Anda di halaman 1dari 13
REVISI PERJANJIAN BILATERAL ICRC DAN INDONESIA SEBAGAI SARANA MENGOPTIMALKAN TUGAS KEMANUSIAAN ICRC! Oleh : Agustinus Supriyanto* 1. Pendahuluan Selama ini terdapat dua buah Perjanjian Bilateral ICRC dan Indonesia yaitu yang pertama Memorandum of Understanding bet- ween the International Committee of the Red Cross and the Government of the Republic of Indonesia on the Visit to Detainee Camps in Indonesia. MOU ini ditandatangani pada tanggal $ Oktober 1977. Dalam tulisan ini selanjutmya MOU tersebut disingkat dengan MOU 1977, Satu lagi ialah Agreement between the International Committee of the Red Cross and the Government of the Republic of Indo- nesia on the Establishment of the ICRC Re- gional Delegation in Jakarta. Agreement ini ditandatangani pada tanggal 19 Oktober 1987. Selanjutnya untuk memudahkan pembahasan, Agreement ini disebut dengan Agreement 1987. Pasal I ayat a MOU 1977 yang berbunyi “ICRC delegates shall see all political detain- ees”, Ini berarti ICRC dapat mengunjungi tahanan politik. “MOU 1977 dibuat dan di- sepakati dalam konteks perkembangan saat itu, khususnya menyangkut narapidana G 30 S/ PKI”.’ Namun dalam prakteknya ICRC dengan mendasarkan diri pada MOU ini berusaha untuk dapat mengunjungi tahanan dan narapidana di luar konteks G 30 S/ PKI. Pejabat-pejabat tertentu di lembaga pemerintah ada yang tidak menyetujui atau keberatan ICRC mengadakan kunjungan terhadap tahanan dan narapidana di luar konteks G 30 S/ PKI dengan alasan MOU disepakati dalam konteks G 30 S/ PKI. Saat ini perihal peristiwa G 30 S/ PKI mulai terbuka untuk dibicarakan. Apabila MOU 1977 selalu ditafsirkan dalam konteks G 30 S/ PKI, hal ini akan mengakibatkan ICRC ke- sulitan untuk mengunjungi para tahanan dan narapidana di Indonesia yang menjadi sasaran- nya. *Memang setelah MOU dilaksanakan sejak tahun 1977, terdapat keperluan untuk mengevaluasi keberadaan MOU tersebut dan implementasinya™ . Dari sudut pandang hukum perjanjian internasional MOU ini memungkin- kan untuk direvisi oleh para pihak berjanji jika para pihak sepakat untuk melakukannya. Sementara itu, berdasarkan Pasal I Agree- ment ini, mandat “regional delegation” ICRC yang berkedudukan di Jakarta, meliputi “kawasan Asia Tenggara dan Pasifik”. Hal ini menunjukkan betapa luasnya wilayah kerja Regional Delegation ICRC di Jakarta. Di Indo- nesia saja masalah-masalah humaniter sudah sedemikian banyak dan kompleksnya, Oleh karena itu diusulkan wilayah kerja Regional Delegation di Jakarta dibagi menjadi beberapa Regional Delegation; khusus untuk Indonesia, Perbaikan terhadap makalah berjudul “Relevansi Peranan ICRC Menurut MOU 1977 dan Agreement 1987 terhadap Penanganan Masalah-Masalah Humaniter di Indonesia” yang disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikwt Penataran Hukum Humaniter Tingkat Lanjut Kerjasama Unit Kajian Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dengan (CRC Regional Jakarta di Banda Aceh, 10 14 April 2000. Makalah ini telah didiskusikan/ dipresentasikan dalam diskusi kelompok “disseminasi hukum humaniter dan ICRC” pada tanggal 14 April 2000 yang merupakan salah satu acara dalam rangkaian penataran dimaksud, SHH, staf pengajar Fakultas Hukum UGM_ N. Hassan Wirajuda, 1996, Peranan ICRC bagi Indonesia, Makalah Disampaikan dalam Seminar “Peranan ICRC di Indonesia”, yang Diadakan oleh Palang Merah Indonesia, Jakarta, 10 Mei 1996, hal. 7. Ibid. Ibid., hal. 5. 114 MIMBAR HUKUM misainya, terdapat Regional Delegation ter- sendiri supaya ICRC bisa bekerja lebih efesien dan efektif di seluruh wilayah Indonesia. Supaya hal demikian dapat terlaksana para pihak dapat merundingkan untuk merevisi Agreement 1987 ini. Yang dimaksud dengan revisi dalam perjanjian internasional adalah suatu proses perubahan ketentuan perjanjian internasional yang berlaku. Revisi ini dimaksudkan untuk menyesuaikan ketentuan perjanjian intemasional yang ada dengan keadaan yang berubah. Kemungkinan diadakannya revisi didasarkan pada prinsip dasar bahwa perjanjian inter- nasional dapat diubah dengan persetujuan pihak-pihak yang berjanji. Prinsip itu biasanya dituangkan dalam ketentuan amandemen per- janjian internasional yang bersangkutan. Ketentuan amandemen dalam Agreement 1987 misalnya, terdapat dalam Pasal IX ayat 2 yang berbunyi “Consultations with respect to amandments of this Agreement shall be entered into a request of either Party. Any such amend- ments shall be adopted by mutual consent.” Dari uraian tersebut di atas penulis hendak membahas permasalahan berikut ini: apakah revisi perjanjian bilateral ICRC dan Indonesia dapat menjadi sarana bagi, upaya mengoptimal- kan tugas kemanusiaan ICRC di Indonesia. IL MATERIPERJANSIAN BILATERAL ICRC DAN INDONESIA A. MOU 1977 Pasal I ayat a MOU 1977 berbunyi antara lain “ICRC delegates shall see all political detainess”. Ini berarti ICRC dapat mengunjungi semua tahanan politik. Namun dalam tahap implementasi hal ini sering tidak mudah di- laksanakan. Karena terdapat perbedaan pe- nafsiran terhadap ketentuan ini. MOU ini disepakati dalam konteks G 30 S /PKI, Oleh karena itu, pejabat-pejabat peme- rintah menafsirkan bahwa berdasarkan MOU ini [CRC hanya dapat mengunjungi semua narapidana G 30 S/ PKI. Konsekwensi dari pe- nafsiran demikian ICRC tidak dapat melakukan kunjungan terhadap tahanan dan narapidana politik lainnya, Penafsiran demikian, dari sudut pandang hukum perjanjian internasional, merupakan penafsiran perjanjian internasional dengan menggunakan bahan ekstrinsik. Bahan ekstrinsik ini dapat berupa (1) sejarah masa lampau dan (2) naskah persiapan (travaux preparatoires). Yang dimaksud dengan naskah persiapan ini adalah rancangan-rancangan permulaan, catatan-catatan diskusi konferensi, rancangan-rancangan amandemen . Menurut N. Hassan Wirajuda, “sebenarnya MOU 1977 dibuat dan disepakati dalam konteks per- Kembangan saat itu, khususnya menyangkut narapidana G 30 S/PKI”. Sebaliknya, ICRC berpendapat dapat mengunjungi semua tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) termasuk yang bukan napol G 30 S/ PKI. Dalam MOU tersebut tidak terdapat bagian yang menyatakan “dalam konteks G 30 S/ PKI”. Dalam hal ini, 1CRC menggunakan penafsiran gramatikal. ICRC menafsirkan MOU ini dengan menggunakan pengertian yang sederhana dari kata-kata dan kalimat dalam MOU.” Penafsiran ICRC tersebut semakin dapat dipakai apabila ketentuan Pasal L ayat a dibaca secara menyeluruh. Dalam Pasal I ayat a ter- sebut disebutkan pula bahwa “ICRC delegates Shall have access to all potitical detainess that is to all persons detained, either awaiting trial * F. Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional, Cetakan Kedua, Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hal. 74. hal, 71-72. * Starke, J.G. oe, cit. *N. Hassan Wirajudaoc. cit. ™ Starke, J.G., loc. cit. MIMBAR HUKUM Starke, J.G., 1989, Introduction to International Law,Tenth Edition, Butterworths, London, p.484.,F. Sugeng Istanto, Ws or having already been sentence for motives or offences of a political or ideological nature.” Di sini jelas bahwa delegasi ICRC dapat mengakses kepada semua orang yang ditahan, apakah dia masih dalam tahap penahanan sebagai terdakwa ataupun sudah menjalani hukuman sebagai narapidana. Dari ketentuan inilah sebenarnya ICRC berpendapat bahwa ia dapat mengunjungi semua tahanan politik termasuk yang bukan dalam konteks G 30 S/ PKI, karena jika ICRC mengunjungi terdakwa suatu kejahatan politik setelah tahun 1977 yang paling mungkin adalah tahanan yang dj luar G 30 S/ PKI. Selain mengatur seperti yang telah disebutkan di atas Pasal | MOU 1977 juga menentukan sebagai berikut: “/CRC delegates shall freely interview detainess of their choice without witnesses” (ayat b); “ICRC delegates may repear their visits as required by the conditions they observe” (ayat c); dan “ICRC delegates shall be authorized to take the names of all the detainess interviewea” (ayat d). Hal ini berarti bahwa berdasarkan MOU 1977, secara garis besar ICRC diperkenankan untuk (1) mengunjungi tahanan politik, (2) melakukan wawancara secara bebas dan tanpa saksi dengan tahanan yang dikunjungi, (3) meninjau situasi dan kondisi tempat-tempat penahanan; dan menyampaikan saran demi perbaikan kondisi penahanan, dan (4) memperoleh daftar nama napol dan tapol. Pasal Wf ayat a menyebutkan antara lain bahwa “At each Visit, the ICRC delegates observe detention conditions and do not concern themselves with the reasons for deten- tion; this legal aspect does not come within the purview of the ICRC”. Dalam Pasal II ini di- sebutkan pula antara lain bahwa(1) “The ICRC delegates are authorized to visit all buildings and appartenances without being subject to any’ time limit” (ayat c); (2) After the visit, the ICRC delegates will tell the official in charge their observation and suggestions and will inform him of the assistance which the ICRC is able to offer (ayat e); (3) Confidential reports will be sent by ICRC headquaters in Geneva only to 116, the Government concerned. The ICRC main- tains complete discretion and seeks no public- ity (ayat f}; dan (4) In its publications or public statements the ICRC and Indonesian authori- ties shall only mention the places of detention visited and the dates of visits. They also can specific the conditions of visits (ayat g). Dari kutipan bagian-bagian tertentu dari Pasal II MOU 1977, dapatlah dikatakan bahwa prinsip kerja ICRC dalam melakukan kunjung- an adalah sebagai berikut: (1) ICRC tidak me- nanyakan alasan mengapa mereka ditahan/ dipidana, (2) ICRC dapat memasuki semua tempat di mana tahanan/ narapidana yang di- kunjungi berada, (3) setelah kunjungan selesai, delegasi ICRC melaporkan hasi! temuannya kepada pejabat yang berwenang dan memberi saran, (4) laporan dikirim oleh Markas Besar ICRC di Jenewa kepada pemerintah yang ber- sangkutan, dan (5) laporan tersebut dirahasia- kan oleh ICRC dan pemerintah yang ber- sangkutan. B. AGREEMENT 1987 Agreement 1987 ini memuat sembilan pasal terdiri atas definisi (Pasal I), pendirian Regional Delegation (Pasal Il), tujuan Regional Delegation (Pasal III), status hukum Regional Delegation (Pasal [V), jumlah anggota delegasi (Pasal V), keistimewaan dan kekebalan (Bab VI), kewajiban menghormati hukum dan peraturan perundangan Indonesia (Pasal VII), tujuan pemberian keistimewaan dan kekebalan (Pasal VIII) dan ketentuan penutup (Pasal IX). Yang dibahas di sini hanya beberapa ayat dalam tiga pasal (Pasal I, II dan III) yang relevan dengan pembahasan tulisan ini. Agreement 1987 merupakan dasar untuk mendirikan Regional Delegation ICRC di Jakarta. Pasal I ayat 3 Agreement 1987 me- nyebutkan bahwa “Regional Delegation” means the office of the ICRC based in Jakarta, whose mandate is to cover Australia, Betau, Brunei, Cook Istands, Federated States of Micronesia, French South Pacifike Territories, Fiji, Indonesia, Kiribati, Malaysia, Marshall MIMBAR HUKUM Islands, Nauru, New Sealand, Niue, Papua New Guinea, Singapore, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu, Vanuatu, Wester Samoa, Dengan demi- Kian, indonesia merupakan salah satu negara dari 21 negara yang menjadi wilayah kerja Regional Delegation [CRC di Jakarta. Hal ini menunjukkan wilayah kerja Regional Delega- tion ICRC di Jakarta sangat luas. Pasal (Il Agreement 1987 menyebutkan tujuan didirikannnya “Regional Delegation” di Jakarta, yaitu (1) to strengthen and develop relations between the ICRC and the Gavern- ments within the region, (2) to promote the International Humanitarian Law and the principles of the Red Cross within the region, (3) to strengthen the ties between the ICRC and the National Red Cross and Red Crescent Societies of the region, dan (4) to give support and assistance to