Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Mikobakterium tuberkulosis. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga

memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ

paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia.

Insidensi TB dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di seluruh

dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan, baik

dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun

diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia menempati

urutan ketiga setelah India dan China dalam hal jumlah penderita di antara 22 negara dengan

masalah TB terbesar di dunia.

Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992, menunjukkan

bahwa Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit kedua penyebab kematian, sedangkan pada

tahun 1986 merupakan penyebab kematian keempat. Pada tahun 1999 WHO Global

Surveillance memperkirakan di Indonesia terdapat 583.000 penderita Tuberkulosis (TB) baru

pertahun dengan 262.000 BTA positif atau insidens rate kira-kira 130 per 100.000 penduduk.

Kematian akibat Tuberkulosis (TB) diperkirakan menimpa 140.000 penduduk tiap

tahun. Jumlah penderita TB paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat.

Untuk Provinsi Sulawesi Tenggara, jumlah penderita TB pada tahun 2016 di

Sulawesi Tenggara ditemukan 3.105 kasus, menurun dibandingkan tahun 2015 dengan 3.268

kasus. Pada tahun 2017 di Sulawesi Tenggara ditemukan 2.587 kasus, menurun dibandingkan

tahun 2016 dengan 3.105 kasus. Pada tahun 2018 di Sulawesi Tenggara ditemukan 3.965

kasus, meningkat dibandingkan tahun 2017 dengan 2.587 kasus. Sedangkan pada tahun 2018

di Sulawesi Tenggara ditemukan 4.551 kasus, meningkat dibandingkan tahun 2018 dengan

3.965 kasus.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari Tuberculosis?

1
2. Apa saja etiologi dari Tuberculosis?

3. Apa saja manifestasi klinis dari Tuberculosis?

4. Bagaimana patofisiologis dari Tuberculosis?

5. Apa saja determinan dari Tuberculosis?

6. Bagaimana distribusi kasus penyakit dalam 4 tahun terakhir di provinsi sulawesi

tenggara?

7. Apa saja penatalaksanaan dari Tuberculosis?

8. Apa saja permasalahan Tuberculosis saat ini?

C. Tujuan

1 Untuk mengetahui definisi dari tuberculosis.

2 Untuk mengetahui etiologi dari tuberculosis.

3 Untuk mengetahui manifestasi klinis dari tuberculosis.

4 Untuk mengetahui patofisiologis dari tuberculosis.

5 Untuk mengetahui determinan dari Tuberculosis.

6 Untuk mengetahui distribusi kasus penyakit dalam 4 tahun terakhir di provinsi sulawesi

tenggara.

7 Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Tuberculosis.

8 Untuk mengetahui permasalahan dan solusi program TB saat ini.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC

(Mycobacterium tuberculosis) (Kemenkes RI, 2013).

Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru.

Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya

termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002).

Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh

hipersensifitas yang diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity) (Wahid dan Suprapto,

2014).

B. Etiologi
Penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini

berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh

karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (Depkes RI, 2008). Basil ini tidak

berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari dan sinar ultraviolet

(Nurarif dan Kusuma, 2013), tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap

dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur selama beberapa tahun

(Depkes RI, 2008).

Ada dua macam mikobakteria tuberkulosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe

bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa

berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TBC terbuka (Nurarif dan

Kusuma, 2013).

3
C. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala Tuberculosis menurut Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam (2006) dapat

bermacam-macam antara lain :

1. Demam

Umumnya subfebris, kadang-kadang 40-410C, keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya

tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk.

2. Batuk

Terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk

radang. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif). Keadaan setelah timbul

peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum atau dahak). Keadaan yang lanjut

berupa batuk darah haematoemesis karena terdapat pembuluh darah yang cepat.

Kebanyakan batuk darah pada TBC terjadi pada dinding bronkus.

3. Sesak nafas

Pada gejala awal atau penyakit ringan belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan

ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah setengah bagian

paru-paru.

