Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Studi ilmu kalam, Pendidikan dan Tasawuf


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Metodolodi Studi Islam
Dosen pengampu : Dr. Idris M,Ed

OLEH :
WIDYA KUSMA NINGAIH (12010723376)
RIRIN WULANDARI (
KELAS 1C
JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kita dapat menyelesaikan tugas makalah tentang Studi
Ilmu Kalam, Pendidikan dan Tasawuf dengan baik. Dan tidak lupa pula kami
mengucapkan terimah kasih kepada bapak Dr Idris M,Ed selaku Dosen mata
kuliah Metodologi Studi Islam, yang telah memberikan tugas ini kepada kami
dan membimbing kami dalam mengerjakan makalah ini.

Kami berharap makalah dari kelompok ini dapat berguna bagi pembaca untuk
menambah pengetahuan tentang Studi Ilmu Kalam, Pendidikan dan Tasawuf

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah kami ini terdapat
kekuarangan dan jauh dari kata sempurna. Dengan ini kami berharap ada kritik,
saran dan usulan demi memperbaiki makalah kami ini. Semoga makalah kami
ini berguna untuk semua.

Pekanbaru, 10 November 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PEMAHASAN..................................................................................................................................4
A. Latar Belakang.......................................................................................................................4
B. Rumusan masalah..................................................................................................................5
C. Tujuan....................................................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN....................................................................................................................................6
A. Pengertian Ilmu Kalam..........................................................................................................6
1.1 Pengembangan Ilmu kalam......................................................................................................7
B. Pendidikan...........................................................................................................................10
1.1 Pengertian Pendidikan Islam.................................................................................................10
1.2 Tujuan Pendidikan Islam......................................................................................................13
1.3 Pengaruh Tasawuf Dalam Pendidikan Islam.........................................................................15
C. Tasawuf...............................................................................................................................16
1.1 Pengerian Tasawuf.................................................................................................................16
1.1 Ajaran-Ajaran Tasawuf.........................................................................................................18
BAB III................................................................................................................................................21
Kesimpulan......................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................22
BAB I
PEMAHASAN
A. Latar Belakang
Ilmu Kalam lahir setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Diawali dengan
permasalahan pengangkatan khalifah yang selanjutnya setelah Rasulullah,
hingga membahas soal jabr (takdir) yang nantinya di namai dengan kaum
Jabariyyah dan ikhtiyar, Yang nantinya di namai dengan sebutan kaum
Qadariyyah. Akhirnya terpecahlah beberapa aliran yang membahas antara
kedua itu dengan dalilnya masing-masing.
Seiring berjalannya waktu semakin banyaklah sekte-sekte Islam yang
mencoba menerangkan tentang Sifat Tuhan dan apapun yang berehubungan
dengan ketuhanan. Namun sekte-sekte ini mempunyai metodologi yang
berbeda, ada yang menggunakan Filsafat secara mendominasi ada pula yang
tidak memberikan kewenangan berfikir dalam mendalami ilmu kalam ini.
Hal demikian dapat dimaklumi, lantaran pendekatan legal-formal  dan
lebih-lebih lagi pendekatan fiqh jauh lebih dominan dari pada pendekatan yang
lainnya. Baik ilmu kalam,filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang
sama, yaitu kebenaran. Ilmu kalam, dengan metodenya berusaha mencari
kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya. Perbedaannya
terletak pada aspek metodeloginya. Ilmu kalam, ilmu yang menggunakan
logika. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika ( dialog
keagamaan ). Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk
memperoleh kebenaran rasional. Dan metode yang digunakan adalah rasional.
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menekankan rasa dari pada rasio. Sebagian
pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau ilham, atau
inspirasi yang datang dari Tuhan
B. Rumusan masalah
1. Apa maksud pengerian ilmu kalam?
2. Apa maksudpengertian pendidikan dalam studi islam?
3. Apa yang di maksud tasawuf a?

C. Tujuan
Tujuan dari makalah agar kita memahami tentang studi tentang studi ilmi kalah,
pendidikan dan tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Kalam

Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip A. Hanafi, Ilmu Kalam ialah


ilmu berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan
iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap
orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran
golongan salaf dan Ahli Sunnah.Muhammad Abduh berpendapat bahwa
Ilmu Kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah),
sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang mesti tidak ada pada-
Nya, serta sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya, dan membicarakan pula
tentang rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui
sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat  yang mesti tidak ada padanya,
serta sifat-sifat yang mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin
terdapat padanya.Ilmu Kalam berisi alasan-alasan mempertahankan
kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dari kepercayaan-
kepercayaan yang diyakininya. Ilmu ini dinamakan Ilmu Kalam, karena;

1. Persoalan yang menjadi pembicaraan abad-abad permulaan Hijriyah,


yakni firman Tuhan (kalam Allah) dan non-azali-Nya al-Qur’an (khalq al-
Qur’an). Karena itu keseluruhan isinya dinamai dengan salah satu bagiannya
yang terpenting.

