Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

“ TERAPI ULTRASOUND DIATHERMY PADA CARPAL TUNNEL


SYNDROME ”

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Saraf RS Panti Wilasa Dr. Cipto

Dokter Pembimbing : Dokter Pembimbing : dr.Hadi Kurniawan, Sp.KFR

Disusun oleh :

Adelia Yuantika
112019032

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF RS PANTI WILASA DR. CIPTO


PERIODE 19 APRIL 2021 – 22 MEI 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia
-Nya sehingga referat Ilmu Penyakit Saraf tentang
“ TERAPI ULTRASOUND DIATHERMY PADA CARPAL TUNNEL SYNDROME ”
ini dapat selesai. Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas
kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf di RSU Panti Wilasa dr Cipto Semarang. Penulis
menyadari ada banyak pihak yang turut mendukung pembuatan referat ini. Untuk itu
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing
saya, dr. Hadi Kurniawan, Sp.KFR yang telah membimbing saya selama kepaniteraan di
RSU Pantil Wilasa dr. Cipto dalam pembuatan referat ini. Penulis sadar referat ini jauh
dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir
kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan setiap pembaca pada
umumnya. Terimakasih.

Semarang, 6 April 2021

Adelia Yuantika/112019032
BAB 1
PENDAHULUAN

Carpal tunnel syndrome adalah suatu keadaan dimana dalam perjalanannya


Nervus medianus, ketika melalui terowongan di pergelangan tangan mengalami
penekanan.1 Penekanan pada nervus medianus tersebut mengakibatkan gangguan motorik
dan sensorik pada daerah tangan dan jari. Gangguan motorik yang terjadi berupa
berkurang sampai hilangnya kekuatan genggaman, dan keterampilan tangan akibat dari
kelemahan dan atrofi otot-otot tenar. Gangguan sensorik dapat berupa kesemutan
(parathesia), kurang sensitive terhadap sentuhan (hypoaesthesia) pada jari tangan I,II,III
dan sisi lateral dari jari IV.2,3
Kasus Carpal tunnel syndrome paling terkenal dan sering terjadi adalah neuropati
saraf medianus, dan menyumbang 90% dari semua neuropati. Itu menyerang 4-5% dari
populasi khususnya pada usia 40-60 tahun. Rata-rata terjadi paling banyak pada wanita
(9.2%) daripada pria (6%) diantara umur 45 - 60 tahun (Aboong, 2015). The National
Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) tahun 1990 memperkirakan 15-
20% pekerja Amerika Serikat berisiko menderita Cummulative Trauma Disorders (CTD).
Berdasarkan laporan American Academy of Orthopaedic Surgeons tahun 2007, kejadian
CTS di Amerika Serikat diperkirakan 1-3 kasus per 1.000 subyek per tahun.
Prevalensinya berkisar sekitar 50 kasus per 1000 subyek pada populasi umum. National
Health Interview Study (NHIS) memperkirakan prevalensi CTS 1,55%. Lebih dari 50%
dari seluruh penyakit akibat kerja di USA adalah CTD, salah satunya adalah CTS
(Salawati, 2014).4 Di Indonesia, urutan prevalensi CTS dalam masalah kerja belum
diketahui karena sampai tahun 2001 masih sangat sedikit diagnosis penyakit akibat kerja
yang dilaporkan karena berbagai hal, antara lain sulitnya diagnosis. Penelitian pada
pekerjaan dengan risiko tinggi pada pergelangan tangan dan tangan melaporkan
prevalensi CTS antara 5,6% sampai dengan 15%.
Umumnya CTS terjadi secara kronis dimana terjadi penebalan fleksor
retinakulum yang menyebabkan tekanan terhadap nervus medianus. Tindakan berupa
