16
pengetahuan dari kehidupan, ilmu dari etika, karena
pengetahuan menjadi barang obyektif yang netral. Padahal,
kalau mau jujur pada sejarah, sejak awal kemunculanya, ilmu
sudah terkait dengan masalah etika. Ketika Copernicus (1473-
1543) menggunakan teorinya tentang kemestaan alam dan
menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi
matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang diyakini oleh
ajaran agama (Kristen), maka timbullah dikotomi antara ilmu
dan etika (yang berasal dari agama). Secara ontologis, ilmu
menginginkan menyingkap realitas apa adanya, namun disisi
lain terdapat keinginan dari para teolog agar ilmu
mendasarkan pada ajaran-ajaran agama. Perseteruan ini
berujung pada dihukumnya Galilio (1564- 1642) yang
berkulminasi pada pengadilan inkuisasi Pergulatan akbar
tersebut –hingga pengadilan inkuisasi dijatuhkan pada Galileo
telah berpengaruh pada ilmuwan lebih dua setengah abad.
Perdebatan antara ilmuwan dan agamawan tersebut berkisar
pada perdebatan tentang kebebasan ilmu. Pertarungan ini
dimenangkan oleh para ilmuwan dengan semboyan yang
cukup terkenal “Ilmu itu bebas nilai!. Setelah mendapat
kemenangan ini ilmu lalu mendapat otonominya dan
melakukan penelitian apa yang senyatanya ada dan berujung
pada sebuah adigium “ilmu untuk ilmu”. Semua peristiwa
16
tersebut akhirnya membuat Peradaban Barat menceraikan
Wahyu dari Ilmu Pengetahuan, dengan ditolaknya wahyu dari
salah satu sumber ilmu pengetahuan membawa konsekuensi
serius terhadap ilmu modern.Sesuatu yang ironis mengingat
dahulu Barat sangat Fanatik terhadap Agama namun akibat
penyelewengan para pemuka Agama mereka,akhirnya
merubah masyarakat Barat seperti sekarang. Ilmu Modern
yang bebas Nilai (Nilai Agama) sehingga menjadikan akal satu-
satunya standart kebenaran, alhasil Barat tentu menolak
semua sumber wahyu seperti Adam sebagai Awal Manusia
tertolak Ilmu Modern Menawarkan Teori Evolusi sebagai asal
muasal Manusia, Kisah Kaum Luth dengan Sodominya pun
dianggap tak ubahnya fairy tale semata inilah sebabnya Ilmu
Psikiater Modern Barat Berubah dari awalnya memasukkan
LGBT sebagai “Penyakit” akhirnya menganggapnya sebagai
fenomena Orientasi Sexual Semata.
16
baik dan benar agar pengembangan ilmu dan teknologi
memberi manfaat mensejahterakan dan memartabatkan
manusia.
Dalam mempertimbangkan sebuah strategi secara imperatif
kita meletakkan Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Pengertian dasar
nilai menggambarkan Pancasila suatu sumber orientasi dan
arah pengembangan ilmu. Dalam konteks Pancasila sebagai
dasar nilai mengandung dimensi ontologis, epistemologis dan
aksiologis. Dimensi ontologis berarti ilmu pengetahuan sebagai
upaya manusia untuk mencari kebenaran yang tidak mengenal
titik henti, atau ”an unfinished journey”. Ilmu tampil dalam
fenomenanya sebagai masyarakat, proses dan produk. Dimensi
epistemologis, nilai-nilai Pancasila dijadikan pisau
analisis/metode berfikir dan tolok ukur kebenaran. Dimensi
aksiologis, mengandung nilai-nilai imperatif dalam
mengembangkan ilmu adalah sila-sila Pancasila sebagai satu
keutuhan. Untuk itu ilmuwan dituntut memahami Pancasila
secara utuh, mendasar, dan kritis, maka diperlukan suatu
situasi kondusif baik struktural maupun kultural.
Peran nilai-nilai dalam setiap sila dalam Pancasila adalah
sebagai berikut.
16
1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa: melengkapi ilmu
pengetahuan menciptakan perimbangan antara yang
rasional dan irasional, antara rasa dan akal. Sila ini
menempatkan manusia dalam alam sebagai bagiannya
dan bukan pusatnya.
16
secara perwakilan, sejak dari kebijakan, penelitian
sampai penerapan massal.
16
budaya yang bersifat mutlak bagi kehidupan manusia yang
berbudaya.
