Anda di halaman 1dari 24

KERAGAMAN GENETIK KONVENSIONAL TANAMAN

JAMBU METE (Anacardium occidentale L.) UNTUK


MERAKIT VARIETAS UNGGUL

PAPER

OLEH :
DIMAS PRATAMA TOTTI
200301045
AGROTEKNOLOGI 1

L A B O R A T O R I UM D AS A R P E M U L I A A N T A N A MAN
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA U T A R A
2021
KERAGAMAN GENETIK KONVENSIONAL TANAMAN
JAMBU METE (Anacardium occidentale L.) UNTUK
MERAKIT VARIETAS UNGGUL

PAPER

OLEH :
DIMAS PRATAMA TOTTI
200301045
AGROTEKNOLOGI 1

Paper Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memenuhi Komponen Penilaian di
Laboratorium Dasar Pemuliaan Tanaman Program Studi Agroteknologi Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

L A B O R A T O R I UM D AS A R P E M U L I A A N T A N A MAN
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA U T A R A
2021
Judul : Keragaman Genetik Konvensional Tanaman
Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) Untuk Merakit
Varietas Unggul
Nama : Dimas Pratama Totti
NIM : 200301045
Program Studi : Agroteknologi 1

Diketahui oleh :
Asisten Koordinator

(Sholahuddin Al Hasnan)
NIM. 170301157

Diperiksa Oleh : Diperiksa Oleh :


Asisten Korektor I, Asisten Korektor II,

(Mhd Rizki Fahlevi Simatupang) (Novelina Pristiawaty Sidauruk)


NIM. 180301030 NIM. 180301237
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena

atas rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan paper ini pada waktunya.

Adapun judul dari paper ini adalah “Keragaman Genetik Konvensional

Tanaman Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) Untuk Merakit Varietas

Unggul” yang merupakan salah satu syarat untuk melengkapi komponen penilaian

pada Praktikum Dasar Pemuliaan Tanaman Program Studi Agroekoteknologi,

Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen

mata kuliah Pemuliaan Tanaman Dasar , yaitu Ir. Hot Setiado, MS;

Luthfi A.M. Siregar, SP. M.Sc. P.hD ; Prof. Dr. Ir. Rosmayati, MS;

Dr. Emmy Harso Kardhinata, M.Sc; Dr. Diana Hanafiah ,SP. Mp;

Ir. Revandy I.M Damanik, M,Si. M.Sc. P.hD; Dr. Khairunnisa, SP. MP;

Hafnes Wahyuni, SP. MP; Rahmatika Alfi, SP. MP; serta kepada abang dan kakak

asisten Laboratorium Dasar Pemuliaan Tanaman yang telah membantu penulisan

paper ini.

Penulis menyadari bahwa paper ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu

kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan

datang. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

PENDAHULUAN
Latar Belakang.....................................................................................................1
Tujuan Penulisan..................................................................................................2
Kegunaan Penulisan.............................................................................................2

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman...................................................................................................3
Syarat Tumbuh.....................................................................................................4
Iklim..................................................................................................................4
Tanah................................................................................................................5

KERAGAMAN GENETIK KONVENSIONAL TANAMAN


JAMBU METE (Anacardium occidentale L.) UNTUK MERAKIT
VARIETAS UNGGUL
Pemuliaan Tanaman Partisipatif dan Varietas Unggul Spesifik Lokasi...............7
Kekerabatan Plasma Nutfah Jambu Mete Berdasarkan Morfologi......................9
Strategi Pemulia Tanaman Dalam Meningkatkan Keanekaragaman Genetik
Jambu Mete........................................................................................................11
Peningkatan Viabilitas Benih Jambu Mete Melalui Invigorasi..........................12
Keragaman Genetik Konvensional Tanaman Jambu Mete (Anacardium
occidentale L.) Untuk Merakit Varietas Unggul................................................14

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan.........................................................................................................16
Saran...................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA

ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Pengembangan jambu mete di Indonesia dapat dikatakan cukup baik,

terutama dari segi luas areal. Namun keberhasilan dalam perluasan areal dari

tahun ke tahun, belum disertai peningkatan produktivitas. Tahun 1975 luas areal

jambu mete yang hanya 58.391 ha dengan produksinya 9.123 ton, tahun 2017

mencapai 506.752 ha dengan produksi sebesar 135.569 ton. Luas areal jambu

mete yang menghasilkan tahun 2012 di dunia adalah 5.313.435 ha (FAO, 2015).