Ultrasound dan elektroterapi pada beberapa pelayanan di rumah sakit pada kasus carpal
tunnel syndrome mendapatkan hasil yang cukup efektif untuk mengurangi nyeri pada
kasus CTS (Chan, 2014).5 Namun sebagian besar pasien masih merasakan nyeri di
akhir periode terapi. Jika ditambahkan dengan mobilisasi saraf, carpal dan tendon gliding
dapat membantu pengembalian fungsi dan gerak fisiologis dari nervus medianus
sehingga dapat menurunkan nyeri lebih efektif, dengan mobilisasi saraf maka
diharapkan suplai darah dan sirkulasi aksoplasma akan membaik, dapat melakukan
mobilisasi jaringan saraf, jaringan konektif saraf dan restriksi saraf serta akan
menstimulasi penyembuhan jaringan tersebut(Kisner, 2014). Cameron (2009).6 bahwa
Pemberian ultrasound diathermy untuk pasien dengan CTS bertujuan untuk mengurangi
nyeri. Mekanisme pengurangan nyeri dengan efek non thermal yang terjadi pada
ultrasound dapat memberikan stimulasi reseptor termal kulit atau peningkatan
perluasan jaringan lunak sehingga dapat meningkatkan suhu jaringan dan merubah
konduksi saraf dengan mengubah transmisi atau persepsi menyebabkan rasa nyeri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Berbagai aktivitas yang banyak menggunakan tangan dalam waktu yang lama
sering dihubungkan dengan terjadinya Carpal Tunnel Syndrome (CTS). Carpal
Tunnel Syndrome merupakan entrapment neuropaty dan paling sering terjadi.
Terjadinya sindroma ini akibat adanya tekanan nervus medianus pada saat melewati
terowongan karpal di pergelangan tangan tepatnya di bawah fleksor retinakulum
(Rambe, 2004)
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) didefinisikan suatu bentuk cedera tekanan yang
berulang pada nervus medianus dan merupakan syndrome penjepitan saraf yang paling
sering ditemukan (Lubis et all, 2016). Nervus medianus rentan terhadap kompresi
dan cedera pada pergelangan tangan (Syahrul, 2014). Setiap penggunaan tangan
secara intensif seperti menggenggam, memutar, atau menekuk, secara terus
menerus akan memperparah keadaan ini (Lubis et all, 2016).
Carpal tunnel syndrome adalah suatu keadaan dimana dalam perjalanannya
Nervus medianus, ketika melalui terowongan di pergelangan tangan mengalami
penekanan.1 Penekanan pada nervus medianus tersebut mengakibatkan gangguan motorik
dan sensorik pada daerah tangan dan jari. Gangguan motorik yang terjadi berupa
berkurang sampai hilangnya kekuatan genggaman, dan keterampilan tangan akibat dari
kelemahan dan atrofi otot-otot tenar. Gangguan sensorik dapat berupa kesemutan
(parathesia), kurang sensitive terhadap sentuhan (hypoaesthesia) pada jari tangan I,II,III
dan sisi lateral dari jari IV.2,3
Tindakan berupa Ultrasound dan elektroterapi pada beberapa pelayanan di rumah
sakit pada kasus carpal tunnel syndrome mendapatkan hasil yang cukup efektif untuk
mengurangi nyeri pada kasus CTS (Chan, 2014).
Carpal Tunnel Syndrome adalah salah satu dari 3 jenis penyakit yang tersering di
dalam golongan Cummulative Trauma Disorders (CTD) dengan prevalensi sebesar 40%,
sedangkan CTD merupakan penyebab lebih dari 50% penyakit akibat kerja pada anggota
gerak atas. Resiko terjadinya Carpal Tunnel Syndrome 10% lebih banyak pada orang
dewasa. Wanita beresiko tiga kali lipat lebih banyak daripada pria dan terbanyak terjadi
pada usia 40-50 tahun.

