Anda di halaman 1dari 36

DAFTAR ISI

Daftar Isi...................................................................................................................1
Skenario....................................................................................................................2
Kata Sulit..................................................................................................................2
Pertanyaan................................................................................................................2
Jawaban....................................................................................................................2
Hipotesis...................................................................................................................3
Sasaran Belajar ...............................................................................................…….3
1. Memahami dan menjelaskan penyakit autoimun…………………………………8
1.1 Definisi Autoimun…………………………………………….......................8
1.2 Klasifikasi………………………………..........…………………………......8
1.3 Mekanisme…...……………………………...................................................11
2. Memahami dan Menjelaskan SLE……………………………………………….13
2.1 Definisi SLE……………………………………………………………........13
2.2 Etilogi SLE…………………………………………………………………..13
2.3 Epidemiologi SLE …………….......................................................................15
2.4 Patofisiologi dan patigenesis SLE……………………………………………15
2.5 Manifestasi klinik SLE………...….……………………….............................17
2.6 Diagnosis dan diagnosis banding SLE……….…………................................20
2.7 Tatalaksana dan pencegahan SLE…………………………………................22
2.8 Komplikasi SLE……………………………………………………………...30
2.9 Prognosis SLE………………………………………………………………..31
3. Memahami dan menjelaskan pemeriksaan laboratorium untuk penyakit
autoimun…………………………………………………………………………31
4. Memahami dan menjelaskan pandanga islam tentang sabar menghadapi cobaan...32
Daftar pustaka………………………………………………………………………..34

1
SKENARIO 3
RONA MERAH DI PIPI

Seorang perempuan berusia 30 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan


demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu
makan, mulut sariawan, nyeri pada persendian, rambut rontok, dan pipi berwarna
merah bila terkena sinar matahari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat
sariawan di mulut. Pada wajah terlihat mala rrash. Pemeriksaan fisik lain tidak
didapatkan kelainan. Dokter menduga pasien menderita Sistemic Lupus Eritematosus.
Kemudian dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium hematologi, urin
dan marker autoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan
untuk dirawat dan dilakukan follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan agar
pasien bersabar dalam menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan
seumur hidup.

2
KATA-KATA SULIT

1. Suhu subfebris : suhu badan antara 37oc- 37,9oc atau pireksisa


2. Malar rash : bercak dipipi yang tidak melebihi lipatan nasolabial
3. Sistemic lupus eritematosus : penyakit dim,ana jaringan dan sel mengalami
kerusakan yang di akibatkab oleh kompleks imun dan autoantibodi
4. Sariawan : kelainan mulut pada bagian suatu lender berupa luka yang
membentuk bercak berwarna putih
5. Autoimun : respon imun terhadap antigen jaringan yang disebabkan oleh
mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan sel B, sel T
atau keduanya
6. Autoantibodi : antibody yang dibuat secara tidak normal yang bias melawan
jaringan tubuh sendiri
7. Konjungtiva : membrane tipis bening yang melapisi bagian dalam kelopak
mata dan menutupi bagian sklera kecuali kornea

3
PERTANYAAN

1. Apa faktor penyebab SLE ?


2. Apakah SLE menular atau dapat diturunkan?
3. Mengapa dokter tersebut menduga pasien menderita SLE?
4. Apa yang menyebabkan nyeri persendian?
5. Mengapa pada pasien muncul malar rash?
6. Penangan apa yang dapat dilakukan untuk penyakit SLE?
7. Siapa saja yang dapat terserang penyakit lupus ?
8. Apakah penyakit ini dapat dicegah dan bagaimana cara pencegahannya?
9. Kenapa pasien harus membutuhkan penanganan seumur hidup?
10. Bagaiman komplikasi dari SLE?
11. Apa saja jenis penyakit lupus?

4
JAWABAN

1. Genetik, lingkungan , hormon, dan obat-obatan


2. Lupus tidak menular, tetapi bisa diturunkan dari ibu yang menderita lupus ke
anaknya
3. Karena pada pasien terdapat gejala lupus seperti : malar rash, sariawan, nyeri
pada persendian
4. Adanya endapan kompleks imun yang menghasilkan toksik dan merusak
jaringan sekitar
5. Karena ada bentuk perlawanan antibody yang berlebihan terhadap antigen
terjadi inflamasi yang berlebihan
6. Dapat menggunakan obat golongan steroid
7. Perempuan dan laki-laki namun biasanya perempuan lebih sering karena pada
perempuan terdapat hormone estrogen
8. Dapat dicegah dengan gaya hidup yang sehat
9. Untuk pengobatan lupus belum ditemukan namun untuk penangannya yang
dapat dilakukan yaitu dengan mengurangi gejala yang timbul
10. Dapat menyebabkan kematian karena komplikasi dari banyak organ
11. Discoid lupus eritematosus, SLE, lupus karena obat-obatan

5
HIPOTESISI

Autoimin adalah respon imun terhadap antigen jaringan disebabkan oleh mekanisme
normal yang gagal berperan untuk mempertahankan sel B, sel T atau kedunya.
Terdapat beberapa jenis yaitu lupus ( SLE, DLE, lupus karenan obat-obtanan ,
neonatal) salah satu jenis penyakit lupus adalah SLE yang disebabkan oleh beberapa
faktor . dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan gejala seperti malar rash, sariawan,
nyeri pada persendian, konjungtiva pucat, suhu subfebris, pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan anemia leukopeni dana ANA postif. SLE dapat ditangani
dengan pemberian obat golongan steroi . SLE dapat menyebabkan beberapa
komplikasi sampai kematian.

