Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Intensive Care Unit (ICU) merupakan ruang perawatan dengan tingkat resiko
kematian pasien yang tinggi. Tindakan keperawatan yang cepat dan tepat sangat
dibutuhkan untuk menyelamatkan pasien. Pengambilan keputusan yang cepat ditunjang
data yang merupakan hasil observasi dan monitoring yang kontinu oleh perawat. Jumlah
ruang ICU sangat terbatas, tidak sebanding dengan jumlah pasien yang membutuhkan
perawatan di ICU. Akibatnya banyak pasien yang membutuhkan perawatan di ICU
namun tidak dapat dirawat ke ICU dan menyebabkan jumlah kematian cukup
tinggi.Karena tingginya jumlah kematian pasien oleh karena tidak semua pasien dapat
dirawat di ICU maka pasien yang akan dirawat di ICU ditentukan berdasarkan level
prioritas kondisi mediknya.
Pasien yang seharusnya dirawat di ICU adalah pasien dengan kriteria prioritas 1,
2, dan 3, yaitu pasien dengan gangguan akut yang masih diharapkan reversible (pulih
kembali seperti semula). Namun jika pasien yang memenuhi kriteria masuk jumlahnya
cukup banyak sedangkan kapasitas ruang ICU terbatas, maka harus ditentukan prioritas
pasien masuk berdasarkan beratnya penyakit dan prognosis, Penilaian objektif hendaknya
digunakan untuk menentukan prioritas 2 masuk ICU.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778/Menkes/SK/XII/2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive
Care Unit (Icu) Di Rumah Sakit adalah prioritas pasien masuk ICU yaitu ICU
memberikan pelayanan antara lain pemantauan yang canggih dan terapi yang intensif.
Dalam keadaan penggunaan tempat tidur yang tinggi, pasien yang memerlukan terapi
intensif (prioritas 1) didahulukan dibandingkan pasien yang memerlukan pemantauan
intensif (prioritas 3). Penilaian objektif atas beratnya penyakit dan prognosis hendaknya
digunakan untuk menentukan prioritas masuk ke ICU. Oleh karena itu, penulis tertarik
untuk membahas makalah tentang manajemen triage di unit kritis dan pendekatan
terhadap pasien sakit kritis.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Intensive care unit ?
2. Bagaimana manajemen triage di unit kritis ?
3. Bagaimana pendekatan pada pasien kritis ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep Intensive care unit
2. Untuk mengetahui konsep menajemen triage di unit kritis
3. Untuk mengetahui konsep pendekatan pada pasien kritis

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Intensive Care Unit (ICU)


1. Definisi
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri
(instalasi di bawah direktur pelayanan), dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang
khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang
menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau
potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia (Keputusan Menteri Kesehatan,
2010).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di
rumah sakit, ICU digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan observasi,
perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-
penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis
dubia yang diharapkan masih reversible (Kemenkes RI, 2010).

2. Ruang Lingkup Pelayanan ICU


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan (2010), ruang lingkup pelayanan
yang diberikan di ICU adalah sebagai berikut:
a. diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut yang mengancam
nyawa dan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit sampai beberapa
hari
b. memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus melakukan
pelaksanaan spesifik problema dasar
c. pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap komplikasi yang
ditimbulkan oleh penyakit atau iatrogenik
d. memberikan bantuan psikologis pada pasien yang kehidupannya sangat tergantung
pada alat/mesin dan orang lain.