2.2 Anatomi Carpal Tunnel


Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana
tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh beberapa
tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk dasar dan sisi-sisi
terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum
(transverse carpal ligament dan palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di
atas tulangtulang karpalia tersebut. 4
Di dalam terowongan tersebut terdapat saraf medianus yang berfungsi
menyalurkan sensori ke ibu jari, telunjuk dan jari manis serta mempersarafi fungsi otot-
otot dasar sisi dari ibu jari/otot tenar. Selain saraf medianus, di dalam terowongan
tersebut terdapat pula tendontendon yang berfungsi untuk menggerakkan jari-jari. Proses
inflamasi yang disebabkan stres berulang, cedera fisik atau keadaan lain pada
pergelangan tangan, dapat menyebabkan jaringan di sekeliling saraf medianus
membengkak. Lapisan pelindung tendon di dalam terowongan karpal dapat meradang
dan membengkak. Bentuk ligamen pada bagian atas terowongan karpal menebal dan
membesar. Keadaan tersebut menimbulkan tekanan pada serat-serat saraf medianus
sehingga memperlambat penyaluran rangsang saraf yang melalui terowongan karpal.
Akibatnya timbul rasa sakit, tidak terasa/kebas, rasa geli di pergelangan tangan, tangan
dan jari-jari selain kelingking. 8,9

2.3 Asal Mula Nervus Medianus


Nervus medianus bermula dari pleksus brachialis, pleksus ini terbentuk dari
cervical V – thorakal I yang membentuk tiga trunkus (superior, medius, dan inferior).
Trunkus ini kemudian membentuk fasikulus. Trunkus superior dan trunkus medius
membentuk fasikulus lateralis, trunkus inferior membentuk fasikulus medialis, sedangkan
dari ketiga trunkus tersebut akan membentuk fasikulus posterior. Nervus medianus
terbentuk dari penggabungan fasikulus medialis dengan fasikulus lateralis. Nervus
medianus tidak memersarafi lengan atas (pada lengan atas tidak bercabang) dan
memersarafi otot-otot fleksor pada lengan bawah. Pada daerah telapak tangan, nervus
medianus memersarafi otot-otot tenar yaitu Mm abduktor brevis, fleksor pollisis brevis,
dan opponen pollisis.
Pada bagian tengah telapak tangan, Nervus medianus memersarafi Mm
lumbrikales I dan II. Untuk sensoriknya pada bagian volar. Nervus medianus mengurus
sampai tiga setengah jari sedangkan untuk bagian dorsalnya mengurus jari medial ibu
jari, ujung jari telunjuk, jari tengah, dan bagian lateral ujung jari manis.

Gambar 2: Persarafan sensorik Nervus medianus bagian volar.9

Gambar 3: Persarafan .9
sensorik Nervus medianus bagian dorsal

2.4 Epidemiologi
Biasanya CTS terjadi pada perempuan berusia 40 – 60 tahun (Lubis et all,
2016) dengan tingkat prevalensi pada populasi umum 3,7 – 5,8 % (Arul, 2016). Hal ini
dikarenakan wanita memiliki terowongan karpal yang lebih kecil dibandingkan pria
(Saerang, 2015). Kejadian CTS ini telah menjadi pusat perhatian peneliti karena
merupakan salah satu jenis cummulative trauma disorders (CTD) yang paling banyak
dijumpai (Kisner, 2014). Karena permasalahan tersebut, akibatnya pergelangan tangan
menjadi terbatas dan tidak mampu berfungsi sebagaimana mestinya sehingga
berpengaruh terhadap pekerjaan sehari-hari (Saerang, 2015). Umumnya CTS terjadi
secara kronis dimana terjadi penebalan fleksor retinakulum yang menyebabkan tekanan
terhadap nervus medianus.