2. Dasar dari ilmu ini adalah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil-dalil ini
tampak jelas dalam pembicaraan-pembicaraan para ahlinya. Mereka jarang-
jarang kembali kepada dalil naql (Qur’an dan Hadits), kecuali sesudah
menetapkan benarnya pokok persoalan lebih dahulu.

3. Cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika


dalam filsafat, maka pembuktian dalam soal-soal agama ini dinamai Ilmu
Kalam untuk membedakan dengan logika dan filsafat.
1.1 Pengembangan Ilmu kalam
Pengembangan teoritis-epistemologi

Secara toeri ilmu kalam sudah dipaparkan di atas. Ilmu kalam terbentuk
sebagai ilmu tersendiri pada abad ke-2 H (8M), tepatnya pada masa al-Makmun
setelah ulama Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, para ahli menganggap pendiri ilmu ini
adalah kelompok Mu’tazilah. Melalui terjemahan-terjemahan itu, mereka
mempertemukan cara (sistem) filsafat dengan sistem ilmu kalam. Sejak saat itu
pula dipakailah perkataan al-kalam untuk ilmu yang berdiri sendiri.Proses
terbentuknya ilmu kalam sangat terkait dengan situasi politik pasca terbunuhnya
Usman. Saat itu kaum muslimin terpecah-terpecah menjadi beberapa partai
yang masing-masing merasa sebagai pihakyang benar dan menganggap calon
dari golongannyayang berhak menjadi pimpinan umat Islam. Kemudian partai-
partai itu menjadi partai agama dan mengemukakan dalil-dalil agama untuk
membela pendiriannya, dan selanjutnya perselisihan diantara mereka menjadi
perselisihan agama, dan berkisar pada soal iman dan kafir.

Menurut segolongan kecil umat Islam saat itu, Usman melakukan kesalahan
dalam memimpin, bahkan kafir. Pembunuhnya berada pada pihak yang benar.
Sebaliknya pihak lain mengatakan pembunuh Usman telah melakukan kejahatan
besar. Oleh karena itu, mereka berdosa besar dan kafir, mengingat Usman
adalah pemimpin umat Islam yang syah. Dari sinilah mulai timbul presoalan
besar yang selama inimemenuhi buku-buku keislaman, yaitu persoalan dosa
besar, iman dan hakikatnya, dan persoalankepemimpinan. Dari persoalan dosa
besar kemudian muncul persoalan sumber kejahatan atau sumber perbuatan,
apakah semata-mata dari manusia atau dari Tuhan. Dari persoalan ini muncul
golongan Jabariyyah dan Qadariyyah, di samping Mu’tazilah dan Asy’ariyyah.

a. Aliran-Aliran Ilmu Kalam

Dalam Ilmu Kalam terdapat berbagai aliran, diantaranya sebagai berikut :

1) Kaum Khawarij

Khawarij timbul dari kalangan pasukan Sayyidina Ali tatkala terjadi perang
hebat-hebatnya perang antara Ali dan Mu’awiyah di Shiffin. Mu’awiyah merasa
kewalahan dan bermaksud melarikan diri. Kemudian timbul pemikiran tahkim.
Pasukannya mengangkat al-Qur’an sebagai isyarat agar tahkim dengan al-
Qur’an. Pihak Ali tetap bertempur terus. Lalu ada sebagian pengikut Ali
meminta kepadanya agar mau menerima tahkim. Akhirnya Ali menerima
Tahkim dengan rasa terpaksa. Kemudian diperoleh kesepakatan masing-masing
mengangkat seorang hakim. Mu’awiyah memilih Amr ibn al-Ash. Semula Ali
sendiri bermaksud memilih Abdullah bin Abbas, tetapi orang-orang khawarij ini
menghendaki Abu Musa al-Asy’ari. Tahkim bermaksud dengan berkesudahan
turunnya sayyidina Ali dari khalifah dan tetapnya Mu’awiyah, yang berarti
kemenangan baginya.

Harun Nasutiaon (1986:22) berpendapat bahwa pada mulanya kaum khawarij


merupakan golongan yang tidak mau berturut campur dalam pertentangan-
pertentangan yang terjadi ketika itu dan mengambil sikap menyerahkan
penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang yang bertentangan itu kepada
Tuhan.