3
3. Indikasi pasien masuk dan keluar ICU
Pada keadaan sarana dan prasarana ICU yang terbatas pada suatu rumah sakit,
diperlukan mekanisme untuk membuat prioritas apabila kebutuhan atau permintaan
akan pelayanan ICU lebih tinggi daripada kemampuan pelayanan yang dapat diberikan.
Kepala ICU bertanggung jawab atas kesesuaian indikasi perawatan pasien di ICU. Bila
kebutuhan masuk ICU melebihi tempat tidur yang tersedia, kepala ICU menentukan
berdasarkan prioritas kondisi medik, pasien mana yang akan dirawat di ICU. Prosedur
untuk melaksanakan kebijakan ini harus dijelaskan secara rinci untuk tiap ICU.
a. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778/Menkes/Sk/XII/2010, kriteria masuk dan keluar pasien ICU antara lain:
1) Kriteria masuk
Pasien yang masuk ICU dikirim oleh dokter di luar ICU setelah
berkonsultasi dengan doketr ICU. Konsultasi sifatnya tertulis, tetapi dapat juga
didahului secara lisan (misalnya lewat telepon), terutama dalam keadaan
mendesak, tetapi harus segera diikuti dengan konsultasi tertulis. Keadaan yang
mengancam jiwa akan menjadi tanggung jawab dokter pengirim. Transportasi ke
ICU masih menjadi tanggungjawab dokter pengirim, kecuali transportasi pasien
masih perlu bantuan khusus dapat dibantu oleh pihak ICU. Selama pengobatan di
ICU, maka dimungkinkan untuk konsultasi dengan berbagai spesialis di luar
dokter pengirim atau dokter ICU bertindak sebagai koordinatornya. Terhadap
pasien atau keluarga pasien wajib diberikan penjelasan tentang perlunya masuk
ICU dengan segala konsekuensinya dengan menandatangani informed concern.
ICU memberikan pelayanan antara lain pemantauan yang canggih dan
terapi yang intensif. Dalam keadaan penggunaan tempat tidur yang tinggi, pasien
yang memerlukan terapi intensif (prioritas 1) didahulukan dibandingkan pasien
yang memerlukan pemantauan intensif (prioritas 3). Penilaian objektif atas
beratnya penyakit dan prognosis hendaknya digunakan untuk menentukan
prioritas masuk ke ICU.

4
Alur Masuk Pasien Di ICU
Poliklinik /
Rawat Inap
RS lain

IBS

UGD ICU

a) Pasien prioritas 1 (satu)


Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang
memerlukan terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan/bantuan ventilasi
dan alat bantu suportif organ/sistem yang lain, infus obat-obat vasoaktif
kontinyu, obat anti aritmia kontinyu, pengobatan kontinyu tertitrasi, dan lain-
lainnya. Contoh pasien kelompok ini antara lain, pasca bedah kardiotorasik,
pasien sepsis berat, gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang
mengancam nyawa. Institusi setempat dapat membuat kriteria spesifik untuk
masuk ICU, seperti derajat hipoksemia, hipotensi dibawah tekanan darah
tertentu. Terapi pada pasien prioritas 1 (satu) umumnya tidak mempunyai
batas.
b) Pasien prioritas 2 (dua)
Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di ICU, sebab
sangat berisiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya
pemantauan intensif menggunakan pulmonary arterial catheter. Contoh pasien
seperti ini antara lain mereka yang menderita penyakit dasar jantung-paru,
gagal ginjal akut dan berat atau yang telah mengalami pembedahan major.
Terapi pada pasien prioritas 2 tidak mempunyai batas, karena kondisi
mediknya senantiasa berubah.
c) Pasien prioritas 3 (tiga)
Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status
kesehatan sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya,

