Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

SPINAL ANESTESI DAN EPIDURAL ANESTESI

Oleh :
 Andi Vannesya Astriani 2015730007
 Dinda Meladya 2013730137
 Fadhil Mayudha 2015730041
 Jullinar Aulia Hasna 2015730067
 Kriswindari Kusmawan 2015730074
 Mutiara Nurul Qolby 2015730095
 Naufal Rahman Tejokusuo 2015730101
 Ray Dermawan 2015730110
 Sri Febriyanti Dewi 2015730124
 Utari Hanggialevi 2015730131

Pembimbing :
dr. Eva Susana Putri Daya, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANASTESI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA SUKAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Tugas ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas Laporan Kasus pada Stase
Ilmu Anastesi Rumah Sakit Islam Jakarta Sukapura mengenai ”Spinal Anestesi
dan epidural anestesi”. Laporan Kasus ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas
saya selama menjalani kepaniteraan klinik stase Ilmu Anastesi.
Terima kasih kepada dokter pembimbing di Rumah Sakit Islam Jakarta
Sukapura dr. Eva Susana Putri Daya, Sp. An yang telah membantu dalam
terselesainya tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga
tugas ini dapat bermanfaat untuk para pembaca.

Jakarta, Januari 2021

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................I
DAFTAR ISI........................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II PERSIAPAN PRA – ANESTESI....................................................................2
BAB III PELAKSANAAN ANESTESI.......................................................................9
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................34

II
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang berspesialisasi dalam


mengurangi rasa nyeri dan menjaga stabilitas pasien selama dan setelah
prosedur bedah. Anestesi atau bius, digunakan pada hampir semua bidang
kedokteran, jika pembedahan perlu dilakukan atau pasien akan merasa nyeri
selama prosedur berlangsung. Bius juga dapat digunakan pada prosedur
diagnostik, bedah otak dan perut, kandungan, dan lain-lain. Anestesi
mempunyai peran penting dalam kelancaran prosedur bedah dan mengurangi
rasa tidak nyaman pada pasien. Metode bius yang paling sering digunakan
adalah umum dan lokal. Bius lokal hanya untuk bagian tubuh yang akan di
bedah, sehingga pasien tidak merasakan nyeri selama proses berjalan.
Sedangkan bius umum berperan untuk membuat pasien tertidur atau tidak
sadar dan otot-ototnya tidak akan dapat digerakkan karena dilumpuhkan,
sehingga ia tidak akan merasa nyeri. Anestesi dapat berupa cairan yang
disuntikkan melalui vena, atau gas yang akan dihirup oleh pasien dengan
menggunakan masker khusus. Kedua zat bius ini mempunyai efek langsung
yang dapat membuat pasien hilang kesadaran dalam satu menit.

1 Universitas Muhammadiyah Jakarta


BAB II
PERSIAPAN PRA – ANESTESI

A. PERSIAPAN PASIEN
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. H
Usia : 78 tahun
Alamat : Jl. Dewa Kembar
Pekerjaan : IRT
NRM : 00 – xx – 76 – xx
Masuk RS : 27 Januari 2021
Ruangan : Al Ghifari
DPJP : dr. Omar Sp. OT

2. Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri daerah pinggul kanan sejak 2 hari SMRS
Keluhan Tambahan
Kaki kanan sulit bergerak
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang sadar mengeluh nyeri pada pinggul kanan setelah
terjatuh di kamar mandi sejak 2 hari SMRS. Pasien menginjak lantai
kamar mandi yang licin, kemudian terpeleset dan terjatuh ke sisi kanan
dengan pinggul kanan membentur lantai. Pasien merasakan nyeri, dan
sulit menggerakkan kaki kanan. Pasien merasa lemas dan pusing.
Riwayat tidak sadar (-), mual (-), muntah (-), darah dari hidung telinga
mulut disangkal

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada Riwayat jatuh, DM (+) sudah 30 tahun. HT (-), TBC (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada di keluarga yang mengalami keluhan yang serupa.
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Riwayat Alergi
Pasien tidak memliki alergi terhadap makanan maupun obat – obatan.