6
SASARAN BELAJAR
LO.1.Memahami dan menjelaskan penyakit autoimun
1.1. Definisi
1.2. Klasifikasi
1.3. Mekanisme
LO.2. Memahami dan menjelaskan Sistemik Lupus eritematosus
2.1. Definisi
2.2. Etiologi
2.3. Epidemiologi
2.4. Patofisiologi dan patogenesis
2.5. Manifestasi klinik
2.6. Diagnosis dan Diagnosis banding
2.7. Tatalaksana dan pencegahan
2.8. Komplikasi
2.9. Progmosis
LO.3. Memahami dan menjelaskan pemeriksaan laboratorium untuk penyakit
autoimun

LO.4. Memahamai dan menjelaskan pandangan islam sabar menghadapi suatu cobaan

LO.1.Memahami dan menjelaskan penyakit autoimun

7
1.1. Definisi
Autoimun adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan
oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self- tolerance
sel B, sel T, atau keduanya. Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau
gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respons autoimun
(Baratawidjaja, 2014)

1.2. Klasifikasi

a) Menurut organ
 Penyakit Autoimun Organ-Specific
Penyakit autoimun yang melibatkan kerusakan seluler terjadi ketika sel
limfosit atau antibodi berikatan dengan antigen membran sel, sehingga
menyebabkan lisis ataupun respon inflamasi pada organ terkait. Lama
kelamaan, struktur sel yang rusak itu diganti oleh jaringan penyambung (scar
tissue), dan fungsi organnya menurun.
 Penyakit Autoimun Sistemik (non organ specific)
Pada penyakit autoimun sistemik, respon imunnya diarahkan kepada
banyak antigen target, sehingga melibatkan banyak jaringan dan organ.
Penyakit ini disebabkan oleh kerusakan pada regulasi imun, sehingga
menyebabkan munculnya sel T dan sel B yang hiperaktif. Kerusakan jaringan
terjadi di banyak bagian tubuh. Kerusakan tersebut dapat disebabkan oleh cell-
mediated immune respone maupun direct cellular damage.

Penyakit Organ Antibodi terhadap Tes diagnosis

T. hashimoto Tiroid tiroglobulin RIA

Grave D. Tiroid TSH recep Immunofluorescen

Pernisious Sel darah


Organ Intrinsik faktor Immunofluorescen
anemia merah
spesifik
IDDM Pankreas Sel beta

Infertilitas Aglutinasi
Sperma Sperma
laki immunofluorescen

Kulit
Virtiligo Melanosit Immunofluorescen
persendian

Kulit
Non- Rheumatoid IgG-latex
Ginjal IgG
organ arthritis Aglutination
Sendi
spesifik
DNA DNA
Sendi
SLE RNA RNA
Organ
nucleiprotein latex Aglutination

(“Kuby Immunology” by Kindt, T.J et al.)

8
b) Menurut Mekanisme
1. Penyakit autoimun melalui antibodi

Penyakit autoimun melalui Keterangan


antibodi

Anemia Hemolitik Autoimun (AHA)

 AHA dengan antibodi panas  Menunjukkan reaktivitas optimum


pada suhu 37oC
 Terutama terdiri dari IgG
 Dapat ditemukan pada sel darah
merah
 Fagositosis sel darah merah yang
dilapisi Ab/opsonisasi
 Terutama terjadi di limpa
 AHA dengan antibodi dingin  Hemolisis biasanya ringan dan
gejala terjadinya pajanan
ekstremitas dengan dingin
 Antibodi dingin hanya diikat pada
suhu di bawah 37oC
 Yang berperan terutama adalah IgM
 Hemoglobinuria dingin paroksima  Antibodi bersifat bifasik (biasanya
(HDP) di bawah 15oC) dan
menghancurkannya bila suhu
meningkat sampai 37oC
 Gejalanya dapat berupa panas, sakit
di ekstremitas, ikterik,
hemaglobinuria setelah terpajan
dengan dingin
 Myasthenia Gravis  Merupakan penyakit kronis akibat
adanya gangguan dalam transmisi
neuromuskuler
 Sekitar 60-80% pasien menunjukkan
antibodi terhadap reseptor
asetilkolin
 Penyakit Grave, hipertiroidism  Ditimbulkan oleh produksi hormon
tiroid (tiroxin)
 Gejalanya dapat berupa panas, sakit
di ekstremitas, ikterik,
hemaglobinuria setelah terpajan
dengan dingin.

2. Penyakit autoimun melalui komplemen


Defisiensi komplemen dapat menimbulkan penyakit autoimun seperti LES,
namun sebabnya belum diketahui.

3. Penyakit autoimun melalui kompleks imun

9
a. Lupus Erimatosus Sistemik (LES)
b. Artritis rheumatoid
c. Sicca complex
d. Sindrom Goodpasture
e. Anemia pernisiosa
f. Rheumatic fever atau demam reuma
g. Sindrom paska perikardiotomi dan sindrom paska infark miokard
h. Sklerodema
i. ITP (trombositopenia idiopatik)
j. Penyakit bulosa

4. Penyakit autoimun melalui sel T

Penyakit autoimun melalui sel T Keterangan

Sclerosis multiple Penyakit neuromuskuler yang sering


menunjukkan relaps dengan periode
eksaserbasi dan remisi yang terjadi
lebih sering pada wanita dibandingkan
pada pria.

Ensefalopati diseminasi akut (EMDA)  Dapat terjadi setelah pemberian


vaksin yang dilemahkan
 Gejalanya berupa sakit kepala,
demam, leher kaku, dan lemas
Sindrom Gullian-Bare  Terjadi setelah infeksi (campak,
influenza, vaksinasi influenza)
 Dapat mengenai semua golongan
umur
Goiter  Merupakan penyakit pada kelenjar
tiroid yang dapat ditemukan pada
wanita dewasa tua
 Terjadi pembesaran kelenjar tiroid
sehingga dapat menimbulkan
kerusakan

5. Penyakit autoimun melalui faktor humoral dan seluler

Penyakit autoimun melalui factor Keterangan


humoral dan seluler

Diabetes Melitus Tipe I (Insulin  Terjadi akibat destruksi


Dependent DM / DDM) imunologik sel beta dari sel
Langerhans pancreas yang
memproduksi insulin
 Gambaran klinis dan patologis
memperlihatkan adanya
ketidakmampuan tubuh
memproduksi insulin sehingga

10
pasien rentan terhadap fluktuasi
kadar gula darah
Tiroiditis kronis (tiroiditis Hashimoto)  Penyakit tiroid yang terutama
mengenai wanita antara usia 30-5-
tahun
 Gambaran klinis dan patologis
menunjukkan kelenjar tiroid yang
dapat membesar (goiter) dengan
konsistensi yang kenyal atau keras
Polimiositis-dermatomiositis Merupakan penyakit inflamasi akut
dan kronis dari otot-otot (polimiositis)
yang sering mengenai kulit
(dermatomiositis)

(Baratawidjaja, 2014)

1.3. Mekanisme autoimun

Ada beberapa mekanisme mengenai induksi autoimunitas


1. pelepasan antigen sekuester
2. kemiripan molekular
3. ekspresi MHC-II yang tidak sesuai

1. Sequestered Antigen
Adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan
sel B atau sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen
dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun.
Perubahan anatomi dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi,
kerusakan iskemia/ trauma) dapat memajankan sequestered antigen dengan
sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein lensa
intraokular, sperma, dan MBP.

