Makalah ini di buat sebagai salah satu syarat memenuhi tugas Pendidikan Kewarganegaraan
dari ibu Dwi Retno Ayu
Di susun oleh :
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan kita nikmat iman
dan kesehatan, sehingga penulis diberi kesempatan yang luar biasa ini yaitu kesempatan
untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang “Pemilihan Kepala Daerah Pada Masa
Pandemi Covid-19.”
Sekaligus pula saya menyampaikan rasa terima kasih yang sebanyak-banyaknya
untuk ibu Dwi Retno Ayu selaku guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang
telah menyerahkan kepercayaannya kepada penulis guna menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu.
Saya juga berharap dengan sungguh-sungguh supaya makalah ini mampu berguna
serta bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan terkait pembelajaran
dari pemilihan umum kepala daerah di era pandemi ini
Selain itu saya juga sadar bahwa pada makalah ini dapat ditemukan banyak sekali
kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, saya benar-benar menanti kritik
dan saran untuk kemudian dapat saya revisi dan saya tulis di masa yang selanjutnya, sebab
sekali kali lagi saya menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa disertai saran
yang konstruktif.
Di akhir saya berharap makalah ini dapat dimengerti oleh setiap pihak yang membaca.
Saya pun memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam makalah terdapat perkataan
yang tidak berkenan di hati.
Penyusun
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemilihan Kepala Daerah Merupakan institusi demokrasi lokal yang penting karena
dengan adanya Pemilihan Kepala Daerah, Kepala Daerah yang akan memimpin daerah
akan terpilih melalui tangan-tangan masyarakat lokal secara langsung. Keikutsertaan
Rakyat dalam pemilihan Kepala Daerah secara serentak, dapat dipandang juga sebagai
wujud pertisipasi dalam proses pemerintahan, sebab melalui lembaga masyarakat ikut
menentukan kebijakan dasar yang akan dilaksanakan pemilih terpilih. Akan tetapi masih
banyak problema yang menjadi dilema di setiap pelaksaan pemilihan, dengan munculnya
pemilihan Kepala Daerah serentak yang telah di jadwalkan akan di undur di karenakan
kedaruratan kesehatan masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Bahwa
berdasarkan keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang penetapan kedaruratan
kesehatan masyarakat. Corona Virus Desease 2019 (COVID-19), yang menetapkan Corona
Virus Desease 2019 (COVID-19) sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan
kesehatan masyrakat dan wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, termasuk upaya untuk penyelenggaraan pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/ atau Wali Kota dan Wakil
Wali Kota Tahun 20201. Namun akibat pandemi COVID-19 ini, KPU akhirnya
mengeluarkan surat keputusan KPU Nomor: 179/PL.02-kpt/01/KPU/III/2020 yang antara
lain mengatur penundaan beberapa tahapan Pilkada 2020, di antaranya pelantikan dan masa
kerja Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan,
pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dan pelaksanaan pencocokan
dan penelitian (coklit), serta pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih. Penundaan
beberapa tahapan pilkada di atas dapat menimbulkan berbagai dampak dalam
penyelenggaraannya, baik yang sifatnya positif maupun negatif. Dampak positif misalnya,
penundaan ini memberikan ruang bagi calon independen untuk menyiapkan persyaratan
dukungan sebagai calon perseorangan. Partai politik juga bisa relatif mengalami relaksasi
dalam melakukan proses rekrutmen calon kepala daerah.
C. TUJUAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian demokrasi
2. Untuk mengetahui terkai kepala daerah dan wakil serta tugas-tugas nya
3. Untuk mengetahui pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak yang
berlaku di Indonesia berdasarkan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
4. Untuk mengetahui bagaimana peran KPU menyelenggarakan pilkada serentak pada
masa pandemi
5. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pilkada serentak pada masa pandemi.
D. MANFAAT MAKALAH
1. Untuk memperdalam pengetahuan tentang pemilukada bagi penulis.
2. Untuk melatih dan memperdalam penulisan ilmiah.
3. Untuk menambah wawasan serta guna menyelesaikan proses tugas Pra UTS sebagai
mahasiswa Prodi D-3 Analis Kimia.
4. Memberikan informasi ilmiah tentang perkembangan dan kemajuan pemilihan kepala
daerah secara langsung dalam mewujudkan kedaulatan rakyat.
