabolism in Sepsis and
Infection)

33
Endotoksin meng-inisisasi perubahan pada pertukaran glutamin

interorgan, tetapi respon lebih ditunjukkan terhadap mediasi secara primer oleh

sitokin dan hormon konterregulator, dibandingkan LPS itu sendiri. Status

nutrisi, komposisi diet dan beratnya penyakit dapat mempengaruhi perubahan

tersebut. Hanya saja saat proses sepsis dapat terjadi perbaikan homeostasis

glutamin kembali menjadi normal, dan asumsi ini tidak mendukung terhadap

kerusakan organ permanen. Investigasi lebih lanjut pernah dilakukan oleh

Fischer dkk tahun 1996 menggunakan hepatosit yang diisolasi untuk menguji

hipotesis dimana starvasi nutrien dan endotoksemia bekerja secara sinergis

dalam meningkatkan aktifitas transpor glutamin hepatosit. Starvasi

meningkatkan transpor glutamin hepatosit 1,6 kali lipat, sedangkan pemberian

LPS pada makanan meningkatkan transpor 2,6 kali lipat. Penelitian ini

mengindikasikan bahwa starvasi dan endotoksemia meregulasi transpor

glutamin hepatosit secara bebas dan terkoordinasi. 46

Penelitian Inoue dkk tahun 1994, beberapa senyawa, meliputi TNF-α,

glukokortikoid dan prostaglandin yang diperantarai oleh induksi endotoksin

dapat meningkatkan transpor glutamin hepatik. Perlakuan awal pada tikus

endotoksemia dengan anti TNF-α monoklonal antibodi mengurangi

peningkatan induksi endotoksin pada aktifitas transpor sebesar 50%.47

34
Sitokrom P-450 (CYP) hepatik pada sepsis

Sistem enzim CYP merupakan superfamili dari protein heme yang memiliki

respon terhadap regulasi metabolisme pada substansi endogen dan eksogen.

Enzim CYP secara umum banyak ditemukan pada retikulum endoplasma

hepatosit dan mikrosom. Faktor lingkungan (seperti barbiturat, antikonvulsi,

rifampisin), makanan (misalnya sayuran), kebiasaan (merokok, alkohol) dan

kondisi penyakit (seperti diabetes, inflamasi dan infeksi) diketahui dapat

merubah fungsi enzim CYP. Jacob dkk, sistem enzim CYP menunjukkan

perubahan respon terhadap metabolisme pada berbagai macam substansi

endogen dan eksogen secara signifikan oleh karena sepsis. Mediator yang

terlibat dalam inflamasi dan sepsis dapat merubah kemampuan metabolisasi

obat pada CYP hepatik.36

Carillo dkk, menunjukkan pada anak-anak dengan sepsis memiliki

reduksi dua kali lipat terhadap klirens antipirin dan pada gagal multi organ

memiliki penurunan klirens antipirin empat kali lipat. Yang menarik, klirens

antipirin ini memiliki hubungan terbalik dengan kadar IL-6, kadar nitrit dan

nitrat pada sirkulasi, serta jumlah kegagalan organ.37

Pada penelitian lain, 42 orang pasien dengan sepsis yang dipisahkan

menjadi survivor dan non-survivor dievaluasi aktifitas CYP in vivo

menggunakan aminopyrine breath test, secara klinis mnunjukkan aktifitas CYP

hepatik pada sebelum pembedahan dan awal onset sepsis pada kedua grup.