the National Red Cross and Red Crescent Societies where and whenever needed. Dengan demikian, tujuan didirikannya Regional Delegation ‘CRC di Jakarta adalah pertama, untuk memperkuat dan membangun hubungan antara ICRC dan Pemerintah- Pemerintah dalam wilayah ini (baca: Asia Tenggara dan Pasifik). Dalam menjalankan tugasntya ICRC memang perlu mendapat izin dari pemerintah, oleh karena itu hubungan baik dengan pemerintah harus dijaga oleh ICRC. Kedua, mempromosikan hukum humaniter intemasional (HHI) dan prinsip-prinsip palang merah dalam wilayah ini (Asia Tenggara dan Pasifik). Sebenamya sebagai negara pihak pada Konvensi-Konvensi Jenewa 1949, Indonesia berkewajiban untuk menyebarluaskan HHL. Namun sebagai lembaga yang bertanggung- Jawab atas dilaksanakannya HHI, ICRC bekerja- sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI) mengaktifkan promosi HHI tersebut. Dalam menjalankan tugasnya ICRC mendasarkan diri pada tujuh prinsip palang merah yaitu ke- manusiaan, kesamaan, kenetralan, kemandiri- an, kesukarelaan, kesatuan, dan kesemestaan. Ketiga, memperkuat ikatan persahabatan antara ICRC dan masyarakat Palang Merah Nasional dan Bulan Sabit Merah di wilayah ini. Di sini disebutkan Bulan Sabit Merah karena memang ada beberapa negara yang menggunakan lambang ini, misalnya untuk Malaysia. Ke- empat, memberi dukungan dan bantuan kepada Palang Merah Nasional dan Bulan Sabit Merah 4i mana dan kapanpun diperlukan. Ill. TUGAS KEMANUSIAAN ICRC DL INDONESIA Sebenamya ICRC telah melaksanakan tugasnya di nusantara ini sejak tahun 1940. ICRC mempunyai Kantor delegasi di Jakarta mulai tahun 1979 namun belum merupakan Kantor perwakilan regional (regional delega- tion). Kantor delegasi ICRC berubah menjadi regional delegation sejak 19 Oktober 1987 berdasarkan Agreement 1987. Secara umum tugas ICRC di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu (1) promosi HHI, (2) per- baikan kondisi para tahanan dan narapidana, dan (3) sebagai penengah yang netral. A. Promosi HHI Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional menentukan 8 kelompok yang menjadi kalangan sasaran penyebarluasan bukum humaniter di setiap negara yang menjadi pihak keempat Konvensi Jenewa 1949. Kelompok yang dimaksud di sini adalah se- bagai berikut: (1) angkatan bersenjata, (2) Per- himpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Nasional, (3) berbagai instansi pemerintah yang bersangkutan, (4) universitas, (5) personil bagian medis, (6) sekolah dasar dan menengah, (7) media massa, dan (8) masyarakat umum. ™ Henry Foumies, “Komite Palang Merah Intemasional/ Infernational Committee of the Red Cross” dalam Fadillah Agus, 1997, Hukum Humaniter: Suatu Perspelaif, Cetakas: Pertama, PT. Massma Sikumbang, Jakarta, hal. 122. ® Bandingkan Agustinus Supriyanto, “Dampak Pelaksanaan Tugas ICRC di Indonesia terhadap Prospek Kerjasama Indonesia dan ICRC di Bidang Perlindungan Kemanusiaan”, Mimbar Hukum, No. 31/ VIL 1998, hal. 127-133. MIMBAR HUKUM 17 Dari kedelapan kelompok sasaran yang saat ini menjadi fokus sasaran promosi HH} di Indo- nesia hanya 3 kelompok yaitu (1) angkatan bersenjata, (2) PMI, dan (3) universitas. Kelompok sasaran penyebarluasan HHI di kalangan angkatan bersenjata dapat diperluas menjadi kalangan peserta tempur mengingat di masa kini pertikaian bersenjata bersifat semakin kompleks. Jelasnya demikian, dengan era globalisasi, semakin banyak kepentingan politik tercakup di tingkat nasional maupun. internasional. Dengan perkembangan teknologi, semakin canggih persenjataan yang dapat dipakaj. Dengan adanya faksi bermacam- macam yang ikut terlibat dalam pertikaian, semakin sulit menentukan pihak musuh. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan promési HHI di kalangan anggota angkatan bersenjata, istilah yang lebih tepat untuk kategori sasaran ini adalah peserta tempur, berarti orang yang terlibat secara aktif dalam pertempuran. Dengan demikian, peserta tempur tidak hanya men- cakup anggota angkatan bersenjata tradisional, tetapi juga anggota angkatan para-militer, gerakan oposisi, pemberontak, gerilyawan, dsb. 1. Promosi HHI di Kalangan Angkatan Bersenjata Di sebagian besar dari pertikaian ber- senjata yang terjadi di dunia ini, operasi mifiter secara umum tetap dilaksanakan oleh angkatan bersenjata yang resmi. Di lingkungan pertikaian bersenjata, prajurit memiliki kemungkinan paling besar untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter. Hal ini disebabkan karena prajurit bergerak di garis depan dan menghadapi situasi yang sangat sulit ketika mengalami tekanan mental, penderitaan fisik, “ Anne-Sophi kelaparan, rasa takut, kecewa atatt marah, atau mungkin saja terbawa oleh emosinya. Oleh karena itu walaupun penyebarluasan HHI di kalangan angkatan bersenjata dapat diperluas menjadi di kalangan peserta tempur, kalangan angkatan bersenjata tetap menjadi sasaran utama. Agar promosi nilai-nilai kemanusiaan dapat lebih efektif, materi hukum humaniter harus dimasukkan dalam program instruksi militer. Pasal-pasal hukum humaniter harus diterjemahkan dalam latihan yang dapat dipraktekkan tangsung di lapangan. Secara konkrit, ketika calon prajurit diajarkan tentang, cara menembak dengan tepat, seharusnya dia ditatih pula agar dapat menentukan sasarannya sesuai dengan peraturan hukum humaniter. Tujuannya adalah calon prajurit ini dapat mengembangkan langsung refleks yang baik, sehingga dia otomatis menggunakan senjatanya secara benar, bukan hanya dari segi teknis, tetapi juga dari segi hukum. Di masa sekarang masih banyak negara yang belum memenuhi kewajiban untuk memasukkan mata pelajaran hukum humaniter dalam program instruksi militer. Atau, meski- pun sudah ada perhatian terhadap masalah fukum humaniter, penyebarluasan dilaksana- kan terlambat, pada waktu prajurit sudah me- lengkapi instruksi militernya, dan dengan metode pengajaran yang tidak memadai, yaitu dalam bentuk teoritis saja. Dalam penelitian yang pernah dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta ditemukan bahwa penyebarluasan hukum humaniter di kalangan anggota ABRI sudah dimulai sejak awal memasuki pendidikan militer, walaupun tidak ditegaskan bahwa materi tersebut merupa- kan materi hukum humaniter.” Selain dilaku- Gindroz Sutikno,1998, Keberadaan dan Kegiatan Komite Internasional Palang Merah/ International Committee of the Red Cross (ICRC) di Indonesia, Makalah Disampaikan pada Penataran “Hukum flumaniter Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia", Diselenggarakan atas Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah ‘Mada dan énternational Committee of the Red Cross, 22 s.4. 