11
2. Gangguan Presentasi (kemiripan molekular)

Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan


respons MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-B) dan gangguan
respons terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung
pada sel Ts/ Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts/ Tr, maka terjadi rengsangan ke sel
Th yang akhirnya menimbulkan autoimuntas

12
3. Ekspresi MHC-II yang Tidak Sesuai

Pada orang sehat, sel B mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak
mengekspresikan MHC-II sama sekali. Namun pada penderita dengan IDDM
ekspresi MHC-I dan MHC-II denga kadar tinggi. Contoh lain pada penderita
Grave yang mengekspresikan MHC-II pada membran.
Ekspresi MHC-II Yng tidak pada tempatnya itu yang biasanya diekspreskan
pada APC dapat mensensitasi sel Th terhadap peptida yang berasal dari sel B/
tiroid dan mengaktifkan sel B/Tc/Th1 terhadap self antigen.s
Kerusakan pada penyakit autoimun terjadi melalui antibodi (tipe II dan III), tipe
IV yang mengaktifkan sel CD4+ /sel CD8+ kerusakan organ dapat juga terajdi
melalui autoantibodi yang mengikat tempat fungsional self antigen seperti
reseptor hormon, reseptor neurotransmitor, dan protein plasma. Autoantibodi
tersebut dapat menyerupai /menghambat efek ligan endogen untuk self protein
yang menibulkan gangguan fungsi tanpa terjadinya inflamasi/ kerusakan jaringan
fenomena ini terliha pada penyakit autoimunitas endokrin dengan autoantibodi
yang menyerupai/ menghambat efek hoormon seperti TSH, yang menimbulkan
aktifitas berlebihan/ kurang dari tiroid.
(Baratawidjaja, 2014)

LO.2. Memahami dan menjelaskan Sistemik Lupus eritematosus


2.1. Definisi
Lupus eritomatosus itu merupakan sekelompok penyakit jaringan penyambung
kronis yang timbul dalam 2 tipe utama : Cutaneus Lupus Erythomatosus dan
Systemic Lupus Erythomatosus.

Systemic Lupus Erythomatosus(SLE) adalah kelainan jaringan ikat umum


kronis yang bisa berupa dalam bentuk ringan atau parah. Tanda yang khas dair
penyakit ini berupa terdapa Malar Rash atau ruam malar (pipi) yang berbentuk
seperti kupu-kupu sheingga disebut Butterfly rash.
(Kamus Dorlan, edisi 25)

Systemic Lupus Erythomatosus(SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun


sistemik yang ditandai dengan temuan autoantibodi pada jaringan dan kompleks
imun sehingga mengakibatkan manifestasi klinis diberbagai sistem organ

2.2. Etiologi
1. Genetik:
a. Sering pada anggota keluarga dan saudara kembar monozigot (25%) dibanding
kembar dizigotik (3%), berkaitan dengan HLA seperti DR2, DR3 dari MHC
kelas II.
b. Individu dengan HLA DR2 dan DR3 risiko 2-3 kali dibanding dengan HLA
DR4 dan HLA DR5.
c. Gen HLA diperlukan untuk proses pengikatan dan presentasi antigen, serta
aktivasi sel T.
d. Haploptip (pasangan gen yang terletak dalam sepasang kromosom yang
menetukan ciri seseorang), HLA menggangu fungsi sistem imun yang
menyebabkan peningkatan autoimunitas.

13
Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10%
dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang
telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar
5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini.

2. Defisiensi komplemen
a. Defisiensi C3 / C4 jarang pada yang manifestasi kulit dan SSP.
b. Defisiensi C2 pada LES dengan predisposisi genetik.
c. 80% penderita defisiensi komplemen herediter cenderung LES.
d. Defisiensi C3 menyebabkan kepekaan tehadap infeksi meningkat, yang akan
menyebabkan predisposisi penyakit kompleks imun.
e. Defisiensi komplemen menyebabkan eliminasi kompleks imun terhambat,
menaikkan jumlah kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi lebih lama, lalu
mengendap di jaringan yang menyebabkan berbagai macam manifestasi LES.

3. Hormon
a. Estrogen : imunomodulator terhadap fungsi sistem imun humoral yang akan
menekan fungsi sel Ts dengan mengikat reseptor menyebabkan peningkatan
produksi antibodi.
b. Androgen akan induksi sel Ts dan menekan diferensiasi sel B (imunosupresor).
c. Imunomodulator adalah zat yang berpengaruh terhadap keseimbangan sistem
imun.
d. 3 jenis imunomodulator :
 Imunorestorasi
 Imunostimulasi
 Imunosupresi

4. Autoantibodi
Tabel Autoantibodi Patogenik pada SLE
Antigen Spesifik Prevelensi (%) Efek Klinik Utama

Anti-dsDNA 70-80 Gangguan ginjal, kulit


Nukleosom 60-90 Gangguan ginjal, kulit
Ro 30-40 Gangguan kulit, ginjal, gangguan
jantung fetus
La 15-20 Gangguan jantung fetus
Sm 10-30 Gangguan ginjal
Reseptor NMDA 33-50 Gangguan otak
Fosfolipid 20-30 Trombosis, abortus
∝-Actinin 20 Gangguan ginjal
C1q 40-50 Gangguan ginjal

NMDA = N-methyl-D-aspartate

14
5. Lingkungan
a. Bakteri atau virus yang mirip antigen atau berubah menjadi neoantigen.
b. Sinar UV akan meningkatkan apoptosis, pembentukan anti DNA kemudian
terjadi reaksi epidermal lalu terjadi kompleks imun yang akan berdifusi keluar
endotel setelah itu terjadi inflamasi.