Aktifitas CYP secara signifikan menurun selama sepsis pada kedua grup

dibandingkan kadar sebelum operasi.37 Yang menarik, selama fase lambat

35
aktifitas CYP kembali normal pada grup survivor, sementara grup non-sirvivor

kembali sangat lambat. Mekanisme sistem enzim CYP dimulai dengan aktifasi

transkripsi CYP yang melibatkan aryl hidrokarbon (AhR), nuklear translocator

(Arnt) dan protein chaperone, heat shock 90 (HSP90). Pada saat tidak ada

stimulasi, AhR sebagai non-DNA binding heterometric complex dengan HSP90

(AhR-HSP90). Ketika aktifasi, komplek AhR-HSP90 masuk kedalam nukleus

dan disosiasi dengan HSP90, hal ini menyebabkan AhR berubah menjadi

tirosin fosforilasi dan mengikat Arnt (AhR-Arnt). Komplek AhR-Arnt

selanjutnya mengikat Dioxin Responsive Element (DRE) pada regio promotor

dari gen CYP1A2 dan menginisiasi transkripsi. Selama sepsis, stimuli

ekstraseluler (misalnya LPS) meningkatkan regulasi TNF-α dan IL-1β melalui

jalur NFkB dan/ atau MAPK dan dikeluarkan oleh sel Kupffer. Sitokin

selanjutnya berturut-turut mengikat reseptor pada hepatosit dan oleh

mekanisme yang masih belum diketahui, regulasi menurun pada gen Arnt, AhR

dan protein, dengan demikian ekspresi mRNA CYP1A2 menurun.36

Gambar 10. Skematik mekanisme sistem enzim CYP pada


sepsis36
(Sumber : Jacob A, Zhou M, Wu R, Wang P. Review Article
The Role of hepatic cytochrome P-450 in Sepsis)

36
V. KEMAMPUAN SEL HEPAR BEREGENERASI

Berbagai penyebab dapat mempengaruhi mekanisme respon pada

regenerasi sel hepar dan regenerasi mengakibatkan masuknya sel hepar matang

yang tidak aktif kembali ke dalam siklus sel. Regenerasi hepar membutuhkan

aktivitas jalur pen-sinyalan multipel yang memastikan sinkronisasi proliferasi

dari sel hepar, proteksi terhadap sinyal apoptosis, remodeling ECM

(Extracellular Matrix) dan restorasi arsitektur lobular. Peningkatan APPs

dalam darah, aktivasi makrofag dalam hepar dan pelepasan sitokin yang

terlibat didalam regulasi respon inflamasi. LPS menjadi stimulator awal

terhadap regenerasi hepar, dan diaktivasi oleh sistem komplemen kedalam jalur

alternatif. Sistem komplemen juga memproteksi hepar dari kerusakan selama

regenerasi. Growth factor (GF), meliputi HGF (Hepatocyte Growth Factor)

memiliki kontribusi terhadap proliferasi hepatosit selama regenerasi. 48,49

Hepatosit memiliki kemampuan beregenerasi, hal ini dibuktikan pada

percobaan pada tikus yang mengalami 70% hepatektomi, dimana hepatosit

menunjukkan kemampuan beregenerasi dengan varietas yang terbatas. Pada

kondisi jejas oleh karena reperfusi iskemia, hepatosit pun mampu memperbaiki

dirinya. Normalnya, hepatosit tetap dalam kondisi proliferatif tidak bergerak.

Pada fase inisiasi, proliferasi distimulasi oleh sitokin (IL-6 dan TNF α). Pada

fase ekspansif, perkembangannya memerlukan kontribusi HGF (Hepatocyte

Growth Factor) dan TGF-α (Transforming growth factor-α). Fase terminal

sebagai fase pembentukan masa sel memerlukan perantara TGF-β dan aktivin.

Proses strukturisasi dengan respon remodeling memberikan kontribusi terhadap

37
rekonstruksi vaskularisasi lobul hepar.49 Pada hepar, bagian yang terpisah dari

dari kontrol APPs, IL-6 menunjukkan kontribusi terhadap proliferasi hepatosit

dan aktivasi jalur protektif hepatosit.49,50

VI. TES BIOKIMIA FUNGSI HEPAR PADA SEPSIS

Tes laboratorium yang utama untuk uji tapis atau konfirmasi kecurigaan

kelainan hepar meliputi pengukuran serum transaminasi, bilirubin (total dan

fraksi) dan kadar alkali phosphatase (AP), begitu pula determinasi dari waktu

protrombin atau International Normalized Ratio (INR) serta kadar albumin.