5
secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan/atau manfaat terapi
di ICU pada golongan ini sangat kecil. Contoh pasien ini antara lain pasien
dengan keganasan metastatik disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade,
sumbatan jalan napas, atau pasien penyakit jantung, penyakit paru terminal
disertai komplikasi penyakit akut berat. Pengelolaan pada pasien golongan ini
hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja, dan usaha terapi mungkin
tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi jantung paru.
d) Pengecualian
Dengan pertimbangan luar biasa, dan atas persetujuan Kepala ICU,
indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bias dikecualikan, dengan
catatan bahwa pasien-pasien golongan demikian sewaktu waktu harus bisa
dikeluarkan dari ICU agar fasilitas ICU yang terbatas tersebut dapat digunakan
untuk pasien prioritas 1, 2, 3 (satu, dua, tiga). Pasien yang tergolong demikian
antara lain:
1) Pasien yang memenuhi kriteria masuk tetapi menolak terapi tunjangan
hidup yang agresif dan hanya demi “perawatan yang aman” saja. Ini tidak
menyingkirkan pasien dengan perintah “DNR (Do Not Resuscitate)”.
Sebenarnya pasien-pasien ini mungkin mendapat manfaat dari tunjangan
canggih yang tersedia di ICU untuk meningkatkan kemungkinan
survivalnya.
2) Pasien dalam keadaan vegetatif permanen.
3) Pasien yang telah dipastikan mengalami mati batang otak. Pasien-pasien
seperti itu dapat dimasukkan ke ICU untuk menunjang fungsi organ hanya
untuk kepentingan donor organ.
2) Kriteria keluar
Prioritas pasien dipindahkan dari ICU berdasarkan pertimbangan medis
dari kepala ICU atau tim lain, antara lain :
a) Penyakit atau keadaan pasien yang sudah membaik dan cukup stabil sehingga
tidak memerlukan terapi dan pemantauan intensif lebih lanjut.
b) Secara perkiraan dan perhitungan terapi atau pemantauan intensif tidak
bermanfaat atau tidak memberikan hasil yang berarti bagi pasien. Apalagi pada

6
waktu itu pasien tidak menggunakan alat bantu ventilasi mekanik. Contoh
pasien yang dalam menderita oenyakit (misal ARDS stadium akhir). Pasien
yang demikian sebelum dikeluarkan dari ICU, maka keluarga harus diberikan
penjelasan terlebih dahulu.
c) Pasien hanya memerlukan observasi secara intensif saja, sedangkan ada pasien
lain yang lebih gawat yang memerlukan terapi dan observasi secara intensif.
Pasien demikian perlu dipindahan ke ruang High Care Unit (HCU).

Berdasarkan Prioritasnya, indikasi pasien keluar antara lain :


1. Prioritas I : Pasien prioritas 1 (satu) dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan
untuk terapi intensif telah tidak ada lagi, atau bila terapi telah gagal dan
prognosis jangka pendek jelek dengan kemungkinan kesembuhan atau
manfaat dari terapi intensif kontinu kecil. Contoh hal terakhir adalah pasien
dengan tiga atau lebih gagal sistem organ yang tidak berespons terhadap
pengelolaan agresif.
2. Prioritas II : Pasien prioritas 2 (dua) dikeluarkan bila kemungkinan untuk
mendadak memerlukan terapi intensif telah berkurang.
3. Prioritas III : Pasien prioritas 3 (tiga) dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan
untuk terapi intensif telah tidak ada lagi, tetapi mereka mungkin dikeluarkan
lebih dini bila kemungkinan kesembuhannya atau manfaat dari terapi intensif
kontinu kecil. Contoh dari hal terakhir antara lain adalah pasien dengan
penyakit lanjut (penyakit paru kronis, penyakit jantung atau liver terminal,
karsinoma yang telah menyebar luas dan lain-lainnya yang telah tidak
berespons terhadap terapi ICU untuk penyakit akutnya, yang prognosis
jangka pendeknya secara statistik rendah, dan yang tidak ada terapi yang
potensial untuk memperbaiki prognosisnya). Dengan mempertimbangkan
perawatannya tetap berlanjut dan sering merupakan perawatan khusus setara
pasien ICU, pengaturan untuk perawatan non-ICU yang sesuai harus
dilakukan sebelum pengeluaran dari ICU.