Dalam perkembangannya Indonesia termasuk ke dalam 10 besar produsen dunia

dengan produksi tertinggi adalah Vietnam meskipun luasan arealnya hanya 305.791 ha.

Tanaman jambu mete telah berkembang di Indonesia di 24 provinsi. Namun

produktivitasnya masih rendah. Produktivitas rendah dikarenakan penanaman

yang belum mengikuti rekomendasi yang ada (Sudarto dan Putu, 2016).

Ditinjau dari kebutuhan dunia yang berkisar 4 juta ton, maka

sesungguhnya peluang bersaing dengan negara lain sangat memungkinkan.

Seandainya Indonesia mampu mengisi pasar hingga 50 % saja maka Indonesia

mampu meraih devisa yang tinggi dari komoditas jambu mete. Pada tahun 2017,

ekspor jambu mete Indonesia sebesar 62.811 ton dengan nilai 175.728.000 US$

dan impor sebesar 15.536 ton dengan nilai 36.524.000 US$.

Surplus 139.204.000 US$ (Ditjenbun, 2018).


Pola penanaman jambu mete di Indonesia sebagian besar monokultur.

Penanaman monokultur memiliki resiko tehadap penurunan tingkat pendapatan

petani, terutama ketika terjadi perubahan iklim yang dapat menurunkan tingkat

pembungaan dan pembuahan. Produktivitas dan produksi tanaman ditentukan oleh

faktor genetik dan lingkungan (ekologi) ( Chipojola et al., 2009;).

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui tentang

Keragaman Genetik Konvensional Tanaman Jambu Mete (Anacardium occidentale L.)

Untuk Merakit Varietas Unggul.

Kegunaan Penulisan

Adapun kegunaan penulisan dari paper ini adalah sebagai salah satu syarat

untuk memenuhi komponen penilaian pada praktikum di Laboratorium Dasar

Pemuliaan Tanaman Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai sumber informasi bagi pihak

yang membutuhkan.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman

Berdasarkan klasifikasi tanaman jambu mete kedudukan tanaman jambu

mete dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) diklasifikasi sebagai berikut,

Divisi : Spermatophyta;. Subdivisi : Angiospermae; Kelas : Dicotyledoneae

;Ordo : Sapindales; Famili : Ancardiaceae; Genus : Anacardium;

Spesies : Annacardium occidentale L. (Bambang Cahyono, 2005).

Tanaman jambu mete memiliki bagian vegetatif dan generatif. Bagian

vegetatif tanaman jambu mete terdiri dari akar, batang, dan daun sedangkan

bagian generatif terdiri dari bunga, buah, dan biji. Daun jambu mete berbentuk

telur, bagian ujung berbentuk bulat namun pada pangkalnya berbentuk runcing.

Jambu mete memiliki jenis daun tunggal dan memiliki letak tersebar di seluruh

ranting (Suhadi, 2007).

Batang pohon jambu monyet memiliki bentuk yang tidak simestris dan

berwarna cokelat tua. Tangkai daunnya pendek, lonjong seperti telur dengan

tepian berlekuk-lekuk, dan guratan rangka. Pohon jambu monyet mempunyai

ketinggian 8-12 m, memiliki cabang dan ranting yang banyak. Batang

melengkung, berkayu, bergetah, percabangan mulai dari bagian pangkalnya.

(Dalimartha, 2000).
Akar yang dimiliki oleh tanaman jambu mete memiliki warna yang sama

seperti pada tanaman biasanya. Dimana akar tanaman jambu mete mempunyai

akar yang berwarna coklat.Tanaman jambu mente memiliki akar tunggang dan

akar serabut. akar tunggang menembus tanah menuju pusat bumi sampai pada

kedalaman 5 m lebih sedangkan akar-akar serabut tumbuh menyebar dalam tanah

secara horizontal (Pitojo, 2005).

Bunga majemuk, bentuk malai, terletak di ketiak daun dan di ujung

cabang, mempunyai daun pelindung berbentuk bulat telur dengan panjang 5-10

mm dan berwarna hijau. Kelopak bunga berambut dengan panjang 4-5 mm dan

berwarna hijau muda. Mahkota bunga berbentuk runcing, saat masih muda

berwarna putih setelah tua berwarna merah. Tipe buah berupa buah batu, keras,

melengkung, panjangnya ± 3 cm, berwarna hijau kecoklatan. Biji berbentuk bulat

panjang, melengkung, pipih dan berwarna putih. Akarnya berupa akar tunggang

dan berwarna coklat (Badan POM RI, 2008).

