Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kualitas rumah sakit sebagai institusi yang menghasilkan produk

teknologi jasa kesehatan sudah tentu tergantung juga pada kualitas pelayanan

medis dan pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Oleh karena

tumbuhnya persaingan antar rumah sakit yang semakin ketat dan tajam, maka

setiap rumah sakit dituntut untuk mempertinggi daya saing dengan berusaha

memberikan kepuasan kepada pasiennya (Nursalam, 2012)

Untuk memenangkan persaingan, rumah sakit harus mampu

memberikan pelayanan yang bermutu kepada pelanggannya (pasien), salah

satu diantaranya dengan memberikan asuhan keperawatan dalam praktek

keperawatan profesional. Untuk tercapainya asuhan keperawatan profesional

diperlukan suatu pendekatan yang disebut “proses keperawatan” (Mandala,

2013).

Dalam pelaksanaannya, proses keperawatan tak pernah lepas dari

proses interaksi yang terjadi antara perawat dan pasien. Hal ini terjadi karena

keperawatan didasarkan pada hubungan merawat dan membantu. Hubungan

ini adalah dasar dari interaksi yang membuat klien dan tim keperawatan

berusaha menemukan pemahaman atas kebutuhan klien. Tentu saja dalam

hubungan ini komunikasi yang baik sangat dibutuhkan dimana peran perawat

yakni mendengar, bicara dan bertindak untuk menegosiasikan perubahan dan


2

meningkatkan kesehatan klien kembali ke tingkat sehat. Hal ini

menggambarkan bahwa komunikasi memiliki arti penting dalam praktik

keperawatan untuk hasil yang optimal dalam melaksanakan asuhan

keperawatan (Mandala, 2013).

Kurangnya komunikasi antara staf rumah sakit dengan pasien

merupakan salah satu alasan keluhan umum pasien di rumah sakit. Pasien

sering tidak puas dengan kualitas dan jumlah informasi yang diterima dari

tenaga kesehatan. Tiga puluh lima sampai dengan empat puluh persen pasien

tidak puas berkomunikasi dengan dokter dan perawat, aspek yang paling

membuat ketidakpuasan adalah jumlah dan jenis informasi yang diterima

(Mandala, 2013).

Kepuasan atau ketidakpuasan adalah respon pelanggan terhadap

evaluasi ketidaksesuaian (disconfirmation) yang dipersepsikan antara harapan

awal dan kinerja aktual yang dirasakan (Tjiptono, 2014). Banyak faktor

penyebab ketidakpuasan pasien di rumah sakit, salah satunya adalah faktor

komunikasi dari dokter dan perawat. Tingkat kepuasan pasien sangat

tergantung pada bagaimana faktor tersebut di atas dapat memenuhi harapan.

Sebagai contoh faktor komunikasi verbal dan non verbal perawat dalam

komunikasi terapeutik apabila dilaksanakan tidak sesuai dengan spirit dalam

komunikasi tersebut maka yang dihasilkan adalah respon ketidakpuasan dari

pasien (Husnah, 2016).

Seorang pasien yang tidak puas pada gilirannya akan menghasilkan

sikap/perilaku tidak patuh terhadap seluruh prosedur keperawatan dan


3

prosedur medis misalnya menolak pasang infus, menolak minum obat,

menolak untuk dikompres panas/dingin, dan lain-lain. Akhirnya pasien akan

meninggalkan rumah sakit dan mencari jasa pelayanan yang bermutu di

tempat lain. Oleh sebab itu sudah saatnya kepuasan pasien menjadi bagian

integral dalam misi dan tujuan profesi keperawatan karena semakin

meningkatnya intensitas kompetisi global dan domestik, serta berubahnya

preferensi dan perilaku dari pasien untuk mencari pelayanan jasa keperawatan

yang lebih bermutu (Husnah, 2016).

Efektifitas komunikasi yang terapeutik dalam meningkatkan tingkat

kepuasan pasien sangat tergantung pada perawat sebagai komunikator dan

pasien sebagai komunikan. Perawat harus menyadari bahwa berkomunikasi

yang asertif dalam praktek keperawatan profesional sangat berpengaruh atau

membantu pasien dalam proses penyembuhan atau dalam memenuhi

kebutuhan dasarnya selama di rumah sakit, yang pada akhirnya dapat

menghasilkan suatu tingkat kepuasan tersendiri bagi pasien (Mandala, 2013).

Penelitian Husnah (2016) tentang analisa hubungan komunikasi verbal

dan non verbal perawat terhadap tingkat kepuasan pasien menyatakan bahwa

jumlah informasi yang diberikan oleh dokter kepada pasien rata-rata 18 jenis

informasi untuk diingat, ternyata hanya mampu mengingat 31%. Lebih dari

60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter dan perawat salah

mengerti tentang instruksi yang diberikan kepada mereka. Hal ini disebabkan

oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang


4

lengkap, penggunaan istilah-istilah medis (sulit untuk dimengerti) dan

banyaknya instruksi yang harus diingat oleh pasien.