Faktor lingkungan yang mungkin berhubungan dengan pathogenesis SLE

Faktor fisik/kimia
 Amin aromatic
 Hydrazine
 Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin,
penisilamin
 Merokok
 Pewarna rambut
 Sinar ultraviolet (UV)

Faktor makanan

 Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan


 L-canavanine (kuncup dari alfalfa)

Agen Infeksi

 Retrovirus
 DNA bakteri/endotoksin

Hormon dan estrogen lingkungan (environmental oestrogen)

 Terapi sulih hormone (HRT), pil kontrasepsi oral


 Paparan estrogen parental
(Baratawidjaja, 2014)

2.3. Epidemiologi
Insidens Systemic Lupus Erythomatosus(SLE) per tahun di Amerika
Serikat tercatat sekitar 5,1 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan prevalensinya
mencapai 52 kasus per 100.000 penduduk (laki-laki : perempuan = 9-14 : 1). Belum
terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data
tahunan 2002 di RSUP Cipto Mangkunkusumo (RSCM) jakarta, didaptakan 1,4%
kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam,
sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10.5% dari
total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010. Dalam 30
tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di
dunia.Prevalensi SLE diberbagai negara sangat bervariasi.Prevalensi pada berbagai

15
populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2.9/100.000 - 400/100.000.SLE lebih
sering ditemukan pada rastertentu seperti bangsa Negro, Cina, dan mungkin juga
Filipina. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia , tetapi paling banyak pada
usia 15-40 tahun (masa reproduksi).Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan
frekuensi pada pria berkisar antara (5,5-9):1.

Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi
diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang
(Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE
di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi
penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis,
dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan
Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia.

2.4. Patofisiologi dan Patogenesis


Penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) tampaknya terjadi akibat
terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi
yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif ) dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralasin [Apresoline,
prokainamid(Pronestyl)], isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan disamping makanan kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit
SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada sistemik lupus eritematosus, peningkatan produksi autoantibodi
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-Supresor yang abnormal sehingga timbul
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi
antigen yang selanjutnya merangsang antibodi tambahan, dan siklus tersebut
berulang kembali.
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai predisposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+,
mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya
muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B,
baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Wujud
pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya
ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
histon dan non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat
dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut
partikel ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka
tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody).
Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar
dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ
dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini

16
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab
timbulnya reaksi radang.
Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada
individu yang resisten.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti
kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa,
penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai
gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan
berkurang, berat badan menurun dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah
demam, kadang-kadang disertai menggigil.
Gejala yang paling sering pada SLE pada sistem muskuloskeletal, berupa
arthritis atau artralgia (93%) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang
paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, sering terkena
adalah kaput femoris.

Patogenesis
Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali
dengan faktor pencetus yang ada di lingkungan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet
atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respons imun di dalam
tubuh yaitu:
1. Sel T dan B menjadi otoreaktif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator kontrol pada sisitem imun, antara lain:
 Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun
sitokin di dalam tubuh
 Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
 Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen
karena adanya mimikri molekul

17
Akibat proses tersebut , maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh
yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang membentuk
kompleks imun, kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan/organ yang
akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Antibodi-antibodi yang terbentuk pada SLE sangat banyak, antara lain
Antinuclear antibodi (ANA), anti double staranded DNA (ds DNA), anti-ss A (Ro),
anti-ss B (La), antiribosomal P antibody, anti Sm, sd-70.
Selain itu hilangnya kontrol sistem imun pada patogenesis lupus juga diduga
berperan pada timbulnya gejala klinis pada SLE.

(Suarjana N, 2014)

2.6. Manifestasi klinik


secara umum manifestasi dari lupus erimatosus sistemik berupa cepat lelah,
nafsu makan turun, demam, menurunnya berat badan, dan stress psiko sosial.
Penyakit lupus erimatosus sistemik bisa menyerang banyak organ dan
menimbulkan manifestasi yang berbeda pada setiap organ nya di antara nya

a. Manifestasi pada kulit


Foto sensitivitas, ruam malar, lesi diskoid serta lesi mukokutan (lesi pada mulut)
Lesi pada kulit ada dua macam yaitu lesi spesifik dan lesi non spesifik.
Lesi spesifik ada berbagai macam yaitu
1. lesi spesifik akut : timbul rash atau ruam setelah terpapar sinar matahari dan
rashnya akan berkurang jika tidak terpapar lagi, misalnya foto sensitivitas yang
memiliki rasa seperti terbakar
2. lesi spesifik sub akut (SCLE) yaitu lesi bersifat simetri dan superfisial dan tidak
mengalami jaringan parut umum nya terkena pada daerah bahu, lengan bawah,
dada sebelah atas , punggung belakang. Bentuk lesinya kecil, berbentuk papula
plak yang nebal, papula squamosa atau cincin polisiklik menjadi besar
berkelompok dan hipopigmentasi
3. lesi spesifik kronik atau lupus diskoid yaitu plak berwarna kemerahan kulit
menebal disertai dilatasi folikel rambut , pada muka, leher, kulit kepala dan
belakang telinga.
4. Aloplesia atau kebotakan dan profundus lupus yaitu lesinya berbentuk noduler
dengan tanpa lesi kulit diatasnya
5. Lesi diskoid hipertropik
6. Lupus panikulitis
7. Lupus mukosa
8. Lupus tumid
9. Lupus chilblain

Lesi non spesifik :

1. Penyakit kulit vaskular


Vaskulitis
Leukositoklastik

18
Mirip poliarteritis nodosa
Papulo nodular musinosis
Mirip penyakit degos
Mirip penyakit atropi blanche
Livedo retikularis
2. Tromboplebitis
Fenomena Reynaud’s
Eritromelalgia
3. Lesi lupus non spesifik bentuk bulosa
Epidermolisis bullosa didapat
Dermatitis herpetiformis mirip lupus bullosa
Eritematosus pemfigus
Porfiria kutanea tarda
4. Urtikaria
5. Vaskulopati
6. Anetoderma atau kutis laxa
7. Akantosis nigrikan ( resistensi insulin tipe B )
8. Periungal talangiektasia
9. Eritema multiformis
10. Ulkus kaki
11. Liken planus
12. Aloplesia (non scarring) “rambut lupus” Telogen efluvium Aloplesia areata
13. Sklerodaktili
14. Nodul reumatoid
15. Kalsinosis kutis
b. Manifestasi pada muskuloskeletal
Artritis yaitu terlibatnya sendi baik atralgia maupun artritis, keduanya sering
timbul pada pada awal penyakit dan merupakan gejala klinik yang tersering
pada penderita dengan LES aktif.
Miositis dan mialgia yaitu rasa sakit pada otot penderita LES dikenal sebagai
mialgia bila pada pemeriksaan enzim creatinin phospokinase (CPK) dalam
batas normal, sedangkan miositis bila terjadi kenaikan enzim creatinin
phospokinase, hal ini sering kali sulit dibedakan dengan kelainan otot karena
fibromialgia yang disebabkan karena depresi.
c. Manifestasi pada ginjal
Nefritis lupus, proteinuria atau silinder eritrosit atau granular pada
pemeriksaan sedimen urin, hematuripiuria tanpa gejala, kenaikan serum
ureum-kreatinin dan hipertensi
d. Manifestasi neuropsikiatrik
Manifestasi yang tersering ialah sakit kepala, gangguan psikiatri dan gangguan
kognitif
Kelaianan neurologik pada penderita LES dibagi menjadi dua yaitu
1. Sistem saraf pusat : nyeri kepala yang tidak hilang-hilang dan tidak responsif
dengan analgesia narkotik.bingung gangguan mood, cemas, cerebro vascular
accident, mielopati, gangguan gerak, sindrom demielinisasi,psikosis, kejang
meningitis aseptik