Ajaran-ajaran pokok khawarij adalah khilafah,dosa dan iman. Apabila firqah


Syi’ah berpendapat bahwa khilafah itu bersifat waratsah, yaitu warisan turun-
temurun, dan demikian pula yang terjadi kemudian khilafah-khilafah Bani
Umayyah dan Bani Umayyah, maka berbeda sama sekali pendirian khawarij ini
tentang khilafah. Mereka menghendaki kedudukan khalifah dipilih secara
demokratis melalui pemilihan bebas.

2) Kaum Murjiah

Murjiah berasal dari bahasa Arab yang artinya menunda ; atau dari kata yang
berarti mengharapkan. Murjiah adalah bentuk isim fail dari kata tersebut diatas,
berarti orang yang menunda atau orang yang mengharapkan. Dalam arti yang
pertama dimaksudkan berarti golongan atau faham yang menanggungkan
keputusan sesuatu hal (mulanya, persoalan orang yang berbuat dosa besar) nanti
kelak di kemudian hari di sisi Allah. Sedang pengertian dalam arti yang kedua,
dimaksud dengan Murjiah ialah golongan yang mengharapkan ampunan dari
Tuhan atas kesalahan dan dosanya (asal persoalannya adalah orang mukmin
yang berbuat dosa besar, mati sebelum ia bertaubat).

Golongan Murjiah lahir sebagaimana golongan Khawarij, lahir karena didahului


oleh persoalan politik, yaitu persoalan imamah yang berakibat terjadinya
pertumpahan darah, sehingga timbul persoalan bagaimana hukum yang berbuat
dosa besar karena membunuh orang tanpa sebab yang dibenarkan. Apakah ia
masih tetap mukmin atau sudah menjadi kafir sebagaimana pendapat golongan
Khawarij, jika ia mati belum bertaubat.

Golongan Murjiah tidak ingin menetapkan hukumnya menjadi kafir, tetapi


menangguhkan keputusannya di akhirat nanti di sisi Tuhan, dan mengharapkan
rahmat dan ampunannya.
Persoalan semula adalah orang-orang Khawarij menganggap Ali telah berdosa
besar dan kafir, demikian pula Usman, tidak demikian halnya dengan Abu
Bakar dan Umar. Sebaliknya pengikut-pengikut yang setia kepada Ali, mereka
menganggap  Abu Bakar, Umar, dan Usman telah merampas jabatan khalifah
yang menurut pendapat mereka seharusnya jebatan itu diduduki oleh Ali.

Tampaknya golongan Murjiah tidak ingin melibatkan diri dalam soal kafir-
mengkafirkan ini, akan tetapi menyerahkan saja urusan itu kepada Allah.
Dengan demikian lahirlah golongan Murjiah.

3) Golongan Qadariyah dan Jabariyah

Golongan Qadariyah adalah golongan yang berpendapat bahwa manusia


mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kehendaknya ; manusia
mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan
hidupnya ; manusia mempunyai kebebasan    dan kekuatan sendiri untuk
mewujudkan perbuatan –perbuatannya. Pengertian Qadariyah di sini bukan
berasal dari pengertian bahwa manusia itu terpaksa tunduk kepada qadar Allah.

Sebaliknya golongan Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai


kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.
Manusia terikat kepada mutlak Tuhan.

Jadi Qadariyah berasal dari qadar yang berarti kemampuan atau kekuatan
manusia, bukan diambil dari arti qadar atau kepastian Tuhan. Dan Jabariyah
diambil dari jabara yang berarti memaksa ; bukan manusia memaksa kehendak-
Nya, tetapi Tuhan memaksakan kehandak-Nya, sebaliknya manusia berbuat
atau mengerjakan sesuatu dalam keadaan terpaksa.

4) Kaum Mu’tazilah

Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham Qadariyah, yaitu faham


yang mengingkari taqdir Allah ; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-
satunya sumber dan metodologi pemikirannya.

Ajaran pokok aliran Mu’tazilah adalah panca-ajaran atau panca Mu’tazilah.