25 Juni 1998, hal. 3 * Fadillah Agus, op. cit,, hal. 12-13. “ Ibid,, hal 13, Anne-Sophie Gindroz Sutikno, op. cit, hal. 3. ¥ Tid. ' Harry Purwanto, “Pemahaman Hukum Humianiter oleh Anggota ABRI di Daerah Istimewa Yogyakarta”, Mimbar Hukum, Nomor: 8/ 1/1989, hal. 103. 118 MIMBAR HUKUM kan pada awal pendidikan menjadi militer, penyebarluasan hukum humaniter juga dilaku- kan lewat ketrampilan dalam latihan kemiliter- an maupun lewat pendidikan atau penataran. Walaupun sebagian besar responden dalam penelitian ini sudah mengenal hukum humani- ter lewat pendidikan awal militer, ternyata ada keragu-raguan dalam menentukan sikap perlu tidaknya hukum humaniter bagi dirinya. Ada- nya keraguan terhadap hukum humaniter ter- nyata nampak juga tentang kapan diperlukan hukum humaniter itu. Selain itu ketergantungan adanya perintah dari atasan untuk menerapkan hukum humaniter terdapat di kalangan anggota ABRIL. Dilihat dari segi kepangkatan diketemukan bahwa temyata kesadaran dari para perwira untuk mengindahkan hukum humaniter prosen- tasenya tinggi, jika dibandingkan dengan golongan di bawah perwira. Ada kecenderung- an bahwa bagi golongan perwira lebih menge- tahui hukum humaniter daripada yang ber- pangkat di bawah perwira, Kondisi semacam inj adalah wajar, mengingat yang selama ini pernah mengikuti penataran hukum humaniter umumnya berasal dari golongan perwira. Dari uraian tersebut perlu kiranya diper- hatikan supaya penyebarluasan HHI di kalangan anggota ABRI pada awal pendidikan militer perlu dilakukan Jebih profesional. Sedangkan penyebarluasan hukum humaniter yang dilaku- kan melalui penataran dan program pendidikan lainnya perlu dilakukan untuk semua jenjang kepangkatan bukan hanya untuk kalangan perwira saja. Meningkatnya kesadaran angkatan ber- senjata untuk menerapkan HHI merupakan suatu hal yang dapat menguntungkan negara yang bersangkutan. Pertama, untuk citranya: apabila pelanggaran hukum humaniter dilaku- kan (seperti menyiksa, memperkosa atau mem- id * Ibid, hal. 192-103, bunuh penduduk sipil, dan menyerang sasaran sipil dengan menghancurkan rumah atau merampok harta benda sipil), suatu saat pasti ada konsekwensi politik negatif di tingkat intemasional bagi negara yang bersangkutan. Kedua, untuk isu konflik: dengan melakukan pelanggaran HHI seperti yang telah disebutkan tersebut, angkatan bersenjata akan memperkuat keinginan pihak musuh untuk tetap melawan atau untuk melakukan balas dendam. Hukum humaniter memang perlu disebar- lvaskan di masa damai, karena tidak ada satu- pun negara yang dapat menjadi kebal terhadap perang, Dengan menerapkan hukum humaniter, kekerasan pada waktu pertikaian bersenjata dapat dibatasi. Demikian pula dengan meringan- kan penderitaan akibat pertikaian bersenjata, proses untuk memulihkan kembali perdamaian akan lebih lancar, juga kemungkinan untuk melupakan dan memaafkan akan lebih besar. Di Indonesia ICRC berusaha mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan di kalangan militer dengan mengadakan kerjasama dengan ABRI. Tujuan ICRC bukannya untuk mengajari anggota angkatan bersenjata, tetapi untuk mendukung upaya yang dilakukan guna meningkatkan efektifitas instrukasi militer di bidang hukum humaniter. Selain berperan sebagai narasumber, ICRC dapat menyediakan sarana pendukung, seperti bahan pengajaran untuk digunakan oleh instruktur.” 2. Promosi HHI kepada Palang Merah Indonesia (PMI) Penyebarluasan hukum humaniter merupa: kan bagian dari tugas Palang Merah Nasional. Perhimpunan Nasional mempunyai tanggung jawab dalam penyebarluasan HHI ini. Tanggung jawab ini mengandung dua aspek yaitu per- tama, Perhimpunan Nasional harus menjamin ® Fadillah Agus, loc. cit., Anne-Sophie Gindroz Sutikno, loc. cit. » Anne-Sophie Gindroz Sutikno, Ibid,, hal. 4. * Thid., hal. 14. MIMBAR HUKUM 119 bahwa anggotanya serta pejabatnya telah mengetahui soal hukum humaniter secara mendalam. Kedwa, Perhimpunan Nasional harus bekerjasama dengan kelompok sasaran lainnya, untuk berusaha mencapai tahapan yang konkrit dalam penyebarfuasan hukum humani- ter.” Hal ini perlu ditekankan mengingat dari kenyataan bahwa sebagian personil Perhimpun- an Nasional khususnya pada tingkat menengah ke bawah tidak tahu tentang hukum humaniter, sedangkan penyebarluasan hukum humaniter termasuk dalam bidang kegiatannya. Kenyata- an ini memang tidak berlaku bagi beberapa Perhimpunan Nasional,” Untuk itu Perhimpunan Nasional perlu menugaskan seorang khususnya untuk pe- nyebarluasan hukum humaniter. Hal ini merupakan suatu usulan yang dikeluarkan secara resmi dalam Konferensi Internasional Palang Merah ke-24 tahun 1981 di Manila. Jika kegiatan penyebarluasan hukum humaniter ditambah pada kegiatan lainnya, personil Palang Merah Nasional tidak mungkin mencapai hasil yang efektif dalam bidang tersebut, Oleh karena itu diusulkan agar sumber daya manusia dan dana yang dibutuhkan disediakan secara khusus untuk kegiatan penyebarluasan hukum humaniter. ‘Semuanya masih tergantung pada kesedia- an setiap Perhimpunan Nasional. ICRC dan Federasi Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Nasional dapat membantu, khusus- nya untuk tahapan pertama, yaitu persiapan personil Perhimpunan Nasional dalam hal hukum humaniter. Di Indonesia, [CRC juga dilibatkan dalam program PMI untuk meningkatkan kesadaran pada sukarelawan tentang hukum humaniter. Program ini sebaiknya dikaitkan dengan kegiat- an praktek lainnya, agar promosi nilai-nilai kemanusiaan tersebut dapat bersifat operasional. Misalnya, dalam rangka pelatihan pertolongan » Fadillah Agus, op. % Thid. 13-14 ™ Ibid, hal. 14. % Anne-Sophie Gindroz Sutikno, loc. cit. » N. Hassan Wirajuda, op. cit, hal. 11. 