4. Nyeri dada

Gejala ini dapat ditemukan bila infiltrasi radang sudah sampai pada pleura, sehingga

menimbulkan pleuritis, akan tetapi, gejala ini akan jarang ditemukan.

5. Malaise

Penyakit TBC paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan

anoreksia, berat badan makin menurun, sakit kepala, meriang, nyeri otot dan keringat

malam. Gejala semakin lama semakin berat dan hilang timbul secara tidak teratur.

D. Patofisiologi
Tempat masuk kuman mycobacterium adalah saluran pernafasan, infeksi tuberculosis

terjadi melalui (airborn) yaitu melalui instalasi dropet yang mengandung kuman-kuman basil

tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Basil tuberkel yang mempunyai permukaan

alveolis biasanya diinstalasi sebagai suatu basil yang cenderung tertahan di saluran hidung atau

cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruangan alveolus

biasanya di bagian lobus atau paru-paru atau bagian atas lobus bawah basil tuberkel ini

4
membangkitkan reaksi peradangan, leukosit polimortonuklear pada tempat tersebut dan

memfagosit namun tidak membunuh organisme tersebut.

Setelah hari-hari pertama masa leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang

terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler

ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat

juga berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak, dalam sel basil juga

menyebar melalui gestasi bening reginal. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih

panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh

limfosit, nekrosis bagian sentral lesi yang memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti

keju-lesi nekrosis kaseora dan jaringan granulasi di sekitarnya terdiri dari sel epiteloid dan

fibrosis menimbulkan respon berbeda, jaringan granulasi menjadi lebih fibrasi membentuk

jaringan parut akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.

Lesi primer paru-paru dinamakan fokus gholi dengan gabungan terserangnya

kelenjar getah bening regional dari lesi primer dinamakan komplet ghon dengan mengalami

pengapuran. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan dimana

bahan cairan lepas ke dalam bronkus dengan menimbulkan kapiler materi tuberkel yang

dilepaskan dari dinding kavitis akan masuk ke dalam percabangan keobronkial. Proses ini

dapat terulang kembali di bagian lain dari paru-paru atau basil dapat terbawa sampai ke laring,

telinga tengah atau usus.

Kavitis untuk kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dengan meninggalkan

jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus rongga. Bahan perkijaan dapat

mengontrol sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung, sehingga kavitasi

penuh dengan bahan perkijuan dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang terlepas. Keadaan ini

dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama dan membentuk lagi hubungan dengan

bronkus dan menjadi limpal peradangan aktif.

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme atau

lobus dari kelenjar betah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-

kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai

penyebaran limfo hematogen yang biasanya sembuh sendiri, penyebaran ini terjadi apabila

focus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem

vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh (Price & Wilson, 2005)

5
E. Determinan
Menurut Felly Happy Hardini dan Rini Mutahar (2011), faktor-faktor resiko terjadinya TB

dipengaruhi oleh antara lain :

1. Umur

Umur memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian tuberkulosis pada orang dewasa.

Menurut teori sistem tubuh, semakin bertambah usia seseorang maka organ tubuh dan

sistem lainnya membuat perubahan. Perubahan ini merubah kerentanan seseorang untuk

berbagai penyakit. Dengan kata lain, semakin berumurnya seseorang, semakin meningkat

pula kerentanan untuk terkena penyakit.

2. Jenis Kelamin

Tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian penyakit

tuberkulosis. Menurut WHO, penyakit tuberkulosis ini lebih tinggi terjadi pada laki-laki

dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok

tembakau dan meminum alkohol, sehingga terjadi penurunan sistem pertahanan tubuh dan

berakibat pada lebih memudahnya laki-laki terjangkitnya TB paru.

3. Tingkat Pendidikan

Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan kejadian tuberkulosis

pada orang dewasa. Tingkat pendidikan dapat berpengaruh secara tidak langsung terhadap

angka kejadian suatu penyakit. Hal ini dibuktikan dengan semakin baik tingkat pendidikan

formal masyarakat, secara tidak langsung akan menurunkan angka kesakitan dan kematian

suatu penyakit dan begitu pula sebaliknya.