Lima ajaran tersebut adalah sebagai berikut;

1. Keesaan Tuhan (al-tauhid);

2. Keadilan Tuhan (al- ‘adl);

3. Janji dan ancaman (al-wa’d wa al-waid);


4. Posisi diantara dua tempat (al-manzilah bain al-manzilatain);

5. Amar ma’ruf nahi mungkar (al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar)

B. Pendidikan

1.1 Pengertian Pendidikan Islam


Pendidikan dan manusia merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan karena pendidikan hanya untuk manusia dan manusia menjadi
manusia karena adanya pendidikan. Untuk itu akan dikaji pengertian pendidikan
itu dari dua aspek yaitu aspek etimologis dan aspek terminologis.
Menurut mu'jam (Kamus) kebahasaan sebagaimana dikutip Ramayulis,
kata tarbiyah memiliki tiga akar kebahasaan,1[10] yaitu:
a.       Memiliki arti tambah (zad) dan berkembang (nama). Pengertian'ini didasarkan
atas Q.S. al-Rum ayat 39.
b.      Memiliki arti tumbuh (nasya’) dan menjadi besar (tara ra'a).
c.       Memiliki arti memperbaiki (ashalaha), menguasai urusan, memelihara,
merawat, menunaikan, memperindah, memberi makan, mengasuh, tuan,
memiliki, mengatur dan menjaga kelestarian dan eksistensinya.2[11]
Pada masa sekarang istilah yang populer dipakai orang adalah tarbiyah,
karena menurut Athiyah Abrasyi tarbiyah adalah term yang mencakup
keseluruhan kegiatan pendidikan. la adalah upaya yang mempersiapkan
individu untuk kehidupan yang lebih sempurna etika, sistimatis dalam berpikir,
memiliki ketajaman intuisi, giat dalam berkreasi, memiliki toleransi pada yang
lain, berkompetensi dalam mengungkap bahasa lisan dan tulis, serta memiliki
beberapa keterampilan.3[12]
Sedangkan istilah yang lain merupakan bagian dari kegiatan tarbiyah.
Dengan demikian maka istilah pendidikan Islam disebut Tarbiyah Islamiyah

3
Kata pendidikan juga ditemukan dalam bahasa Arab, yang biasa digunakan
kata-kata; tarbiyah, ta'alim, ta'dib. Menurut Abdur Rahman An Nahlawi,4[13]
kata tarbiyah ditemukan dalam tiga akar kata yaitu:
1.      Raba – yarbu, yang artinya bertambah dan berkembang. Ini di dasarkan kepada
surat Ar Rum: 39.
2.      Rabiya - yarba,' artinya tumbuh dan berkembang.
3.      Rabba - yarubbu, berarti memperbaiki, mengurusi kepentingan, mengatur,
menjaga, dan memperhatikan. Imam Baidowi; ar-Rabitu bermakna
tarbiyah,yang makna lengkapnya adalah menyampaikan. sesuatu hingga
mencapai kesempurnaan. Menurut Ar Raqib Al Ashfahani, ar Rab, berarti
tarbiyah yang makna lengkapnya adalah menumbuhkan perilaku demi perilaku
serta bertahap hingga mencapai batasan kesempurnaan.
Kata Ta'lim menurut Abdul Fatah Jalal,5[14] lebih luas jangkauannya dan
lebih umum dari kata tarbiyah. Pentingnya kata ta'lim bagi seluruh umat
manusia dapat dilihat dalam surat Al Baqarah: 151. Juga kata ta’lim mencakup
aspek pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya
serta pedoman perilaku yang baik, sebagaimana dalam surat Yunus ayat 5.
Akan tetapi kata ta'lim menurut Al Attas berarti hanya pengajaran. Dengan kata
lain ta'lim hanya sebagian dari pendidikan. Kata Ta'lim menurut Al Attas lebih
tepat sebab tidak terlalu sempit sekadar mengajar saja, dan tidak meliputi
makhluk-makhluk lain selain manusia. Jadi ta’'dib sudah meliputi kata ta'lim
dan tarbiyah. Selain daripada itu kata ta'dib itu erat hubungannya dengan
kondisi ilmu dalam Islam yang termasuk dalam isi pendidikan. Ada beberapa
alasan yang dikemukakan oleh Al Attas mengapa kata ta'dib sudah termasuk di
dalamnya ta'lim dan tarbiyah. Menurut tradisi ilmiah Bahasa Arab istilah Ta'dib
mengandung tiga unsur: pengembangan ilmiah, ilmu dan amal. Iman adalah
pengakuan yang realisasinya harus berdasarkan ilmu. Iman tanpa ilmu adalah

