A. Pendahuluan
Krisis moneter yang melanda negara-negara anggota ASEAN, telah
memporakporandakan struktur perekonomian negara-negara tersebut. Bahkan
bagi Indonesia,akibat dari terjadinya krisis moneter yang kemudian berlanjut pada
krisis ekonomi dan politik ini, telah menyebabkan kerusakan yang cukup
signifikan terhadap sendisendi perekonomian nasional.
Krisis moneter yang melanda Indonesia diawali dengan terdepresiasinya
secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (terutama dolar
Amerika),akibat adanya domino effect dari terdepresiasinya mata uang Thailand
(bath), salah satunya telah mengakibatkan terjadinya lonjakan harga barang-
barang yang diimpor Indonesia dari luar negeri. Lonjakan harga barang-barang
impor ini,
menyebabkan harga hampir semua barang yang dijual di dalam negeri meningkat
baik secara langsung maupun secara tidak langsung, terutama pada barang yang
memiliki kandungan barang impor yang tinggi.
Karena gagal mengatasi krisis moneter dalam jangka waktu yang
pendek,bahkan cenderung berlarut-larut, menyebabkan kenaikan tingkat harga
terjadi secara umum dan semakin berlarut-larut. Akibatnya, angka inflasi nasional
melonjak cukup tajam. Lonjakan yang cukup tajam terhadap angka inflasi
nasional yang tanpa diimbangi oleh peningkatan pendapatan nominal masyarakat,
telah menyebabkan pendapatan riil rakyat semakin merosot. Juga, pendapatan per
kapita penduduk merosot relatif sangat cepat, yang mengakibatkan Indonesia
kembali masuk dalam golongan negara miskin. Hal ini telah menyebabkan
semakin beratnya beban hidup masyarakat, khususnya pada masyarakat strata
ekonomi bawah. Jika melihat begitu dasyatnya pengaruh lonjakan angka inflasi di
Indonesia (akibat dari imported inflation yang dipicu oleh terdepresiasinya nilai
tukar rupiah terhadap mata uang asing) terhadap perekonomian nasional, maka
dirasa perlu untuk memberikan perhatian ekstra terhadap masalah inflasi ini
dengan cara mencermati kembali teori-teori yang membahas tentang inflasi;
faktor-faktor yang menjadi sumber penyebab timbulnya inflasi di Indonesia; serta
langkah-langkah apakah yang sebaiknya diambil untuk dapat keluar dari
perangkap inflasi ini.
B. Inflasi
Inflasi dapat diartikan sebagai gejala kenaikan harga barang-barang yang
bersifat umum dan terus menerus. Dari definisi ini ada tiga syarat untuk dapat
dikatakan telah terjadi inflasi. Pertama, adanya kenaikan harga. Kedua, kenaikan
tersebut terjadi terhadap harga-harga barang secara umum. Ketiga, kenaikan
tersebut berlangsung cukup lama. Dengan demikian kenaikan harga yang terjadi
pada hanya satu jenis barang, atau kenaikan yang terjadi hanya sementara waktu
tidak dapat disebut dengan inflasi.
Pandangan kaum moneteris menganggap inflasi sebagai akibat dari jumlah
uang yang beredar yang terlalu banyak, sehingga daya beli uang tersebut
(purchasing power of money) menurun. Sebagai akibatnya harga barang-barang
menjadi naik. Sedangkan menurut kaum strukturalis, inflasi merupakan gejala
ekonomi yang disebabkan oleh masalah struktural seperti masalah gagal panen
yang menyebabkan kekurangan persediaan barang, sehingga tidak dapat
memenuhi jumlah permintaan secara keseluruhan. Sebagai akibat harga barang
tersebut mengalami kenaikan.
d) Spiralling Inflation. Inflasi jenis ini adalah inflasi yang diakibatkan inflasi
yang terjadi sebelumnya yang mana inflasi yang sebelumnya itu terjadi
sebagai akibat dari inflasi yang terjadi sebelumnya lagi begitu seterusnya.
Secara umum ada tiga pengertian Nilai Tukar Petani (Ruauw 2010).
Pertama, jika NTP > 100, berarti petani mengalami surplus, harga produksi naik
lebih besar daripada konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari
pengeluarannya. Dengan demikian tingkat kesejahteraan petani lebih baik
dibanding tingkat kesejahteraan petani sebelumnya. Kedua, NTP = 100, berarti
petani mengalami impas/break even. Kenaikan atau penurunan harga barang
produksinya sama dengan persentase kenaikan atau penurunan harga barang
konsumsinya. Tingkat kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan. Ketiga,
NTP < 100, berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga barang produksinya
relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya.
Tingkat kesejahteraan petani pada suatu periode mengalami penurunan dibanding
tingkat kesejahteraan petani periode sebelumnya.
Adapun pembentukan Nilai Tukar Petani adalah sebagai berikut:
Pertama, konsep pertukaran. Nilai tukar barter didefinisikan sebagai rasio dari
harga pertanian terhadap harga produk nonpertanian (Rachmat 2000).