Riwayat Pengobatan
Metformin 3 x 500mg

Riwayat Psikososial
Pasien mengatakan tidak merokok, minuman alkohol, dan obat –
obatan terlarang. Pasien sering makan – makanan berlemak seperti
gorengan dan konsumsi makanan manis.

Riwayat Operasi
Pasien belum pernah menjalani operasi apapun sebelumnya

3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 27 Januari 2021
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
 Status Gizi :
 BB : 75 Kg
 TB : 155 Cm
 IMT : 31,2 kg/m2

 Tanda Vital
 TD : 131/61 mmHg
 Nadi : 83 kali/menit, reguler, kuat angkat
 RR : 20 kali/menit
 Suhu : 36,6 oC
 VAS : 6-7
 Status Generalis :
 Kulit : Warna kulit sawo matang, pucat, tidak ada
Universitas Muhammadiyah Jakarta
sianosis, tidak ada lesi kulit lain, tidak ada
decubitus, jejas (+) di femur dextra.
 Kepala : Normochepal, rambut hitam mengkilat, lurus,
distribusi merata, tidak mudah dicabut
 Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
 Hidung : Deviasi septum nasal (-), sekret (-/-), epistaksis (-),
mukosa hiperemis (-/-)
 Telinga : Normotia, serumen (-/-)
 Mulut : Mukosa bibir kering, tidak ada sianosis, faring
hiperemis (-), tonsil (T1/T1), tonsil hiperemis (-/-),
detritus (-/-), pseudomembran (-/-), lidah kotor (-),
lidah tremor (-), malampati score IV, Gigi geligi
(-), gigi palsu (-).
 Leher : Tidak ada pembesaran KGB, kelenjar tiroid tidak
membesar.
 Thorax
Inspeksi : Normochest, jejas (-), pergerakan dinding dada
simetris, retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi : Vocal fremitus (+/+) di kedua paru.
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru kanan dan kiri
Auskultasi : Vesikuler (+/+) di seluruh lapang paru, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)

 Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di ICS V midclavicula sinistra.
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V midclavicula sinistra.
Perkusi : Batas atas : ICS II linea parasternalis dextra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra

Auskultasi : BJ1 & BJ2 reguler, gallop (-), murmur (-)

Universitas Muhammadiyah Jakarta


 Abdomen
Inspeksi : Perut datar, jejas (-), distensi abdomen (-),
striae alba (+), sikatriks (-),
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel (+), nyeri tekan epigastrium (+), tidak
teraba ada massa di abdomen

Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen.

 Ekstremitas
Atas : Akral hangat (+/+), edema (-/-), RCT <2 detik
(+/+).
Bawah : Akral hangat (+/+), edema (+/-), RCT <2 detik
(+/+).

 Status Lokalis:
Regio Hip Kanan
L: Bengkak pada pinggul kanan, memar (+), deformitas (+)
pemendekan dan rotasi eksternal, tampak makula
hipopigmentasi multiple pada kedua extremitas bawah.
F: Nyeri tekan (+),pulsasi a. Dorsalis pedis (+), CRT <2 detik
M: Active ROM Hip terbatas karena nyeri, Active ROM Genu
terbatas karena nyeri, Active ROM Ankle (+), Active ROM
MTP (+).

4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi
Hb 9,9 g/dl 11,3 – 15,5
Hematokrit 29,4 % 38 – 47
Leukosit 10,370 103/µl 3,9 – 11
Trombosit 277 132 – 440
Pembekuan
Massa Perdarahan 2 Menit 1–3
Masa Pembekuan 4 Menit 2-6

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Kimia Klinik
Gula Darah Sewaktu 132 Mg/dL 70 – 115
Ginjal
Ureum 77 Mg/dL 21 – 43
Kreatinin 1,7 Mg/dL 0,6 – 1,1

 Foto Rontgen Thorax :


