OLEH :
WIDYA KUSMA NINGAIH (12010723376)
RIRIN WULANDARI (
KELAS 1C
JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kita dapat menyelesaikan tugas makalah tentang Studi
Ilmu Kalam, Pendidikan dan Tasawuf dengan baik. Dan tidak lupa pula kami
mengucapkan terimah kasih kepada bapak Dr Idris M,Ed selaku Dosen mata
kuliah Metodologi Studi Islam, yang telah memberikan tugas ini kepada kami
dan membimbing kami dalam mengerjakan makalah ini.
Kami berharap makalah dari kelompok ini dapat berguna bagi pembaca untuk
menambah pengetahuan tentang Studi Ilmu Kalam, Pendidikan dan Tasawuf
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah kami ini terdapat
kekuarangan dan jauh dari kata sempurna. Dengan ini kami berharap ada kritik,
saran dan usulan demi memperbaiki makalah kami ini. Semoga makalah kami
ini berguna untuk semua.
Penulis
DAFTAR ISI
Contents
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PEMAHASAN..................................................................................................................................4
A. Latar Belakang.......................................................................................................................4
B. Rumusan masalah..................................................................................................................5
C. Tujuan....................................................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN....................................................................................................................................6
A. Pengertian Ilmu Kalam..........................................................................................................6
1.1 Pengembangan Ilmu kalam......................................................................................................7
B. Pendidikan...........................................................................................................................10
1.1 Pengertian Pendidikan Islam.................................................................................................10
1.2 Tujuan Pendidikan Islam......................................................................................................13
1.3 Pengaruh Tasawuf Dalam Pendidikan Islam.........................................................................15
C. Tasawuf...............................................................................................................................16
1.1 Pengerian Tasawuf.................................................................................................................16
1.1 Ajaran-Ajaran Tasawuf.........................................................................................................18
BAB III................................................................................................................................................21
Kesimpulan......................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................22
BAB I
PEMAHASAN
A. Latar Belakang
Ilmu Kalam lahir setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Diawali dengan
permasalahan pengangkatan khalifah yang selanjutnya setelah Rasulullah,
hingga membahas soal jabr (takdir) yang nantinya di namai dengan kaum
Jabariyyah dan ikhtiyar, Yang nantinya di namai dengan sebutan kaum
Qadariyyah. Akhirnya terpecahlah beberapa aliran yang membahas antara
kedua itu dengan dalilnya masing-masing.
Seiring berjalannya waktu semakin banyaklah sekte-sekte Islam yang
mencoba menerangkan tentang Sifat Tuhan dan apapun yang berehubungan
dengan ketuhanan. Namun sekte-sekte ini mempunyai metodologi yang
berbeda, ada yang menggunakan Filsafat secara mendominasi ada pula yang
tidak memberikan kewenangan berfikir dalam mendalami ilmu kalam ini.
Hal demikian dapat dimaklumi, lantaran pendekatan legal-formal dan
lebih-lebih lagi pendekatan fiqh jauh lebih dominan dari pada pendekatan yang
lainnya. Baik ilmu kalam,filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang
sama, yaitu kebenaran. Ilmu kalam, dengan metodenya berusaha mencari
kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya. Perbedaannya
terletak pada aspek metodeloginya. Ilmu kalam, ilmu yang menggunakan
logika. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika ( dialog
keagamaan ). Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk
memperoleh kebenaran rasional. Dan metode yang digunakan adalah rasional.
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menekankan rasa dari pada rasio. Sebagian
pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau ilham, atau
inspirasi yang datang dari Tuhan
B. Rumusan masalah
1. Apa maksud pengerian ilmu kalam?
2. Apa maksudpengertian pendidikan dalam studi islam?
3. Apa yang di maksud tasawuf a?
C. Tujuan
Tujuan dari makalah agar kita memahami tentang studi tentang studi ilmi kalah,
pendidikan dan tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Dasar dari ilmu ini adalah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil-dalil ini
tampak jelas dalam pembicaraan-pembicaraan para ahlinya. Mereka jarang-
jarang kembali kepada dalil naql (Qur’an dan Hadits), kecuali sesudah
menetapkan benarnya pokok persoalan lebih dahulu.
Secara toeri ilmu kalam sudah dipaparkan di atas. Ilmu kalam terbentuk
sebagai ilmu tersendiri pada abad ke-2 H (8M), tepatnya pada masa al-Makmun
setelah ulama Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, para ahli menganggap pendiri ilmu ini
adalah kelompok Mu’tazilah. Melalui terjemahan-terjemahan itu, mereka
mempertemukan cara (sistem) filsafat dengan sistem ilmu kalam. Sejak saat itu
pula dipakailah perkataan al-kalam untuk ilmu yang berdiri sendiri.Proses
terbentuknya ilmu kalam sangat terkait dengan situasi politik pasca terbunuhnya
Usman. Saat itu kaum muslimin terpecah-terpecah menjadi beberapa partai
yang masing-masing merasa sebagai pihakyang benar dan menganggap calon
dari golongannyayang berhak menjadi pimpinan umat Islam. Kemudian partai-
partai itu menjadi partai agama dan mengemukakan dalil-dalil agama untuk
membela pendiriannya, dan selanjutnya perselisihan diantara mereka menjadi
perselisihan agama, dan berkisar pada soal iman dan kafir.