Angka kejadian CTS di Amerika Serikat telah diperkirakan sekitar 1-3 kasus per
1.000 orang setiap tahunnya dengan prevalensi sekitar 50 kasus dari 1.000 orang pada
populasi umum. National Health Interview Study (NIHS) memperkirakan bahwa
prevalensi CTS yang dilaporkan sendiri diantara populasi dewasa adalah sebesar 1.55%
(2,6 juta). CTS lebih sering mengenai wanita daripada pria dengan usia berkisar 25-64
tahun, prevalensi tertinggi pada wanita usia >55 tahun, biasanya antara 40-60 tahun.
Prevalensi CTS dalam populasi umum telah diperkirakan 5% untuk wanita dan 0,6%
untuk laki-laki CTS adalah jenis neuropati jebakan yang paling sering ditemui. Sindroma
tersebut unilateral pada 42% kasus (29% kanan, 13% kiri) dan 58% bilateral.11,12 Di
Indonesia, urutan prevalensi CTS dalam masalah kerja belum diketahui karena sampai
tahun 2001 masih sangat sedikit diagnosis penyakit akibat kerja yang dilaporkan karena
berbagai hal, antara lain sulitnya diagnosis. Pada penelitian pekerjaan dengan risiko
tinggi pada pergelangan tangan dan tangan melaporkan prevalensi CTS antara 5,6%
sampai dengan 15%. Pada pekerja perusahaan ban di Indonesia melaporkan prevalensi
CTS pada pekerja sebesar 12,7%. Diketahui bahwa terdapat hubungan positif antara
keluhan dan gejala CTS dengan faktor kecepatan menggunakan alat dan faktor kekuatan
melakukan gerakan pada tangan.13

2.5 Etiologi dan Faktor Risiko CTS

Penyebab pasti terjadinya CTS tidak diketahui, CTS berhubungan dengan


keadaan terkompresinya Nervus medianus sewaktu melalui kanal di bawah ligamentum
fleksorum transversum di daerah artikulasio radiokarpalis. Sedangkan faktor risiko
intrinsik yang menyebabkan nervus medianus terkompresi antara lain keturunan,
obesitas, kehamilan, penyakit seperti diabetes melitus, hipotiroid, dan rematoid artritis,
sedangkan faktor ekstrinsik antara lain tumor jinak (seperti ganglion, lipoma), kelainan
vaskuler, dan pekerjaan dengan alat getar.9

Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus juga dilalui
oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang mengakibatkan semakin padatnya
terowongan ini dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada nervus medianus sehingga
timbullah CTS. Pada sebagian kasus etiologinya tidak diketahui, terutama pada penderita
lanjut usia. Mekanisme patofisiologis terjebaknya saraf medianus adalah berbeda antara
pekerja dan bukan pekerja. Penyebab CTS menjadi 3 faktor, yaitu: (1) faktor intrinsik, (2)
faktor penggunaan tangan (penggunaan tangan yang berhubungan dengan hobi, dan
penggunaan tangan yang berhubungan dengan pekerjaan), (3) faktor trauma. 10 Faktor
intrinsik terjadinya CTS adalah sekunder, karena beberapa penyakit atau kelainan yang
sudah ada. Beberapa penyakit atau kelainan yang merupakan faktor intrinsik yang dapat
menimbulkan CTS adalah: (a) perubahan hormonal seperti kehamilan, pemakaian
hormone estrogen pada menopause, dapat berakibat retensi cairan dan menyebabkan
pembengkakan pada jaringan di sekeliling terowongan karpal, (b) penyakit/keadaan
tertentu seperti hemodialisis yang berlangsung lama, penyakit multiple myeloma,
Walderstroom’s macroglobulinemia, limphoma non Hodgkin, acromegali, virus (human
parvovirus), pengobatan yang berefek pada sistem imun (interleukin 2) dan obat anti
pembekuan darah (warfarin), (c) kegemukan (obesitas), (d) keadaan lain seperti merokok,
gizi buruk dan stres, (e) adanya riwayat keluarga dengan CTS, dan (f) jenis kelamin, hasil
penelitian menunjukkan bahwa wanita mempunyai risiko mendapat CTS lebih tinggi
secara bermakna dibandingkan laki-laki. CTS yang terjadi oleh karena penggunaan
tangan karena hobi atau pekerjaan adalah sebagai akibat inflamasi/pembengkakan
tenosinovial di dalam terowongan karpal. Penggunaan tangan yang berhubungan dengan
hobi, contohnya adalah pekerjaan rumah tangga (menjahit, merajut, menusuk, memasak),
kesenian dan olah raga.10 CTS yang berhubungan dengan pekerjaan meliputi kegiatan
yang membutuhkan kekuatan, penggunaan berulang atau lama pada tangan dan
pergelangan tangan, terutama jika faktor risiko potensial tersebut muncul secara
bersamaan misalnya: 1) Penggunaan tangan yang kuat terutama jika ada pengulangan, 2)
penggunaan tangan berulang dikombinasikan dengan beberapa unsur kekuatan terutama
untuk waktu yang lama, 3) konstan dalam mencegkeram benda, 4) memindahkan atau
menggunakan tangan dan pergelangan tangan terhadap perlawanan atau dengan kekuatan,
5) menggunakan tangan dan pergelangan tangan untuk getaran teratur yang kuat, 6)
tekanan biasa atau intermiten pada pergelangan tangan.10