Tes ini melengkapi dan memperkirakan fungsi sintesis dan ekskresi, serta dapat

memberikan kesan dasar dari gangguan (seperti inflamasi atau kolestasis).38

Kolestasis (kelainan obstruktif) melibatkan regurgitasi dari komponen

saluran empedu kedalam serum; meningkatnya kadar serum total dan bilirubin

terkonjugasi dan serum asam empedu. Peningkatan kadar serum alkalin

fosfatase, 5’ nukleotidase (5’ NT) dan glutamyl transpeptidase (GGT) juga

merupakan indikator sensitif dari obstruktif atau inlamasi dari saluran bilier. 38

Komplikasi dari kelainan hepar dapat direfleksikan dengan tanda

klinis (seperti ensefalopati, hemoragik varises, jaundice yang memburuk,

penyusutan masa hepar yang memperlihatkan nekrosis masif atau onset dari

asites) atau pada perubahan biokimia (hipoglikemia, hiperamonemia, imbalan

elektrolit, hiperbilirubinemia berlanjut, hipoalbuminemia atau pemanjangan PT

atau INR yang tidak respon dengan pemberian vitamin K parenteral).38

38
Fraksi dari kadar serum bilirubin total menjadi fraksi bilirubin

terkonjugasi dan tak terkonjugasi membantu membedakan antara peningkatan

yang disebabkan oleh hemolisis dengan yang disebabkan oleh disfungsi hepar.

Peningkatan predominan pada kadar bilirubin terkonjugasi memberikan indeks

yang relatif sensitif dari kelainan hepatoseluler dan disfungsi ekskresi hepatik,

yang mana peningkatan kadar transaminase lebih sensitif mengindikasikan

kerusakan hepatoseluler.38,39

Fungsi sintetis hepatik direfleksikan dengan serum albumin dan kadar

protein serta Prothrombine time (PT) atau INR. Pemeriksaan konsentrasi serum

globulin dan jumlah relatif dari fraksi globulin mungkin dapat membantu.