19
2. Sistem saraf perifer : neuropati kronial, poli neuropati, plexopati, sindrim
Guillen Barre, miastania gravis, gangguan saraf otonom.
e. Manifestasi psikiatrik
Perubahan perilaku, insomnia, delirum, psikosis dan depresi
f. Manifestasi gastrointestinal
Kelainan esofagus, vaskulitis mesentrika, radang pada usus, pankreatitis,
hepatitis, peritonitis dan nyeri abdomen.
g. Manifestasi hepar
Hepatitis kronik aktif, hepatitis granulomatosa, hepatitis kronik persisten dan
steatosis
h. Manifestasi pada sistem hematologik
Sitopenia,anemia,trombositopenia,limfopenia, leukopenia, neuropeni
i. Manifestasi pada paru
Pleuritis : nyeri dada, batuk, sesak napas, demam, efusi pleura, pneumonitis,
perdarahan paru, emboli paru, dan hipertensi pulmonal.
j. Manifestasi kardiovaskular atau jantung
Gangguan perikardium , miokardium , sistem kelestrikan jantung, katup
jantung dan pembuluh darah nya
Perikaditis baik penebalan atau efusi takikardi, sesak nafas, nyeri jika
berbaring, suara jantung melemah
Gangguan miokardium
Miokarditis yaitu disfungsi ventrikel penyakit jantung iskemik, aritmia,
gangguan konduksi blok jantung serta adanya kardio megali endokarditis
mengenai katup jantung berupa steanosis dan insufisuensi. Cepat lelah, sesak,
takikarsi, dyspneu d’effort, paroximal noctunal dyspneu, ada tidaknya gagal
jantung kongestif seperti jugular venous pressure meningkat, edema dan bising
jantung.
k. Manifestasi vaskulitis
Peradangan pada pembuluh darah, histopatologik, dan kriteria arteriografi,
purpura, papula, urtikaria, plakat, ulkus
l. Fenomena raynaud’s
Pengaturan kontrol neuroendotelial yang abnormal pada tonus vaskular dan
adanya ulserasi nekrotik, gangren jari-jari atau infark pada kulit.

2.7. Diagnosis dan Diagnosis banding


Klasifikasi LES mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh American
College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi pada
tahun 1997. Kriteria diagnosis pada anak berdasarkan kriteria tersebut
mempunyai sensitivitas 96% dan spesifisitas 100%. Diagnosis LES
ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebur

Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumathology)

20
Kriteria Definisi

Bercak malar (butterfly rash) Eritema datar atau menimbul yg menetap


didaerah pipi, cenderung menyebar
kelipatan nasolabial

Bercak discoid Bercak eritema yang menimbul dengan


adherent keratotic scaling dan follicular
plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut
atrofi

Fotosensitif Bercak dikulit yang timbul akibat paparan


sinar matahari, pada anamnesis atau
pemeriksaan fisik

Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tdk


nyeri

Arthritis Arthritis nonerosif pada dua atau lebih


persendian perifer, ditandai dengan tekan,
bengkak atau efusi

Serositis a. Pleuritis riwayat pleuritic pain atau


terdengar pleural friction rub atau
terdapat efusi pleura pada
pemeriksaan fisik atau
b. Perikarditis dibuktikan dengan
EKG atau terdengar pericardial
friction rub atau terdapat efusi
pericardial pada pemeriksaan fisik
Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5g/hr atau
pemeriksaan +3 jika pemeriksaan
kuantitatif tidak dapat dilakukan
atau
b. Cellular cast: eritrosit, HB,
granular, tubular atau campuran
Gangguan saraf a. Kejang: tdk disebabkan oleh obat
atau kelainan metabolic (uremia,
ketoasidosis atau ketidak
seimbangan elektrolit) atau
b. Psikosis : tdk disebabkan oleh obat
atau kelainan metabolic (uremia,
ketoasidosis atau ketidak
seimbangan elektrolit)
Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan
darah :
Anemia hemolitik → dengan
retikulositosis
Lekopenia → < 4000/mm3

21
pada ≥ 1 pemeriksaan
Limfopenia → < 1500/mm3
pada ≥ 2 pemeriksaan
Trombositopenia → <
100.000/mm3
intervensi obat

Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainan :


Anti ds-DNA di atas titer normal
Anti Sm (Smith) (+)
Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan
kadar serum IgG atau IgM
antikardiolipin yang abnormal
Anti koagulan lupus (+) dengan
menggunakan tes standar
Tes sifilis (+) positif palsu, paling
sedikit selama 6
bulan dan dikonfirmasi dengan
ditemukannya Treponema palidum
atau antibodi treponema

Antibodi antinuclear (ANA) Test ANA (+)

Diagnosis banding yang dapat terjadi pada Systemic Lupus Eritematosus:


- Artritis rheumatoid dan penyakit jaringan ikat lainnya.
- Endokarditis bacterial subakut
- Septikimia disebabkan gonokokus/meningokokus yang disertai arthritis dan lesi
kulit.
- Reaksi terhadap obat
- Limfoma
- Leukemia
- Trombotik trombositopenik purpura
- Sarkoidosis
- Lues II
- Sepsis bacterial

2.8. Tatalaksana dan pencegahan


Non Farmakologis
1. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan
penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang

22
berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit
yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa
cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan
pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat
penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko
kelainan pada janin maupun penderita selama hamil.
2. Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer
group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi
pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia
di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan
masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan
bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.
3. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup,
selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
4. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar
matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang
berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit
sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
5. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat
demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan
dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian
penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat
pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok,
obesitas, dislipidemia dan hipertensi.