Syarat Tumbuh

Iklim

Iklim merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan

tanaman, dengan demikian iklim dalam kondisi optimum selama periode

pertumbuhan akan memberikan dampak yang baik pada pertumbuhan dan hasil

tanaman.faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap tanaman jambu mente

adalah suhu, cahaya,dan curah hujan (Adisarwanto, 2003).


lokasi terbaik untuk pengembangan jambu mete adalah curah hujan 1.306-

2.861 mm/tahun (1.300 – 2.900 mm/tahun) dengan bulan kering 4-5 bulan. Dari

identifikasi setiap wilayah pengembangan berdasarkan parameter curah hujan dan

bulan kering menunjukkan bahwa perlu adanya perbaikan kriteria atau

karakteristik lahan dan iklim yang dibutuhkan tanaman (Rosman,2016).

Untuk mendukung pengembangan tanaman jambu mete di Indonesia,

aspek lahan dan iklim sangat penting dan perlu mendapat perhatian. Iklim kering

berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan penyambungan (Grafting) jambu mete.

Penyambungan yang terbaik adalah pada kondisi musim hujan dengan suhu 23-

28oC dan kelembaban 90-98%. Pada kondisi kemarau hanya berhasil 40-50%

(Suryadi, 2010).

Tanah

Jenis tanah yang cocok untuk budidaya tanaman jambu mete adalah tanah

latosol merah yang solumnya dalam, tanah alluvial, tanah laterit, tanah podzolik,

dan tanah regosol. Tanaman jambu mete dapat toleran terhadap jenis – jenis tanah

lainnya, namun pertumbuhannya kurang bagus tingkat produksinya pun rendah.

Tanah yang bercadas tidak dianjurkan untuk usaha tani jambu mete karena jenis

tanah tersebut tidak dapat ditembus oleh perakaran jambu mete sehingga

perkembangan tanaman jambu mete terhambat (Nunug, 2000).


Tanaman jambu mente sangat prospektif untuk di kembangkan di

Indonesia, karena memiliki daya adaptasi yang sangat luas terhadap faktor

lingkungan. Tanaman jambu mente tahan terhadap kekeringan dan dapat tumbuh

serta menghasilkan buah walaupun ditanam di daerah yang kering dan tandus

(gersang). Jenis tanah lempung berpasir atau ringan pasir. yang juga

memungkinkan sistem perakaran berkembang secara sempurna dan mampu

menahan air sehingga tanaman tetap cukup lembab pada musim kemarau atau

pada pH 6,3-7,3, (Bambang Cahyono, 2005).

Tanaman jambu mete sangat cocok untuk diusahakan di lahan kering yang

tergolong marginal yang memiliki bulan kering panjang. Lahan marginal dapat

diartikan sebagai lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa

faktor pembatas jika digunakan untuk usaha perkebunan dan tidak semua jenis

tanaman perkebunan mampu tumbuh dan beradaptasi dengan baik di daerah ini.

Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah maupun lahan

kering. Lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat masam dan rawa pasang

surut, sementara lahan kering berupa tanah Ultisol dan Oxisol (Suprapto, 2002).
KERAGAMAN GENETIK KONVENSIONAL TANAMAN
JAMBU METE (Anacardium occidentale L.) UNTUK
MERAKIT VARIETAS UNGGUL

Pemuliaan Tanaman Partisipatif dan Varietas Unggul Spesifik Lokasi

Dalam era market driven, semua proses produksi mengacu pada pemuasan

kebutuhan pasar, sehingga keputusan menentukan nilai produk akhir harus

melibatkan opini dan kebutuhan konsumen. Demikian pula pada proses pemuliaan

tanaman, sejak satu dekade terakhir mulai berkembang konsep pemuliaan yang

melibatkan pelaku produksi lapang dan konsumen. Konsep pemuliaan tanaman

seperti ini dikenal dengan istilah Pemuliaan Tanaman Paritisipatif / PTP

(Participatory Plant Breeding) atau dikenal juga dengan istilah Perbaikan

Tanaman Partisipatif (Participatory Crop Improvement)

(Monyo et al., 2001).

Pendekatan lokal untuk pemuliaan tanaman yang didasarkan pada metode

PTP memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan pemuliaan dengan

pendekatan PTF dan pendekatan global tradisional. Keunggulan tersebut

diantaranya ialah : (1) efektif untuk mengidentifikasi varietas-varietas yang dapat

beradaptasi dengan baik dan dapat diterima oleh pengguna, (2) perbaikan model

pemuliaan untuk adaptasi lokal, (3) peningkatan diversitas genetik, (4)

peningkatan efisiensi waktu dan biaya, (4) percepatan dalam penyediaan varietas

dan atau benih, serta (5) pemberdayaan masyarakat pedesaan (petani)

(Sperling et al., 2001).