Hasil penelitian Husnah (2016) tentang analisa hubungan komunikasi

verbal dan non verbal perawat terhadap tingkat kepuasan pasien menyatakan

bahwa dalam hal komunikasi dengan pasien, pendekatan komunikasi

terapeutik, dari semua perawat yang diteliti sebanyak 38 orang mendapatkan

nilai kurang. Hal ini disebabkan karena kurang disadari pentingnya

komunikasi oleh perawat dan rendahnya pengalaman perawat akan teori,

konsep dan arti penting komunikasi terapeutik dalam pemberian asuhan

keperawatan. Dari hasil penelitian Saelan tersebut, tidak menutup

kemungkinan yang sama terjadi pula di rumah sakit lain.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bhayangkara (2014) tentang

“Hubungan Kinerja Perawat Pelaksana dalam Melakukan Asuhan

Keperawatan dengan Kepuasan Pasien” ditinjau dari persepsi pasien di ruang

rawat inap Rumah Sakit Kepolisian Pusat Raden Said Sukanto menunjukkan

bahwa 80,9 persen pasien merasa tidak puas dan sebanyak 19,1 persen pasien

merasa puas dengan kinerja perawat pelaksana. Sedangkan dari data SPI R.S.

Bhayangkara Tk. II H.S. Samsoeri Mertojoso Surabaya pada tahun 2011

diperoleh bahwa pasien dinas POLRI yang tidak puas terhadap pelayanan

keperawatan sebanyak 25, 65 persen dari 49 keluhan pelayanan rumah sakit

melalui kontak telepon dan SMS (Bhayangkara, 2014).

Data awal yang peneliti peroleh dari RSUD Kota Baubau pada tahun

2017 diperoleh jumlah pasien yang dirawat di ruang perawatan bedah


5

sebanyak 142 pasien. Sedangkan di tahun 2018, pada bulan Januari-Maret

diperoleh jumlah 50. Sementara, berdasarkan observasi yang saya lakukan

pada tanggal 28 Maret di rumah sakit umum kota Baubau dengan mengambil

10 orang responden, 6 orang menunjukkan bahwa komunikasi perawat masih

kurang dalam pelayanan keperawatan sedangkan 4 orang lainnya sudah

menunjukan komunikasi yang baik dan ramah. Hal ini dibuktikan dengan

adanya beberapa keluhan seperti keterlambatan pelayanan, tidak ada

penjelasan pada saat melakukan tindakan pemasangan infus, perawat selalu

tidak memperkenalkan diri.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang “Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan

Tingkat Kepuasan Pasien di Ruang Bedah Kelas III Rumah Sakit Umum Kota

Baubau Tahun 2018

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Hubungan

Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Tingkat Kepuasan Pasien di Ruang

Bedah Kelas III Rumah Sakit Umum Kota Baubau Tahun 2018?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan komunikasi terapeutik perawat

dengan Tingkat Kepuasan Pasien di Ruang Bedah Kelas III Rumah Sakit

Umum Kota Baubau Tahun 2018.


6

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran komunikasi Terapeutik perawat di Ruang

Bedah Kelas III Rumah Sakit Umum Kota Baubau Tahun 2018.

b. Mengetahui gambaran tingkat kepuasan pasien di Ruang Bedah Kelas

III Rumah Sakit Umum Kota Baubau Tahun 2018.

c. Mengetahui hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan Tingkat

Kepuasan Pasien di Ruang Bedah Kelas III Rumah Sakit Umum Kota

Baubau Tahun 2018.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi rumah sakit

a. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia bidang keperawatan

sebagai pemberi pelayanan keperawatan, khususnya sikap dan

keterampilan dalam berkomunikasi.

b. Memberikan informasi tentang pentingnya pelatihan komunikasi

sebagai salah satu upaya yang harus terus menerus dilaksanakan dalam

meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien atau masyarakat.

2. Bagi perawat

a. Menambah pengetahuan dalam upaya meningkatkan kualitas personal

perawat sebagai “care giver”.

b. Dapat memberi gambaran atau informasi bagi peneliti berikutnya.

c. Menyadarkan perawat tentang pentingnya komunikasi yang terapeutik

dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.


7

d. Mengetahui setiap persoalan yang timbul pada jasa pelayanan

keperawatan khususnya komunikasi perawat seberapa jauh

memuaskan pasien dan mencari alternatif pemecahannya.

3. Bagi pasien

a. Agar dapat menerima pelayanan keperawatan yang lebih berkualitas

khususnya dalam penerapan komunikasi perawat dengan pasien dalam

praktek keperawatan profesional.

b. Agar lebih nyaman, puas dan betah pada suatu rumah sakit.
8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Kepuasan Pasien

1. Pengertian Kepuasan Pasien

Kepuasan pasien adalah perasaan senang atau kecewa yang dialami

pasien setelah membandingkan antara persepsi kinerja (atau hasil) suatu

produk dengan harapan-harapannya (Andri, 2014).