4. Tingkat Pendapatan Keluarga

Tingkat pendapatan keluarga mempengaruhi kejadian tuberkulosis pada orang dewasa.

Tingkat pendapatan berkaitan dengan kemiskinan yang akan berpengaruh pada status

kesehatan masyarakat.

5. Status Gizi

Status gizi mempengaruhi kejadian tuberkulosis pada orang dewasa. Menurut Etjang (1991)

dalam Bambang (2006) menyatakan bahwa berkecamuknya penyakit tuberkulosis

disebabkan oleh adanya sumber penularan (penderita) dan adanya orang-orang yang rentan

dalam masyarakat. Kerentanan akan tuberkulosis ini terjadi karena daya tahan tubuh yang

6
rendah yang disebabkan oleh : gizi yang buruk, terlalu lelah, kedinginan dan cara hidup

yang tidak teratur. Dengan kata lain gizi yang buruk akan menyebabkan penurunan daya

tahan tubuh seseorang yang menjadi rentan terhadap penularan penyakit tuberkulosis.

6. Kebiasaan Merokok

Kebiasaan merokok merupakan risiko untuk terinfeksi Mycobacterium tuberkulosis.

Merokok meningkatkan prevalensi kejadian tuberkulosis paru. Merokok dapat

memperlemah paru dan menyebabkan paru lebih mudah terinfeksi kuman tuberkulosis.

Asap rokok dalam jumlah besar yang dihirup dapat meningkatkan risiko keparahan

tuberkulosis, kekambuhan dan kegagalan pengobatan tuberkulosis.

7. Ventilasi Rumah

Ada hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan kejadian tuberkulosis pada

orang dewasa. Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan

membawa pengaruh bagi penghuninya.

8. Kepadatan Penghuni Rumah

Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuinya.

Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubel

(overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya konsumsi

oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama

tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga lain. Dengan kata lain rumah

yang tidak memenuhi standar kepadatan rumah memiliki kemungkinan besar untuk

terinfeksi tuberkulosis.

9. Riwayat Kontak Penularan

Hasil penelitian di Gambia, Afrika menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna

secara statistik antara riwayat kontak penularan dengan anggota keluarga yang menderita

TB paru dengan kejadian tuberkulosis. Orang yang memiliki riwayat kontak dengan dengan

anggota keluarga yang juga menderita TB paru mempunyai risiko terkena tuberkulosis 4

kali lebih besar. Tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup

tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam

rumahnya, sehingga riwayat kontak penderita dalam satu keluarga dengan anggota keluarga

yang lain yang sedang menderita TB Paru merupakan hal yang sangat penting.

7
F. Distribusi Kasus Penyakit Dalam 4 Tahun Terakhir Di Provinsi Sulawesi Tenggara

1. Tahun 2016

Pada tahun 2016 di Sulawesi Tenggara ditemukan 3.105 kasus baru BTA positif (BTA+),

menurun dibandingkan tahun 2015 dengan 3.268 kasus. Seperti trend yang terjadi pada

tahun-tahun sebelumnya, penemuan kasus baru tertinggi yang dilaporkan masih berasal dari

3 kabupaten yaitu Kabupaten Muna, Konawe dan Kota Kendari. Jumlah kasus baru di tiga

kabupaten tersebut mencapai ˃50% dari keseluruhan kasus baru BTA+ di Sulawesi

Tenggara.

2. Tahun 2017

Pada tahun 2017 di Sulawesi Tenggara ditemukan 2.587 kasus baru BTA positif (BTA+),

menurun dibandingkan tahun 2016 dengan 3.105 kasus. Tidak seperti trend yang terjadi

pada tahun-tahun sebelumnya, penemuan kasus baru tertinggi yang dilaporkan pada tahun

2017 berasal dari 4 kabupaten yaitu Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kolaka, Baubau,

dan Bombana. Jumlah kasus baru di empat kabupaten tersebut mencapai ˃50% dari

keseluruhan kasus baru BTA+ di Sulawesi Tenggara.