7
b. Menurut Joseph et al (2016) kriteria pasien yang dapat masuk ke ICU adalah sebagai
berikut:

Level Perawatan Prioritas Tipe Pasien


Pasien kritis yang membutuhkan
dukungan hidup untuk kegagalan organ,
pemantauan intensif,
dan terapi yang hanya diberikan di
lingkungan ICU. Dukungan hidup
termasuk ventilasi invasif, terapi
penggantian ginjal kontinu, pemantauan
1 hemodinamika invasif untuk
mengarahkan intervensi hemodinamik
yang khusus, oksigenasi membran
ekstrasorporeal,
pompa balon intraaortik, dan situasi lain
yang membutuhkan perawatan kritis
ICU (mis., pasien dengan
hipoksemia berat atau syok)
Pasien dengan probabilitas pemulihan
yang jauh lebih rendah dan
membutuhkan terapi perawatan intensif
tapi tidak resusitasi kardiopulmoner
dalam kasus henti jantung (mis., pasien
dengan kanker metastatik dan gagal
2
napas sekunder akibat
pneumonia atau syok septik yang
membutuhkan vasopressor)

IMU 3 Pasien dengan disfungsi organ yang


(Intermediate memerlukan pemantauan dan / atau
8
terapi intensif (misalnya,
ventilasi noninvasive), atau yang
menurut pendapat klinis dokter triage,
bisa dikelola pada tingkat perawatan
yang lebih rendah daripada ICU (mis.,
pasien pascaoperasi yang
memerlukan pemantauan ketat untuk
risiko kerusakan atau memerlukan
perawatan pasca operasi yang intensif,
pasien dengan insufisiensi pernafasan
yang toleransi ventilasi noninvasif
intermiten).
Pasien-pasien ini mungkin perlu dirawat
Medical Unit)
di ICU jika manajemen dini gagal
mencegah kemunduran atau tidak ada
kemampuan IMU di rumah sakit
Pasien, seperti dijelaskan di atas namun
memiliki probabilitas pemulihan /
kelangsungan hidup yang lebih rendah
(mis., Pasien
dengan penyakit metastasis yang
4
mendasari) yang tidak ingin diintubasi
atau diresusitasi. Seperti di atas, jika
rumah sakit tidak memiliki kemampuan
IMU, pasien ini dapat dipertimbangkan
untuk ICU dalam keadaan khusus
Perawatan 5 Terminal atau pasien yang hampir mati
Paliatif tidak ada kemungkinan sembuh; Pasien
tersebut pada umumnya tidak termasuk
kriteria masuk ICU (kecuali mereka
adalah donor organ yang potensial).
Dalam kasus di mana individu telah

9
benar-benar menolak terapi perawatan
intensif atau memiliki proses ireversibel
seperti kanker metastatik tanpa pilihan
terapi kemoterapi atau radiasi tambahan,
perawatan paliatif harus ditawarkan
terlebih dahulu.

4. Ketenagaan ICU
1. Kepala ICU : dokter intensivis full timer yang telah mendalami pelayanan ICU
2. Tim Medis : dokter spesialis (yang dapat memberikan pelayanan setiap diperlukan),
dokter jaga 24 jam dengan kemapuan ACLS dan FCCS
3. Perawat : 75 % dari jumlah seluruh perawat ICU merupakan perawat terlatih dan
bersertifikasi ICU
4. Tenaga Non Kesehatan : tenaga administrasi, tenaga kebersihan dan pekarya

B. Konsep Triage ICU


1. Definisi
Triage sangat penting untuk mengoptimalkan keselamatan pasien dan
memberikan perawatan secara cepat dan tepat kepada pasien kritis. Triage ICU
bertujuan untuk memastikan pemberian perawatan kritis secara optimal dan adil (Blanch
dkk, 2016).
Karena jumlah tempat tidur di ICU terbatas, triage mungkin diperlukan. Adapun
faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam triage di ICU antara lain (NAICU,
2006):
a. Diagnosa penyakit
b. Tingkat keparahan penyakit
c. Usia dan status fungsional
d. Penyakit komorbid
e. Cadangan fisiologis
f. Prognosis penyakit
g. Ketersediaan perawatan yang sesuai

10
h. Respons terhadap pengobatan hingga saat ini
i. Serangan jantung paru yang baru terjadi
j. Kualitas hidup yang diharapkan