Konsep PTP dapat menjawab sebagian kelemahan yang dimiliki oleh

Pemuliaan Tanaman Formal / PTF (Formal Plant Breeding) yang dilakukan oleh

lembaga-lembaga penelitian secara formal. PTF memang terbukti efektif dalam

menghasilkan varietas-varietas yang responsif terhadap input produksi dan

beradaptasi luas, terutama pada tanaman serealia semusim. Akan tetapi, pada

lingkungan yang kurang subur, lingkungan yang mengalami cekaman, dan

lingkungan yang petaninya mempunyai keterbatasan dalam hal sumberdaya,

ternyata varietas hasil PTF sulit untuk beradaptasi. Hal ini disebabkan karena

sifat-sifat yang dibutuhkan pada lingkungan spesifik tersebut belum menjadi

perhatian para pemulia, atau karena kesulitan dalam menggabungkan sifat-sifat

untuk daya adaptasi dengan kualitas hasil (Sobir, 2005).

Di Indonesia, penerapan PTP masih dinilai langka karena beberapa alasan

diantaranya : (1) peneliti belum menaruh kepercayaan atas petani, (2) peneliti

berlaku dan bersifat tertutup dan khawatir otoritasnya terhadap materi pemuliaan

berkurang, (3) kesadaran petani untuk memperoleh kultivar unggul sesuai dengan

agroklimat dan kesukaan petani masih rendah, (4) lahan petani sangat sempit

sehingga petani tidak mau mengambil resiko gagal atas kultivar bahan percobaan

yang belum mereka ketahui keunggulannya, dan (5) kegiatan pemuliaan

partisipasif yang berupa seleksi atau uji daya hasil galur, tidak didukung oleh

petani penggarap atau petani penyewa lahan, yang lebih mementingkan persentase

bagi-hasil panen (Zuraida dan Sumarno, 2003).


Dalam konsep PTP, keikutsertaan petani dalam proses seleksi terhadap

genotipe unggul yang adaptif terhadap lingkungan tumbuh setempat telah berhasil

membantu pemulia dalam memutuskan galur mana yang akan dilepas sebagai

kultivar unggul. Selanjutnya, petani dapat memperkuat upaya penyediaan kultivar

unggul yang adaptif terhadap lingkungan dan sesuai dengan keinginan masyarakat

setempat (Sujiprihati, 2005).

Kekerabatan Plasma Nutfah Jambu Mete Berdasarkan Morfologi

Salah satu cara untuk mengetahui berapa besar keragaman genetik dan

hubungan kekerabatan diantara koleksi plasma nutfah jambu mete adalah dengan

menggunakan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). RAPD merupakan

marka molekuler yang efisien dan cukup akurat. Marka DNA ini dapat digunakan

sebagai indikator seleksi tanpa dipengaruhi lingkungan, sehingga memungkinkan

untuk digunakan dalam mengindikasi aksesi jambu mete koleksi plasma nutfah,

hasil persilangan atau yang berasal dari daerah lain tanpa menunggu tanaman

tersebut berproduksi (Randriani et al., 2011).

Senyawa polifenol seringkali menimbulkan masalah pada saat dilakukan

proses ekstraksi dan isolasi DNA. Senyawa polifenol merupakan kontaminan

yang mengganggu dan sering menyebabkan kegagalan isolasi dan pemurnian

DNA. Hal seperti ini sering ditemui pada tanaman lain, di antaranya gambir

(Syafaruddin dan Santoso, 2011).


Penampilan morfologi tanaman masih sangat berguna pada pemuliaan

jambu mete sampai saat ini dan biasanya seleksi didasarkan pada ukuran

gelondong, sex rasio, jumlah buah per rangkaian dan produksi gelondong. Analisa

kekerabatan jambu mete berdasar sifat morfologi dan RAPD berguna untuk

perbaikan tanaman, deskripsi kultivar baru serta menduga kemurnian populasi

(Samal et al., 2003).