Menurut segolongan kecil umat Islam saat itu, Usman melakukan kesalahan
dalam memimpin, bahkan kafir. Pembunuhnya berada pada pihak yang benar.
Sebaliknya pihak lain mengatakan pembunuh Usman telah melakukan kejahatan
besar. Oleh karena itu, mereka berdosa besar dan kafir, mengingat Usman
adalah pemimpin umat Islam yang syah. Dari sinilah mulai timbul presoalan
besar yang selama inimemenuhi buku-buku keislaman, yaitu persoalan dosa
besar, iman dan hakikatnya, dan persoalankepemimpinan. Dari persoalan dosa
besar kemudian muncul persoalan sumber kejahatan atau sumber perbuatan,
apakah semata-mata dari manusia atau dari Tuhan. Dari persoalan ini muncul
golongan Jabariyyah dan Qadariyyah, di samping Mu’tazilah dan Asy’ariyyah.
1) Kaum Khawarij
Khawarij timbul dari kalangan pasukan Sayyidina Ali tatkala terjadi perang
hebat-hebatnya perang antara Ali dan Mu’awiyah di Shiffin. Mu’awiyah merasa
kewalahan dan bermaksud melarikan diri. Kemudian timbul pemikiran tahkim.
Pasukannya mengangkat al-Qur’an sebagai isyarat agar tahkim dengan al-
Qur’an. Pihak Ali tetap bertempur terus. Lalu ada sebagian pengikut Ali
meminta kepadanya agar mau menerima tahkim. Akhirnya Ali menerima
Tahkim dengan rasa terpaksa. Kemudian diperoleh kesepakatan masing-masing
mengangkat seorang hakim. Mu’awiyah memilih Amr ibn al-Ash. Semula Ali
sendiri bermaksud memilih Abdullah bin Abbas, tetapi orang-orang khawarij ini
menghendaki Abu Musa al-Asy’ari. Tahkim bermaksud dengan berkesudahan
turunnya sayyidina Ali dari khalifah dan tetapnya Mu’awiyah, yang berarti
kemenangan baginya.
2) Kaum Murjiah
Murjiah berasal dari bahasa Arab yang artinya menunda ; atau dari kata yang
berarti mengharapkan. Murjiah adalah bentuk isim fail dari kata tersebut diatas,
berarti orang yang menunda atau orang yang mengharapkan. Dalam arti yang
pertama dimaksudkan berarti golongan atau faham yang menanggungkan
keputusan sesuatu hal (mulanya, persoalan orang yang berbuat dosa besar) nanti
kelak di kemudian hari di sisi Allah. Sedang pengertian dalam arti yang kedua,
dimaksud dengan Murjiah ialah golongan yang mengharapkan ampunan dari
Tuhan atas kesalahan dan dosanya (asal persoalannya adalah orang mukmin
yang berbuat dosa besar, mati sebelum ia bertaubat).
Tampaknya golongan Murjiah tidak ingin melibatkan diri dalam soal kafir-
mengkafirkan ini, akan tetapi menyerahkan saja urusan itu kepada Allah.
Dengan demikian lahirlah golongan Murjiah.
Jadi Qadariyah berasal dari qadar yang berarti kemampuan atau kekuatan
manusia, bukan diambil dari arti qadar atau kepastian Tuhan. Dan Jabariyah
diambil dari jabara yang berarti memaksa ; bukan manusia memaksa kehendak-
Nya, tetapi Tuhan memaksakan kehandak-Nya, sebaliknya manusia berbuat
atau mengerjakan sesuatu dalam keadaan terpaksa.
4) Kaum Mu’tazilah
B. Pendidikan
3
Kata pendidikan juga ditemukan dalam bahasa Arab, yang biasa digunakan
kata-kata; tarbiyah, ta'alim, ta'dib. Menurut Abdur Rahman An Nahlawi,4[13]
kata tarbiyah ditemukan dalam tiga akar kata yaitu:
1. Raba – yarbu, yang artinya bertambah dan berkembang. Ini di dasarkan kepada
surat Ar Rum: 39.