2. Fase Triage
Rocker dkk (2010) membagi triage menjadi tiga fase antara lain:
a. Fase pra-ICU (pra-triase) dilakukan oleh dokter darurat atau dokter lain yang
mengidentifikasi pasien yang memenuhi kriteria untuk rujukan ke ICU. Beberapa
faktor menyebabkan keengganan untuk merujuk pasien ke ICU:
1) Usia lanjut, penyakit parah, faktor prognostik yang buruk.
2) Interaksi sebelumnya dengan tim ICU
3) Pengalaman dengan pasien yang sama secara konsisten ditolak ICU
4) Kekhawatiran tentang dinilai tidak kompeten oleh intensivists atau Sejauh
pertimbangan / dokumentasi sebelumnya masalah paliatif.
b) ICU triage, dilakukan oleh dokter yang merujuk pasien dan dokter ICU. Kedua
dokter ini mungkin berbeda pendapat mengenai kriteria pasien masuk ICU, termasuk
mereka yang pada akhirnya mungkin tidak bertahan hidup, dan perbedaan pendapat
juga dapat timbul dengan keluarga sehubungan dengan keputusan triage.

c) Fase pasca ICU dipengaruhi oleh ketersediaan tempat tidur di ICU dan bangsal.
1) Apakah tempat tidur perawatan menengah tersedia memiliki pengaruh besar pada
praktik mengenai keluarnya pasien dari ICU. Pasien yang akan memenuhi syarat
untuk perawatan menengah, tetapi terlalu dekat dengan kematian atau terlalu sakit
untuk dipulangkan ke bangsal, tetap berada di ICU jika tidak ada unit perawatan
menengah.
2) Di beberapa negara, pasien tanpa disfungsi organ tidak dapat ditransfer ke bangsal
jika mereka memerlukan jenis perawatan pendukung kehidupan tertentu, seperti
ventilasi mekanis atau trakeostomi.
C. Konsep Pendekatan Pasien Kritis
1. Definisi

11
Gambar 2.1 Pendekatan ABCDE
Pendekatan pada pasien kritis dapat dilakukan dengan pendekatan Airway,
Breathing, Circulation, Disability, Exposure (ABCDE). Pendekatan ABCDE adalah
pendekatan sistematis untuk penilaian dan perawatan segera terhadap pasien kritis atau
pasien yang terluka. Dengan pendekatan ABCDE, penilaian awal dan perawatan
dilakukan secara bersamaan dan terus menerus (Thim dkk, 2012).

2. Prosedur Pendekatan ABCDE


Menurut Thim dkk (2012), prosedur pendekatan ABCDE yang dilakukan oleh
perawat adalah sebagai berikut:
a. A (Airway): Apakah jalan napas paten?
Jika pasien merespons dengan suara normal, maka jalan napas pasien paten.
Obstruksi jalan nafas bisa parsial atau total. Tanda-tanda dari obstruksi jalan napas
sebagian yaitu terjadi perubahan suara, pernapasan bising (misalnya, stridor), dan
peningkatan usaha untuk bernapas. Sedangkan, apabila terjadi obstruksi jalan napas
total maka tidak ada pernapasan meskipun sudah berusaha keras untuk bernapas
(yaitu, pernapasan paradoks, atau tanda "see-saw"). Penurnan tingkat kesadaran
menjadi penyebab umum terjadinya obstruksi jalan napas sebagian atau total. Tanda

12
umum obstruksi jalan napas parsial dalam keadaan tidak sadar yaitu suara mendengkur
(snoring).
Obstruksi jalan nafas yang tidak ditertangani secara cepat dapat menyebabkan
terjadinya henti jantung. Petugas profesional kesehatan, bisa menilai kepatenan jalan
nafas dan menggunakan teknik head tilt and chin lift maneuver (tekan dahi dan angkat
dagu) untuk membuka jalan nafas. Dengan peralatan yang tepat, lakukan suction pada
jalan napas untuk menghilangkan sumbatan, misalnya darah atau muntah. Jika
memungkinkan, benda asing yang menyebabkan obstruksi jalan napas harus
dihilangkan. Pada obstruksi jalan napas total, pengobatan harus diberikan sesuai
dengan pedoman saat ini.