Keragaman plasma nutfah jambu mete tergolong rendah dengan rata-rata

tingkat kemiripan antar nomor koleksi adalah 0.513. Dari berbagai

pengelompokan tersebut, hasil pengelompokan berdasar karakter umum lebih

mendekati pengelompokan berdasar karakter total yang menempatkan A3

(sebagai out-group kultivar) pada cluster terpisah dengan aksesi lain, dibanding

pengelom- pokan berdasar sub-karakter bunga, buah dan gelondong. A3

merupakan kultivar introduksi dari Thailand yang mempunyai karakter produksi

tinggi, namun mempunyai ukuran gelondong kecil. Oleh karena itu untuk melihat

kedekatan antar aksesi dapat didasarkan pada sub-karakter umum untuk lebih

efisien dalam melakukan pengamatan, namun demikian akan lebih baik bila

didasarkan pada total parameter, terutama bila informasi yang diinginkan untuk

mengetahui variasi yang berkaitan dengan konservasi plasma nutfah tanaman

jambu mete tersebut. Secara teori keragaman yang ditampilkan oleh sifat

morfologi setara dengan keragaman genetik tanaman dan berdasar sifat tersebut,

dapat digunakan untuk memilih tetua persilangan atau memprediksi tanaman yang

mempunyai jarak genetik relative jauh (Huaman dan Spooner, 2002).


Strategi Pemulia Tanaman Dalam Meningkatkan Keanekaragaman Genetik

Jambu Mete

Keberhasilan pemuliaan tanaman sangat tergantung pada tingkat

keragaman genetik dalam suatu populasi dan metode seleksi yang efisien untuk

memperoleh kombinasi genetik yang diinginkan. Perbaikan genetik tanaman akan

menjadi terbatas apabila kurangnya informasi tentang keragaman genetik dalam

suatu koleksi plasma nutfah. Selanjutnya, tingkat efisiensi suatu metode

pemuliaan yang digunakan sangat tergantung pada mekanisme genetik yang

terlibat dalam proses pewarisan sifat yang akan diperbaiki, seperti jumlah gen

yang berpengaruh, aksi dan efek gen, heritabilitas genetik, repeatability dan

asosiasinya dengan sifat-sifat lainnya. Studi tentang parameter genetik merupakan

dasar kerja yang utama untuk mencapai keberhasilan dari suatu metode pemuliaan

yang digunakan (Mneney et al., 2001).

Metode pemuliaan yang umum digunakan pada tanaman yang menyerbuk

silang adalah metode seleksi massa, hibridisasi, dan mutasi. Pemuliaan jambu

mete umumnya didasarkan pada metode seleksi sifat-sifat fenotipik dan

agronomik yang meliputi ukuran biji, berat biji, warna dan ukuran buah semu,

tajuk tanaman, panjang panicle, dan semua komponen hasil.

(Chahal dan Gosal, 2002).


Besarnya pengaruh interaksi GxE cenderung dipandang sebagai suatu

masalah dalam pemuliaan yang disebabkan karena kurangnya informasi tentang

kemajuan respon yang dapat diperoleh dari suatu seleksi. Adanya interaksi GxE

dapat mengurangi kemajuan seleksi genotipe pada lingkugan tertentu. Untuk

mengurangi masalah seperti ini dan dalam usaha menyeleksi genotipegenotipe

unggul, maka dapat dilakukan melalui tiga pendekatan : (1) memahami

komponen-komponen faktor lingkungan sebagai penyebab interaksi GxE, (2)

menguji interaksi GxE secara biometrik, dan (3) mengembangkan strategi seleksi

dengan melibatkan parameter dan analisis stabilitas (Lee et al., 2003).

Selanjutnya, strategi pemuliaan difokuskan pada penelusuran generasi

(keturunan) serta seleksi hibrida unggul yang dikombinasikan dengan teknik

perbanyakan vegetatif (klonal) dari materi-materi unggul terpilih. Di samping itu,

dasar-dasar genetik untuk beberapa sifat penting lainnya (seperti ketahanan

terhadap hama/penyakit dan perbaikan kualitas hasil) tetap diperlukan untuk

mendapatkan alel-alel baru sesuai dengan tujuan pemuliaan yang diinginkan

(Cavalcanti et al., 2007).

Peningkatan Viabilitas Benih Jambu Mete Melalui Invigorasi

Ketersediaan benih bermutu menjadi hal yang penting untuk

kesinambungan produksi tanaman. Penggunaan benih bermutu rendah

menyebabkan daya adaptasi tanaman di lapang menjadi berkurang, dan berakibat

pada produksi tanaman yang rendah. Mutu benih dapat mengalami kemunduran

seiring dengan berjalannya waktu dan tidak dapat dikembalikan

(Jyoti dan Malik, 2013).