Nursalam (2012) menyebutkan bahwa kepuasan adalah perasaan

senang seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesenangan

terhadap aktivitas suatu produk dengan harapannya. Kepuasan adalah

perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah

membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja atau hasil

suatu produk dan harapan-harapannya.

Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul

sebagai akibat dari kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya setelah

pasien membandingkannya dengan apa yang diharapkannya (Pohan,

2015).

2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepuasan

Faktor-faktor yang dominan berhubungan dengan kepuasan

pelanggan di Rumah Sakit, ada kesamaan pandang dengan teori kepuasan

pelanggan yang telah digagas oleh Philip Kotler (1995) yang dikutip oleh

Lestari (2013) antara lain berupa kegiatan sebagai berikut:


9

a. Empaty

Berupa sikap petugas yang melakukan pelayanan dapat/bisa mengerti

perasaan yang dihadapi oleh para pelanggan (pasien).

b. Performance

Berupa tampilan fisik dan lingkungan sekitar rumah sakit.

c. Assurance

Keyakinan pengguna jasa kepada kemampuan rumah sakit.

d. Responship

Sikap tanggap rumah sakit terhadap kebutuhan para pengguna jasa.

e. Reability

Berupa keadaan tingkat profesionalisme petugas Rumah Sakit yang

memberi pelayanan kepada pelanggan (pasien).

3. Faktor yang Menyebabkan Ketidakpuasan Pasien

Menurut Nursalam (2012), ada enam faktor yang menyebabkan timbulnya

rasa tidak puas pelanggan terhadap suatu produk yaitu:

a. Tidak sesuai harapan dan kenyataan;

b. Layanan selama proses menikmati jasa tidak memuaskan;

c. Perilaku personel kurang memuaskan;

d. Cost terlalu tinggi, karena jarak terlalu jauh, banyak waktu terbuang

dan harga tidak sesuai;

e. Promosi/iklan tidak sesuai dengan kenyataan.


10

4. Cara Mengukur Kepuasan

Menurut Nursalam (2012), ada beberapa cara mengukur kepuasan

pelanggan:

a. Sistem keluhan dan saran;

b. Survei kepuasan pelanggan;

c. Pembeli bayangan;

d. Analisis kehilangan pelanggan.

Menurut Leonard L. Barry dan pasuraman “Marketing servis

competin through quality” (New York Freepress, 1991: 16) yang dikutip

Nursalam (2012) mengidentifikasi lima kelompok karakteristik yang

digunakan oleh pelanggan dalam mengevalusi kualitas jasa layanan, antara

lain:

1) Tangible (kenyataan), yaitu berupa penampilan fasilitas fisik, peralatan

materi komunikasi yang menarik, dan lain-lain;

2) Empati, yaitu kesediaan karyawan dan pengusaha untuk memberikan

perhatian secara pribadi kepada konsumen;

3) Cepat tanggap, yaitu kemauan dari karyawan dan pengusaha untuk

membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat serta

mendengar dan mengatasi keluhan dari konsumen;

4) Keandalan, yaitu kemampuan untuk memberikan jasa sesuai dengan

yang dijanjikan, terpercaya dan akurat dan konsisten;


11

5) Kepastian, yaitu berupa kemampuan karyawan untuk menimbulkan

keyakinan dan kepercayaan terhadap janji yang telah dikemukakan

kepada konsumen.

B. Tinjauan Tentang Komunikasi Terapeutik

1. Pengertian Komunikasi Terapeutik

Istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin yaitu communis yang

berarti membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua

orang atau lebih (Nasir dkk., 2015).

Komunikasi secara umum adalah suatu proses pembentukan,

penyampaian, penerimaan dan pengolahan pesan yang terjadi di dalam diri

seseorang dan atau di antara dua atau lebih dengan tujuan tertentu. Definisi

tersebut memberikan beberapa pengertian pokok yaitu komunikasi adalah

suatu proses mengenai pembentukan, penyampaian, penerimaan dan

pengolahan pesan. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang

dilakukan oleh seorang perawat pada saat melakukan intervensi

keperawatan sehingga memberikan khasiat terapi bagi proses

penyembuhan pasien (Nurhasanah, 2013).

2. Tujuan Komunikasi Terapeutik

Kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien sangat

dipengaruhi oleh kualitas hubungan perawat-klien, Bila perawat tidak

memperhatikan hal ini, hubungan perawat-klien tersebut bukanlah

hubungan yang memberikan dampak terapeutik yang mempercepat


12

kesembuhan klien, tetapi hubungan sosial biasa (Musliha & Fatmawati,

2014).

Tujuan komunikasi terapeutik adalah : (1) membantu pasien dalam

memperbaiki dan mengendalikan emosi sehingga membantu mempercepat

penyembuhan dari upaya medis; (2) membantu pasien untuk memperjelas

dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil

tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila klien percaya pada hal

yang diperlukan; (3) mengurangi keraguan, membantu dalam hal

mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya;

(4) memengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri; (5)

memberikan pelayanan prima (service excellence atau tanpa cacat)

sehingga dicapai kesembuhan dan kepuasan pasien; (6) menghasilkan

kepuasan semua pihak yang terlibat (win win solution bagi dokter,

perawat, dan pasien).