Gambar 2.2 Teknik Head Tilt And Chin Lift Maneuver


Singkatnya, untuk pasien yang sadar dapat diberikan lima kali tepukan back
blows dengan 5 abdominal thrusts sampai sumbatan keluar. Jika pasien tidak sadar,
hubungi bantuan dan mulai lakukan resusitasi jantung paru. Dan yang terpenting,
oksigen dengan konsentrasi tinggi harus disediakan untuk semua pasien kritis secepat
mungkin.
b. B (Breating): Apakah pernapasan tercukupi?
Tentukan laju pernapasan, inspeksi kesimetrisan pergerakan dinding dada,
penggunaan otot bantu pernapasan, dan lakukan perkusi dada. Sianosis, distensi vena
jugularis, dan pergeseran trakea mungkin dapat teridentifikasi. Jika stetoskop tersedia,
lakukan auskultasi suara napas, dan saturasi oksigen harus tersedia untuk mengetahui
jumlah oksigen yang berada di dalam tubuh pasien.
Tension pneumothorax harus ditangani segera dengan memasukkan jarum di
iga kedua (ICS 2), tindakan ini dinamakan needle thoracocentesis. Bronkospasme

13
harus dapat ditangani dengan inhalasi. Jika pernapasan tidak tercukupi, berikan
bantuan ventilasi dengan menggunakan ambu bag jika tersedia.

Gambar 2.3 Ambu Bag


c. C (Circulation): Apakah sirkulasi tercukupi?
Lakukan pengkajian pada Capillary Refill Time (CRT) dan nadi pasien.
Inspeksi warna kulit pasien, karena perubahan pada warna kulit merupakan tanda dari
adanya masalah sirkulasi. Perubahan warna, berkeringat, dan penurunan tingkat
kesadaran adalah tanda dari penurunan perfusi. Jika stetoskop tersedia, lakukan
auskultasi suara jantung.
Pemantauan elektrokardiografi (EKG) dan pengukuran tekanan darah juga
harus dilakukan secepatnya. Hipotensi merupakan tanda yang penting apabila terjadi
penurunan perfusi. Efek dari hipovolemia dapat dikurangi dengan menempatkan
pasien pada posisi supinasi dan menaikkan kedua kaki pasien. Akses intravena harus
dipasang segera mungkin dan cairan salin harus diinfuskan.
d. D (Disability): Apa tingkat kesadarannya?
Tingkat kesadaran dapat dinilai dengan cepat menggunakan metode AVPU
yaitu alert (A), verbal (V), pain (P), dan unresponsive (U). Atau dapat dinilai dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
Pergerakan pada kedua ekstremitas atas dan bawah harus diperiksa untuk
mengevaluasi adanya tanda-tanda potensial lateralisasi. Perawatan terbaik untuk
pasien dengan kondisi otak primer adalah stabilisasi jalan napas, pernapasan, dan

14
sirkulasi. Khususnya, ketika pasien berespon dengan rangsang nyeri atau tidak
responsif, kepatenan jalan napas harus dipastikan, dengan menempatkan pasien pada
posisi recovery position (posisi pemulihan). Pada akhirnya, intubasi mungkin akan
dilakukan kepada pasien.
Refleks pupil dan glukosa darah juga harus dievaluasi. Penurunan tingkat
kesadaran karena glukosa darah yang rendah dapat diatasi dengan pemberian glukosa
oral atau infus glukosa.
e. E (Exposure): Adakah tanda yang menjelaskan mengenai kondisi pasien?
Tanda-tanda trauma, perdarahan, reaksi kulit (ruam), tanda jarum dan lain-lain
harus diperhatikan. Mengingat martabat pasien, pakaian harus dilepas untuk
melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Suhu tubuh dapat diperiksa dengan
menggunakan termometer.
Tabel 2.1 Ringkasan Prosedur Pendekatan ABCDE