Dari penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa invigorasi benih dengan

melembabkan benih dalam air memberikan hasil yang lebih baik pada kedua

tingkat mutu benih . penelitian tentang perlakuan invigorasi pada benih adas

dengan menggunakan tiga tingkat kemasakan benih yaitu dengan menggunakan

PEG, KNO3 dan Vermikulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa invigorasi

dengan PEG menghasilkan nilai viabilitas yang paling baik namun pengaruhnya

semakin menurun dengan semakin masaknya benih (Setyaningsih, 2002).

Benih yang mengalami penundaan tanam terkadang dibiarkan dalam

kondisi yang tidak optimal, misalnya ditempatkan diruangan yang tidak optimum,

dalam kemasan yang terbuka atau sebelum dibawa ke lapangan ditempatkan di

ruangan yang berkelembaban udara tinggi. Hal tersebut akan menyebabkan benih

mengalami penurunan vigor yang cepat sehingga waktu ditanam vigor kekuatan

tumbuh sudah rendah (Robi’in, 2007).

Perlakuan invigorasi merupakan salah satu untuk mengatasi mutu benih

yang rendah dengan cara memperlakukan benih sebelum ditanam. Pengaruh yang

ditunjukkan dalam perlakuan invigorasi yaitu dapat memperbaiki viabilitas benih

serta dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Semakin lama benih disimpan

maka kemunduran yang terjadi pada benih juga akan semakin besar. Alternatif

untuk mengatasi benih padi yang telah mengalami kemunduran mutu yaitu

memberikan perlakuan invigorasi pada benih (Rusmin, 2004).


Keragaman Genetik Konvensional Tanaman Jambu Mete (Anacardium

occidentale L.) Untuk Merakit Varietas Unggul.

Untuk jenis tanaman tahunan, pengujian dengan metode adaptasi tetap

merupakan persyaratan dalam proses pelepasan varietas. Namun demikian,

apabila terdapat calon varietas yang telah memperlihatkan keunggulannya secara

nyata di pertanaman, maka dapat dinilai kelayakannya untuk dilepas sebagai

varietas unggul berdasarkan metode observasi dari pertanaman tersebut (yang

sudah ada di lapangan), tanpa harus menanam ulang menurut persyaratan metode

adaptasi. Tanaman jambu mete merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat

diuji melalui metode observasi untuk memperoleh varietas unggul spesifik lokasi

(Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010).

Sebagai salah satu jenis tanaman tahunan yang baru menghasilkan sekitar

4-5 tahun setelah tanam, maka proses pemuliaan untuk merakit varietas unggul

jambu mete memerlukan waktu yang relatif lama. Sementara itu, kebutuhan benih

untuk program rehabilitasi dan atau peremajaan dalam upaya meningkatkan

produtivitas nasional sangat mendesak dengan jumlah yang tidak sedikit. Dalam

kondisi yang demikian, penelusuran atau observasi terhadap materi-materi genetik

unggul lokal dan atau yang diintroduksi dari luar tetapi telah beradaptasi dan

berkembang secara baik dari generasi ke generasi dalam waktu yang relatif lama

merupakan alternatif yang dapat ditempuh, sambil menunggu diperolehnya

varietas unggul hasil metode adaptasi melalui kegiatan pemuliaan konvensional

atau formal (Baihaki, 2004).


Kendala perbanyakan tanaman jambu mete di antaranya, tanaman ini

merupakan tanaman tahunan yang menyerbuk silang dengan waktu regenerasi

yang cukup lama antara 5-8 tahun. Umumnya tanaman ini diperbanyak secara

generatif sehingga keturunannya mempunyai sifat yang berbeda dengan induknya.

Di samping itu, perbanyakan vegetatif secara konvensional dapat merusak pohon

induk unggul yang jumlahnya saat ini masih terbatas. Salah satu upaya mengatasi

permasalahan tersebut ialah dengan melakukan perbanyakan vegetatif melalui

kultur jaringan. Perbanyakan tanaman melalui kultur in vitro dapat di lakukan

melalui jalur embriogenesis somatik atau organogenesis (Yunita et al., 2013).

Keuntungan perbanyakan secara kultur jaringan melalui organogenesis

langsung adalah (1) waktu perbanyakan lebih cepat; (2) jumlah bibit yang

dihasilkan tidak terbatas; (3) bagian dari tanaman induk yang digunakan sebagai

eksplan lebih sedikit sehingga tidak merusak tanaman induk; (4) bebas hama dan

penyakit; (5) memerlukan lahan sempit; dan (6) genotipe sama dengan induknya

(Sukmadjaja dan Mariska, 2003).