Farmakologis
Terapi Imunomodulator
1. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama
nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1
gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan
sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal.
Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan
sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-
3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3.
Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan
dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat
ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-
dependent biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan
penyesuaian dosis  dengan leukosit.Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus
terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan
kegagalan fungsi ovarium dan azospermia.Pemberian hormon Gonadotropin
releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE

23
dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya
dihindarkan.

2. Mycophenolate mofetil (MMF)


MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase,
yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi
sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif
mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan
nefritis yang  resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang terjadi umumnya
adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF dan Prednison sama
efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan
dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua
kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons
tersebut.Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat
golongan ini sebaiknya dihindarkan.

3. Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat
dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral.Pada SLE obat ini digunakan
sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid
sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang
refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat
dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan
syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan
dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%.Efek samping
yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi
sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal.Azathioprine juga sering dihubungkan
dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan
serum transaminase.Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah
obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal  maka
fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik.  Obat ini merupakan pilihan
imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis
1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

4. Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang
disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah
melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena
ketergantungan steroid.Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3
hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari. 

5. Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu,
dan terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi.Efek samping yang biasa
terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi
dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal.  Pada penderita
SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya
dihindarkan.

6. Siklosporin

24
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat
ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia,
parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin
meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya  harus disesuaikan
efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis,
dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat  untuk nefritis
membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring
tekanan darah dan fungsi  ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat
diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2
mg/kgBB/hari karena relatif aman.

7. Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis
SLE. Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular
digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan
sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison
(metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk
mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis.Seringkali
kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator
dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan
dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan
hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi
(1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan
yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg
selama 3 hari berturut-turut.

Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara


lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas
kapiler, akne, hirsutism, percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak,
glaucoma, diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur,
iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas penyakit
terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau mungkin
dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.

Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000


mg/ hari pada pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg.
Diberikan pula vitamin D 50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia).
Dalam mencegah osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat
(alendronat, didronel atau actonel).Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi
dengan baik selama kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes
dan hipertensi.Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan defek
kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan
ketuban pecah dini. 

8. NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)


NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis,
perikarditis dan sakit kepala.Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf
pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat.Adanya proteinuria
yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE
atau efek NSAID.NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala,

25
psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara
reversibel.Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping paling sering
ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif.Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit
efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus
yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat
mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.

Untuk pentalaksanaan dari SLE ada 2 terapi ;

Terapi konservatif

Diberikan apabila penyakit ini tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan
dengan kerusakan organ. Bila dipertimbangkan pemberian glukokortikoid dapat
diberikan prednison 0.5 mg/kgBB/hari.

1. Arthritis, arthralgia, myalgia

Merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE. Keluhan ringan
seperti ini dapat diberikan analgetik sederhana/obat antiinflamasi nonsteroid, tetapi
pemberiannya dihentikan bila menunjukkan efek samping yang memperberat
keadaan umum penderita, seperti pada sistem gastrointestinal, hepar, dan ginjal
sehingga diperlukan pemantauan kreatinin serum berkala. Bila pemberian analgetik
dan OAINS tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian obat antimalaria :

Hidroksiklorokuin 400mg/hari (bila hingga 6 bulan tidak memberikan respon baik,


maka pemberian dihentikan). Hidroksiklorokuin (> 6 bulan pemakaian) dan
klorokuin (> 3 bulan pemakaian) perlu diperiksa oftalmologik karena beresiko
toksik terhadap retina.

Bila pemberian OAM tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian kortikosteroid


dosis rendah (< 15 mg/pagi hari). Metotreksat (7.5-15 mg/minggu) dan diberikan
berdampingan dengan obat anti artritis.

Bila terjadi artralgia pada 1 atau 2 sendi yang “menetap” dan bukan merupakan
bukti tambahan peningkatan aktivitas penyakit, kemungkinan penderita mengalami
osteonekrosis (terutama pada penderita terapi kortikosteroid). Osteonekrosis awal,
sering tidak menunjukkan gambaran bermakna pada foto radiologik konvensional,
sehingga memerlukan pemeriksaan MRI.

2. Lupus kutaneus

Sekitar 70% mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE timbul bila penderita
terpapar sinar UV, inframerah, fluoresensi. Sehingga perlu diberikan sunscreen
berupa cream, minyak, lotion, atau gel yang mengandung PABA (ρ-aminobenzoit
acid) dan esternya, benzofenon, salisilat, sinamat yang kesemuanya dapat menyerap
sinar UV α dan β (pemakaian diulang setelah mandi dan berkeringat).

26
Glukokortikosteroid lokal (cream, salep, atau injeksi) dapat dipertimbangkan pada
dematitis lupus, pemilihan preparat harus diperhatikan karena bersifat diflorinasi
(atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan fragilitis), anjuran preparat steroid
untuk kulit :

1) Muka [steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi (hidrokortison)]


2) Badan dan lengan [steroid lokal berkekuatan sedang (betametason valerat
dan triamsinolon asetonid)]
3) Palmar dan plantar pedis dengan lesi hipertrofik (glukokortikoid berkekuatan
tinggi contohnya betametason dipropionat, penggunaan cream dibatasi
selama 2 minggu dan diganti dengan yang berkekuatan rendah)

OAM sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik subakut maupun
diskoid. OAM mempunyai efek :

1) Sunblocking
2) Mengikat melanin
3) Antiinflamasi
4) Imunosupresan

Berhubungan dengan ikatannya pada membran lisosomal sehinggga mengganggu


metabolisme rantai α dan β HLA II. Mengurangi pelepasan IL-1, IL-6, TNF-α oleh
makrofag, IL-2 dan IFN-γ oleh sel T.

Pada penderita resisten OAM, dapat dipertimbangkan pemberian glukokortikoid


sistemik dan obat eksperimental lainnya.

Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid,


vaskulitis, lesi LE berbula, selain itu perhatikan efek sampingnya seperti :

1) Methemoglobinemia
2) Sulfhemoglobinemia
3) Anemia hemolitik (memperburuk ruam LE kulit)

3. Fatigue dan keluhan sistemik

Fatigue merupakan keluhan yang sering terjadi, demikian juga penurunan berat
badan, dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid,
sedangkan penurunan berat badan dan demam diakibatkan oleh pemberian
quinakrin. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup dengan
menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat
menunjukkan peningkatan akitivitas SLE dan pemberian glukokortikoid sistemik
dapat dipertimbangkan.