2.6 Patofisiologi

Carpal tunnel termasuk lesi Nervus medianus bagian distal, dimana kompresi
nervus ini terjadi pada saat melalui terowongan karpal dengan gangguan sensorik berupa
(paresthesia dan dysesthesia) terutama pada ujung jari telunjuk, tengah, serta ibu jari.
Perkembangan selanjutnya akan terjadi gangguan motorik akibat dari atrofi otot-otot
tenar.9

9
Gambar 4: Penderita CTS yang mengalami atrofi otot tenar.

2.7 Menifestasi Klinis

Manefestasi CTS berupa gangguan sensorik sampai ganguan motorik. Gangguan


sensorik dapat berupa berkurangnya sampai hilangnya perasaan yang diurus oleh Nervus
medianus, pada bagian telapak (volar) tangan pada setengah jari I dan jari IV serta
seluruh jari II dan jari III (Gambar 2). Pada bagian punggung tangan (dorsal) pada bagian
medial jari I, ujung jari II, III, dan bagian lateral ujung jari IV. Sedangkan gangguan
motorik dapat berupa hambatan gerak oposisi, fleksi, ekstensi, adduksi, abduksi jari I
akibat atrofi otot-otot tenar (Gambar 4).9
2.7.1 Anamnesis
Gambaran klinis CTS adalah nyeri di tangan atau lengan terutama pada malam
hari atau saat bekerja, pengecilan dan kelemahan otot-otot eminensia tenar, hilangnya
sensasi pada tangan pada distribusi nervus medianus, parestesia seperti kesemutan pada
distribusi nervus medianus, kondisi ini sering bilateral. 10 Pada tahap awal gejala
umumnya berupa gangguan sensorik saja. Gangguan motoric hanya terjadi pada keadaan
yang berat. Gejala awal biasanya berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa
seperti terkena aliran listrik (tingling) pada jari dan setengah sisi radial jari sesuai dengan
distribusi sensorik nervus medianus, walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai
seluruh jari-jari.14
Gejala CTS terutama muncul setelah bekerja atau pada malam hari. Gejala
nokturnal menonjol pada sebagian besar pasien. Pasien sering terbangun di malam hari
atau pagi hari dan menjabat tangan mereka untuk meringankan gejala ini. Lokasi gejala
ini dapat dilaporkan sebagai keterlibatan seluruh tangan atau pada permukaan palmar ibu
jari dan dua atau tiga jari. 15 Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka jari-jari
menjadi kurang terampil misalnya saat memungut benda-benda kecil. Kelemahan pada
tangan juga sering dinyatakan dengan keluhan adanya kesulitan yang penderita sewaktu
menggenggam. Kelemahan dari tangan atau menjatuhkan benda merupakan tandatanda
yang mungkin menunjukkan kerusakan otot. Pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi otot
otot thenar (oppones pollicis dan abductor pollicis brevis) dan otot-otot lainya yang
diinervasi oleh nervus medianus.15,16