Keberhasilan penggandaan tunas in vitro pada tanaman berkayu umumnya

masih rendah dibandingkan dengan pada tanaman berdinding lunak. Beberapa

kendala yang dihadapi dalam organogenesis tanaman berkayu adalah lambatnya

pertumbuhan tunas karena jaringan yang digunakan sebagai eksplan adalah

jaringan yang sudah tua dan tidak bersifat meristimatik, sehingga faktor

perbanyakannya rendah serta masalah perakaran sulit diatasi. Sterilisasi eksplan

yang sulit karena jaringan yang mengandung getah. Gugurnya tunas dan daun

yang terjadi lebih dini. (Suhartati, 2008).


KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

1. Salah satu cara untuk mengetahui berapa besar keragaman genetik dan

hubungan kekerabatan diantara koleksi plasma nutfah jambu mete adalah

dengan menggunakan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD).

2. Keberhasilan pemuliaan tanaman sangat tergantung pada tingkat

keragaman genetik dalam suatu populasi dan metode seleksi yang efisien

untuk memperoleh kombinasi genetik yang diinginkan.

3. Konsep PTP dapat menjawab sebagian kelemahan yang dimiliki oleh

Pemuliaan Tanaman Formal / PTF (Formal Plant Breeding) yang

dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian secara formal.

4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa invigorasi dengan PEG

menghasilkan nilai viabilitas yang paling baik namun pengaruhnya

semakin menurun dengan semakin masaknya benih.

5. Metode pemuliaan yang umum digunakan pada tanaman yang menyerbuk

silang adalah metode seleksi massa, hibridisasi, dan mutasi.

Saran

Dengan adanya penulisan paper ini diharapkan para pembaca dapat

bertambah wawasannya dalam hal keragaman genetik konvensional tanaman

Jambu Mete dalam merakit varietas unggul. Selain itu diharapkan penulis juga

dapat mengembangkan ide-ide penulisan dalam hal tanaman Jambu Mete.


DAFTAR PUSTAKA
Adi Sarwanto, 2003. Meningkatkan Produksi Kacang-Kacangan. Penebar
Swadaya, Jakarta.

Baihaki, A. 2004. Mengantisipasi persaingan dalam menuju swasembada


varietas unggul. Simposium PERIPI 2004. Bogor, 5-7 Agustus 2004. 17
hal.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasioanl. 2007. Seputar Budidaya


Jambu Mete (Anacardium occidentale L.). Tersedia di http://www.mail-
archive.com Diakses 2 Mei 2021.

Cahyono B, 2005. Manfaat Jambu Mente. Tarat, Bandung.

Cavalcanti, J.J.V., M.D.V. Resende, J.R. Crisostómo, L.M. Barros, dan J.R.
Paiva. 2007. Genetic control of quantitative traits and hybrid breeding
strategies for cashew improvement. Crop Breeding and Applied
Biotechnology 7 : 185-195.
Chipojola, F.M., W.F Mwase, M.B. Kwapata, J.M. Bokosi, J.P. Njoloma and
M.F. 2009. Morphological characterization of cashew
(Anacardium occidentale L.) in four populations in Malawi African.
Journal of Biotechnology. 8 (20) : 5173-5181.
Chahal, G.S. dan S.S. Gosal. 2002. Principles and Procedures of Plant
Breeding : Biotechnology and Conventional Approaches. Alpha Science
International Ltd., Harrow, UK. 603p.

Ditjenbun. 2012. Pedoman teknis penanganan pasca panen


jambu mete (Anacardium occidentale L.). 67 hal.

Dalimartha, S., 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Bogor. Trobus Agriwidya.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Pedoman Pengujian, Penilaian,
Pelepasan dan Penarikan Varietas Tanaman Perkebunan. Direktorat
Perbenihan dan Sarana Produksi. 67 hal.

FAO.2015.http://faostat.fao.org/site/567/DesktopDefault.aspx?
PageID=567#ancor. Diunduh tgl 30 April 2021.
Huaman, Z. and D.M. Spooner. 2002. Reclassification of landrace populations of
cultivated potatoes . American Journal of Botany 89: 947 – 965.

Jyoti and C. P. Malik. 2013. Seed Deterioration. International Journal of


Life Sciences Biotechnology and Pharma Research. 2(3):374-385.

Lee, E.A., T.K. Doerksen, dan L.W. Kannenberg. 2003. Genetic components
of yield stability in maize breeding populations. Crop. Sci. 43 : 2018-2027.
Monyo, E.S., S.A. Ipnge, G.M. Heinrich, dan E. Chinhema. 2001. Participatory
breeding : Does It Make A Difference? Lesson from Nambian Pearl
Millet Farmers. In : Lilja, N., J.A. Asbhy, L. Sperling, and A.L. Jones
(eds.). Assesing the Impact of Participatory Research and Gender
Analysis. CGIAR. pp : 198-207.