Hipoalbuminemia disebabkan oleh penekanan sintesis mungkin merupakan

komplikasi penyakit hepar berat dan sebagai faktor prognostik.38

Pada penelitian tes fungsi hepar pada pasien dengan bakteremia oleh

Kanai dkk, analisa t-test menunjukkan kadar gamma-glutamyl transpeptidase

(ɤ-GT) dan alkaline phosphatase (ALP) pada grup bakteremia secara

signifikan meningkat, disamping itu kadar albumin, kolesterol total dan

kolinesterase secara signifikan menurun dibandingkan grup kontrol (non-

bakteremia).39 Pada penelitian tersebut juga, menunjukkan kadar serum ɤ-GT,

ALP, Albumin, Kolesterol total dan kolinesterase dapat berubah segera disaat

berbagai macam infeksi bakteri terbukti bakteremia. Fungsi tes ini tersedia

pada hampir diseluruh rumah sakit dan secara umum dapat diukur dengan

biaya murah untuk deteksi awal sepsis.39

39
Petanda yang penting dengan meningkatnya kadar AST dan ALT dapat

terjadi pada jejas hepatosluler, peningkatan beberapa kali dapat terjadi oleh

karena hepatitis virus akut, toksik, hipoksia atau hipoperfusi. 39

Kadar interleukin-6 berhubungan dengan beratnya respon inflamasi,

namun tidak spesifik terhadap infeksi bakterial. Peningkatan konsentrasi IL-6

pada anak-anak dengan sepsis dan konsentrasi persisten >500 pg/ml dapat

berguna dalam mengidentifikasi pasien anak-anak dengan sepsis intra

abdominal yang menyebabkan perawatan lama dan meningkatnya morbiditas. 51

Interleukin-8 (IL-8) merupakan kemokin yang respon terhadap migrasi

dari neutrofil dan makrofag menuju tempat inflamasi dan jumlah yang

meningkat merupakan abnormalitas bagi kesehatan pada anak-anak.hal ini

dapat sebagai petanda diagnostik terhadap sepsis bakterial pada anak-anak

dengan febril neutropeni.52

Defisiensi protein C yang didapat selama sepsis yang didapatkan dari

berbagai penelitian, untuk menilai keamanan dan efikasi dari terapi pengganti

dengan drotrecogin alfa yang teraktifasi (recombinant human activated protein

C). Kadar protein C pada diagnosis berhubungan dengan berat dan luaran

penyakit. Pada anak-anak dan dewasa, defisiensi Protein C didapat, ditemukan

pada sebagian besar pasien dengan sepsis berat dan berkaitan dengan

peningkatan risiko kematian. Kadar dan aktifasi protein C berkurang selama

sepsis berat. Hampir 87% pasien yang berkembang menjadi sepsis

menunjukkan abnormalitas dari kadar protein C.53

40
VI. RINGKASAN

1. Sepsis adalah infeksi yang disertai reaksi inflamasi dengan manifestasi

sistemik yang berhubungan dengan pelepasan sejumlah mediator inflamasi

endogen kedalam aliran darah

2. Sepsis dapat berkembang menjadi berat (severe sepsis) yang berakhir

dengan kematian

3. Sepsis berat bila sepsis yang diikuti dengan tanda kegagalan sedikitnya

satu organ

4. Syok septik merupakan sepsis berat dengan hipoperfusi organ dan

hipotensi yang kurang respon terhadap resusitasi cairan

5. Sepsis merupakan penyebab kematian tertinggi pada pasien dengan sakit

kritis

6. Hepar sebagai organ kunci pada sepsis, karena berkaitan dengan proses

metabolik serta mekanisme pertahanan tubuh yang terjadi selama sepsis

7. Tiga jenis sel hepatik utama yang memberikan kontribusi respon terhadap

sepsis, diantaranya adalah sel Kupffer, hepatosit dan sel endotelial

sinusoid. Selain itu, terlibat pula neutrofil teraktivasi

8. Terapi yang efektif terhadap gagal organ sangat penting karena beratnya

beban akibat kegagalan organ yang dapat menyebabkan kematian

9. Hepar memiliki fungsi fisiologis, seperti fungsi metabolik, fungsi sekresi

dan ekskresi

41
10. Kriteria gagal organ pada sepsis menggunakan kriteria Wilkonson dan

Proulx, dimana terjadi peningkatan bilirubin dan tes fungsi hepar lain

sebagai petanda

11. Disfungsi hepar dini terjadi pada jam pertama sepsis berkaitan dengan

hipoperfusi hepatosplanknik

12. Sepsis yang menginduksi perubahan fungsi hepatik dengan melibatkan

berbagai jenis sel hepar dan beberapa sekresi mediator lokal

13. Sel Kupffer 70% dari populasi makrofag diperkirakan sebagai pertahanan

utama dalam melawan bakteremia dan endotoksemia

14. Hepar adalah tempat utama dari inaktivasi endotoksin dan produk-produk

bakteri lainnya

15. Luapan TNF sistemik sebagai produk mediator pro-inflamasi dari sel

kupffer merupakan bentuk dari disfungsi hepatik dan terlibat dalam

perkembangan gagal organ multipel

16. Peranan APPs dalam meningkatkan fungsi pertahanan dan perlindungan

pejamu dalam proses pemusnahan bakteri dapat mengakibatkan kerusakan

jaringan

17. Protein C reaktif (CRP) merupakan protein kunci pada pertahanan pejamu

melawan bakteri, yang juga dapat memicu ekspresi TF (Tissue Factor)