PEMBAHASAN
A. DEMOKRASI SECARA UMUM
1. PENGERTIAN DEMOKRASI
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “Demos” dan “Kratos”. Demos
bermakna rakyat atau khalayak, sementara Kratos bermakna pemerintahaan. Demokrasi
sebagai sistem pemerintahan yang mengijinkan dan memberikan hak, kebebasan kepada
warga negaranya untuk berpendapat serta turut serta dalam pengambilan keputusan di
pemerintahan. Berikut beberapa pengertian demokrasi menurut para ahli:
a) Menurut C.F. Strong, demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana mayoritas rakyat
berusia dewasa turut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan, yang kemudian
menjamin pemerintahan mempertanggungjawab kan setiap tindakan dan keputusannya.
b) Menurut Haris Soche, Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan rakyat, karenanya
dalam kekuasaan pemerintahan terdapat porsi bagi rakyat atau orang banyak untuk
mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan orang lain atau badan
yang bertanggung jawab memerintah.
c) Menurut Montesquieu, Kekuasaan negara harus dibagi dan dilaksanakan oleh tiga
lembaga atau institusi yang berbeda dan terpisah satu sama lainnya, yaitu pertama,
legislatif yang merupakan pemegang kekuasaan untuk membuat undang-undang,
kedua, eksekutif yang memiliki kekuasaan dalam melaksanakan undang-undang, dan
ketiga adalah yudikatif, yang memegang kekuasaan untuk mengadili pelaksanaan
undang-undang. Dan masing-masing institusi tersebut berdiri secara independen tanpa
dipengaruhi oleh institusi lainnya.
d) Menurut Aristoteles, prinsip demokrasi adalah kebebasan, karena hanya melalui
kebebasanlah setiap warga negara bisa saling berbagi kekuasaan di dalam negaranya.
e) Menurut John L Esposito, Pada Sistem Demokrasi semua orang berhak berpartisipasi,
baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Selain itu, tentu saja dalam lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas
antara unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
f) Menurut Affan Gaffa, demokrasi sendiri terbagi menjadi dua definisi yang pertama jika
diartikan secara normatif, adalah demokrasi yang secara ideal ingin diwujudkan oleh
3. CIRI-CIRI DEMOKRASI
a) Memiliki Perwakilan Rakyat
Indonesia memiliki lembaga legislatif bernama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
telah dipilih melalui pemilihan umum. Sehingga urusan negara, kekuasaan dan
kedaulatan rakyat kemudian diwakilkan melalui anggota DPR ini.
b) Keputusan Berlandaskan Aspirasi dan Kepentingan Warga Negara
Seluruh Keputusan yang ditetapkan oleh Pemerintah berlandaskan kepada aspirasi dan
kepentingan warga negaranya, dan bukan semata-mata kepentingan pribadi atau
kelompok belaka. Hal ini sekaligus mencegah praktek korupsi yang merajalela.
c) Menerapkan Ciri Konstitusional
Hal ini berkaitan dengan kehendak, kepentingan atau kekuasaan rakyat. Dimana hal
tersebut juga tercantum dalam penetapan hukum atau undang-undang. Hukum yang
tercipta pun harus diterapkan dengan seadil-adilnya.
d) Menyelenggarakan Pemilihan Umum
Terdapat 10 pilar atau prinsip demokrasi konstitusional Indonesia menurut Pancasila dan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni sebagai berikut:
1) Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut pemilihan
adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi, dan/atau Kabupaten
Kota berdasarkan pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
2) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Gubernur dan Wakil
3) Gubernur untuk Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk Kabupaten serta Walikota dan
Wakil Walikota untuk Kota.
Pesta akrab demokrasi Indonesia yang digelar di tahun 2015 merupakan Pilkada serentak
pertama kali yang dilaksanakan di Indonesia. Pada tahun politik saat itu, calon kepala daerah
maju lewat partai politik dan tidak sedikit juga maju lewat perseorangan. Akan tetapi pada
daerah tertentu pemilihan kepala daerah hanya di ikuti oleh satu calon yng disebut sebgaai
calon tunggal fenomena calon tunggal pilkada hanya diikuti satu calon, tak di sangka-sangka
muncul dalam perhelatan pilkada serentak 2015.