16
Selain memiliki kekayaan alam yang menakjubkan,
Indonesia juga sangat kaya akan suku bangsa, budaya,
agama, bahasa, ras dan etnis golongan. Sebagai akibat
keanekaragaman tersebut Indonesia mengandung potensi
kerawanan yang sangat tinggi pula, hal tersebut merupakan
faktor yang berpengaruh terhadap potensi timbulnya
konflik sosial. Kemajemukan bangsa Indonesia memiliki
tingkat kepekaan yang tinggi dan dapat menimbulkan
konflik etnis kultural. Arus globalisasi yang mengandung
berbagai nilai dan budaya dapat melahirkan sikap pro dan
kontra warga masyarakat yang menyebabkan konflik tata
nilai.
Bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara yang
terjadi saat ini menjadi bersifat multi dimensional yang
berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, hal ini
seiring dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, informasi dan komunikasi. Serta sarana dan
prasarana pendukung didalam pengamanan bentuk
ancaman yang bersifat multi dimensional yang bersumber
dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya.
Oleh karena itu. kemajuan dan perkembangan IPTEK
sangat diperlukan dalam upaya mempertahankan segala
kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia serta menjawab
16
segala tantangan zaman. Dengan penguasaan IPTEK kita
dapat tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia sesuai dengan sila ketiga yang berbunyi
Persatuan Indonesia. Maka dari itu, IPTEK dan Pancasila
antara satu dengan yang lain memiliki hubungan yang
kohesif. IPTEK diperlukan dalam pengamalan Pancasila, sila
ketiga dalam menjaga persatuan Indonesia. Di lain sisi, kita
juga harus tetap menggunakan dasar-dasar nilai Pancasila
sebagai pedoman dalam mengembangkan Ilmu
Pengetahuan dan Tekhnologi agar kita dapat tidak terjebak
dan tepat sasaran mencapai tujuan bangsa
16
agama dan budaya sebagai mitra dialog di saat diperlukan.
Dalam hal ini, ada sebagian ilmuwan yang beranggapan bahwa
iptek memang memiliki hukum tersendiri (faktor internal),
tetapi di pihak lain diperlukan faktor eksternal (budaya,
ideologi, dan agama) untuk bertukar pikiran, meskipun tidak
dalam arti saling bergantung secara ketat. Pancasila sebagai
ideologi negara merupakan kristalisasi nilai-nilai budaya dan
agama dari bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideology
bangsa Indonesia mengakomodir seluruh aktivitas kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, demikian pula
halnya dalam aktivitas ilmiah. Oleh karena itu, perumusan
Pancasila sebagai paradigma ilmu bagi aktivitas ilmiah di
Indonesia merupakan sesuatu yang bersifat niscaya. Sebab,
pengembangan ilmu yang terlepas dari nilai ideologi bangsa,
justru dapat mengakibatkan sekularisme, seperti yang terjadi
pada zaman Renaissance di Eropa. Bangsa Indonesia memiliki
akar budaya dan religi yang kuat dan tumbuh sejak lama dalam
kehidupan masyarakat sehingga manakala pengembangan
ilmu tidak berakar pada ideologi bangsa, sama halnya dengan
membiarkan ilmu berkembang tanpa arah dan orientasi yang
jelas. Bertitik tolak dari asumsi di atas, maka das Sollen
ideologi Pancasila berperan sebagai leading principle dalam
kehidupan ilmiah bangsa Indonesia. Karena itu untuk
16
mendapatkan pemahaman yang komprehensif perlu dikaji
aspek kesejarahan dan aspek-aspek lainnya terkait dengan
ilmu dan teknologi. Dari sini, problematika keilmuan dapat
segera diantisipasi dengan merumuskan kerangka dasar nilai
bagi pengembangan ilmu. Kerangka dasar nilai ini harus
menggambarkan suatu sistem filosofi kehidupan yang
dijadikan prinsip kehidupan masyarakat, yang sudah mengakar
dan membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia,
yaitu nilai-nilai Pancasila. Pengembangan Ilmu Berdasar
Paradigma Pancasila Pengetahuan ilmiah merupakan
pengetahuan yang memiliki dasar pembenaran, bersifat
sistematik serta bersifat intersubyektif. Ketiga ciri ini saling
terkait dan merupakan persyaratan bagi pengetahuan untuk
disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Persyaratan tersebut
adalah sebagai berikut: Pertama, dasar pembenaran menuntut
pengaturan kerja ilmiah yang diarahkan pada perolehan
derajat kepastian sebesar mungkin. Pernyataan harus
didasarkan atas pemahaman apriori yang juga didasarkan atas
hasil kajian empirik. Kedua, sistematik dan sistemik masing-