3. Jenis Komunikasi Terapeutik

Komunikasi ada tiga jenis yaitu verbal, tertulis, dan nonverbal

yang dimanifestasikan secara terapeutik:

a. Komunikasi Verbal, merupakan jenis komunikasi yang paling lazim

digunakan dalam pelayanan keperawatan di rumah sakit, adalah

dengan pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan

dengan tatap muka. Kata-kata adalah alat atau simbol yang dipakai

untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan respon

emosional, atau menguraikan obyek, observasi dan ingatan.


13

Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu

memungkinkan tiap individu untuk berespon secara langsung.

Komunikasi verbal yang efektif harus sesuai dengan hal-hal berikut:

(1) jelas dan ringkas, (2) perbendaharaan yaitu mengucapkan pesan

dengan istilah yang dimengerti klien, (3) arti denotatif dan konotatif

yaitu harus hati-hati memilih kata-kata sehingga tidak mudah untuk

disalahartikan, (4) selaan dan kesempatan berbicara, (5) waktu dan

relevansi, (5) humor yang dapat merangsang produksi katekolamin dan

hormon yang menimbulkan perasaan sehat, meningkatkan toleransi

terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas, dan memfasilitasi relaksasi

pernapasan (Musliha & Fatmawati, 2014).

b. Komunikasi Tertulis, sering digunakan perawat saat berinteraksi

dengan dokter, petugas kesehatan lainnya, dan teman sejawat.

Komunikasi tertulis yang dilakukan perawat dengan klien terjadi bila

klien dalam keadaan bisu atau ada gangguan pada artikulasi karena

penyakitnya (biasanya ada gangguan pada area Brocha) (Nasir dkk.,

2015).

Fungsi komunikasi tertulis adalah: (1) sebagai tanda bukti tertulis yang

otentik,misalnya persetujuan operasi; (2) alat pengingat/berpikir

bilamana diperlukan,misalnya surat yang telah diarsipkan; (3)

dokumentasi historis; (4) jaminan keamanan, misalnya surat

keterangan jalan; dan (5) pedoman atau dasar bertindak, misalnya surat

perintah, surat keputusan (Musliha & Fatmawati, 2014).


14

c. Komunikasi nonverbal, merupakan penyampaian kode nonverbal yaitu

suatu proses pemindahan atau penyampaian pesan tanpa menggunakan

kata-kata. Penyampaian kode nonverbal biasa disebut juga bahasa

isyarat atau bahasa diam (silent language). Komunikasi nonverbal

dapat diamati pada hal-hal berikut: (1) Metakomunikasi yaitu suatu

komentar terhadap isi pembicaraan dan sifat hubungan antara yang

berbicara yaitu pesan yang menyampaikan sikap dan perasaan

pengirim terhadap pendengar; (2) Penampilan personal yaitu yang

mempengaruhi persepsi klien terhadap pelayanan/asuhan keperawatan

yang diterima karena tiap klien mempunyai citra bagaimana

seharusnya penampilan seorang perawat; (3) Paralanguage yaitu

intonasi atau nada suara, (4) Gerakan mata (eye gaze) yaitu

mempertahankan kontak mata, (5) Kinesics yaitu gerakan tubuh yang

menggambarkan sikap, emosi, konsep diri, dan keadaan fisik, (6)

Sentuhan (touching) namun harus memperhatikan norma sosial (Nasir

dkk., 2015).

4. Tahap Komunikasi Terapeutik

Menurut Potter & Perry (2013), ada empat tahap dalam komunikasi

terapeutik, yaitu:

a. Tahap Pra-interaksi

Sebelum melakukan pertemuan pertama dengan klien, perawat

idealnya mengulangi informasi mengenai klien. Informasi tersebut

dapat meliputi riwayat keperawatan atau medis, entri dalam catatan


15

perawat mengenai catatan medis, atau diskusi dengan perawat lainnya

yang merawat klien. Fase pra interaksi adalah waktu dimana perawat

merencanakan pendekatan. Proses ini membantu menghindari

terjadinya stereotip pada klien dan membantu perawat untuk berpikir

mengenai nilai atau perasaan pribadi. Meskipun perawat mungkin

merasa resah mengenai klien, hal ini akan mempertajam proses mental

dan membantu perencanaan.

Langkah akhir dari fase pra interaksi adalah untuk menentukan

lokasi dan menetapkan kapan pertemuan dengan klien dilakukan untuk

pertama kalinya. Lingkungan yang nyaman, tersendiri dan menarik

akan mempercepat interaksi interpersonal. Perawat juga menyediakan

waktu yang cukup untuk diskusi.

b. Tahap Orientasi

Fase orientasi dimulai ketika perawat dan klien bertemu untuk

pertama kalinya. Fase ini menentukan bagaimana hubungan perawat-

klien selanjutnya. Perawat dan klien bertemu dan saling mengenal

nama.