Pelaksanaan pilkada yang hanya diikuti satu pasang calon tidak didukung oleh peraturan
yang memadai. Sehingga lahirlah putusan MK Nomor 100/PUU- XIII/2015. Dimana putusan
Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU/XIII/2015 hanya mengatur ketentuan mekanisme
plebisit yang meminta pemilih menentukan pilihan setuju atau tidak setuju atas satu pasangan
calon yang ditawarkan.
Pemilihan kepala daerah secara langsung telah menjadi perkembangan baru dalam
memahami “dipilih secara demokratis” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD
RI Tahun 1945. Oleh karena itu jika UU No.23 Tahun 2014 memberikan ruang yang luas
terhadap pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Hal ini memang merujuk ke
Pasal 18 Ayat (4) UUD RI tahun 1945 itu. Dalam perspektif sosiologis ada desakan sosial yang
bergeloga dan bergejolak ketika era repormasi yang menuntut adanya demokratisasi dan
transparansi dalam pemerintahan baik pusat maupun daerah. Salah satu wujud dari
demokratisasi itu adalah dilaksanakanya pemilihan kepala daerah secara langsung. Dengan
demikian diharapkan kepada daerah yang benar-benar representativ. Apresiasi rakyat lebih
terakomodasi dengan pemilihan kepala daerah secara langsung itu. Tetapi sistem yang
demikian memang masih menimbulkan masalah yakni ketika calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah harus melalui partai politik. UU No 32 tahun 2004 “ menyebutkan peserta
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara
berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”
Kemudian pada massa orde baru, sebagai tindak lanjut dari peristiwa G 30 S PKI yang
kemudian diikuti dengan lahirnya masa orde baru, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 5
Tahun 1974 tentang pokok-pokokk pemerintahan di Daerah, UU tersebut mengatur sistem
pemilihan kepala daerah dengan cara pencalonan oleh fraksi di DPRD yang memenihu syarat,
kemudian menominas ikan calon kepala daerah tersebut kepada presiden dan kemudian
diputuskan dan di angkat oleh presiden.
Menurut pasal 3 UU No. 22 Tahun 2014, Gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi
secara demokratis berdasarkan asas bebas, terbuka, jujur dan adil. Sedangkan bupati dan
walikota dipilih oleh anggota DPRD kabupaten/kota secara demokratis berdasarkan asas bebas,
terbuka, jujur dan adil. Pilkada dilaksanakan setiap lima tahun sekali serentak secara nasional
Perpu No 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan walikota ditetapkan
menjadi Undang-Undang No 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti
Undang-Undang nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, Walikot, menjadi
Undang-Undang. Ketentuan dalam peraturan pemerintahan pengganti Undang-Undang nomor
1 Tahun 2014 yang telah ditetapkan menjadi UU No.1 Tahun 2015 dirasakan masih terdapat
beberapa inkonsistensi dan memisahkan sejumlah kendala jika dilaksanakan, oleh karenaya
perlu disempurnakan. Penyelenggaraan pilkada menurut UU No.8 Tahun 2015 menjadi
penyempurnaan dari UU No.1 Tahun 2015. Beberapa penyempurnaan tersebut antara lain:
penyelenggaran pemilihan, tahapan penyelenggaran pemilihan, pasangan calon, persyaratan
calon perseorangan, penetapan calon terpilih, persyaratan calon dam pemungutan secara
serentak. Adanya perubahan sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia ditandai dengan telah
diberlakukanya bebrbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan pemerintahan daerah.
Dalam konteks sejarah pemilihan kepala daerah, beberapa gugatan perselisihan hasil pilkada
kepengadilan tinggi/ mahkamah agung hanya dapat diajukan apabila mempengaruhi hasil
penetapan perolehan suara oleh KPU secara signifikat.