4. Serositis (radang membran serosa)

27
Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis. Keadaan ini dapat diatasi
dengan salisilat, OAINS, OAM, atau glukokortikoid dosisi rendah (< 15 mg/hari).
Pada keadaan berat diberikan glukokortikoid sistemik.

Terapi agresif

Pemberian glukokortikoid dosis tinggi segera saat mulai timbul manifestasi serius
SLE dan mengancam nyawa, misalnya :

1) Vaskulitis
2) Lupus kutaneus berat
3) Poliartritis
4) Poliserositis
5) Miokarditis pneumonitis lupus
6) Glomerulonefritis (bentuk proliferatif)
7) Anemia hemolitik
8) Trombositopenia
9) Sindrom otak organik
10) Defek kognitif berat
11) Mielopati
12) Neuropati perifer

1. Krisis lupus (demam tinggi, prostrasi)

Dosis glukokortikoid lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan


jenisnya yang akan diberikan. Sebaiknya hindari pemberian deksametason karena
berefek panjang, lebih baik menggunakan prednison karena lebih mudah untuk
mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan pada pagi
hari. Pada manifestasi berat dapat diberikan prednison 1-1.5 mg/kgBB/hari.

Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB/hari selama 3-


5 hari, dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid dosis tinggi,
kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1.5 mg/kgBB/hari. Efek terapi dapat
terlihat secepat mungkin atau mungkin 6-10 minggu kemudian. Toksisitas SLE
merupakan masalah tersendiri pada penatalaksanaan SLE.

Setelah pemerian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus


dilakukan penurunan dosis bertahap (5-10%) setiap minggu agar tidak timbul
ekserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis
dilakukan 2.5 mg/minggu. Setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari,
penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul ekserbasi akut, naikkan dosis
hingga dosis efektif sampai beberapa minggu, kemudian turunkan dosis kembali.

Bila dalam 4 minggu pemberian glukokortikoid tidak menunjukkan perbaikan yang


nyata, maka pertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi

28
agresif lainnya. Obat sitotoksik adalah bolus siklofosfamid intravena 0.5-1 gr/m2
dalam 250 ml NaCl 0.9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3
liter/24 jam setelah pemberian obat. Siklofosfamid diindikasikan pada :

1) Penderita SLE dengan terapi steroid dosis tinggi (steroid sparing agent)
2) Penderita SLE dengan kontraindikasi terhadap steroid dosis tinggi
3) Penderita yang kambuh setelah diterapi dengan steroid jangka panjang lama
atau berulang
4) Glomerulonefritis difus awal
5) SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid
6) Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktor-faktor
ekstrarenal lainnya.
7) SLE dengan manifestasi SSP

Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid
diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian siklofosfamid, segera pantau
jumlah leukosit darah, bila mencapai 1500/ml maka dosis siklofosfamid berikutnya
diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan
dosis yang tidak adekuat, sehingga harus ditingkatkan 10% pada pemberian
berikutnya. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan,
kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid diberikan,
dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya.
Toksisitas siklofosfamid meliputi :

1) Nausea
2) Vomitus alopesia
3) Sistitis hemoragika
4) Keganasan kulit
5) Penekanan fungsi ovarium dan azoospermia

Obat sitotoksik lain dengan toksisitas dan efektifitas yang lebih rendah dari
siklofosfamid adalah azatioprin yang merupakan analog purin yang dapat digunakan
sebagai alternatif siklofosfamid dengan dosis 1-3 gr/kgBB/hari peroral. Obat ini
dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita SLE, setelah penyakitnya dapat
dikontrol dengan steroid seminimal mungkin, maka dosis azatioprin dapat
diturunkan perlahan dan dihentikan. Toksisitas dari azatioprin meliputi :

1) Penekanan sistem hemopoetik


2) Peningkatan enzim hati
3) Mencetuskan keganasan

Imunosupresan lain yang dapat digunakan adalah siklosporin-A dosis rendah (3-6
mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat digunakan pada SLE
baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama
pemberian harus diperhatikan tekanan darah dan kada kreatinin darah, bila kadar

29
kreatinin darah meningkat 20% dari kadar sebelum pemberian siklosporin maka
dosis harus diturunkan.

Terapi lain masih dalam taraf penelitian yaitu :

1. Terapi hormonal
2. Imunoglobulin
3. Afaresis
4. Plasmafaresis
5. Leukofaresis
6. Kriofaresis

Yang paling banyak digunakan yaitu danazol, merupakan androgen yang dapat
mengatasi trombositopenia pada SLE. Mekanismenya tidak diketahui secara pasti.
Pemberian Ig intravena juga dapat mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-
400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharan setiap
bulan untuk mencegah kekambuhan. Pemberian Ig kontraindikasi mutlak dengan
penderita defisiensi IgA pada penderita SLE.

2.9. Komplikasi
1. Serangan pada Ginjal
a) Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
b) Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c) Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).
2. Serangan pada Jantung dan Paru
a) Pleuritis
b) Pericarditis
c) Efusi pleura
d) Efusi pericard
e) Radang otot jantung atau Miocarditis
f) Gagal jantung
g) Perdarahan paru (batuk darah).
3. Serangan Sistem Saraf
a) Sistem saraf pusat
- Cognitive dysfunction
- Sakit kepala pada lupus
- Sindrom anti-phospholipid
- Sindrom otak
- Fibromyalgia.
b) Sistem saraf tepi

30
- Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c) Sistem saraf otonom
- Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak,
dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya
permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.
4. Serangan pada Kulit
Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya
disebut lesi discoid. Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan
Gilliam pada akhir 70-an :
a) Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat
sensitive terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult
subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis
atau lesi tidak berparut berbentuk koin.
b) Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat
mencakup area yang luas di bagian tubuh
c) Lesi non spesifik
- Rambut rontok (alopecia)
- Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan
ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat
menjadi borok (7).
- Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang
di sertai pusing.
5. Serangan pada Sendi dan Otot
a) Radang sendi pada lupus
b) Radang otot pada lupus
6. Serangan pada Mata
7. Serangan pada Darah
a) Anemia
b) Trombositopenia
c) Gangguan pembekuan
d) Limfositopenia
8. Serangan pada Hati

2.10. Progmosis
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang
terlibat. Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas
pada pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum
1955, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 5 tahun pada SLE kurang dari
50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-
rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun
terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10
tahun terakhir di Asia.
Angka harapan hidup :
 5 tahun : 85-88%
 10 tahun : 76-87%
Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat :
 Infeksi penyakit

31
 Nefritis lupus
 Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya)
 Penyakit kardiovaskular
 Lupus sistem saraf pusat

Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal merupakan


indikator prognosis yang paling buruk pada SLE, dikarenakan tuter antibodi
pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan keterlibatan ginjal,
dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.