Pengujian, klien seringkali menguji perawat selama fase

orientasi. Hal ini disebabkan oleh kesulitan klien dalam memahami

kebutuhan untuk membantu, ketakutan untuk mengekspresikan

perasaan yang sesungguhnya dan kecemasan yang lebih besar daripada

keinginan untuk berubah. Perawat yang sadar akan apa yang menjadi

ketakutan klien harus menunjukkan rasa percaya diri dan kompeten.


16

Perawat harus bersikap terbuka dan ingin tahu tentang masalah klien.

Perawat dapat menunjukkan keinginan untuk membantu dengan

menjelaskan tindakan yang diambil dan menunjukkan perawatan

dengan baik.

Membangun Kepercayaan, seringkali klien mempercayai

perawat namun tidak sanggup untuk meminta bantuan. Ketika klien

mulai mambagi perasaan dan sikapnya dengan perawat, mereka

menjadi mudah dikritik. Klien harus menjadi nyaman dalam

mengungkapkan informasi pribadi. Perhatian yang tulus adalah metoda

yang kuat untuk mendapatkan kepercayaan. Perawat menunjukkan

sensitivitas dan memahami kebutuhan klien. Menunjukkan perhatian

adalah salah satu cara untuk menetapkan rasa percaya.

Mengidentifikasi Masalah dan Keberhasilan, Dalam pertemuan

pertama, perawat mulai mengkaji status kesehatan klien. Melalui

observasi dan interaksi, perawat mulai membuat kesimpulan diagnosa.

Setelah masalah diidentifikasi, perawat dan klien bersama-sama

menentukan tujuan. Ketika klien telah mampu ikut serta dalam

penyusunan tujuan dan melihat keuntungan yang diinginkan, intervensi

perawatan akan menjadi lebih efektif.

Menjelaskan Peran, Setelah hubungan yang membantu dimulai,

peran harus ditetapkan. Hubungan yang membantu membutuhkan

partisipasi dari kedua belah pihak namun perawat memegang peran

sebagai pemimpin. Memimpin tidak berarti mengontrol dalam kesan


17

yang bersifat manipulatif. Klien bertindak sebagai penerima peran

sebagai partisipan dalam perawatan.

Menetapkan Kontrak, Setelah tujuan dan peran didefenisikan

dengan jelas, perawat mungkin dapat menetapkan kontrak dengan

klien. Umumnya fase ini membutuhkan pertukaran verbal. Elemen

kontrak meliputi lokasi, frekuensi dan panjang kontak dengan klien

dan durasi hubungan. Perawat tidak seharusnya melakukan kontrak

dengan cara yang terlalu formal tetapi harus memberikan garis besar

perjanjian dengan cara dimana ia menjelaskan harapan dan

menyimpulkan langkah untuk meningkatkan perkembangan ke arah

kesehatan.

c. Tahap Kerja

Selama fase bekerja dari hubungan yang membantu, perawat

berupaya untuk mencapai tujuan selama fase orientasi. Perawat dan

klien bekerja bersama. Kemampuan komunikasi adalah pendorong

klien untuk berkomunikasi dalam cara yang dapat meningkatkan

pertumbuhan mereka meliputi konfrontasi, kesiapan, dan pemaparan

diri.

Konfrontasi, Perawat membuat klien menyadari inkonsistensi

dalam tingkah laku atau pemikiran yang berhubungan dengan

pemahaman diri. Teknik ini membantu klien mengenali pertumbuhan

atau berhadapan dengan hal-hal penting.


18

Kesiapan, Perawat memfokuskan interaksi pada situasi

sekarang antara perawat dan klien. Klien belajar untuk memahami

bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain. Hal ini meliputi

menarik perhatian pada tingkah laku atau pernyataan klien.

Pemaparan Diri, Perawat menunjukkan pengalaman,

pemikiran, ide, nilai atau perasaan personal dalam konteks hubungan.

Hal ini bukan terapi untuk perawat. Hal ini akan menunjukkan kepada

klien bahwa pengalaman mereka dapat dipahami.

Memadukan Komunikasi dengan Tindakan Keperawatan,

Tindakan keperawatan dapat secara umum dibagi ke dalam empat

kelompok: fisiologis, psikologis, spiritual, dan sosioekonomi.

Tindakan fisiologis yang menyertai kebutuhan fisik klien seperti

nutrisi, eliminasi dan kenyamanan memiliki visibilitas tinggi. Sebagian

besar tindakan fisiologis bersifat non-verbal dan dilakukan secara

rutin. Visibilitas tinggi mereka membantu klien mengenali perawat

sebagai perilaku praktik yang baik.