Kesan : Cor dan pulmo dalam batas normal

 Rontgen Pelvis AP
Kesan : Close fraktur kolumna femoralis dextra

 Pemerikaan SARS – COV – 2 Real Time PCR


Swab Nasofaring dan Orofaring Negatif

5. Diagnosis Kerja
Fraktur columna femoralis
Anemia

6. Diagnosis Anestesi
Status fisik ASA II dan overweight (BMI = 31,2 kg/m2)

7. Rencana Pembedahan
Hemiarthroplasty Bipolar

8. Rencana Anestesi
Anestesi spinal dan epidural

9. Prognosis
 Quo ad Vitam : ad Bonam
 Quo ad Functionam : ad Bonam
 Quo ad Sanationam : ad Bonam

Universitas Muhammadiyah Jakarta


B. PERSIAPAN PRA ANESTESI

1. Persiapan Pasien
a) Informed consent
b) Surat persetujuan operasi
c) Pasien dipuasakan sejak pukul 00.00 WIB tanggal 27 Januari
2021 tujuannya untuk memastikan bahwa lambung pasien telah
kosong sebelum tindakan untuk menghindari kemungkinan
terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan
membahayakan pasien.
d) Pengosongan kandung kemih pada pagi hari sebelum operasi
e) Pendataan kembali identitas di kamar operasi, anamnesa singkat
yang meliputi BB, umur, riwayat penyakit, riwayat kebiasaan
f) Pemeriksaan fisik di ruang persiapan: TD: 131/61 mmHg, Nadi:
83 x/mnt, RR: 20 x/mnt, Suhu: 36,6 °C
g) Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang
persiapan

2. Persiapan Alat Anestesi


a) Mesin Anestesi
 Komponen I : Sumber gas, flowmeter dan vaporizer
 Komponen II : Sirkuit napas/sistem ventilasi yaitu open,
semi open, semi close
 Komponen III : Alat penghubung sistem ventilasi dengan
pasien yaitu sungkup muka dan pipa ombak
b) Sfigmamometer digital
c) Oksimeter pulse
d) Suction
e) Guedel
f) Sungkup muka (face mask)
Universitas Muhammadiyah Jakarta
g) Nasal kanul
h) Balon pernapasan
i) Infus set dan cairan infus
j) Plester
k) Sungkup laring no. 3
l) Stetoskop
m) Gel
n) Spuit berbagai ukuran (3 cc, 5 cc, 10 cc)

3. Persiapan Obat
Anestesi Spinal
a) Premedikasi : Ondansentron dosis 4 mg IV,
Fentanyl 100 mcg IV
b) Obat Induksi : Marcain
c) Maintenance Anestesi : Sevoflurane, N2O, O2

Obat Tambahan

a) Analgetik : Ketrolac 30 mg, Tramadol dosis


100 mg I.V.
b) Antiinflamasi : Dexamethasone dosis 10 mg
I.V.
c) Antiemetik : Ondansetntron dosis 4 mg I.V.
d) Antihistamin : Diphenhydramine 10 mg I.V.

BAB III

Universitas Muhammadiyah Jakarta


PELAKSANAAN ANESTESI

A. INTRAOPERATIF
 Pukul 08.30 WIB
o Memasang Infus Ringer Laktat two line I 500 cc
o Memasang oksimeter pulse
o Pemasangan manset untuk mengukur tekanan darah
o Pemasangan Elektroda

 Pukul 08.40
o Pasien dalam posisi duduk tegak dengan kepala menunduk.
Pasien diberitahu bahwa akan dilakukan tindakan pembiusan
o Pemberian premedikasi Ondansentron dosis 4 mg IV dilanjutkan
dengan Fentanyl 100 mcg IV
o Dilakukan tindakan anestesi Epidural
o Desinfeksi lokasi suntikan anestesi lokal, dilakukan tindakan
anestesi Spinal dengan menggunakan jarum spinal no 27
diantara L3-L4 dengan Bupivacaine 15mg, LCS (+), darah (-)
o Dilakukan preoksigenasi dengan sungkup muka mengunakan O2
sebanyak 5 liter/menit

 Pukul 08.55
o Pemasangan kateter dan Pemasangan terastarc pada pasien
o Imobilisasi dan Pemasangan spO2 pada pasien
o Dilakukan preoksigenasi dengan nasal kanul mengunakan O2
sebanyak 3 liter/menit

 Pukul 09.10
o Pemasangan IV line dua jalur (untuk mencegah terjadinya syok)