2. Rabiya - yarba,' artinya tumbuh dan berkembang.
3. Rabba - yarubbu, berarti memperbaiki, mengurusi kepentingan, mengatur,
menjaga, dan memperhatikan. Imam Baidowi; ar-Rabitu bermakna
tarbiyah,yang makna lengkapnya adalah menyampaikan. sesuatu hingga
mencapai kesempurnaan. Menurut Ar Raqib Al Ashfahani, ar Rab, berarti
tarbiyah yang makna lengkapnya adalah menumbuhkan perilaku demi perilaku
serta bertahap hingga mencapai batasan kesempurnaan.
Kata Ta'lim menurut Abdul Fatah Jalal,5[14] lebih luas jangkauannya dan
lebih umum dari kata tarbiyah. Pentingnya kata ta'lim bagi seluruh umat
manusia dapat dilihat dalam surat Al Baqarah: 151. Juga kata ta’lim mencakup
aspek pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya
serta pedoman perilaku yang baik, sebagaimana dalam surat Yunus ayat 5.
Akan tetapi kata ta'lim menurut Al Attas berarti hanya pengajaran. Dengan kata
lain ta'lim hanya sebagian dari pendidikan. Kata Ta'lim menurut Al Attas lebih
tepat sebab tidak terlalu sempit sekadar mengajar saja, dan tidak meliputi
makhluk-makhluk lain selain manusia. Jadi ta’'dib sudah meliputi kata ta'lim
dan tarbiyah. Selain daripada itu kata ta'dib itu erat hubungannya dengan
kondisi ilmu dalam Islam yang termasuk dalam isi pendidikan. Ada beberapa
alasan yang dikemukakan oleh Al Attas mengapa kata ta'dib sudah termasuk di
dalamnya ta'lim dan tarbiyah. Menurut tradisi ilmiah Bahasa Arab istilah Ta'dib
mengandung tiga unsur: pengembangan ilmiah, ilmu dan amal. Iman adalah
pengakuan yang realisasinya harus berdasarkan ilmu. Iman tanpa ilmu adalah
5
bodoh. Sebaliknya ilmu harus dilandasi iman. Ilmu tanpa iman adalah sombong
dan akhirnya iman dan ilmu diharapkan mampu membentuk amal.
Kalau tidak diwujudkan dalam bentuk amal, lemahlah ilmu dan iman itu
Ibarat pohon yang tidak berbuah, niscaya ditinggalkan orang karena kurang
bermanfaat. Dalam kerangka pendidikan, istilah ta'dibmengandung arti: ilmu,
pengajaran dan penguasaan yang baik. Tidak ditemui unsur penguasaan atau
pemilikan terhadap objek atau anak didik, di samping tidak pula menimbulkan
interpretasi mendidik makhluk selain manusia, misalnya binatang dan tumbuh-
tumbuhan. Karena menurut konsep Islam yang bisa bahkan harus dididik
hanyalah makhluk manusia. Dan akhirnya, Al Attas menekankan pentingnya
pembinaan tata krama, sopan santun, adab dan semacamnya atau secara tegas
"akhlak yang terpuji" yang terdapat hanya dalam istilah ta'dib.
Dengan tidak dipakainya konsep ta'dib untuk menunjukkan kegiatan
pendidikan, telah berakibat hilangnya adab sehingga melunturkan citra keadilan
dan kesucian. Menurut Al Attas, keadaan semacam itu bisa membingungkan
kaum muslimin, sampai-sampai tak terasa pikiran dan cara hidup sekuler telah
menggeser berbagai konsep Islam di berbagai segi kehidupan termasuk
pendidikan. Setelah diberikan pengertian mengenai pendidikan secara
etimologis, baik berasal dari bahasa Inggris maupun yang berasal dari bahasa
Arab, maka kajian selanjutnya adalah pendapat-pendapat mengenai pengertian
pendidikan dari segi terminologis. Pendapat-pendapat tersebut antara lain:
Zahara Idris yang dikutif Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati telah mengumpulkan
definisi pendidikan menurut para tokoh pendidikan.6[15] Ahmad D.Marimba
memberi pengertian pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar
oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama. Syaiful Bahri Djamarah, memberi
pengertian juga, pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk
mengembangkan kualitas manusia. Sebagai suatu kegiatan yang sadar akan
6
tujuan, maka dalam pelaksanaannya berada dalam suatu proses yang
berkesinambungan dalam setiap jenis dan jenjang pendidikan.
8
c. Sholeh: baik, relevan, bermanfaat, meningkatkan mutu, berguna, pragmatis
dan praktis.
