Argumentatif
Pandangan Terhadap Perempuan, Penjajahan Serta Peranannya Hari Ini
Perempuan tidak pernah lepas dari isu kesetaraan gender. Berbagai kebijakan
atas apapun dianggap telah memasung hak perempuan, sehingga perempuan tidak
memperoleh jaminan kehidupan yang aman, serta tidak mampu mengembangkan
potensinya untuk berkarya. Hal inilah yang membuat berbagai macam gerakan yang
membela hak perempuan. Namun sayang, perlawanan yang dilakukan hanya sedikit
membuka mata dunia bahwa perempuan juga manusia yang memiliki hak untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dimasa lalu, perempuan dijajah oleh
kesemena-menaan, namun pada saat ini perempun dijajah oleh banyaknya produk
fashion dan kosmetik yang sudah beredar luas di dunia saat ini.
Perempuan memiliki cerita tersendiri dalam panggung peradaban. Di balik
keagungannya, sejarah perempuan di beberapa belahan dunia menyimpan cerita yang
memilukan. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi latar belakang beberapa tokoh
untuk memperjuangkan hak perempuan, yang umumnya dikenal dengan gerakan
feminism. Ki Hadjar Dewantara mengingatkan mengenai kodrat perempuan.
“Sebenarnya hidup perempuan itu semata-mata mengandung lambang kesempurnaan
hidup manusia di dunia. Dalam hidup perempuanlah kita lihat segala tanda-tanda dan
petunjuk atas wajib kita manusia hidup selaku makhluk Tuhan di dunia. Dalam hidup
perempuan dapatlah kita insafi firman Tuhan atas hidup kita” (Ki Hajar Dewantara,
1928). Namun, kodrat perempuan tersebut sering disalah artikan, sehingga kehidupan
perempuan seolah-olah tidak berarti dan sangat terbatas hingga tidak ada kesempatan
untuknya untuk dapat mengembangkan potensinya.
Pada peradaban masa lalu, kisah tentang perempuan berada pada bagian yang
memilukan. Di beberapa wilayah dan kebudayaan bangsa, perempuan seolah-olah
berada pada kasta yang rendah hingga dapat dikuasai dan diperlakukan semena-mena.
Potret memasung hak perempuan masih terjadi di kebudayaan bangsa lain, seperti
pada budaya Jawa. Perempuan di Jawa seolah-olah tidak diperkenankan memiliki
wawasan yang luas dalam bidang keilmuan, wawasan yang perlu diketahui
perempuan Jawa hanyalah seputar kehidupan berumah tangga. Kartini menceritakan
kondisinya pada saat usianya menginjak 12 tahun dengan sudut pandang orang ketiga
yang dipaksa keluar dari sekolah untuk menjalani prosesi pingitan (Toer, 2003: 67).
Soe Hok Gie sebagai salah satu aktivis pernah menyatakan bahwa apabila
yang dipikirkan perempuan hanyalah baju dan kecantikan, maka perempuan akan
selalu ada di bawah laki-laki. Karena jika hal prioritas bagi perempuan hanyalah
produk fashion dan kosmetik, maka keleluasaan yang diberikan pada perempuan,
tidak akan digunakan untuk mengembangkan potensinya dan menciptakan karya,
melainkan perempuan akan terjebak ke dalam hal yang sebenarnya merendahkan juga
posisinya. Perempuan beranggapan, akan semakin dihargai bila dirinya cantik dan
modis, bukan perempuan yang mampu memiliki peran dan pengaruh pada lingkungan
atas sikap dan karyanya. Pada akhirnya, gerakan feminisme yang digaungkan menjadi
salah diartikan. Perempuan diberikan ruang publik, justru bukan untuk
mengembangkan dirinya melainkan digunakan untuk memenuhi kebutuhan fashion
dan kosmetiknya, untuk mempercantik dirinya. Seharusnya perempuan dapat
memanfaatkan keleluasaan di ruang publik yang diberikan padanya untuk berkarya.
Pada saat ini telah banyak juga perempuan yang menggunakan haknya dengan
bijaksana. Perempuan dengan jenjang pendidikan tinggi, telah mampu berperan serta
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Walaupun jumlahnya masih lebih
rendah, namun telah banyak perempuan yang mampu menunjukkan prestasinya
dalam bidang yang ditekuninya. Ketepatan perempuan dalam memanfaatkan haknya
secara maksimal, yang ditunjukkan dengan karya yang dihasilkannya, telah
memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Hal ini tentu saja perlahan-lahan akan
membuka mata publik mengenai hak perempuan yang masih dipasung atas nama
sosial budaya ataupun agama yang disalah artikan..