120 pertama atau persiapan penanggulangan bencana, Palang Merah Nasional dapat me- nambah materi tentang dasar hukum humaniter, khususnya yang menyinggung soal hak dan kewajiban petugas Kesehatan pada waktu konflik dan tentang penggunaan lambang palang merah. Yang termasuk dalam rangka kerjasama dengan PMI adalah upaya untuk mengembang- kan materi seperti brosur dan leaflet untuk di- bagikan kepada masyarakat umum. Tujuannya adalah agar masyarakat lebih mengenal tentang kegiatan Palang Merah serta rasa perikemanusia- an dan solidaritas sosial yang menjadi dasar- nya. Berdasarkan Pasal III Agreement 1987, ICRC dan Indonesia bermaksud antara lain memperkuat dan mengembangkan hubungan ICRC dan pemerintah, dan memajukan hukum humaniter internasional dan prinsip-prinsip Palang Merah, memperkuat ikatan antara {CRC dan Palang Merah Nasional dan memberi dukungan dan bantuan bagi Palang Merah Nasional. “Dalam kaitan ini sebenarnya ter- kandung pengertian adanya semacam transfer of technology dari ICRC kepada PMI”. Kalau memang ada kehendak untuk melakukan hal tersebut sebaiknya dalam Agreement yang direvisi dicantumkan secara tegas adanya klausula alih teknologi ini. Hal ini penting supaya PMI tidak selalu tergantung pada ICRC dalam menjalankan tugasnya. Alih teknologi ini sebaiknya tidak hanya kepada PMI tetapi diperluas ke kalangan lainnya. 3. Promosi HHI di Kalangan Universitas Sebelum tahun 1974 sedikit orang yang mempunyai keahlian dalam bidang hukum humaniter. Tetapi sejak Konperensi Diplomatik yang diselenggarakan di Jenewa tahun 1974- 1977 dosen dari berbagai universitas berusaha MIMBAR HUKUM memperdalam pengetahuannya dalam hukwm humaniter. Semakin lama, semakin banyak Fakultas Hukum dari universitas yang tersebar di seluruh dunia telah membuktikan minatnya dalam materi Hukum Humaniter. Dalam masalah penyebarluasan hukum humaniter, kalangan akademis merupakan sasaran yang penting sekali, guna mempersiap- kan tenaga ahli di bidang hukum humaniter. ‘Tenaga ahli sangat dibutuhkan karena hukum, humaniter ini terdiri dari berbagai macam peraturan yang tidak selalu mudah untuk di- ‘mengerti, apalagi untuk diterapkan di lapangan. Di samping itu universitas sebagai tembaga perguruan tinggi yang memperluas wawasan mahasiswa tentang berbagai pokok pi smemang pantas untuk meningkatkan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan. B. Memperbaiki Kondisi Para Tahanan dan Narapidana Berdasarkan MOU 1977, seperti yang sudah diutarakan di depan ICRC diperbolehkan mengunjungi tahanan politik (tapol) dan nara- pidana politik (napol), melakukan wawancara secara bebas dan tanpa saksi dengan napol dan tapol yang dikunjungi, memperoleh daftar nama napol dan tapol yang ada, meninjau situasi dan kondisi lembaga-lembaga kemasya- rakatan dan menyampaikan saran demi per- baikan kondisi penahanan di lembaga pemasya- rakatan. Contohnya ICRC dapat mengunjungi napol dan tapol karena terlibat GPK Irja mau- pun GPK di luar Propinsi Papua ini” misalnya di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Dalam rangka mengadakan kunjungan terhadap napol dan tapol ini, ICRC harus men- dapat persetujuan dari pemerintah setempat. » Fadillah Agus, op. cit, hal 15. >" Anne-Sophie Gindroz Sutikno.op. cit, hal. 5. Hal ini didasarkan pada Pasal II Agreement 1987. Oleh karena itu untuk kegiatan tersebut di Indonesia, ICRC harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Indonesia. Persetujuan ini dapat diperoleh melalui Departemen Luar Negeri (Deplu), khususnya Direktorat Organi- sasi Internasional Deplu, sebagai interlacutor- nya. Prinsip kerahasiaan merupakan syarat supaya ICRC dapat mengadakan kunjungan tethadap tahanan politik. Prinsip kerahasiaan ini mengandung pengertian bahwa “apa yang dilihat atau didengar oleh petugas ICRC selama mengadakan kunjungan harus dirahasiakan oleh ICRC, walaupun ICRC boleh mengumum- kan apa yang dilakukannya””. Persetujuan antara Pemerintah Indonesia dan ICRC supaya ICRC dapat mengadakan kunjungan terhadap napol dan tapol me- ngandung prinsip timbal balik dalam arti bahwa kalau ICRC dalam kunjungan tersebut harus memegang prinsip kerahasiaan, sebaliknya Pemerintah Indonesia harus memberi keleluasa- an kepada ICRC untuk mengadakan kunjungan. Prinsip timbal balik ini juga mengandung makna bahwa apabila salah satu pihak melanggar prinsip yang harus dipegangnya, maka pihak lain dapat mengesampingkan prinsip yang harus dipegangnya. Artinya adalah sebagai berikut: apabila ICRC tidak melaksanakan prinsip kerahasiaan dalam arti mengumumkan apa yang dilihat atau yang didengar oleh petugasnya selama mengadakan kunjungan, Pemerintah Indonesia dapat melarang ICRC untuk menghentikan kegiatan kunjungan tersebut. Sebaliknya jika Pemerintah Indonesia mengumumkan bagian laporan yang meng- untungkan posisi pemerintah, [CRC dapat me- ngumumkan apa saja yang dilihat atau didengar oleh petugasnya selama mengadakan kunjung- * Anne-Sophie Gindroz Sutikno, 1998, Keberadaan dan Kegiatan Komite Internasional Palang Mera International Committee of the Red Cross (ICRC) di Indonesia, Makalah Disampaikan pada Penataran “Hukum Humaniter Intemnasional dan Hukum Hak Asasi Manusia”, Diselenggarakan atas Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan international Committee of the Red Cross, 22 s.4. 