NTB = Px/Py
di mana:
NTB = Nilai tukar Barter Pertanian
Px = Harga Komoditas Pertanian
Py = Harga Produk Non-Pertanian
Konsep nilai tukar ini mampu mengindentifikasi perbandingan harga
relatif dari komoditas pertanian tertentu terhadap harga produk yang
dipertukarkan. Dapat dianalogikan seperti pada harga sebutir telur 10-15 tahun
yang lalu, adalah sepadan nilainya dengan ongkos transportasi pulang pergi ke
suatu tempat. Kini untuk harga yang harus dibayar untuk transportasi ke tempat
yang sama adalah sebesar 5 butir telur. Jadi harga satu butir telur nilainya tidak
relevan lagi dengan nilai sekarang karena telah terjadinya inflasi. Analogi harga
telur tersebut menggambarkan bahwa nilai tukar harga komoditas pertanian
misalnya telur mengindentikasikan daya tukar komoditas pertanian terhadap
barang yang dipertukarkan seperti barang faktor produksi dan konsumsi.
Kedua, konsep faktorial. Nilai tukar dalam konsep ini didefinisikan
sebagai rasio harga pertanian terhadap harga nonpertanian dikalikan dengan
produktivitas pertanian (Rachmat 2000).
NTF = Px/Py * Z
di mana:
Z = Produktivitas pertanian
Konsep ini mampu mengidentifikasi pengaruh perubahan teknologi dari
komoditas dan produk tertentu yang dipertukarkan. Namun konsep ini terbatas
kepada komoditas dan produk tertentu dan tidak dapat menjelaskan kemampuan
seluruh komoditas/produk yang dipertukarkan.
Ketiga, konsep pendapatan. Konsep pendapatan (Nilai Tukar Pendapatan)
merupakan perbaikan dari konsep nilai tukar faktorial. Nilai Tukar Pendapatan
(NTI) merupakan daya ukur dari nilai hasil komoditas pertanian yang dihasilkan
petani per unit (hektar) terhadap nilai korbanan untuk memproduksi hasil tersebut
(Suntoro et al. 2014).
NTI = PxQx/PyQy
Dengan demikian, NTI menggambarkan tingkat profitabilitas dari usaha
tani komoditas tertentu. Namun demikian, NTI hanya menggambarkan nilai tukar
dari komoditas tertentu, belum mencakup keseluruhan komponen pendapatan
petani dan komponen pengeluaran petani.
Keempat, Nilai Tukar Subsisten (NTS) yang menggambarkan daya ukur
dari pendapatan total usaha pertanian terhadap pengeluaran total petani untuk
kebutuhan hidupnya (Suntoro et al. 2014). Pendapatan usaha pertanian merupakan
penjumlahan dari seluruh nilai produksi komoditas pertanian yang dihasilkan
petani. Pengeluaran petani merupakan penjumlahan dari pengeluaran untuk
konsumsi rumah tangga dan pengeluaran untuk biaya produksi usaha tani. Dengan
demikian NTS menggambarkan tingkat daya tukar/ daya beli dari pendapatan
usaha pertanian dari usaha tani terhadap pengeluaran rumah tangga petani untuk
kebutuhan hidupnya yang mencakup pengeluaran konsumsi dan pengeluaran
untuk biaya produksi.
Secara konsepsi, NTP mengukur daya tukar dari komoditas pertanian yang
dihasilkan petani terhadap produk yang dibeli petani untuk keperluan konsumsi
dan keperluan dalam memproduksi usaha tani. Nilai Tukar Petani yang rendah
menyulitkan mereka dalam memenuhi kebutuhan pokok yang lain. Persoalannya
adalah persoalan hidup dan mati bagi petani yang punya tanah dan hidupnya
hanya dari hasil-hasil pertanian (Winangun 2004).
Petani merupakan sumber daya insani yang memiliki daya yang tinggi
untuk mensejahterakan masyarakat. Tanpa bantuan petani manusia akan sulit
untuk bertahan hidup. Karenanya keberadaaan petani sangat penting bagi
kehidupan manusia. Menurut Sunarti dan Khomsan (Sunarti and Khomsan 2006),
kesejahteraan petani bisa terealisasi melalui pendapatan mereka yang meningkat,
minimnya terjadi kegagalan panen, produktivitas meningkat, dan harga gabah
dibeli tinggi. Sebaliknya, faktor-faktor yang menyebabkan para petani masih
belum merasakan kesejahteraan dan belum juga maju disebabkan beberapa faktor,
antara lain: (1) Harga gabah dibeli murah oleh para tengkulak; (2) Kurangnya
pasokan subsidi pupuk dan benih tanaman oleh pemerintah; (3) Beras diimpor
oleh negara tetangga; (4) Sulitnya pinjaman untuk petani. Salah satu indikator
yang dianggap penting untuk mengetahui tinggi rendahnya kesejahteraan petani
dapat dilihati melalui Nilai Tukar Petani (NTP). Semakin tinggi nilai tukar
pertanian, maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan petani.
Rata-rata Upah Buruh setahun terakhir turun 5,18 persen dari Rp 2,91
juta menjadi Rp 2,76 juta. Penurunan tertinggi pada kategori Penyediaan
Akomodasi dan Makan Minum sebesar 17,25 persen. Rata-rata upah buruh laki-
laki sebesar Rp 2,98 juta dan rata-rata upah buruh perempuan sebesar Rp 2,35
juta.
Kendati begitu, Bali dan Jakarta telah mendapatkan investasi yang besar di
beberapa tahun terakhir (terutama di pasar kelas atas) yang menyebabkan suplai
yang berlebihan. Para investor yang ingin mendirikan hotel-hotel di wilayah ini
(dan juga hotel-hotel yang sudah ada) perlu memunculkan konsep yang asli dan
kreatif untuk menjadi pemimpin pasar.