masing menunjuk pada susunan pengetahuan yang didasarkan
pada penyelidikan (riset) ilmiah yang kerterhubunganya
merupakan sustu kebulatan melalui komparasi dan
generalisasi secara teratur. Ketiga, Sifat intersubjektif ilmu
16
atau pengetahuan ilmiah tidak didasarkan atas instusi dan sifat
subyektif orang seorang, namun harus ada kesepakatan dan
pengakuan akan kadar kebenaran dari ilmu itu di dalam setiap
bagian dan di dalam hubungan menyeluruh ilmu tersebut,
sehingga tercapai intersubjektivitas. Istilah “intersubjektif”
lebih ekplisit menunjukan, bahwa pengetahuan yang telah
diperoleh seorang subyek harus mengalami verifikasi oleh
subjek-subjek lain supaya pengetahuan itu lebih terjamin
keabsahan atau kebenarannya. Pencapaian pengetahuan
ilmiah diperlukan sebuah riset sebagai pondasi praktik ilmiah
selanjutnya. Apa yang dicapai harus bersifat baru, belum
pernah ada sebelumnya. Selain itu, pencapaian tersebut juga
harus bersifat terbuka sehingga praktik selanjutnya oleh
kelompok ilmiah lainnya menjadi satuan fundamental bagi
yang mempelajari perkembangan ilmu tersebut. Satuan ini
tidak dapat mereduksi sehingga secara logis, satuan-satuan ini
juga menjadi kaidah dan standar praktik ilmiah yang disebut
paradigm. Tanggung jawab seorang ilmuwan bukan hanya
terbatas pada tanggung jawab ilmiahakademik semata, akan
tetapi tanggung jawab sosial-moral yang diembannya juga
cukup berat. Sebagai bentuk tanggung jawab sosial-moral,
para ilmuwan terikat dengan strategi pengembangan ilmu.
Setidaknya terdapat tiga pandangan mengenai strategi
16
pengembangan ilmu dewasa ini, yakni: Pertama, pendapat
yang menyatakan bahwa ilmu berkembang dalam otonomi dan
tertutup, dalam arti pengaruh konteks sosial-budaya dibatasi
atau bahkan disingkirkan. Kelompok ini selalu bersemboyan:
“science for the sake of science only”. Kedua, pendapat yang
menyatakan bahwa ilmu lebur dalam konteks, ilmu tidak hanya
memberikan refleksi, bahkan juga memberikan justifikasi.
Pandangan yang mengembangan ilmu dengan cara ‘masuk’ ke
dalam realitas dan membenarkannya ini cenderung
membuatnya bersifat ideologis. Ketiga, pendapat yang
menyatakan bahwa ilmu dan konteks saling meresapi dan
saling memberi pengaruh untuk menjadi agar dirinya berserta
temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi
dan aktualitasnya. Science for sake human progres adalah
dirinya. Pengembangan ilmu di Indonesia tidak boleh bebas
nilai (value-free), malainkan harus memperlihatkan landasan
metafisis, epistemologis, dan aksiologis dari pandangan hidup
bangsa Indonesia. Van Melsen menekankan arti pentingnya
hubungan antara ilmu dan pandangan hidup(khususnya
Agama), karena ilmu tidak pernah dapat memberikan
penyelesaian akhir dan menentukan. Hal ini dikarenakan ilmu
tidak pernah dapat memberikan penyelesaian terakhir dan
menentukan, lantaran tidak ada ilmu yang mendasarkan
16
dirinya sendiri secara absolut. Di sinilah perlunya pandangan
hidup, terutama peletakan landasan ontologis, epistemologis,
dan aksiologis bagi ilmu, sehingga terjadi harmoni antara
rasionalitas dengan kearifan.
16
UUD 1945. Pada hakikatnya Pancasila sebagai paradigma
pembangunan nasional mengandung arti bahwa segala aspek
pembangunan harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Negara dalam rangka mewujudkan tujuannya melalui
pembangunan nasional untuk mewujudkan tujuan seluruh
warganya harus dikembalikan pada dasar-dasar hakikat
manusia. Oleh karena itu pembangunan nasional harus
meliputi aspek jiwa yang mencakup akal, rasa dan kehendak,
aspek raga, aspek individu, aspek makhluk sosial, aspek pribadi
dan juga aspek kehidupan ketuhanannya. Pancasila merupakan
satu kesatuan dari sila-silanya harus merupakan sumber nilai,
kerangka berpikir serta asas moralitas bagi pembangunan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pengembangan ilmu dan
teknologi terlebih yang menyangkut manusia haruslah selalu
menghormati martabat manusia, haruslah meningkatkan
kualitas hidup manusia baik sekarang maupun di masa depan,
membantu pemekaran komunitas manusia, baik lokal, nasional
maupun global, harus terbuka untuk masyarakat lebihlebih
yang memiliki dampak langsung kepada kondisi hidup
masyarakat, dan ilmu dan teknologi hendaknya membantu
penciptaan masyarakat yang semakin lebih adil.
16
16