Hal ini berdampak pada manusia post modern, yang identik dengan spesialisasi dan
kedalaman. Dunia dan budaya siber inilah yang dapat dimanfaatkan untuk menjadi solusi
pelaksanaan pilkada langsung di tengah pandemi Covid-19. Pilkada langsung yang
menggunakan sistem pemilu elektronik. Pemilu elektronik, selama ini sudah di diskusikan di
Indonesia, namun masih terbatas pada tataran refleksi. Kunjungan kerja anggota DPR, untuk
melihat sistem Pemilu elektronik di beberapa negara, eloknya dibarengi dengan aksi dan
implementasi (bukan hanya refleksi). Pemilu elektronik dapat diartikan sebagai sistem
pemilihan dengan memanfaatkan media elektronik, baik komputer ataupun jaringan internet
(Hardjaloka&Megawati, 2011). Pemilu elektronik, tidak terbatas pada proses penyaluran hak
suara, melainkan meliputi pula proses pendaftaran calon, verifikasi pemilih, kampanye,
pemungutan suara, penghitungan suara, hingga pengumuman hasil. Pemilu elektronik paling
tidak pernah dipraktikan ditingkat desa, seperti di kabupaten Jembrana (Hardjaloka &
Megawati), kabupaten Wonosobo, dan 2019 di Kabupaten Malang (Sobari, 2019), sehingga
dapat kita jadikan percontohan dalam analisa. Indonesia memerlukan persiapan dan
penyesuaian konten, medium, dan nilai, untuk menerapkan pemilu elektronik.
Namun kita perlu menyadari,sebagai sebuah sistem, pemilu elektronik juga memiliki
kerentanan (Hardjaloka & Megawati, 2011), yakni:
Pola pilkada dengan pemilu elektronik mungkin dapat menjadi solusi. Terlebih DPR dan
pemerintah selama ini telah berusaha merancangkan dan membangun sistem pemilu elektronik
di Indonesia. Pandemi Covid-19 mungkin bisa menjadi katalisator, yang mempercepat
perancangan dan pembangunan sistem pemilu elektronik tersebut. Kita perlu re-kreasi (re-
create), membuat atau membangun kembali sebuah sistem yang memungkin kan pemilu,
sukses, dan demokrasi tetap berjalan. Terutama, ketika masa pandemi seperti ini, yang tidak
memungkinkan kita berkumpul secara fisik. Maka kehadiran sistem pemilu elektronik, jadi
Maka, KPU sebagai penyelenggara hendaknya mengatur beberapa hal terkait protokol
kesehatan dalam penyelenggaraan pilkada (Landman& Splendore,2020), diantaranya:
• Pembatasan jumlah masa ketika kampanye atau kegiatan-kegiatan politik lainnya yang
menyangkut pilkada
• Mengatur pola dan mekanisme verifikasi dan pencocokan data Pemilih oleh petugas
(seperti yang telah dilaksanakan, dari yang dulunya mendatangi tiap rumah, sekarang
dikoordinasi oleh Ketua RT) termasuk data dukungan calon perseorangan
• Pembatasan jumlah pemilih yang diperkenankan berada dalam Tempat Pemungutan
Suara (TPS)
• Menyediakan cairan pembersih tangan, alat pengukur suhu tubuh, dan bilik khusus
untuk pemilih yang terindikasi demam di setiap TPS
• Mewajibkan pengukuran suhu tubuh kepada setiap pemilih atau petugas yang hendak
memasuki TPS
• Mewajibkan petugas melakukan pemeriksaan kesehatan umum di fasilitas kesehatan
tertentu yang ditunjuk untuk memastikan kesehatan dan kesiapan fisik sebelum
bertugas
• Mewajibkan pemilih maupun petugas menggunakan alat pelindung diri berupa masker
dan beberapa perangkat lainnya
• Memfasilitasi dan menjamin hak pilih warga yang berada di luar daerah pemilih,
dengan opsi pengiriman surat suara melalui kantor pos layaknya pemilu bagi WNI di
luar negeri.
Ketentuan mengenai 200 andemic kesehatan itu hendaknya di norma kan dalam PKPU yang
juga memuat sanksi-sanksi tertentu agar memiliki kekuatan berlaku mengikat dan efektif.
Protokol kesehatan yang demikian ketat memang harus diterapkan ketika kita memilih
melaksanakan pilkada secara langsung di TPS. Korea Selatan pun melaksanakan 200 andemic
PENUTUP
KESIMPULAN
https://images.app.goo.gl/WbcMxYUJyUJRqyyz https://images.app.goo.gl/2AmzdDHNtSvWJ1My7
https://images.app.goo.gl/xVnrmhdNdnhZAqYp8
https://images.app.goo.gl/bPeTQqgXheQi6vkx7