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan pada fungsi motorik, sensorik dan
otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat membantu
menegakkan diagnosa CTS adalah sebagai berikut:15,16
a) Flick's sign. Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak -
gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong
diagnosa CTS. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai pada penyakit
Raynaud.
b) Thenar wasting. Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-
otot thenar.
c) Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual maupun
dengan alat dinamometer. Penderita diminta untuk melakukan abduksi maksimal
palmar lalu ujung jari dipertemukan dengan ujung jari lainnya. Di nilai juga
kekuatan jepitan pada ujung jari-jari tersebut. Ketrampilan/ketepatan dinilai
dengan meminta penderita melakukan gerakan yang rumit seperti menulis atau
menyulam.
d) Wrist extension test. Penderita melakukan ekstensi tangan secara maksimal,
sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan.
Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes ini menyokong
diagnosa CTS.
e) Phalen's test. Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila selama
satu menit parestesia bertambah hebat, maka tes ini menyokong diagnosa.
Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan
diagnosa CTS.
f) Torniquet test. Dilakukan pemasangan torniquet dengan menggunakan tensimeter
di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit
timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa.
g) Tinel's sign. Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri pada
daerah distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada terowongan
karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.
Gambar 5 : Phalen’s test Gambar 6 : Tinel’s test

2.7.3 Pengukuran nyeri


Pengukuran Nyeri Salah satu pengukuran nyeri yaitu dengan menggunakan VAS,
VAS (Visual Analogue Scale) adalah suatu alat ukur yang digunakan untuk mengukur
intensitas nyeri dimana nyeri diukur dengan menggunakan garis lurus dengan ukuran 10
cm yang menggambarkan intensitas nyeri. Di ujung sebelah kiri garis diberi tanda yang
berarti “tidak nyeri” sedangkan di ujung sebelah kanan diberi tanda “nyeri yang tidak
tertahankan”. Pasien memberi tanda di sepanjang garis tersebut sesuai dengan intensitas
nyeri yang dirasakan, nyeri diukur sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Gambar 1
AlatUkur Nyeri dengan VAS

Gambar 7 : Visual Analogue Scale

2.8 Different Diagnosis

 Cervical radiculopathy. Biasanya keluhannya berkurang bila leher diistirahatkan


dan bertambah hila leher bergerak. Distribusi gangguan sensorik sesuai
dermatomnya.17
 Thoracic outlet syndrome. Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya selain otot
thenar. Gangguan sensorik dijumpai pada sisi ulnaris dari tangan dan lengan
bawah. 17
 Pronator teres syndrome. Keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri di telapak
tangan daripada CTS karena cabang nervus medianus ke kulit telapak tangan
tidak melalui terowongan karpal. 17
 de Quervain's syndrome. Tenosinovitis dari tendon muskulus abduktor pollicis
longus dan ekstensor pollicis brevis, biasanya akibat gerakan tangan yang
repetitif. Gejalanya adalah rasa nyeri dan nyeri tekan pada pergelangan tangan di
dekat ibu jari. KHS normal. Finkelstein's test : palpasi otot abduktor ibu jari pada
saat abduksi pasif ibu jari, positif bila nyeri bertambah. 17