LO.3. Memahami dan menjelaskan pemeriksaan laboratorium untuk penyakit


autoimun

1. Pemeriksaan urin
Gangguan ini mudah diperiksa dengan pemeriksaan urin lengkap pada saat
tidak mens. Disini akan didapatkan proteinuria : >0.5 dan  kreatinin meningkat
pada urin.

2. Pemeriksaan hematologi .
Gangguan ini bisa pada sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (lekosit)
atau  trombosit (keping-keping darah yang berfungsi untuk pembekuan darah).
Anemia hemolitik dengan retikulosis.
leukopenia <4000/mm3 pada dua kali pemeriksaan.
Limfopenia : <1500/ mm3 pada dua kali pemeriksaan.
Trombositopenia : <100.000 / mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan.

3. Tes sel S.E dan L.E


Pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang
dipengaruhi membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain. Sel L.E
terdiri dari granulosit neutrofilik yang mengandung bahan nuclear basofilik
yang telah difagosditosis, segmen nuklearnya pindah ke perifer. Pemeriksaan
ini jarang digunakan jika dibandingkan dengan pemeriksaan ANA, karena
pemeriksaan ANA lebih peka untuk mendeteksi penyakit Lupus dibandingkan
dengan LE cell prep.

4. ANA
Terdapat 4 pola ANA adalah branosa (anular, periferal), homogen, berbintik,
dan nuclear. Yang spersifik untuk SLE adalah yang membranosa terutama jika
titernya tinggi > dari 1/160. Pola berbintik juga umumnya juga da di SLE. Tes
ANA memiliki sensitifitas tinggi tapi spesifisitasnya rendah.
Kalo ANA (+) dan gejala klinis khas maka tidak perlu diberi pemeriksaan
tambahan.

32
ANA (+) dan gejala tidak khas maka dilakukan minimal 2 x pemeriksaan
tambahan (anti ds-DNA dan anti Sm)
ANA (-) dan gejalanya khas maka dilakukan minimal 2 x pemeriksaan
tambahan (anti ds-DNA dan anti Sm)

5. Anti ds-DNA (ditemukan pada 60-70% penderita)


Antibodi ini berhubungan dengan glomerulonephritis dan kadar komplemen
yang rendah yang meramalkan terjadinya hematuria dan proteinuria. Anti ds
DNA sangat spesifik untuk SLE, dan titernya akan meningkat sebelum SLE
kambuh.

6. Anti Sm (ditemukan pada 20-30% penderita)


Cukup spesifik pada SLE dan bila titernya tinggi, tapi kurang sensitif.

7. Lupus Band Test.


Pada pemeriksaan imunofluoresense dapat dilihat pita terdiri atad deposit
granular immunoglobulin G,M atau A dan komplemen C3 pada taut
epidermal-dermal disebut lupus Band. (diambil dari kulit yang normal)

LO.4. Memahamai dan menjelaskan pandangan islam tentang sabar menghadapi suatu
cobaan
Definisi ikhlas
Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur
dengan hal-hal yang bisa mencampurinya.
Definisi ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi)
Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam
mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah
sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah
“menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika
engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada
Allah bukan kepada manusia.

Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari
komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan
tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia
untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu
itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu
bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang
seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak
menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya

33
tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan
perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah
keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).

Ayat – ayat al-quran tentang ikhlas :


"Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan
(membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari
syirik)." (QS. Az-Zumar: 2-3).
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama." (QS.
Az-Zumar: 2-3).

RIDHO
Definisi ridho
Ridho ( ً‫)رض‬
ِ berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir
(qodha dan qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-
sungguhnya bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka
adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada
hamba-Nya pastilah akan berdampak baik pula bagi hamba-Nya.

Macam – macam ridho Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,


ridho terhadap takdir Allah terbagi menjadi tiga macam:

1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat
Islam dan segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya
haruslah mutlak dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan
tanpa ada perasaan bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah
untuk kepentingan kita sebagai umat-Nya.

2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama


mengatakan ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk
direlakan namun jauh lebih baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan
keridhoan seorang hamba. Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar
karenanya. Manusia bisa saja tidak rela terhadap sebuah musibah buruk yang
terjadi, tapi wajib bersabar agar tidak menyalahi syariat. Perbuatan putus asa,
hingga marah kepada Yang Maha Pencipta adalah hal-hal yang sangat
diharamkan oleh syariat.

3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi


atas qodha Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib
untuk dihilangkan. Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan
kemaksiatan dan kemungkaran di muka bumi.

34
Ayat al-quran tentnag ridho
‫إِ َّن ال ِّدينَ ِع ْن َد هَّللا ِ اإْل ِ ْساَل ُم‬
“Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi
Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imran ayat 19)

‫لِ َم ْن َكانَ يَرْ جُو هَّللا َ َو ْاليَوْ َم اآْل َ ِخ َر َو َذ َك َر هَّللا َ َكثِيرًا‬ ٌ‫لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِي َرسُو ِل هَّللا ِ أُ ْس َوةٌ َح َسنَة‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.” (QS Al-Ahzab ayat 21)

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja KG, Rengganis I. 2014. Imunologi Dasar. Jakarta : Balai


Penerbit FKUI.
Isbagio H, Kasjmir Y.I, Setyohadi B, Suarjana N. (2014). Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi VI, vol III Jakarta : Departemen Penyakit Dalam FKUI.

Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I.dkk. (2009). Buku Ajar Penyakit Dalam. Ed


5.Jilid I . Jakarta : Interna Publishing
Silbernagl S, Lang F. (2007). Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta :
EGC.
http://www.alquran-indonesia.com/web/

Silbernagl S, Lang F. (2007). Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta :


EGC
www.pbpapdi.org/images/file.../14_Rekomendasi_Lupus.pdf

35
36

Anda mungkin juga menyukai