25 Juni 1998, hal. 7. » ICRC, 1992, Kunjungan oleh Komite Internasional Palang Merah/ International Committee of the Red Cross kepada Para Tahanan/ Narapidana, Jakarta, hal. 8, MIMBAR HUKUM 121 an, termasuk yang merugikan pemerintah. Diharapkan kedua belah pihak setia pada prinsip timbal balik tersebut agar tidak me- nimbulkan saling curiga dan menyalahkan di antara kedua belah pihak. Selain (CRC dapat mengadakan kunjung- an terhadap napol dan tapol, ICRC dapat pula mengadakan kunjungan terhadap keluarga napo! dan tapol tersebut, Dalam kaitannya dengan hal ini, ICRC dapat menyampaikan berita keluarga, apabila komunikasi antara napol atau tapol dan keluarganya masing- masing tidak dapat berlangsung. Dalam situasi rertentu, ICRC dapat pula memberikan bantuan kepada keluarga napol/ tapol yang mengalami kemiskinan, jika pihak keluarga yang menjadi napol dan tapol merupakan kepala keluarga. ICRC dapat membiayai ongkos perjalanan agar anggota keluarga dapat mengunjungi anggota Keluarga yang menjadi napol dan tapol yang kebetulan jauh dari tempat tinggalnya. C. ICRC sebagai Penengah yang Netral Sebagai penengah yang netral diartikan bahwa ICRC dalam melaksanakan kegiatannya harus berhubungan dengan semua pihak yang terlibat tanpa memihak siapapun. ICRC hanya mengutamakan kepentingan humaniter tanpa mempertimbangkan aspek politis dari konflik.” Tugas ICRC sebagai penengah yang netral perlu mendapat dukungan dari pemerintah. Memberi kepada ICRC akses langsung kepada orang yang baru ditangkap akibat kekacauan atau kerusuhan dalam negeri misalnya akan membantu merendahkan tekanan baik dari masyarakat setempat maupun dari pihak fuar negeri yang memantau situasi di daerah yang masih rawan.” Memberitahukan bahwa ICRC dapat mengunjungi orang yang ditahan dengan tujuan melihat kondisi penahanan, kesehatan dan perlakuan mereka, pasti akan berdampak positif baik di dalam maupun di luar negeri. Informasi bahwa ICRC telah mendapat akses kepada para tahanan dapat mencegah spekulasi mengenai adanya penyiksaan atau orang yang hilang.” Sejak tahun 1994 ICRC membantu me~ ringankan beban beberapa keluarga tahanan di Indonesia dengan memberikan bantuan apabila diperlukan. Bantuan yang diberikan dapat berupa dukungan biaya untuk menyekolahkan anak-anak, mengingat bahwa kadang-kadang situasi yang dihadapi seorang istri bisa sangat sulit jika kepala keluarga ditahan. ICRC juga meninjau pembebasan dan keadaan mantan tahanan. Setelah mendapat informasi bahwa seorang tahanan telah dibebaskan, ICRC juga dapat mengecek di lapangan, apakah orang tersebut sudah kembali ke tempatnya dan apa~ kah dia sudah dapat menjalani kembali ke~ hidupannya yang normal. Berkat kerjasama dengan PMI, ICRC juga menjalankan program kunjungan keluarga bagi anggota keluarga tahanan di rian Jaya dan Aceh ‘yang ditahan jauh dari tempat asal mereka. Dalam rangka persiapan program kunjungan tersebut, utusan ICRC harus bertemu langsung dengan pihak keluarga yang akan dibantu. Program kunjungan tersebut dilaksanakan karena hubungan keluarga merupakan suatu hak dasar yang harus dipenuhi pula untuk orang yang berada dalam tahanan. Program ini termasuk upaya yang dilakukan untuk menjamin bahwa hubungan keluarga tidak terputus. Kadang-kadang kurangnya komunikasi antara pihak keamanan dan masyarakat sipil dapat menimbulkan salah pengertian. Dapat dibayangkan bagaimana penafsiran keluarga seorang tahanan mengenai nasib sanak saudara yang disebabkan karena ketidakpastian tentang keberadaan dan kondisinya. Dalam situasi ™ Marion Hartof-Tavel, 1993, Xegiatan Komite Internasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross/ ICRC) pada Waktu Kekerasan dalam Negeri, ICRC Publications, Geneva, hal. 16. 2 Anne-Sophie Gindroz Sutikno,op. cit, hal.7 % Ibid, hal. 8, 7 Ibid. ™ Ibid. 122 MIMBAR HUKUM demikian utusan ICRC dapat menjadi penengah yang netral dengan memperlancar komunikasi antara pihak keamanan dan rakyat sipil yang bisa terputus karena ketidaktahuan orang yang bersangkutan atau karena rasa kurang percaya, takut dan lain-lain.” Pada waktu Timor Timur masih berada dalam wilayah negara Republik Indonesia, ada beberapa pemuda asal Timor Timur yang anti integrasi memaksa masuk ke gedung kedutaan asing di Jakarta tertentu, misalnya di Kedutaan Besar Filandia (23 Juni 1993), di Kedutaan Besar Amerika Serikat (12 Nopember 1994), di Kedutaan Besar Spanyol (awal bulan Nopember 1996) untuk meminta suaka dan selanjutnya meminta untuk diberangkatkan ke negara ketiga misalnya Swiss dan Portugal. Di sini [CRC dapat menjadi penengah yang netral antara Pemerintah Indonesia dan Kedutaan Asing di Jakarta. Dalam hal ini jika Pemerintah Indonesia telah memberi izin kepada ICRC untuk memberikan jasa sebagai penengah yang netral, ICRC dapat menyiapkan dokumen per- jalanan bagi para pemohon suaka tersebut. IV. URGENSI REVISI PERJANJIAN BILATERAL ICRC DALAM MENG- OPTIMALKAN KEGIATAN PER- LINDUNGAN KEMANUSIAAN DI INDONESIA Secara umum dapat dikatakan bahwa masalah perlindungan kemanusiaan terhadap tahanan dan narapidana tidak hanya berkaitan dengan para tapol dan napol. Seringkali demi ‘kepentingan penguasamereka yang sebenarnya terlibat dalam masalah politik dikenai tuduhan melakukan perbuatan kriminal. » Ibid., hal..9. Berkaitan dengan kekacauan dalam negeri, demi keamanan pihak pemerintah dapat menahan para pelaku kekacauan tersebut. Demi kepentingan mereka yang ditangkap dan ditahan, walaupun oleh pemerintah tidak di- golongkan pada napol, ICRC dapat melakukan Kegiatan humaniternya. Dasar hukum kegiatan tersebut adalah Pasal 4 ayat 1 sub d Statutes of the International Committee Of the Red Cross (Statuta ICRC) tahun 1988" yang berbunyi sebagai berikut: “The role of the ICRC shall be in particular to endeavour at all times - as a neutral institution whose humanitarian work is carried out particularly in time of international and other armed conflicts of