Sebaliknya, tindakan keperawatan psikologis, sosioekonomik,

dan spiritual memiliki visibilitas yang rendah. Tindakan psikologis

memenuhi kebutuhan emosional. Tindakan sosioekonomik seperti

mengarahkan klien pada lembaga kesehatan komunitas, membantu

klien dalam beradaptasi dengan lingkungan. Tindakan spiritual

membantu klien mendapatkan dukungan untuk sistem kepercayaan

mereka.
19

Pemberian dukungan emosional atau mendidik keluarga klien

jelas membutuhkan komunikasi efektif, dan juga prosedur asuhan

keperawatan. Melalui komunikasi, perawat dapat menunjukkan rasa

percaya diri, kredibilitas dan pengetahuan yang diharapkan klien.

Komunikasi memudahkan semua tindakan kesehatan perawat.

Komunikasi terapeutik selama tugas dengan visibilitas tinggi

meningkatkan penerimaan dan pemahaman klien mengenai prosedur,

mengurangi kecemasan dan meningkatkan kepuasan klien dan

keinginannya untuk bekerja sama.

d. Tahap Terminasi

Pada tahap ini perawat mengakhiri pertemuan dalam

menjalankan tindakan keperawatan serta mengakhiri interaksinya

dengan klien. Dengan dilakukan terminasi, klien menerima kondisi

perpisahan tanpa menjadi regresi (putus asa) serta menghindari

kecemasan (Nasir,dkk, 2015).

Evaluasi Hasil yang Telah Dicapai, Hal vital pada masa

pemutusan adalah evaluasi hasil. Perawat mendorong dilakukannya

pengkajian atas ketepatan dan menentapkan hasil.

Perpisahan, Bergantung pada hubungan antara klien dan

perawat, klien mungkin akan merasa cemas atau ambivalen ketika

perpisahan makin dekat. Idealnya klien mengekspresikan perasaan

mengenai perpisahan. Perawat merencanakan waktu sehingga klien

dapat membagi perhatian dan ketakutannya.


20

5. Teknik Komunikasi Terapeutik

Potter & Perry (2013) mengidentifikasi teknik komunikasi

terapeutik sebagai berikut:

a. Menyimak dengan penuh perhatian yaitu merupakan metoda non

verbal untuk menunjukkan minat pada kebutuhan, pandangan dan

masalah klien;

b. Menunjukkan penerimaan yaitu keinginan untuk mendengar seseorang

tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan;

c. Mengajukan pertanyaan yang berhubungan yaitu metoda langsung dari

komunikasi untuk memperoleh informasi spesifik mengenai klien;

d. Parafrase yaitu mengulang pesan klien dengan kata-kata perawat

sendiri;

e. Menjelaskan yaitu tindakan yang menyatakan ulang sebuah pernyataan

yang sudah di utarakan atau dikirimkan oleh pengirim pesan;

f. Fokus yaitu memusatkan informasi pada elemen atau konsep kunci

dari pesan yang dikirimkan;

g. Menetapkan observasi yaitu cara perawat dalam memberikan respon

dengan bersama dengan klien berbagi tentang tingkah laku selama

komunikasi;

h. Memberikan informasi;

i. Mempertahankan ketenangan;

j. Menggunakan keasertifan (ketegasan) adalah mempertahankan hak

seseorang tanpa menyinggung oranglain yang tidak sepaham;


21

k. Penyimpulan yaitu pengulangan ringkas ide-ide utama yang telah

didiskusikan.

6. Hambatan Komunikasi Terapeutik

Hambatan komunikasi terapeutik dalam hal kemajuan hubungan

perawat klien terdiri dari lima jenis :

a. Resisten yaitu upaya klien untuk tetap tidak menyadari aspek

penyebab kecemasan yang dialaminya dan sering merupakan akibat

dari ketidaksetiaan klien untuk berubah ketika kebutuhan untuk

berubah telah dirasakan. Perilaku resisten biasanya diperlihatkan oleh

klien selama fase kerja, karena fase ini sangat banyak berisi proses

penyelesaian masalah;

b. Transferens adalah respon tidak sadar berupa perasaan atau perilaku

terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dalam

kehidupannya dimasa lalu;

c. Kontertransferens, biasanya timbul dalam bentuk respons emosional,

hambatan ini berasal dari perawat yang dibangkitkan atau dipancing

oleh sikap klien;

d. Pelanggaran batas, bisa terjadi jika perawat melampaui batas hubungan

yang terapeutik dan membina hubungan sosial ekonomi atau hubungan

personal dengan klien;

e. Pemberian hadiah, tidak pantas bila setiap pemberian hadiah

dihubungkan dengan tindakan perawat (Stuart, G.W., 1998 dalam

Suryani, 2015).
22

C. Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Tingkat Kepuasan

Pasien

Kepuasan pasien berhubungan dengan mutu pelayanan rumah sakit.

Dengan mengetahui tingkat kepuasan pasien, manajemen rumah sakit

dapatmelakukan peningkatan mutu pelayanan. Persentase pasien yang

menyatakan puasan terhadap pelayanan berdasarkan hasil survei dengan

instrumen yang baku (Nursalam, 2012).

Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam

hubungan antar manusia. Dalam proses keperawatan komunikasi menjadi

lebih bermakna karena merupakan metoda utama dalam

mengimplementasikan proses keperawatan. Perawat yang memiliki

keterampilan berkomunikasi secara terapeutik tidak saja akan mudah menjalin

hubungan rasa percaya dengan klien, mencegah terjadinya masalah legal,

memberikan kepuasan professional dalam pelayanan keperawatan dan

meningkatkan citra profesi keparawatan serta citra rumah sakit, tetapi yang

paling penting adalah memberikan pertolongan terhadap sesama manusia

(Nurhasanah, 2013).

Komunikasi dalam praktik keperawatan profesional merupakan unsur

utama bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan untuk mencapai

hasil yang optimal. Kegiatan keperawatan yang memerlukan komunikasi

seperti yang tercantum dalam Nursalam (2012) meliputi: timbang terima,

anamnesis, komunikasi melalui komputer, komunikasi rahasia klien,

komunikasi melalui sentuhan, komunikasi dalam pendokumentasian,


23

komunikasi antar perawat dan tim kesehatan lainnya, dan komunikasi antar

perawat dan pasien. Komunikasi interpersonal bukan sesuatu yang statis tetapi

bersifat dinamis. Hal ini berarti segala yang tercakup dalam komunikasi

interpersonal selalu dalam keadaan berubah baik itu pelaku komunikasi,

pesan, situasi, maupun lingkungannya (Hanafi & Selvia, 2013). Sedangkan

cara-cara sebagai panduan dalam membangun komunikasi interpersonal yang

efektif adalah dapat menciptakan ketertarikan dan menangkap perhatian,

membangun rasa simpati, percaya diri, mengaplikasikan tiga hal penting,

kejujuran dan empati, dan optimisme (Sajidin, 2014).

Peran komunikasi dalam pelayanan kesehatan tidak dapat dipisahkan

dari setiap pasien yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, tetapi

kadangkala pasien merasakan komunikasi yang sedang berjalan tidak efektif

karena kesalahan dalam menafsirkan pesan yang diterimanya. Jika kesalahan

penerimaan pesan terus berlanjut akan berakibat pada ketidakpuasan baik dari

pihak keluaga pasien maupun petugas kesehatan. Kondisi ketidakpuasan

tersebut akan berdampak pada rendahnya mutu pelayanan yang diberikan

petugas kesehatan kepada pasien yang pada akhirnya pasien akan lari pada

institusi pelayanan kesehatan lainnya. Oleh karena itu, alangkah bijaksana dan

tepat jika institusi pelayanan kesehatan (Rumah Sakit) dapat meningkatkan

kualitas pelayanannya. Salah satu bentuknya adalah dengan meningkatkan

komunikasi yang baik dan efektif melalui komunikasi terapeutik.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien adalah

komunikasi, dalam hal ini juga termasuk perilaku, tutur kata, keacuhan,
24

keramahan petugas, serta kemudahan mendapatkan informasi dan komunikasi

menduduki peringkat yang tinggi dalam persepsi kepuasan pasien rumah sakit.

Tidak jarang walaupun pasien/keluarganya merasa outcome tak sesuai dengan

harapannya, pasien/keluarga merasa cukup puas karena dilayani dengan sikap

yang menghargai perasaan dan martabatnya (Bhayangkara, 2014).

D. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas maka kerangka konsep dalam

penelitian ini yaitu sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Kepuasan Pasien
Komunikasi Terapeutik
Perawat

Keterangan:

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

E. Defenisi Operasional dan Kriteria Obyektif

Variabel Defenisi Kriteria Alat ukur Skala


Obyektif
Variabel Komunikasi 1. Baik: Jika Kuesioner Ordinal
Independen terapeutik skor nilai
Komunikasi adalah mencapai ≥
Terapeutik komunikasi 66,67%-
Perawat yang dilakukan 100%
perawat pada 2. Kurang
saat memberikan Baik: Jika
pelayanan pada skor nilai <
pasien di rumah 66,67%
sakit yang
diukur
berdasarkan
25

indikator
tahapan
komunikasi
terapeutik, yaitu
tahapan pra-
interaksi,
tahapan
orientasi,
tahapan kerja
dan tahapan
terminasi
Variabel Kepuasan pasien 1. Puas: Jika Kuesioner Ordinal
Dependen adalah hasil skor nilai
Kepuasan yang diterima mencapai ≥
pasien pasien, baik 66,67%-
perasaan senang 100%
atau kecewa 2. Kurang
terhadap Puas: Jika
pelayanan yang skor nilai <
diterima 66,67%

F. Hipotesis Penelitian

1. Ha ( Hipotesis Alternatif )

Ada hubungan Komunikasi terapeutik Perawat dengan Tingkat

Kepuasan Pasien di Ruang Bedah Kelas III Rumah Sakit Umum Kota

Baubau Tahun 2018.

2. Ho ( Hipotesis Nol )

Tidak ada hubungan Komunikasi terapeutik Perawat dengan

Tingkat Kepuasan Pasien di Ruang Bedah Kelas III Rumah Sakit Umum

Kota Baubau Tahun 2018.