18. Pada sepsis terjadi respons inflamasi yang dapat menyebabkan kerusakan

jaringan

19. Sel endotelial hepatik yang diisolasi dari hepar normal memproduksi IL-1

dan IL-6 secara spontan

42
20. Jaundice pada sepsis dapat berkaitan dengan sel darah merah normal,

defek sel darah merah

21. Pada pasien sepsis dan SIRS, terjadi perubahan ekstraksi asam amino,

akibatnya adalah peningkatan konsentrasi asam amino plasma

22. Glutamin interorgan (GLN) berbeda antara saat sepsis dan sehat

23. Sistem enzim CYP menunjukkan perubahan respon terhadap metabolisme

karena sepsis

24. Hepatosit memiliki kemampuan beregenerasi

25. Regenerasi sel hepar terdiri dari 4 fase, yaitu : fase inisiasi, fase ekspansif,

fase terminal dan proses strukturisasi

26. Tes laboratorium pada fungsi hepar terhadap sepsis dapat digunakan

sebagai uji tapis atau konfirmasi kecurigaan

27. Ada berbagai pemeriksaan yang signifikan terhadap fungsi hati oleh

berbagai penyebab

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Sepsis and Septic Shock: Critical Care Medicine: Merck Manual

Professional Last full review/revision December 2007 by Max Harry Weil,

MD, PhD, ScD (Hon)Content last modified December 2007

2. Setiati TE, Soemantri AG. Patologi dan Penanganan Sepsis. Dalam: Sepsis

dan disfungsi organ multipel pada anak. Pelita insani.Semarang.2009:1-2

3. Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J, Pinsky

MR. 2001. Epidemiology of Severe sepsis in the United State: analysis of

Incidence, outcome and associated costs of care. Crit Med 29:1303-1310

4. Whitehead MW, Hainsworth I, Kingham JG. The causes of obvious

jaundice in South West Wales: perception versus reality. Gut 2001;48:409-

413

5. Dhainaut J.F, Marin N, Mignon A, Vinsonneau. Hepatic Response to

Sepsis: Interaction Between Coagulation and Inflammatory Processes.

Critical Care Medicine. 2001. Vol. 29. No.7, 2001

6. Spapen H. Liver perfusion in sepsis, septic shock and multiorgan failure.

The Anatomical Record 2008;291:714-720

7. Setiati TE, Soemantri AG. Pengelolaan Sepsis Berat dan Syok Sepsis.

Dalam: Sepsis dan disfungsi organ multipel pada anak. Pelita

insani.Semarang.2009:37

8. Setiati TE, Soemantri AG. Perfusidan Oksigenasi Splanknik pada Keadaan

Shock. Dalam: Sepsis dan disfungsi organ multipel pada anak. Pelita

insani.Semarang.2009:185

44
9. Guyton AC. Hepar dan Saluran Empedu. In : Buku Teks Fisiologi

Kedokteran. 9th ed. Jakarta. ECG. 1997 : 1103-1108

10. Kuntz E, Kuntz HD. Diagnostic in Liver Disease. Morphology of the liver.

Hepatology principles and practice. 2nd ed. Germany. Springer, 2006; 14-

28)

11. Kuntz E, Kuntz HD. Diagnostic in Liver Disease. Biochemistry and

function of the liver. Hepatology principles and practice. 2 nd ed. Germany.