5
bodoh. Sebaliknya ilmu harus dilandasi iman. Ilmu tanpa iman adalah sombong
dan akhirnya iman dan ilmu diharapkan mampu membentuk amal.
Kalau tidak diwujudkan dalam bentuk amal, lemahlah ilmu dan iman itu
Ibarat pohon yang tidak berbuah, niscaya ditinggalkan orang karena kurang
bermanfaat. Dalam kerangka pendidikan, istilah ta'dibmengandung arti: ilmu,
pengajaran dan penguasaan yang baik. Tidak ditemui unsur penguasaan atau
pemilikan terhadap objek atau anak didik, di samping tidak pula menimbulkan
interpretasi mendidik makhluk selain manusia, misalnya binatang dan tumbuh-
tumbuhan. Karena menurut konsep Islam yang bisa bahkan harus dididik
hanyalah makhluk manusia. Dan akhirnya, Al Attas menekankan pentingnya
pembinaan tata krama, sopan santun, adab dan semacamnya atau secara tegas
"akhlak yang terpuji" yang terdapat hanya dalam istilah ta'dib.
Dengan tidak dipakainya konsep ta'dib untuk menunjukkan kegiatan
pendidikan, telah berakibat hilangnya adab sehingga melunturkan citra keadilan
dan kesucian. Menurut Al Attas, keadaan semacam itu bisa membingungkan
kaum muslimin, sampai-sampai tak terasa pikiran dan cara hidup sekuler telah
menggeser berbagai konsep Islam di berbagai segi kehidupan termasuk
pendidikan. Setelah diberikan pengertian mengenai pendidikan secara
etimologis, baik berasal dari bahasa Inggris maupun yang berasal dari bahasa
Arab, maka kajian selanjutnya adalah pendapat-pendapat mengenai pengertian
pendidikan dari segi terminologis. Pendapat-pendapat tersebut antara lain:
Zahara Idris yang dikutif Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati telah mengumpulkan
definisi pendidikan menurut para tokoh pendidikan.6[15] Ahmad D.Marimba
memberi pengertian pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar
oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama. Syaiful Bahri Djamarah, memberi
pengertian juga, pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk
mengembangkan kualitas manusia. Sebagai suatu kegiatan yang sadar akan

6
tujuan, maka dalam pelaksanaannya berada dalam suatu proses yang
berkesinambungan dalam setiap jenis dan jenjang pendidikan.

1.2 Tujuan Pendidikan Islam


Berbicara tentang tujuan pendidikan Islam berarti berbicara tentang nilai-
nilai ideal yang bercorak Islami. Hal ini mengandung makna bahwa tujuan
pendidikan Islam tidak lain adalah tujuan yang merealisasi idealitas Islam.
Sedang idealitas Islam itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai
perilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah
sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Dalam perumusan tujuan
pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi
beberapa aspeknya misalnya tentang7[16]:
1.      Tujuan dan tugas hidup manusia, manusia diciptakan dengan membawa tujuan
dan tugas hidup tertentu, tujuan manusia diciptakan hanya untuk Allah,
tugasnya berupa ibadah dan tugas sebagai wakil Allah dimuka bumi.
2.      Memperhatikan sifat-sifat dasar manusia, ia tercipta sebagai kholifah dimuka
untuk beribadah, yang dibekali dengan banyak fitrah yang berkecenderungan
pada kebenaran dari tuhan sebatas kemampuan dan kapasitas ukuran yang ada.
3.      Mengkondisikan dan menyesuaikan apa yang berkembang dalam dinamika
kehidupan masyarakat, sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan
masyarakat tersebut.
4.      Dimensi-dimensi kehidupan idealitas Islam, dimensi nilai-nilai Islam yang
menekankan keseimbangan dan keselarasan hidup duniawi dan ukhrowi.
Hampir semua cendikiawan muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam
adalah pembentukan pribadi muslin yang sempurna sebagai kholifah dimuka
bumi yang beriman dan beramal sholeh serta bahagia di dunia dan di akhirat.
Ibnu Khaldun merumuskan tujuan pendidikan adalah pertama,
Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena
aktivitas ini sangat penting bagi terbuka pikiran dan kematangan individu,
7
kemudian kematangan ini akan mendapatkan faedah bagi masyarakat. Kedua,
untuk memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat untuk
membantunya, hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya.
Ketiga, Memperoleh lapangan pekerjaan, yang digunakan untuk memperoleh
rizki. Ada beberapa faktor yang dijadikan alasan untuk merumuskan tujuan
pendidikan yaitu:
1). Pengaruh filsafat sosiologi, yang tidak bisa memisahkan antar masyarakat,
ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat.
2). Perencanaan ilmu pengetahuan sangat menentukan bagi perkembangan
masyarakat berbudaya.
3). Pendidikan sebagai aktivitas akal insani, merupakan salah satu industri yang
berkembang di dalam masyarakat, karena sangat urgent dalam kehidupan setiap
individu.
Rumusan tujuan pendidikan dan faktor-faktor yang dijadikan sebagai
dasar pertimbangan oleh Ibnu Khaldun dalam menentukan tujuan pendidikan,
nampaknya masih ada kesesuaian dengan pendidikan pada masa kini. Menurut
Al Ghazali, tujuan pendidikan Islam adalah mendekatkan diri pada Allah dan
kesempurnaan insani yang tujuannya adalah kebahagiaan di dunai dan di
akhirat.8[17]Hasan Langgulung, dalam memberikan arah tujuan pendidikan
Islam, menyunting sebuah ayat Al Quran surat At Tiin ayat 4 yang darinya
dapat disimpulkan bahwa manusia dengan sebaik-baik bentuk (struktuk fisik,
mental dan spiritual).
Karenanya tujuan pendidikan Islam adalah untuk menciptakan manusia
yang beriman serta beramal sholeh. Diuraikan sebagai berikut.
a. Iman: adalah sesuatu yang hadir dalam kesadaran manusia dan menjadi
motivasi untuk segala perilaku manusia.
b. Amal: perbuatan, perilaku, pekerjaan, pengkhidmatan, serta segala yang
menunjukkan aktifitas manusia.