ABCDE Pengkajian Treatment


A 1. Suara 1. Miringkan kepala dan
(Airway) 2. Suara napas dagu terangkat
2. Oksigen (15
liter/menit)
B 1. Frekuensi pernapasan 1. Suction
(Breathing) (12-20 x/menit) (Penghisapan)
2. Pergerakan dinding dada 2. Duduk dengan
3. Perkusi dada nyaman
4. Auskultasi suara paru 3. Mempertahankan
5. Saturasi oksigen (97- pernapasan
100%) 4. Inhalasi
5. Ventilasi dengan
bag-mask
6. Dekompresi tension
pneumothorax
C 1. Warna kulit, berkeringat 1. Hentikan perdarahan
(Circulation 2. CRT (< 2 detik) 2. Tinggikan kedua kaki

15
) 3. Palpasi denyut nadi (60– 3. Akses IV
100 x/menit) 4. Infus salin
4. Auskultasi suara jantung
5. Tekanan darah (sistolik
100 – 140 mmHg)
6. Monitor EKG
D 1. Tingkat kesadaran - 1. Tangani airway,
(Disability) AVPU breathing, dan
a. Alert circulation
b. Voice responsive 2. Posisi pemulihan
c. Pain responsive (recovery position)
d. unresponsive 3. Glukosa untuk
2. Gerakan anggota badan hipoglikemia
3. Refleks cahaya pupil
4. Gula darah
E 1. Perlihatkan kulit Tangani tanda yang
(Exposure) 2. Suhu tubuh mencurigakan pada
tubuh

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

16
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri
(instalasi di bawah direktur pelayanan), dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang
khusus. Triage adalah mengklasifikasikan pasien dan masalah medis mereka sesuai dengan
urgensi situasi mereka dan terus melakukan reaccessing. Menurut Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/Menkes/SK/XII/2010 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (Icu) Di Rumah Sakit adalah prioritas
pasien masuk ICU yaitu ICU memberikan pelayanan antara lain pemantauan yang canggih
dan terapi yang intensif. Dalam keadaan penggunaan tempat tidur yang tinggi, pasien yang
memerlukan terapi intensif (prioritas 1) didahulukan dibandingkan pasien yang memerlukan
pemantauan intensif (prioritas 3). Penilaian objektif atas beratnya penyakit dan prognosis
hendaknya digunakan untuk menentukan prioritas masuk ke ICU. Pendekatan pada pasien
kritis dapat dilakukan dengan pendekatan Airway, Breathing, Circulation, Disability,
Exposure (ABCDE) untuk menangani pasien yang mengalami keadaan kritis.

B. Saran
Dengan penjelasan mengenai manajemen triage di unit kritis dan pendekatan pada
pasien kritis diharapkan pembaca dapat memahami tentang konsep manajemen triage di unit
kritis tersebut dan pendekatan pada pasien kritis, sehingga pembaca dapat memperluas
pengetahuan serta dapat memahami apa saja yang berkaitan dengan hal tersebut, serta bagi
mahasiswa dapat menambah ilmu pengetahuannya. Setelah kita mempelajari apa yang telah
dibahas, maka kita perlu menerapkan dalam profesi kita. Kiranya makalah ini dapat berguna
dan memberi wawasan tentang keperawatan kritis khususnya pada manajemen triage di unit
kritis dan pendekatan pada pasien kritis.

DAFTAR PUSTAKA

Blanch, dkk. 2016. Triage Decisions for ICU Admission. USA: Elsevier.

17
Keputusan Menteri Kesehatan. 2010. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit
di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan.
NAICU. 2006. ICU Management Protocol No. 1: Admission, Discharge Criteria
And Triage.
Rocker, Graeme dkk. 2010. End of Life Care in The ICU From Advanced
Disease to Bereavement. Canada: Department of Physiological Nursing University
Dalhousie.
Thim, Troels dkk. 2012. Initial Assessment And Treatment With The Airway,
Breathing, Circulation, Disability, Exposure (ABCDE) Approach. Denmark:
Departement of Cardiology, Aarhus University Hospital.

18

Anda mungkin juga menyukai