 Pukul 09.30
o Operasi/Pembedahan dimulai

Universitas Muhammadiyah Jakarta


o Ventilasi spontan
o Diberikan Dexamethasone Sodium Phospate 10 mg I.V

 Pukul 09.55
o Pemasangan Ringer Laktat 2 line kolf kedua
o Dilakukan skin test ceftriaxone
o Masuk ceftriaxone 2 gr + naCl 100

 Pukul 10.55
o Pembedahan selesai
o Pemberian induksi Sevoflurane 2% diberhentikan
o Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2 dipertahankan
o Suction sisa lendir didalam mulut
o Oksimeter pulse dan manset tensimeter dilepas,monitor dimatikan
o Pelepasan nasal kanul oksigen

 Pukul 11.20
o Kemudian pasien dibangunkan dan dipindahkan ke ruang
pemulihan atau Recovery Room (RR), didapatkan Tensi 134/63
mmHg, Nadi 80 x/menit, Suhu 36,4 oC, Pernapasan 22 x/menit,
SpO2 98 %

B. TERAPI CAIRAN
Berat Badan : 75 Kg
Lama Puasa : 8 jam
a) Maintenance (M) : BB x kebutuhan cairan per jam
Jumlah kebutuhan cairan pemeliharaan untuk dewasa 2
cc/kgBB/jam
Maka untuk pasien dengan BB 80 kg,
= (2cc/kgBB/jam) * (75 kgBB)
= 150 cc/jam

Universitas Muhammadiyah Jakarta


b) Pengganti Puasa (P) : lama puasa x kebutuhan cairan
pemeliharaan
Maka untuk pasien yang telah menjalani puasa selama 10 jam
sebelum melakukan operasi,
= 8 jam x (160 cc)
= 1.200 cc

c) Jenis Operasi (O) : BB x jenis operasi (sedang)


= 75 x 6 cc/kg
= 450 cc

Total kebutuhan cairan durante operasi :

Jam pertama = M + 50%P + O

= 150 cc + 600 cc + 450

= 1.200 cc

Cairan yang diberikan (selama peri operatif) = Ringer Laktat 500


cc

C. POST OPERATIF
Pasien masuk ke ruang pemulihan pada pukul 12.00 WIB
 Pukul 12.00 WIB
o Dilakukan tindakan anestesi Epidural
o Pemasangan pulse oximetry dan manset tensimeter, setelah itu
dilakukan pengukuran tekanan darah setiap 15 menit
o Pemberian cairan intravena Ringer Laktat 500 cc
o TD : 134/63 mmHg
Hr : 80 x/menit
SpO2 : 98 %
Universitas Muhammadiyah Jakarta
o Penilaian Skor Aldrette

 Pukul 12.30 WIB


o Penilaian Skor Aldrette

Skor Aldrette mencapai angka 10, pasien dapat pindahkan ke ruang


perawatan dan menunggu penjemputan.

 Pukul 12.40 WIB


o TD : 137/78 mmHg
ND : 66 x/menit
SpO2 : 98%

 Pukul 12.45 WIB


o TD : 142/78 mmHg

ND : 76 x/menit
SpO2 : 99%

 Pukul 12.50 WIB


o TD : 137/78 mmHg
ND : 76x/menit
SpO2 : 99%
Pada pasien diberikan instruksi pasca bedah, yaitu:
 Pengelolaan nyeri dengan Tramadol 100 mg I.V.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


 Apabila mual / muntah: injeksi Ondansentron 4 mg I.V.
 Dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital setiap 15 menit selama 1
jam pertama
 Terapi lain sesuai dengan terapi bedah
 Bed rest

Universitas Muhammadiyah Jakarta


BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

Pada kasus ini, pasien perempuan, usia 78 tahun dengan diagnosis Fraktur
columna femoralis + Anemia akan dilakuan tindakan Hemiarthroplasty Bipolar.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
didapat, pasien dapat digolongkan dalam ASA II dan overweight (BMI = 31,2
kg/m2).
Sebelum tindakan operasi, dilakukan persiapan pra anestesi 1-2 hari
sebelum operasi dilaksanakan dengan tujuan:
1. Untuk mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal
2. Merencanakan dan memilih teknik dan obat-obatan anestesi yang sesuai
3. Menentukan klasifikasi yang sesuai berdasarkan klasifikasi ASA) Rencana
anestesi pada pasien ini adalah anestesi spinal. Anestesi spinal adalah
teknik anestesi neuraksial dimana anestesi lokal ditempatkan langsung di
ruang intratekal (ruang subarachnoid). Ruang subarachnoid menampung
cairan serebrospinal steril (CSF), cairan bening yang membasahi otak dan
sumsum tulang belakang.