Springer, 2006; 32-70

12. Chand N, Sanyal A.J. Review: Sepsis-Induced Cholestasis. Hepatology

2007;45:230-241

13. Rosenthal P. Assessing liver function and hyperbilirubinemia in the

newborn.Clinical Chemistry 1997; 43(1):228–234

14. Setiati TE, Soemantri AG. Gagal Fungsi Traktus Gastrointestinal pada

Anak Sakit Kritis dan Manajemennya. Dalam: Sepsis dan disfungsi organ

multipel pada anak. Pelita insani.Semarang.2009:103-113)

15. Katz S, Jimenez MA, Lehmkuhler WE, et al: Liver Bacterial Clearance

following hepatic artery ligation and portacaval shunt. J Surg Res 1991;

51:267-270

16. Szabo G, Romics L, Frendl G. Liver in Sepsis and Systemic Inflammatory

Response Syndrome. Clinics in Liver Disease 2002; 6:1045-1066

17. Gruyse, Toussaint M.J.M,Niewold T.A, Koopmans S.J. Review : Acute

Phase Reaction and Acute Phase Proteins. Journal of Zhejiang University

Science. 2005 6B(11): 1045-1056

45
18. Anonymous. Acute Phase Proteins.www.hycult biotech

19. Baumann H, Onorato V, Gauldies J, et al: Distinct sets of acute phase

plasma proteins are stimulated by separate human hepatocyte- stimulating

factors and monokines in rat hepatoma cells. J Biol Chem 1987; 262:9756–

9768

20. Spitzer JA: Cytokine stimulation of nitric oxide formation and differential

regulation in hepatocytes and nonparenchymal cells of endotoxemic rats.

Hepatology 1994; 19: 217–228

21. Holman JM, Saba TM: Hepatocyte injury during post-operative sepsis:

Activated neutrophils as potential mediators. J Leukoc Bio 1988; 43:193–

203

22. Jaeschke H. Mechanisms of Liver Injury II. Mechanisms of Neutrophil-

Induced Liver Cell Injury During Hepatic Ischemia-reperfusion and Other

Acute Inflammatory Conditions. American Journal Physiology

Gastrointestinal Liver Physiology 290: G1083-G1088, 2006

23. Jaeschke H. Molecular mechanisms of hepatic ischemia-reperfusion injury

and preconditioning. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol 284: G15–

G26, 2003

24. Okaya T and Lentsch AB. Cytokine cascades and the hepatic

inflammatoryresponse to ischemia and reperfusion. J Invest Surg 16: 141–

147,2003

46
25. Gujral JS, Hinson JA, Farhood A, and Jaeschke H. NADPH

oxidasederived oxidant stress is critical for neutrophil cytotoxicity during

endotoxemia.Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol 287: G243–G252,