3. Tahun 2018

Pada tahun 2018 di Sulawesi Tenggara ditemukan 3.965 kasus baru BTA positif (BTA+),

meningkat dibandingkan tahun 2017 dengan 2.587 kasus.

4. Tahun 2019

Pada tahun 2018 di Sulawesi Tenggara ditemukan 4.551 kasus baru BTA positif (BTA+),

meningkat dibandingkan tahun 2018 dengan 3.965 kasus.

G. Penatalaksanaan

1. Pencegahan

a. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan

penderita tuberculosis paru BTA positif.

b. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan missal terhadap kelompok – kelompok populasi

tertentu misalnya : karyawan rumah sakit, siswa – siswi pesantren.

c. Vaksinasi BCG

d. Kemofolaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6 – 12 bulan dengan tujuan

menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit.


8
e. Komunikasi, informasi, dan edukasi tentang penyakit tuberculosis kepada masyarakat.

(Muttaqin, 2008)

2. Pengobatan

Tuberkulosis paru diobati terutama dengan agen kemoterapi ( agen antituberkulosis ) selama

periode 6 sampai 12 bulan. Lima medikasi garis depan digunakan adalah Isoniasid ( INH ),

Rifampisin ( RIF ), Streptomisin ( SM ), Etambutol ( EMB ), dan Pirazinamid ( PZA ).

Kapremiosin, kanamisin, etionamid, natrium para-aminosilat, amikasin, dan siklisin

merupakan obat – obat baris kedua (Smeltzer & Bare, 2001).

H. Permasalahan Saat Ini

Treatment Covverage rendah

Penyebab :

1. Belum semua faskes melapor kasus menggunakan SITB, Wifi TB, Integrasi SIMRS-SITB

2. Beban ganda petugas TB dengan COVID-19

3. Penggunaan TCM untuk pemeriksaan TB dan COVID-19

4. Terhambatnya kegiatan Investigasi Kontak (IK)

5. Utilisasi TCM masih rendah

Solusi :

1. Monitoring dan umpan balik ke faskes secara rutin, refreshing penggunaan SITB di faskes

2. Memastikan program TB berjalan sesuai yang diharapkan

3. Melakukan pengaturan jejaring untuk mengoptimalkan penemuan kasus TB dan TB RO

menggunakan TCM

4. Melakukan kegiatan Investigasi Kontak secara virtual pada zona merah

5. Melibatkan mantan pasien TB, komunitas, toga, kader dalam kegiatan investigasi kontak

6. Memastikan pelaksanaan IK sesuai protokol kesehatan (penggunaan masker, hand sanitizer,

face shield)

7. Skrining TBC kepada kelompok berisiko (pondok pesantren, Lapas/Rutan, masyarakat

yang tinggal didaerah padat,kumuh dan miskin)

8. Meningkatkan jejaring layanan internal di faskes untuk menemukan kasus TBC

9. Meningkatkan peran asosiasi rumah sakit untuk meningkatkan penemuan dan pelaporan

kasus TB

9
Treatment Succes Rate rendah

Penyebab :

1. Belum semua faskes lapor hasil pengobatan pasien

2. Pemantauan pasien oleh petugas di masa pandemi sulit

3. Perilaku dan persepsi pasien di masa pandemi tidak datang ke layanan

4. Pelacakan kasus mangkir (lost to follow up) belum optimal

Solusi :

1. Memanfaatkan digital teknologi melalui kampanye media sosial, hotline layanan TB dalam

pemantauan pasien untuk pengobatan, pelacakan kasus mangkir misalnya melalui aplikasi

EMPATI, dll.