A. Anatomi

1. Tulang Punggung (Kolumna vertebralis)


Gambar 1. Anatomi tulang punggung
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Terdiri dari 7 vertebra servikal, 12 vertebra torakal, 5 vertebra
lumbal, 5 vertebra sacral menyatu pada dewasa, 4-5 koksigeal menyatu
pada dewasa. Prosesus spinosus C2 teraba langsung di bawah oksipital.
Prosesus spinosus C7 menonjol dan disebut sebagai vertebra prominens.

2. Vertebra lumbal

Gambar 2. Vertebra lumbal

Ada 5 vertebra lumval


(dilambangkan sebagai L1-L5) yang ditemukan pada manusia dewasa, dan
terletak dibawah vertebra toraks, merupakan yang terbesar, dari segi
ukuran, dari semua vertebra karena vertebra lumbal harus menopang berat
badan saat seseorang berdiri akibat efek gravitasi.

3. Peredaran darah
Medulla spinalis diperdarahi oleh a.spinalis anterior dan a.spinalis
posterior.

4. Lapisan jaringan punggung

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Untuk mencapai cairan serebrospinalis, maka jarum suntik akan
menembus: kulit -> subkutis -> ligamentum supraspinosum -> ligamentum
interspinosum -> ligamentum flavum -> ruang
epidural -> duramater -> ruang
subarachnoid.

Gambar 3. Lapisan punggung lumbal

5. Medulla spialis (korda


spinalis, the spinal cord)
Berada dalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinalis, dibungkus meningen (duramater, lemak dan fleksus
venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi
L3 dan sakus duralis berakhir setinggi S2.

6. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinalis merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang
berasal dari pleksus arteria koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan
lateral. Cairan ini jernih tak berwarna mengisi ruangan sub araknoid
dengan jumlah total 100-150 ml, sedangkan yangdipunggung sekitar 24-45
ml

7. Ketinggian segmental anatomic

Universitas Muhammadiyah Jakarta


C3-C4 klavikula
T2 ruang intercostal kedua
T4-5 garis puting susu
T7-9 arkus subkostalis
T10 umbilikus
L1 daerah inguinal
S1-4 perineum

8. Ketinggian segmental refleks spinal


T7-8 epigastrik
T9-12 abdominal
L1-2 kremaster
L2-4 lutut (knee jerk)
S1-2 plantar, pergelangan kaki (ankle jerk)
S4-5 sfigter abus, refleks kejut (wink reflexes)

9. Pembedahan ketinggian kulit


Tungkai bawah T12
Panggul T10
Uterus-vagina T10
Buli-buli prostat T10
Tungkai bawah (dengan manset) T8
Testis ovarium T8
Intraabdomen bawah T6
Intraabdomen lain T4

B. Analgesia Spinal
Analgesia spinal (intratekal, intradural, subdural, subarachnoid) ialah
pemberian obat anastetik local ke dalam ruang subarachnoid. Anestesia spinal
diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik local ke dalam ruang
subarachnoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.

Indikasi:
Universitas Muhammadiyah Jakarta
1. Bedah ekstermitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rectum-perineum
4. Bedah obstetric-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasikan
dengan anestesia umum ringan.

Indikai kontra absolut:

1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hypovolemia berat, syok
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5. Tekanan intracranial meninggi
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman/tanpa didamping konsultan anestesia.