26

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun

sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap

pertanyaan penelitiannya. Dalam pengertian lebih sempit desain penelitian

mengacu pada jenis atau macam penelitian yang dipilih untuk mencapai tujuan

penelitian. Berdasarkan tujuan penelitian desain penelitian yang digunakan

cross sectional yang bersifat analitik. Dimana peneliti melakukan observasi

atau pengukuran variabel pada satu saat. Kata satu saat bukan berarti semua

subjek diamati tepat pada saat yang sama, tetapi artinya tiap subjek hanya

diobservasi satu kali saja dan pengukuran variabel subjek dilakukan pada saat

pemeriksaan tersebut (Notoatmodjo, 2012).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Ruang Bedah Kelas III Rumah Sakit

Umum Kota Baubau.

2. Waktu Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan mulai tanggal 25 Juni-10 Juli Tahun 2018.


27

C. Populasi Dan Sampel

1. Populasi penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek

yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,

2012).

Berdasarkan rata-rata sensus pasien di ruangan perawatan bedah

Rumah Sakit Umum Kota Baubau maka ditentukan bahwa populasi dalam

penelitian ini adalah sebanyak 50 orang.

2. Sampel Penelitian

Menurut Sugiyono (2012), sampel adalah bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Teknik pengambilan

sampel dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan teknik total

sampling dimana semua jumlah populasi dijadikan sampel. Jadi jumlah

sampel dalam penelitian ini yaitu 50 orang

D. Instrument Penelitian

Instrument pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah kuesioner yang dikutip dari penelitian Salma (2015).

E. Tehnik Pengumpulan Data

1. Data Primer

Adalah data yang diperoleh langsung dari responden melalui

wawancara dan pengisian kuesioner yang telah di siapkan.


28

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diambil dari instansi kesehatan.

Data yang di peroleh dari dokumen-dokumen tertulis yang di dapat dari

Rumah Sakit Umum Kota Baubau Tahun 2018.

F. Tehnik Pengolahan Data

1. Coding yaitu memberikan kode pada data yang diperoleh dari hasil

kuesioner responden.

2. Editing yaitu mengoreksi kembali data sehingga tidak terjadi kesalahan

baik dalam penempatan maupun penjumlahan.

3. Skirining yaitu memberikan skor pada setiap hasil jawaban kuesioner

responden.

4. Tabulating yaitu menyusun data-data kedalam tabel sesuai dengan

kategorinya untuk selanjutnya dianalisis.

Cara pengolahan data dalam penelitian ini yaitu dengan

menggunakan bantuan komputer program SPSS (statistica product and

service solution) versi 21,00.

G. Penyajian dan Analisis Data

1. Penyajian Data

Penyajian data di lakukan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi

yang di sertai narasi sebagai penjelasan.

2. Analisis Data

Data yang disajikan dengan mendistribusikan melalui analisis

univariat dan bivariat.


29

a. Analisa Univariat yang dilakukan dengan tiap Variabel dari hasil

penelitian, tujuan dari analisa ini hanya untuk menghasilkan

distribusi dan persentase dari tiap variabel (Sugiyono, 2012).

b. Analisis Bivariat ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara

variabel dependen dan variabel independen menggunakan uji Chi

Square dengan derajat kemaknaan 0,05. Bila nilai p value ≤ α (0,05)

berarti hasil perhitungan statistik bermakna (signifikan) dan apabila

nilai p < α (0,05) berarti hasil perhitungan statistik tidak bermakna

(tidak signifikan).

H. Etika Penelitian

Adapun prinsip-prinsip dalam etika penelitian adalah sebagai

berikut :

1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden (Informed Consent)

Lember persetujuan ini akan diberikan kepada subyek yang

akan menjadi sampel dalam penelitian. Subyek yang menjadi sampel

penelitian akan mendapatkan penjelsan secara detail tengtang maksud

penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian diadakan. Selain

hal tersebut subyek yang menjadi sampel juga diberikan informasi

lain seperti: penjelasan bahwa responden bebas dari eksploitasi dan

informasi yang didapatkan tidak digunakan untuk hal-hal yang

merugikan responden dalam bentuk apapun, hak-hak selama dalam

penelitian, hak untuk menolak menjadi responden dalam penelitian,


30

kewajian apabila bersedia menjadi responden, dan kerahasiaan

identitas yang menjadi subyek penelitian.

2. Tanpa Nama (Anonymity)

Kerahasiaan responden harus terjaga dengan tidak

mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data maupun pada

lembar kuisioner, tetapi hanya dengan memberikan kode-kode

tertentu sebagai identifikasi responden.

3. Rahasia (Confidentiality)

Informasi yang diberikan responden akan terjamin

kerahasiaannya karena peneliti dalam pemanfaatan informasi yang

diberikan responden hanya menggunakan kelompok-kelompok data

sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian.

Anda mungkin juga menyukai