C. Tasawuf
1.1 Pengerian Tasawuf
Manusia adalah makhluk yang berpikir dan merasa. Bertasawuf artinya
menghidupkan hubungan rasa antara manusia dengan Tuhan. Bagi orang yang
sudah sampai pada stasion ridha atau mahabbah, apalagi ma’rifat, maka ia tak
akan terganggu oleh perubahan zaman hidupnya, karena pusat perhatiannya
tidak lagi kepada yang berubah, tetapi kepada yang tetap tak berubah yaitu
Allah SWT. Kesadaran rasa berhubungan dengan Tuhan dapat memupuk fitrah
keberagamaan yang hanif dan mempertajam bashirah sehingga seseorang selalu
tergelitik untuk memperdekatkan dirinya (taqarrub) kepada Allah.9[1] Salah satu
ajaran yang dapat mendekatkan diri manusia kepada Tuhan, adalah tasawuf.
Sebagai salah satu disiplin keagamaan, tasawuf merupakan bidang yang oleh
sementara kalangan dianggap sebagai disiplin yang ada pada wilayah yang
berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya.10[2] Tasawuf atau sufisme
sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan
memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari
benar bahwa seseorang berada dikhadirat Tuhan.11[3]
Masalah yang muncul apakah yang dimaksud dengan tasawuf itu sendiri?
Beberapa ahli merumuskan tasawuf dalam rumusan yang berbeda-beda, akibat
sudut pandang dan titik tekan yang berbeda. Syukur dalam bukunya
menjelaskan: Dalam tasawuf pun terdapat berbagai istilah yang mewarnai
pengertian tasawuf itu sendiri. Sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal
pada masa Nabi maupun Khulafaur Rasyidin, karena pada masa itu para
pengikut Nabi saw diberi panggilan sahabat. Panggilan ini adalah yang paling
berharga pada saat itu. Kemudian pada masa berikutnya, yaitu pada masa
sahabat, orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau disebut tabi’in,
dan seterusnya disebut
tabi’it tabi’in.12[4] Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan
abad III hijriyah, oleh Abu Hasyim al-Kufy (w 250 H) dengan meletakkan al-
sufi dibelakang namanya, sebagaimana dikatakan oleh Nicholson bahwa
sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud,
wara, tawakkal, dan dalam mahabbah.13[5]
Secara etimologis, para ahli berselisih pendapat tentang asal kata tasawuf.
Namun salah seorang pakar tasawuf yaitu H.M.Amin Syukur terhadap yang
terakhir ini tidak setuju. Beliau cenderung pada pendapat yang mengatakan
10
11
12
13
bahwa kata tasawuf berasal dari Shuf (bulu domba). Selanjutnya orang yang
berpakaian bulu domba disebut mutashawwif, perilakunya disebut tasawuf.14[6]
Secara terminologis, tasawuf diartikan secara variatif oleh para sarjana.
Ibrahim Basuni sebagaimana dikutip oleh H.M. Amin Syukur,
mengklasifikasikan definisi tasawuf menjadi tiga varian, yakni definisi yang
menitik beratkan pada al-Bidayah, al-Mujahadah, dan al-Madzaqat.15[7]
Definisi tasawuf dari sudut al-Bidayah, antara lain dikemukakan oleh Sahalal-
Tustury mendefinisikan tasawuf dengan: Seorang sufi ialah orang yang hatinya
jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia, dan
memandang sama antara emas dan kerikil. Dari sisi al-Mujahadah, Abu
Muhammad al-Jaziri mengartikan tasawuf dengan : “masuk kedalam akhlak
yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang hina”.Untuk mencapai tujuan
tasawuf seseorang harus melaksanakan berbagai kegiatan (al-Mujahadah dan al
Riyadlah), tidak dibenarkan memisahkan amaliah kerohanian dengan syari’at
agama Islam. Apabila dalam pengertian kedua (dari sisi al-Mujahadah), tasawuf
mempunyai pengertian berjuang, menundukkan hawa nafsu/keinginan, maka
pengertian tasawuf pada sisi al-Madzaqat, tasawuf diartikan dan dititik beratkan
pada rasa serta kesatuan dengan yang mutlak, sebagaimana dikatakan oleh
Ruwaim bahwa tasawuf itu ialah melepaskan jiwa terhadap kehendak Allah
SWT.
Sedang al-Hallaj menyatakan bahwa tasawuf itu kesatuan dzat. Dengan
demikian dapat diungkapkan secara sederhana, bahwa tasawuf itu ialah suatu
sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah mujahadah) untuk membersihkan,
mempertinggi dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah, sehingga dengan itu segala konsentrasi seseorang hanya tertuju
kepada-Nya. Oleh karena itu, maka al-Suhrawardi mengatakan bahwa semua
tindakan (al-akhwal) yang mulia adalah tasawuf. Dengan pengertian seperti itu,
HM. Amin Syukur merumuskan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam,
karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam
rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai
kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akherat. Oleh
karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi
pekerti tinggi, sangup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak
lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya, yang pada pokoknya sifat-sifat
14
15
mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela. Hal inilah yang dikehendaki dalam
tasawuf yang sebenarnya.
17
BAB III
Kesimpulan