8
c. Sholeh: baik, relevan, bermanfaat, meningkatkan mutu, berguna, pragmatis
dan praktis.

1.3 Pengaruh Tasawuf Dalam Pendidikan Islam


Para ahli tasawuf membagi dengan secara ahlaki, amali, falsafi. Ketiga
macam ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara
membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan menghiasi diri dari sifat yang
terpuji. Dengan demikian tasawuf harus dicapai dengan akhlak yang terpuji
terlebih dahulu, seperti menekenkan akan kejujuran, rendah hati, tidak
sombong, ramah, bersih hati, berani dan semacamnya, nilai-nilai ini yang
seharusnya dimiliki oleh seorang muslim. Sejalan dengan hal itu tujuan
pendidikan dalam pandangan islam banyak berhubungan dengan kualitas
manusia yang berahlak. Ahmad D marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yaitu menjadi
hamba Allah yang mengandung implikasinya menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan tujuan
pendidikan islam dan tasawuf sangat erat kaitanya yang sama-sama menjadi seseorang
yang berahlak

C. Tasawuf
1.1 Pengerian Tasawuf
Manusia adalah makhluk yang berpikir dan merasa. Bertasawuf artinya
menghidupkan hubungan rasa antara manusia dengan Tuhan. Bagi orang yang
sudah sampai pada stasion ridha atau mahabbah, apalagi ma’rifat, maka ia tak
akan terganggu oleh perubahan zaman hidupnya, karena pusat perhatiannya
tidak lagi kepada yang berubah, tetapi kepada yang tetap tak berubah yaitu
Allah SWT. Kesadaran rasa berhubungan dengan Tuhan dapat memupuk fitrah
keberagamaan yang hanif dan mempertajam bashirah sehingga seseorang selalu
tergelitik untuk memperdekatkan dirinya (taqarrub) kepada Allah.9[1] Salah satu
ajaran yang dapat mendekatkan diri manusia kepada Tuhan, adalah tasawuf.
Sebagai salah satu disiplin keagamaan, tasawuf merupakan bidang yang oleh
sementara kalangan dianggap sebagai disiplin yang ada pada wilayah yang
berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya.10[2] Tasawuf atau sufisme
sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan
memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari
benar bahwa seseorang berada dikhadirat Tuhan.11[3]
Masalah yang muncul apakah yang dimaksud dengan tasawuf itu sendiri?
Beberapa ahli merumuskan tasawuf dalam rumusan yang berbeda-beda, akibat
sudut pandang dan titik tekan yang berbeda. Syukur dalam bukunya
menjelaskan: Dalam tasawuf pun terdapat berbagai istilah yang mewarnai
pengertian tasawuf itu sendiri. Sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal
pada masa Nabi maupun Khulafaur Rasyidin, karena pada masa itu para
pengikut Nabi saw diberi panggilan sahabat. Panggilan ini adalah yang paling
berharga pada saat itu. Kemudian pada masa berikutnya, yaitu pada masa
sahabat, orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau disebut tabi’in,
dan seterusnya disebut
tabi’it tabi’in.12[4] Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan
abad III hijriyah, oleh Abu Hasyim al-Kufy (w 250 H) dengan meletakkan al-
sufi dibelakang namanya, sebagaimana dikatakan oleh Nicholson bahwa
sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud,
wara, tawakkal, dan dalam mahabbah.13[5]
Secara etimologis, para ahli berselisih pendapat tentang asal kata tasawuf.
Namun salah seorang pakar tasawuf yaitu H.M.Amin Syukur terhadap yang
terakhir ini tidak setuju. Beliau cenderung pada pendapat yang mengatakan