internal strife - to ensure the protection of and assistance to military and civilian victims of such events and of their direct results”. Berdasarkan kewenang- an yang diberikan dalam Statuta ini, ICRC dengan menggunakan haknya untuk berpra- karsa telah mengunjungi orang dalam jumlah yang sangat besar. Dalam Statuta tersebut sebenarnya tidak dikenal istilah tahanan politik. Kewenangan ICRC berdasarkan Statuta ter- sebut sangat luas, walaupun dalam kegiatannya ICRC tetap harus mendapat izin dari pemerintah setempat. Namun kalau dikaitkan dengan MOU. 1977 kewenangan ICRC untuk mengadakan kunjungan dibatasi dengan istilah political detainess. Dalam waktu yang tidak terlalu lama di- harapkan kegiatan ICRC berkaitan dengan kunjungan di lembaga pemasyarakatan diper- Yoas tidak hanya terhadap mereka yang secara resmi mendapat status tahanan dan narapidana politik, tetapi termasuk narapidana dan tahanan yang secara resmi tidak digolongkan dalam napol dan tapol. Apalagi di dalam praktek kunjungan terhadap narapidana dan tahanan, ~ Statuta ini dapat dilihat dalam 1CRC, 1990, Compendium of Reference Texts on the International Red Cross and Red Crescent Movement, Geneva, p. 63-68. Statuta ini merapakan revisi terhadap Statuta yang serupa yang dibuat tanggal 25 September 1952 yang telah direvisi beberapa kali. “ICRC, tanpa tahun, Mengenal Lebih Jauh tentang Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, ICRC Publications, Geneva, hal. 11. MIMBAR HUKUM 123 i | | | | “ICRC tidak membicarakan alasan mengapa yang dikunjungi tersebut ditahan atau dipidana; ie tidak mempertimbangkan jenis tuduhan- * Di dalam praktek dapat terjadi bahwa pene ea mempersulit ICRC untuk me- ngunjungi tahanan atau narapidana, dengan alasan mereka bukan tapol atau napol. Menurut versi pemerintah, mereka ditahan atau dipidana karena melakukan kejahatan muri. Memang terdapat hambatan dalam hal implementasi HHI. Hambatan ini antara lain (1) birokrasi dan (2) pertentangan antara berbagai kepentingan. Implementasi HHI sering melibat- kan berbagai instansi pemerintah seperti Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri dan Departemen Kehakiman. Agar implementasi HHI dapat diambil, perlu adanya suatu kerjasama yang baik di antara berbagai instansi pemerintah tersebut. Tetapi secara umum koordinasi tersebut sulit dicapai dan makan waktu lama. Bahkan, koordinasi yang dibutuhkan di antara angkatan bersenjata bukanlah merupakan hal yang sederhana, Khususnya bila topik yang perlu dibahas tidak mendapat prioritas utama terutama dalam hal proses implementasi HHI.” Itulah hambatan birokrasi dalam implementas HHI. Meskipun perjanijian internasional tertentu sudah diratifikasi oleh pemerintah melalui suatu proses yang resmi™, belum tentu di dalam suatu negara, semua unsur pemerintah mempunyai kesamaan dalam menafsirkan semua ketentuan yang termuat dalam perjanjian tersebut. Per- bedaan pendapat dapat menghambat kelancaran implementasi HHI ditingkat nasional. Beberapa pihak yang berwenang akan mungkin menolak mengambil tindakan pelaksanaan yang dibutuh- kan, atau bisa juga terjadi, bahwa dalam # ICRC, 1992, op. cit, hal. 3. © Fadillah Agus, op. cit, hal, 19. mengambil tindakan pelaksanaan tersebut. Ketentuan-ketentuan HHI diinterpretasi sesuai artian yang sempit, sehingga lingkup penerapan HHl lebih terbatas.”” Yang paling sering terjadi adalah penafsiran perjanjian internasional disesuikan dengan kepentingan pihak yang berkuasa atau yang berpengaruh. Dalam kaitannya dengan penafsiran MOU 1977 antara pihak ICRC dan Pemerintah Indonesia dapat terjadi perbedaan penafsiran di dalam implementasinya. Hal ini biasanya disebabkan oleh perbedaan kepentingan ter- sebut. Supaya di masa depan pemerintah mem- beri kemudahan terhadap ICRC untuk melaku- kan kunjungan terhadap para tahanan dan narapidana maka MOU 1977 perlu direvisi sedemikian rupa sehingga istilah political detainess diganti saja dengan detainess. Pasal I sub a MOU 1977 yang berbunyi “/CRC delegates shall see all political detainees” sebaiknya nantinya direvisi menjadi “ICRC delegates shall see all detainees based on ICRC Statute of 1988’. Mengingat berdasarkan Pasal 4 ayat | sub d Statuta ini ICRC mempunyai hak berprakarsa untuk mengunjungi mereka yang ditahan sebagai akibat dari pertikaian bersenjata internasional, pertikaian bersenjata non internasional dan bahkan akibat dari inter- nal strife (perselisihan dalam negeri). Meskipun ICRC telah mendapat izin untuk mengadakan kunjungan terhadap napol dan tapol, sering ICRC tidak segera dapat melaksana- kan aktivitasnya di lapangan. Sebagai contoh, walaupun ICRC telah mendapat izin untuk mengadakan kunjungan terhadap napol dan tapol di Aceh pada tahun 1991, izin untuk me- lakukan aktivitas lapangan di daerah tersebut baru diterima ICRC pada akhir tahun 1993." Kemudahan bagi ICRC untuk mendapatkan Tentu saja dalam hal perjanjian internasional tersebut memerlukan tindakan ratifikasi. “> Fadillah Agus, loc. cit. “ Internal strife ini te dari internal disturbances (kekacauan dalam negeri) dan internal tensions (ketegangan dalam negeri) yang tidak diatur dalam KJ 1949 maupun Protokol Tambahan 1977. Menurut hemat penulis saat ini di Indonesia terjadi internal strife di beberapa daerah seperti di Aceh dan Ambon. * ICRC, 1998, op. cit, hal. 8. 