2.9. Ultrasound
Ultrasound merupakan generator yang menghasilkan arus bolak–balik
berfrekuensi tinggi yang berjalan pada kabel koaksial pada transduser yang kemudian
dikonversikan menjadi
getaran suara oleh karena adanya efek piezoelectric.
a. Efek fisiologis
Efek–efek ultrasound yang telah banyak ditulis dan dikenal adalah efek secara langsung
dan sifatnya lokal, seperti:
1. Efek Mekanik
Jika gelombang ultrasound masuk ke dalam tubuh, maka efek pertama
yang terjadi didalam tubuh adalah efek mekanik. Gelombang ultrasound
menimbulkan adanya peregangan dan pemampatan didalam jaringan dengan
frekwensi yang sama dari ultrasound. Oleh karena itu terjadilah adanya variasi
tekanan didalam jaringan. Dengan adanya variasi tekanan inilah kemudian timbul
efek mekanik yang lebih dikenal dengan efek microtassage.
2. Efek Thermal
Micromassage yang ditimbulkan oleh ultrasound akan menimbulkan efek
panas didalam jaringan. Efek panas ini terutama terjadi pada daerah dimana
gelombang ultrasound direfleksikan, yaitu pada daerah perbatasan antara jaringan
yang satu dengan yang lain. Adanya refleksi ini dapat pula menimbulkan
interverensi yang akan menghasilkan adanya kenaikan intensitas. Efek panas yang
disebabkan oleh kenaikan intensitas ini dapat mencapai ukuran yang sangat tinggi,
sehingga akan menyebabkan adanya nyeri di dalam periosteum.
3. Efek piezoelektrik
Efek piezoelektrik adalah suatu efek yang dihasilkan apabila bahan-bahan
piezoelektrik seperti kristal kwarts, bahan keramik polycrystalline seperti
leadzirconatetitanate dan barium titanate mendapatkan pukulan atau tekaan
sehingga menyebabkan terjadinya aliran muatan listrik pada sisi luar dari bahan
piezoelektrik tadi. Pada manusia seperti pada jaringan tulang, kolagen dan protein
tubuh juga merupakan bahan-bahan piezoelektrik. Oleh karena itu apabila
jaringan-jaringan tadi mendapatkan suatu tekanan atau perubahan ketegangan
akibat mendapatkan aliran listrik dari ultrasonik akan menyebabkan perubahan
muatan elektrostatik pada membrane sel yang dapat mengikat ion-ion. Efek
piezoelektrik antar lain dapat meningkatkan metabolisme dan dapat dimanfaatkan
untuk penyambungan tulang.
4. Efek Penurunan Nyeri Ultrasound
Ultrasound dapat meningkatkan ambang rangsang selama aktivasi ujung-
ujung saraf sensorik ber-myelin tebal melalui efek thermal. Panas yang dihasilkan
oleh ultrasound dapat merangsang serabut saraf bermyelin dengan diameter besar
sehingga mengurangi nyeri melalui mekanisme gate control theory. Ultrasound
juga dapat meningkatkan kecepatan konduksi saraf bermyelin tebal sehingga
menciptakan efek counter iritan melalui mekanisme thermal.
b. Teknik aplikasi
1. Kontak langsung
Cara ini adalah yang paling banyak digunakan. Treatment-head diletakkan
tegak lurus terhadap permukaan tubuh yang diobati. Seperti yang telah diketahui,
bahwa udara akan merefleksikan gelombang ultrasound 100%. Oleh karenanya
penting sekali adanya medium antara kulit dan treatmenthead, dimana energi
ultrasound akan masuk ke dalam tubuh. Dewasa ini yang paling banyak
digunakan sebagai kontak medium adalah gel, karena mempunyai keuntungan
yaitu tidak mudah melenyap pada saat aplikasinya. Akan tetapi gelombang yang
dikeluarkan bersifat intermitten. Sehingga banyak energi yang direfleksikan,
karena daya refleksinya sangat besar.
2. Kontak tidak langsung
Jika bentuk permukaan tubuh tak teratur dan tidak memungkinkan adanya
kontak yang baik antara treatment-head dan kulit, maka disamping dapat