2004

26. Canbay A, Feldstein AE, Higuchi H, Werneburg N, Grambihler A,Bronk

SF, and Gores GJ. Kupffer cell engulfment of apoptotic bodies stimulates

death ligand and cytokine expression. Hepatology 38: 1188–1198, 2003

27. Tsung A, Sahai R, Tanaka H, Nakao A, Fink MP, Lotze MT, Yang H, Li J,

Tracey KJ, Geller DA, and Billiar TR. The nuclear factor HMGB1

mediates hepatic injury after murine liver ischemia-reperfusion. J Exp Med

201: 1135–1143, 2005

28. Tsung A, Hoffman RA, Izuishi K, Critchlow ND, Nakao A, Chan MH,

Lotze MT, Geller DA, and Billiar TR. Hepatic ischemia/reperfusion injury

involves functional TLR4 signaling in nonparenchymal cells. J Immunol

175: 7661–7668, 2005

29. Jaeschke H. Reactive oxygen and mechanisms of inflammatory liver

injury. J Gastroenterol Hepatol 15: 718–24, 2000

30. Jaeschke H. Reactive oxygen and mechanisms of inflammatory liver

injury. J Gastroenterol Hepatol 15: 718–24, 2000

31. Gregory S.H, Wing E.J. Neutrophil-Kupffer cell interaction: a critical

component of host defenses to systemic bacterial infections. Journal of

Leukocyte Biology. 2002, 72:239-248

47
32. Dhaliwal G, Cornett PA, Tierney LM, Jr. Hemolytic anemia. Am Fam

Physician 2004;69:2599-2606

33. Shander A. Anemia in the critically ill. Crit Care Clin 2004;20:159-178

34. Scharte M, Fink MP. Red Blood Cell Physiology in Critical Illness. Crit

care Med 2003;31(12 suppl):S651-S657

35. Garratty G. Review: Drug-induced immune hemolytic anemia-the last

decade. Immunohematol 2004;20:138-146

36. Jacob A, Zhou M, Wu R, Wang P. Review Article The Role of hepatic

cytochrome P-450 in Sepsis. International J Clin Exp Med 2009;2:203-211

37. J.A. Carcillo, L. Doughty, D. Kofos, R.F. Frye, S.S. Kaplan, H. Sasser,

G.J. Burckart, Cytochrome P450 mediated-drug metabolism is reduced in

children with sepsis-induced multiple organ failure, Intensive Care Med 29

(2003) 980-984

38. D’Agata I. D, Ballster W. F. Evaluation of Liver Disease in The Pediatric

Patient. Pediatrics in Review 1999;20:376-389

39. Sakka S. G. Assessing Liver Function. Current Opinion in Critical Care

2007; 13:207-214 Kanai S, Uehara T, Matsumoto T. Liver Function Test

in Patients with Bacteremia. Journal of Clinical Laboratory Analysis

2008;22:66-69

40. Levi M, Cate HT. Current concept: disseminated intravascular

coagulation. N Engl J Med. 1999;341:586–92

48
41. Choi G, Schultz MJ, Leve M, Poll T. The relationship between

inflammation and the coagulation system. Swiss Med Wkly.

2006;136:139–44

42. Wada H, Gabazza EC, Asakura H, Koike K, Okamoto K, Maruyama I,

dkk. Comparison of diagnostic criteria for disseminated intravascular

coagulation: diagnostic criteria of the International Society of Thrombosis

and Hemostasis (ISTH) and of the Japanese Ministry of Health and

Welfare for overt DIC. Am J Hematol. 2003;74:17–22

43. Setiabudy RD. Hemostasis dan trombosis. Edisi ke-3. Jakarta: Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007

44. Druml \W, Heinzel G, Kleinberger G. Amino Acid Kinetics in Patient with

Sepsis. Am J Clin Nutr 2001;73:908-13

45. Karinch AM, Pan M, Lin CM, Strange R, Souba WW. Glutamine

Metabolism in Sepsis and Infection. American Society for Nutritional

Sciences. 2001;1:2535s-2538s

46. Fischer, C. P., Bode, B. P. & Souba, W. W. (1996a) Starvation and

endotoxin act independently and synergistically to coordinate hepatic

glutamine transport.J. Trauma 40: 688–693

47. Inoue, Y., Bode, B. P. & Souba, W. W. (1994) Antibody to TNFa blocks

LPS-stimulated hepatic amino acid transport. Surgery 116: 356–366

48. DeAngelis R A, Markiewski M M, Lambris JD. Liver Regeneration: A

Link ti Inflammation Through Complement. Hepatology chapter 2: 17-34

49
49. Zimmermann A. Regulation of liver regeneration. Nephrol Dialysis

Transplantation. 2004(Suppl 4): iv6-iv10

50. Streetz, Luedde, manns et al. Review Interleukin and liver regeneration.

Gut. 200;47:309-312

51. Latifi SQ, O’Riordan MA, Levine AD et al. Persistent elevation of serum

interleukin-6 in intraabdominal sepsis identifies those with prolonged

length of stay. J Pediatr Surg 2004;39:1548–52

52. Stryjewski GR, Nylen ES, Bell MJ et al. Interleukin-6, interleukin-8, and a

rapid and sensitive assay for calcitonin precursors for the determination of

bacterial sepsis in febrile neutropenic children. Pediatr Crit Care Med

2005;6:129–35

53. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF et al. Efficacy and safety of

recombinant human Activated Protein C for severe sepsis. N Engl J Med

2001;344:699–709

50

Anda mungkin juga menyukai