Indikasi kontra relative:

1. Infeksi sisetemik (sepsis, bakteremi)


2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hypovolemia ringan
8. Nyeri punggung

I. Persiapan analgesia spinal


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah

Universitas Muhammadiyah Jakarta


elektif dilakukan 1 – 2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat
mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi
dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi
adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):

ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir,


tanpa kelainan faali, biokimia, dan psikiater. Angka
mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai
dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau
proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga
aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan
operasi. Misal: insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan
hidup dalam 24 jam tanpa operasi dengan operasi.
Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan) Untuk operasi cito, ASA ditambah
huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan otak,
jantung, paru, ibu dan anak.
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan
pada anestesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spiosus.
Selain itu perludiperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal.
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
dan lain-lainnya.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time) dan PTT (partial
thromboplastine time).

II. Premedikasi anestesi


Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain:
a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal: diazepam.
b. Menghilangkan rasa khawatir, misal: diazepam
c. Membuat amnesia, misal: diazepam, midazolam
d. Memberikan analgesia, misal: fentanyl, pethidin
e. Mencegah muntah, misal: droperidol, ondansetron
f. Memperlancar induksi, misal: petidin
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. Menekan reflek – reflek yang tidak diinginkan, misal: tracurium, sulfas
atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal: sulfas atropin dan
hiosin.

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis


pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus
selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik,
derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat
hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
Universitas Muhammadiyah Jakarta
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi,
macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan:

Obat – Obatan Premedikasi


Pada kasus ini digunakan obat premedikasi:
1) Ondansetron
Merupakan antagonis reseptor serotonin 5-HT 3 selektif.
Digunakan untuk mencegah dan mengobati mual dan muntah pasca
bedah. Efek samping obat ini berupa hipotensi, bronkospasme,
konstipasi, dan sesak nafas.
2) Fentanyl
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid
dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150
mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan
sekarang ini telah ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten dan
sangat cepat onsetnya telah digunakan untuk meminimalkan depresi
pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan selama
operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan
demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana
meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan
perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan
sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan
sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena
untuk memberikan efek analgesi perioperatif.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.
Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding
meperidin. Efek euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh
antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang masanya
atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya
digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil
menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin
disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi dopaminergic di striatum.
Efek ini di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya digunakan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai analgesik
pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan
tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap dengan droperidol'.
Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang berkaitan dengan
haloperidol) diberikan bersama-sama untuk menimbulkan analgesia
dan amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan
suatu efek yang disedut sebagai neurolepanestesia.

Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan
tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam
stadium anestesi setelah induksi. Pada kasus ini digunakan obat induksi:
Bupivacaine (Marcaine)
Bupivacaine (Marcaine) adalah anestesi local golongan amida dengan
potensi 4-8 (tinggi), mula kerja lambat, lama kerja 240-480 (infiltrasi,
menit), toksisitas rendah.

Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,
tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan
tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai
sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi
dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak
mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi
abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot.
Terhadap SSP menimbulkan analgesik yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida
mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi
dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai
Universitas Muhammadiyah Jakarta
perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam
anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O:O2 adalah sebagai
berikut 60%: 40%; 70% : 30% atau 50% : 50%
b. Sevoflurane
Sevoflurane merupakan suatu cairan yang jernih, tidak berwarna
tanpa stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat biasa.
Tidak terlihat adanya degradasi sevoflurane dengan asam kuat maupun
panas. Sevoflurane bekerja cepat, tidak iritasi, induksi lancar dan cepat
serta pemulihan yang cepat setelah obat dihentikan.
Daerah otak yang spesifik dipengaruhi oleh obat anestesi inhalasi
termasuk reticular activating system, cerebral cortex, cuneate nucleus,
olfactory cortex, dan hippocampus. Obat anestesi inhalasi juga
mendepresi transmisi rangsang di spinal cord, terutama pada level
dorsal horn interneuron yang bertanggung jawab terhadap transmisi
rasa sakit.