10

11

12

13
bahwa kata tasawuf berasal dari Shuf (bulu domba). Selanjutnya orang yang
berpakaian bulu domba disebut mutashawwif, perilakunya disebut tasawuf.14[6]
Secara terminologis, tasawuf diartikan secara variatif oleh para sarjana.
Ibrahim Basuni sebagaimana dikutip oleh H.M. Amin Syukur,
mengklasifikasikan definisi tasawuf menjadi tiga varian, yakni definisi yang
menitik beratkan pada al-Bidayah, al-Mujahadah, dan al-Madzaqat.15[7]
Definisi tasawuf dari sudut al-Bidayah, antara lain dikemukakan oleh Sahalal-
Tustury mendefinisikan tasawuf dengan: Seorang sufi ialah orang yang hatinya
jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia, dan
memandang sama antara emas dan kerikil. Dari sisi al-Mujahadah, Abu
Muhammad al-Jaziri mengartikan tasawuf dengan : “masuk kedalam akhlak
yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang hina”.Untuk mencapai tujuan
tasawuf seseorang harus melaksanakan berbagai kegiatan (al-Mujahadah dan al
Riyadlah), tidak dibenarkan memisahkan amaliah kerohanian dengan syari’at
agama Islam. Apabila dalam pengertian kedua (dari sisi al-Mujahadah), tasawuf
mempunyai pengertian berjuang, menundukkan hawa nafsu/keinginan, maka
pengertian tasawuf pada sisi al-Madzaqat, tasawuf diartikan dan dititik beratkan
pada rasa serta kesatuan dengan yang mutlak, sebagaimana dikatakan oleh
Ruwaim bahwa tasawuf itu ialah melepaskan jiwa terhadap kehendak Allah
SWT.
Sedang al-Hallaj menyatakan bahwa tasawuf itu kesatuan dzat. Dengan
demikian dapat diungkapkan secara sederhana, bahwa tasawuf itu ialah suatu
sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah mujahadah) untuk membersihkan,
mempertinggi dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah, sehingga dengan itu segala konsentrasi seseorang hanya tertuju
kepada-Nya. Oleh karena itu, maka al-Suhrawardi mengatakan bahwa semua
tindakan (al-akhwal) yang mulia adalah tasawuf. Dengan pengertian seperti itu,
HM. Amin Syukur merumuskan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam,
karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam
rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai
kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akherat. Oleh
karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi
pekerti tinggi, sangup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak
lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya, yang pada pokoknya sifat-sifat

14

15
mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela. Hal inilah yang dikehendaki dalam
tasawuf yang sebenarnya.