2. Memanfaatkan jasa pengiriman obat dengan ojek online atau kurir internal

3. Monitoring dan umpan balik secara rutin ke faskes, serta refreshing penggunaan SITB ke

faskes

TB Resistan Obat Rendah

Penyebab :

1. Keterbatasan fasilitas Kesehatan yang melayani TB RO

2. Jangka waktu memulai pengobatan yang lama dari mulai terkonfrmasi RR

3. Ketakutan efek samping pengobatan

4. Durasi pengobatan yang lama pada pasien TB RO (jangka pendek 9-12 bulan dan jangka

panjang 18-20 bulan)

5. Kurangnya dukungan dari keluarga pasien

6. Ketakutan kehilangan pekerjaan

7. Stigma masyarakat tentang TB RO

Solusi :

1. Advokasi kepada stakeholder terkait (Pemda, RS) berdasarkan KMK 350

2. Mempercepat usaha penyediaan akses universal untuk layanan diagnosis dan pengobatan

TB RO yang berkualitas

3. Memastikan semua kasus TB RO terkonfirmasi memulai pengobatan segera setelah

terdiagnosis

10
4. Pemberian layanan berpusat pasien (patient-centered services) untuk semua pasien,

termasuk pengobatan ramah pasien dan dukungan psikososial yang dibutuhkan untuk

menjamin kepatuhan dan keberlangsungan pengobatan

5. Memperkuat keterlibatan komunitas pada saat diagnosis/sebelum pengobatan

6. Meningkatkan kualitas manajemen klinis dan program TB RO di tingkat fasyankes dan

kab/kota, didukung dengan mentoring dan asistansi dari tingkat provinsi dan nasional

7. Introduksi paduan pengobatan all oral à PERLU KOMITMEN PROVIDER &

PROGRAMER

8. Edukasi tentang efek samping obat kepada pasien dan keluarga

9. Dukungan lintas sector (Kementerian Sosial dan Kementerian Tenaga Kerja)

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC

(Mycobacterium tuberculosis) (Kemenkes RI, 2013).

Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru.

Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya

termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002).

Penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini

berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh

karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (Depkes RI, 2008).

Untuk Provinsi Sulawesi Tenggara, jumlah penderita TB pada tahun 2016 di Sulawesi

Tenggara ditemukan 3.105 kasus, menurun dibandingkan tahun 2015 dengan 3.268 kasus.

Pada tahun 2017 di Sulawesi Tenggara ditemukan 2.587 kasus, menurun dibandingkan tahun

2016 dengan 3.105 kasus. Pada tahun 2018 di Sulawesi Tenggara ditemukan 3.965 kasus,

meningkat dibandingkan tahun 2017 dengan 2.587 kasus. Sedangkan pada tahun 2018 di

Sulawesi Tenggara ditemukan 4.551 kasus, meningkat dibandingkan tahun 2018 dengan

3.965 kasus.

B. Saran

Dalam penyusunan makalah ini masih terdapat begbagai kekurangan, oleh karena itu

kami mengharapkan kepada para pembaca untuk dapat memberikan masukan yang bersifat

positif guna kesempurnaan makalah ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

Amril, Y., 2002. Keberhasilan Directly Observed Therapy (DOT) Pada Pengobatan TB Paru

Kasus Baru di BP4 Surakarta. Tesis. Jakarta : Bagian Pulmonologi dan Kedokteran

Respirasi FKUI

Aris, M., 2000. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penularan Tuberkulosis Paru di Kabupaten

Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada

Bahar, A., 2000. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor Soeparman . jilid

II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI hal. 715 - 727

Depkes RI., 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Gerdunas TB.

Edisi 2 hal. 20-21

Notoatmodjo, S., 2000. Penanggulangan Penderita TB Agar Tidak Lalai Berobat. Jakarta:

Majalah Penyuluh Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosa Indonesia (PPTI) hal. 11 – 15

Pandit, N., & Choudary, S.K., 2006. A Study of Treatment Compliance in Direct Observe

Therapy for Tuberculosis. Indian Journal of Community Medicine. 31:4

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2016, Propil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Tenggara. Tahun 2016

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2017, Propil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Tenggara. Tahun 2017

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2018, Propil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Tenggara. Tahun 2018

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2019, Propil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Tenggara. Tahun 2019

13

Anda mungkin juga menyukai