124 MIMBAR HUKUM izin untuk melaksanakan tugasnya sebaiknya juga dimasukkan dalam MOU yang direvisi. ‘Sebaiknya izin mengadakan kunjungan dijadi- kan satu dengan izin melaksanakan aktivitasnya di lapangan. Sementara itu, berdasarkan Pasal I Agree- ment 1987, mandat “regional delegation” ICRC yang berkedudukan di Jakarta, meliputi wilayah ‘Asia Tenggara dan Pasifik. Di Indonesia saja masalah-masalah humaniter sudah sedemikian kompleksnya. Oleh Karena itu diusulkan agar diwilayah-wilayah tersebut dibentuk beberapa Regional Delegation supaya ICRC bisa bekerja lebih efesien dan efektif, mengingat tugas ICRC di indonesia sudah demikian banyaknya seperti yang telah diuraikan di atas. Dengan demikian wilayah kerja Regional Delegation ICRC di Jakarta perlu dibagi menjadi beberapa Regional Delegation. Untuk keperluan ini Agreement 1987 perlu direvisi. Selain merevisi wilayah kerja, juga perla adanya revisi ketentuan mengenai dukungan dan bantuan ICRC kepada PMI supaya aljh teknologi dari ICRC kepada PMI dan pihak lainnya di Indonesia jelas dalam Agreement ini. Hal ini penting supaya para pihak yang terkait dengan implementasi HHI tidak selalu tergantung kepada ICRC secara terus menerus. “Untuk mengupayakan hubungan dengan negara manapun termasuk Indonesia dalam kaitannya dengan perlindungan kemanusiaan, YCRC melakukannya melalui dua cara yaitu (1) dengan menugaskan utusannya di lapangan berupaya seefektif mungkin untuk mencegah seefektif mungkin untuk mencegah adanya pe- langgaran hukum humaniter dan (2) ber- hubungan langsung dengan instansi yang bersangkutan agar pelanggaran. yang terjadi dapat dihentikan.”” Dengan demikian, kegiat- an ICRC ditempuh melalui dua jalur yaitu me- Jalui utusannya dan secara kelembagaan. Dalam menjalankan tugas melalui kedua jalur inilah sebaiknya ICRC melakukan alih teknologinya kepada berbagai kalangan di Indonesia. Untuk merevisi MOU 1977 pihak ICRC lah yang dapat memulai merundingkannya dengan pihak Pemerintah Indonesia. Karena menurut hemat penulis pihak ICRC lah yang berkepentingan dalam revisi MOU ini. Sedang- kan untuk merevisi Agreement 1987 pihak pemerintahlah yang dapat memulai merunding- kannya dengan ICRC. Dalam hal ini pihak Pemerintah Indonesialah yang mendapat keuntungan jika Agreement ini direvisi sesuai dengan yang diusulkan di atas. Dalam merevisi kedua perjanjian bilateral ini harus mendapat kesepakatan kedua belah pihak. Akan sangat efisien apabila kedua per- janjian bilateral ini direvisi dalam satu paket {artinya revisi kedua perjanjian ini dibahas secara bersamaan) supaya kedua belah pihak dapat saling memberi dan menerima kepenting- an masing-masing dalam hal pelaksanaan tugas di bidang kemanusiaan. Perlu diusahakan agar revisi tersebut me- ngurangi adanya perbedaan penafsiran sampai seminimal mungkin terutama jika terdapat per- bedaan kepentingan di antara kedua belah pihak. Dengan diadakannya revisi kedua per- janjian bilateral tersebut ICRC dalam menjalan- kan tugas kemanusiaannya akan semakin opti- mal daripada yang telah dikerjakannya saat ini. Vv. KESIMPULAN Upaya supaya ICRC mendapat kemudahan dalam mengunjungi tapol dan napol dengan tanpa mempertimbangkan aspek politis namun semata-mata demi kepentingan kemanusiaan semua pihak, dapat ditempuh dengan merivisi MOU 1977. Supaya kegiatan ICRC di Indo- nesia semakin efektif dan efisien, revisi Agree- ment 1987 dapat dilakukan sedemikian rupa agar di wilayah mandat yang sekarang menjadi tugas Regional Delegation di Jakarta, dibagi menjadi beberapa Regional Delegation, Arti penting revisi kedua perjanjian bilateral tersebut “ Arlina Permanasari et. all., 1999, Pengantar Hukum Humaniter, Cerakan Pertama, Miamita Print, Jakarta, hal. 271 MIMBAR HUKUM 125 adalah (1) sebagai sarana untuk mengurangi hambatan pelaksanaan HHI sebagai akibat perbedaan penatsiran dalam perjanjian bitaterat dan (2) sebagai sarana supaya ICRC dapat mem- fokuskan tugasnya di daerah-daerah yang masih rawan tethadap masalah-masalah humaniter, yang dengan demikian dapat mengoptimatkan tugas kemanusiaan ICRC di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Agus, Fadillah, 1998, Pelaksanaan Hukum Humaniter Internasional, Makalah Disampaikan pada Penataran “Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia”, Diselenggarakan atas Kerjasama Fakultas Hukum Uni- versitas Gadjah Mada dan International Committee of the Red Cross, 22 s.d. 25 Juni 1998. Fournier, Henry, “Komite Intemasional Palang Merah”, dalam Fadillah Agus, 1997, Hukum Humaniter: Suatu Perspektif, ‘Cetakan Pertama, PT Massma Sikumbang, Jakarta. Harrof-Tavel, Marion, 1993, Kegiaran Komite Internasional Palang Merah (Interna- tional Committee of the Red Cross/ ICRC) pada Waktu Kekerasan dalam Negeri, ICRC Publications, Geneva. ICRC, tanpa tahun, Mengenal Lebih Jauh tentang Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, \CRC Publications, Geneva. ICRC, 1990, Compendium of Reference Texts on the International Red Cross and Red Crescent Movement, Geneva. ICRC, 1992, Kunjungan oleh Komite Inter- nasional Palang Merah/ International Committee of the Red Cross kepada Para Tahanan/ Narapidana, Jakarta. Istanto, F. Sugeng, 1998, Hukum Perjanjian Internasional, Cetakan Kedua, Penerbit- an Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. 126 Permanasari, Arlina et. all., 1999, Pengantar -Hukum Humaniter, Cetakan Pertama, Miamita Print, Jakarta. Purwanto, Harry, “Pemahaman Hukum Humani- ter oleh Anggota ABRI di Daerah Istimewa Yogykarta”, Mimbar Hukum, Nomor: 8/ I/ 1989. Starke, J.G., 1989, /ntroduction to International Law,Tenth Edition, Butterworths, London. Supriyanto, Agustinus, “Dampak Pelaksanaan Tugas ICRC di Indonesia terhadap Prospek Kerjasama Indonesia dan ICRC di Bidang Perlindungan Kemanusiaan”, Mimbar Hukum, No. 31/ VIII 1998. Sutikno, Anne-Sophie Gindroz, 1998, Keberadaan dan Kegiatan Komite Internasional Palang Merah! Interna- tional Committee of the Red Cross (ICRC) di Indonesia, Makalah Disampai- kan pada Penataran “Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia”, Diselenggarakan atas Kerja- sama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan /nternational Committee of the Red Cross, 22 s.d. 25 Juni 1998. Wirajuda, N. Hassan, 1996, Peranan ICRC bagi Indonesia, Makalah Disampaikan dalam Seminar “Peranan ICRC di Indonesia”, yang Diadakan oleh Palang Merah In- donesia, Jakarta, 10 Mei 1996. MIMBAR HUKUM

Anda mungkin juga menyukai