1.1 Ajaran-Ajaran Tasawuf


Secara keseluruhan ilmu tasawuf bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni
tasawuf ilmi atau nadhari, bagian yang pertama yaitu tasawuf yang bersifat
teoritis. Termasuk di dalamnya adalah teori-teori tasawuf menurut berbagai
tokoh tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan
filosofis. Bagian kedua ialah tasawuf Amali atau tathbiqi yaitu tasawuf terapan,
yakni ajaran tasawuf yang praktis. Tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut
adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf. Orang yang
menjalankan ajaran tasawuf ini akan mendapat keseimbangan dalam
kehidupannya, antara material dan spiritual, dunia dan akherat.16[8] Sementara
ada lagi yang membagi tasawuf menjadi tiga bagian, yakni:
1. Tasawuf Akhlaqi
ialah tasawuf yang menitik beratkan pada pembinaan akhlak al-karimah.
Akhlak adalah keadaan yang tertanam dalam jiwa yang menumbuhkan
perbuatan, dilakukan dengan mudah, tanpa dipikir dan direnungkan terlebih
dahulu. Dengan demikian, maka nampak adanya perbuatan itu didorong oleh
jiwa, ada motifasi (niat) kuat dan tulus ikhlas, dilakukan dengan gampang tanpa
dipikir dan direnungkan sehingga perbuatan itu nampak otomatis. adalah ajaran
tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang
diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku
yang ketat.
Guna mencapai kebahagiaan yang optimum manusia harus lebih dahulu
mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui
pensucian jiwa raga, bermula dari pembentukan pribadi bermoral dan
berakhlak, yang dalam ilmu tasawuf dikenal sebagai takhalli (pengosongan diri
dari sikap tercela). Tahalli (menghias diri dengan sifat yang terpuji), dan tajalli
(terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu
menangkap cahaya ketuhanan).
2. Tasawuf Amali
ialah tasawuf yang menitik berat pada amalan lahiriyah yang didorong
oleh qalb (hati). Dalam bentuk wirid, hizib, dan doa. Selanjutnya tasawuf ini
dikenal dengan tariqat (Arab: tariqah), jalan menuju Allah, yang selanjutnya
menjelma menjadi organisasi ketasawufan yang diikat dalam sebuah organisasi
yang dilengkapi dengan aturan-aturan yang ketat dengan mengkaitkan diri
16
kepada seorang guru (mursyid). Pengikut tariqat harus berguru, sebab yang
bertariqat tanpa guru, maka gurunya adalah syaitan. Organisasi ini dihimpun
dalam suatu wadah yang namanya disesuaikan dengan nama perintisnya, seperti
tariqat qadiriyah, naqsabandiyah, alawiyah dan sebagainya.
3. Tasawuf Falsafi
Ialah tasawuf yang dipadukan dengan filsafat. Dari cara memperoleh ilmu
menggunakan rasa, sedang menguraikannya menggunakan rasio, ia tidak bisa
dikatakan tasawuf secara total dan tidak pula bisa disebut filsafat, tetapi
perpaduan antara keduanya, selanjutnya dikenal tasawuf Falsafi.
Ketiga model tasawuf tersebut hanya sebatas dalam sistematika keilmuan,
bukan dalam tataran praktis. Ketiga menyatu pada pribadi yang satu dan utuh.
Semua proses bertasawuf akan melalui tahapan takhalli (pembersihan hati dari
sifat-sifat tercela) dan tahalli (menghiasi/mengisinya dari sifat-sifat terpuji)
secara simultan, sehingga tercapai tajalli (tersingkapnya hijab/tabir) antara
seorang hamba dengan Tuhan. Bagi orang awam (orang pada umumnya)
mencapainya dalam tataran elementer, yakni mengetahui, menghayati dan
mengamalkan kebenaran, sementara bagi khawwash dan khawash al-Khawash
(istimewa dan sangat istimewa), mencapai ma’rifatullah dengan mencapai nur
bashirah (mata hati) kesempurnaan serta kesucian jiwa, tiada lain kecuali harus
melalui pendidikan dan latihan mental (riyadlah) yang diformulasikan dalam
bentuk pengaturan sikap mental yang benar dan pendisiplinan tingkah laku yang
ketat.
Itulah sebabnya mengapa al-Ghazali mengibaratkan hati/jiwa manusia itu
bagaikan cermin. Cermin yang mengkilap dapat saja menjadi hitam pekat jika
tertutup oleh noda-noda hitam maksiat dan dosa yang diperbuatnya. Hal ini
sejalan dengan firman Allah SWT : Artinya : Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. (QS.
83:14)17[9] Namun apabila manusia mampu menghilangkan titik noda dan
senantiasa menjaga kebersihannya, maka cermin tersebut akan mudah
menerima apa-apa yang bersifat suci dari pancaran nur illahi. Bahkan lebih dari
itu, hati jiwa seseorang akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa.

17
BAB III
Kesimpulan

1. pembahasan ilmu kalam adalah segala pengetahuan yang berkaitan


dengan penetapan akidah keagamaan baik secara dekat (langsung)
maupun jauh (tidak langsung). Sementara aksiologinya atau faedahnya
ilmu kalam adalah meningkatkan keyakinan para pengkajinya,
membimbing pengkajinya dengan argumentasi yang kuat, menjaga
kaidah agama dari kerancauan, menjadi dasar ilmu-ilmu syariat, dan
meluruskan niat serta keyakinan para pengkajinya.
2. Pendidikan islam adalah sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar
oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik
menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
3. Tasawuf secara epistomologi berarti Secara etimologis, para ahli
berselisih pendapat tentang asal kata tasawuf. Seperti pada pendapat yang
mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari Shuf (bulu domba).
Selanjutnya orang yang berpakaian bulu domba disebut mutashawwif,
perilakunya disebut tasawuf. Sedangkan menurt terminologi adalah suatu
sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah mujahadah) untuk
membersihkan, mempertinggi dan memperdalam kerohanian dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah, sehingga dengan itu segala
konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.
DAFTAR PUSTAKA

Fanani, Muhyar. 2008. Metodologi Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan


sebagai Cara Pandang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Arifin, 2008, Ilmu Pendidikan Islam, PT. Bumu Aksara,Jakarta

Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001.


Hasyim muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Telaah Atas
Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002.

Anda mungkin juga menyukai