Mneney, E.E., S.H. Mantel, dan M. Bennett. 2001. Use of random amplified
polymorphic DNA (RAPD) markers to reveal genetic diversity within and
between population of cashew (Anacardium occidentale L.). J. Hortic. Sci.
Biotechnol. 76 : 375-383.

Nunug, 2000. Budidaya Jambu Mente. Bina Aksarah, Jakarta.

Pitojo, 2005. Konserfasi lahan. Penebar Swadaya, Jakarta.


Rosman R. 2016. Model simulasi kelayakan lahan untuk peremajaan dan
pengembangan tanaman jambu mete. Makalah Disampaikan Pada Forum
Komunikasi Jambu Mete Nasional II tanggal 12-13 Oktober 2016. 9 hlm.
Rusmin, D. 2004. Peningkatkan Viabilitas Benih
Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) Melalui Invigorasi. Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.

Randriani, E., D. Listyati dan Syafaruddin. 2011. Kekerabatan Plasma Nutfah


Jambu Mete Berdasarkan Marka Random Amplified Polymorphic DNA.
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri.
Sukabumi.
Sudarto dan Putu C.A. 2016. Keragaan budidaya tanaman jambu mete di
kabupaten Bima. Prosiding Forum Komunikasi Nasional Jambu Mete II.
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. p. 69-74.
Suryadi R. 2010. Peningkatan produktivitas jambu mete melalui penerapan
pemangkasan dan pemupukan. Perk Teknologi TRO 22 (1) : 19-25.
Suprapto, A. .2002. Land and water resources development in Indonesia. dalam.
FAO. Investment in Land and Water. Proceedings of the Regional
Consultation.

Sobir. 2005. Pemuliaan Tanaman Partisipatif (PTP) dan percepatan perakitan


varietas. Participatory Plant Breeding (Pemuliaan Tanaman Partisipatif).
Pusat Kajian Buah Buahan Tropika, Lembaga Penelitian dan
Pemberdayaan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor dan Kementerian
Negara Riset dan Teknologi RI, hal : 2-21.

Sperling, L., J.A. Ashby, M.E. Smith, E. Weltzein, dan S. McGuire. 2001.
A framework for analyzing participatory plant breeding approachs and
results. Euphytica 122 : 349-450.

Sujiprihati, S. 2005. Partisipasi petani dalam pemuliaan tanaman.


Participatory Plant Breeding (Pemuliaan Tanaman Partisipatif). Pusat
Kajian Buah-Buahan Tropika, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan
Masyarakat. Institut Pertanian Bogor dan Kementerian Negara Riset dan
Teknologi RI, hal : 22-32.

Setyaningsih, M.C., . 2002. Pengaruh tingkat masak, penyimpanan dan


invigorasi terhadap perubahan fisiologis benih adas (Foeniculum vulgare
Mill). Tesis. Program Pasca sarjana, IPB.

Syafaruddin dan T.J. Santoso. 2011. Optimasi teknik isolasi dan purifikasi DNA
yang efisien dan efektif pada kemiri sunan (Reutalis trisperma
(Blanco) Airy Shaw). Jurnal Penelitian Tanaman Industri 17 (1): 11-17.

Samal, S., G.R. Rout and P.C. Lenka. 2003. Analysis of genetic relationships
between populations of cashew (Anacardium occidentale L.) by using
morpho- logical characterization and RAPD markers. Plant Soil
Environment 49(4): 176-182.

Suhartati. 2008. Pembiakan kultur jaringan pada jenis tanaman hutan. Mitra
Hutan Tanaman. 3(3):141-148.

Suhadi, O., 2007, Budidaya Jambu Mete, Azka Press, Indonesia, hal. 2-6.
Sukmadjaja, D. dan I. Mariska. 2003. Perbanyakan bibit jati melalui kultur
jaringan. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian. 12 hal.

Yunita,R. I. Mariska dan Christiani Tumilisar. 2013. Perbanyakan Tanaman


Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) melalui Jalur Organogenesis.
Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian .7 hal.

Zuraida, N. dan Sumarno, 2003. Partisipasi Petani dalam Pemuliaan Tanaman


dan Konservasi Plasma Nutfah Secara ’On Farm’. Zuriat 14 (2) : 67-76.

Anda mungkin juga menyukai