digunakan treat-ment-head yang kecil dapat pula digunakan metode lain yang
dikenal dengan sub aqual metode. Efek yang diharapkan dengan pemberian
ultrasound adalah untuk mengurangi nyeri pada tingkat spinal dan juga
menghancurkan atau merusak abnormal crosslink yang ada pada fascia sehingga
terjadi suatu proses peradangan baru yang terkontrol. Efek lain yang dihasilkan
adalah penurunan kecepatan konduksi saraf, peningkatan permeabilitas membran
sel, massage intra seluler, meningkatkan sirkulasi darah dan hiperemia kapiler.
Ultrasound juga dapat memecahkan/ depolimerisasi mukopolisakarida,
mukoprotein, glikoprotein dari jaringan yang terjadi adhesi. Akibat dari semua
efek yang telah disebutkan di atas diharapkan dapat mengurangi rasa nyeri yang
timbul. Dengan pemberian ultrasound maka perlengketan tersebut akan diurai
melalui mekanisme piezoelektrik. Dimana ultrasound dapat meningkatkan
ambang rangsang selama aktivasi dari ujung-ujung saraf sensoris bermyelin.
Melalui mekanisme thermal ultrasound dapat meningkatkan kecepatan konduksi
saraf serta menciptakan efek counter iritan dan dapat merangsang serabut saraf,
sehingga dapat mengurangi nyeri melalui mekanisme gate control theory, untuk
masuk ke jaringan fascia. Akan tetapi jika diberikan dengan tekhnik subaqual,
maka energi yang dikeluarkan dari treatment head akan sampai ke jaringan
fascianya, karena air memiliki kerapatan massa yang besar. Sebaiknya air yang
digunakan harus dimasak terlebih dulu, karena jika tidak akan terdapat
gelembung-gelembung udara yang menempel pada treatment-head dan kulit.
Seperti telah diketahui bahwa gelembung-gelembung udara ini akan menghalangi
proses perpindahan energi.18
2.9.1 Terapi Ultrasound Pada CTS
Peralatan yang dipergunakan pada terapi ultrasound adalah generator
penghasil frekuensi gelombang yang tinggi, dan tranducer yang terletak pada
aplikator. Tranducer terbuat dari kristal sintetik seperti barium titanate atau
sinkron timbal titanat yang memiliki potensi piezeloelectric yakni potensi untuk
memproduksi arus listrik bila dilakukan penekanan pada kristal. Terapi ultrasound
biasanya dilakukan pada rentang frekuensi 0.8 sampai 3 megahertz (800 sampai
dengan 3,000 kilohertz). Frekuensi yang lebih rendah dapat menimbulkan
penetrasi yang lebih dalam (sampai dengan 5 sentimeter). Frekuensi yang
umumnya dipakai adalah 1000 kilohertz yang memiliki sasaran pemanasan Pada
kedalaman 3 sampai 5 cm dibawah kulit. Pada frekuensi yang lebih tinggi
misalkan 3000 kilohertz energi diserap pada kedalaman yang lebih dangkal yakni
sekitar 1 sampai 2 cm. Gelombang suara dapat mengakibatkan molekul-molekul
pada jaringan bergetar sehingga menimbulkan energi mekanis dan panas. Kedaan
ini menimbulkan panas pada lapisan dalam tubuh seperti otot, tendon, ligamen,
persendian dan tulang. Penetrasi tinggi ultrasound bergantung pada jenis dan
ketebalan jaringan. Jaringan dengan kadar air yang tinggi menyerap lebih banyak
energi sehingga suhu yang terjadi lebih tinggi. Peningkatan suhu yang paling
tinggi dapat terjadi pada tulang dan jaringan lunak yang melekat padanya. Pada
pelaksanaan terapi ultrasound yakni gelombang kontinyu dan gelombang
intermittent (pulsed). Pada keadaan peradangan akut, gelombang intermitten lebih
dipilih. Gelombang kontinyu lebih menimbulkan efek mekanis seperti
meningkatkan permeabilitas membran sel dan dapat memperbaiki kerusakan
jaringan 19

Anda mungkin juga menyukai