Obat tambahan:
a. Ketorolac
Ketorolac (tradol) dapat diberikan secara oral, intramuscular atau
intravena. Tidak dianjurkan intratekal atau epidural. Setelah suntikan
im atau iv efek analgesinya dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah
1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam dan penggunaannya dibatasi
untuk 5 hari.
Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai
kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi maksimal 90 mg
dan kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi maksimal
90 mg dan untuk berat <50 kg, lansia atau gangguan faal ginjal
dibatasi maksimal 60 mg.
Sifat analgetic ketorolac setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolac=
12 mg morfin – 100 mg petidin, sedangkan sifat antipiretik dan
antiinflamasinya rendah. Ketorolac dapat digunakan secara bersamaan
dengan opioid.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Cara kerja ketorolac ialah menghambat sintesis prostaglandindi
perifir tanpa mengganggu reseptor opioid di system saraf pusat. Seperti
NSAID lain tidak dianjurkan digunakan untuk wanita hamil,
menghilangkan nyeri persalinan, wanita dengan menyusui, usia lanjut,
anak usia, 4 tahun, ganggiuan pendarahan dan tonsilektomi.
b. Tramadol
Tramadol adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada
reseptor mu dan kelemahan analgesinya 10-20% dibanding morfin.
Tramadol dapat diberikan dengan dosis maksimal 400 mg per hari.
c. Dexamethasone
Deksametason merupakan kortikosteroid dari golongan
glukokortikoid yang mempunyai efek anti-inflamasi yang adekuat.
Pemberian deksametason akan menekan pembentukan bradikinin dan
juga pelepasan neuropeptide dari ujung-ujung saraf, hal tersebut dapat
menimbulkan rangsangan nyeri pada jaringan yang mengalami proses
inflamasi. Penekanan produksi prostaglandin oleh deksametason akan
menghasilkan efek analgesia melalui penghambatan sintesis enzim
cyclooksigenase di jaringan perifer tubuh. Deksametason juga
menekan mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α),
interleukin 1-β (IL-1β), dan interleukin-6 (IL-6).
Dosis dexamethasone tergantung pada kondisi yang diderita
pasien. Dewasa: dosis awal 0,5–9 mg per hari. Dosis maksimal 1,5 mg
per hari.
Anak-anak: dosis awal 0,02–0,3 mg/kgBB/hari, dibagi ke dalam 3–4
konsumsi. Dosis akan disesuaikan dengan tingkat keparahan dan
respons pasien.
d. Ondansentron
Ondansetron bekerja dengan menghambat ikatan serotonin pada
reseptor 5HT3, sehingga membuat penggunanya tidak mual dan
berhenti muntah. Ondansetron 4 mg iv pada dewasa\
e. Diphenhydramine

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Diphenhydramine adalah antihistamin dan ethanolamine generasi
pertama dengan sifat sedatif dan anti alergi. Diphenhydramine secara
kompetitif menghambat reseptor histamin-1 (H1), sehingga
mengurangi gejala yang disebabkan oleh histamin endogen pada otot
polos bronkial, kapiler dan gastrointestinal. Hal ini mencegah
bronkokonstriksi yang diinduksi histamin, vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas kapiler, dan kejang otot polos GI.

III. Peralatan analgesia spina;


1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimeter denyut (pulse oximeter) dan EKG.
2. Peralatan resusitasi/anestesia umum
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, Quinke-
babcock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point,
whitecare).

Gambar 4. Jarum spinal


a. Teknik analgesia
spinal
Posisi duduk atau posisi tidu lateral decubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan
sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30
menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi decubitus
lateral. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang
spinosus mudah teraba. Posisi lain ialah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka
dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan
misalnya L2-3, L3-4 atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya
berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol
4. Beri anestetik local pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain1-
2% 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G,
23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang
kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum
(intoducer), yaitu jarum suntik biasa semprit 10 cc. tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah sefal, kemudian
masukan jarum spinalberikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut.
Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater yaitu posisi tidur miring
bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran
likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal.
Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum di cabut dan keluar
likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-
pelan (0.5 ml/ detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk
meyakinkan posisi jarum tetap baik. Jika yakin ujung jarum spinal
pada posisi yang benar dan lukior tidak keluar. Untuk analgesiaspinal
kontinyu dapat dimasukkan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa + 6 cm,

b. Anastetik local untuk analgesia spinal

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Berat jenis cairan serebrospinal (CSS) pada suhu 37 C ialah 1.003-
1.008. anestetik local dengan berat jenis sama degan CSS
disebutisobarik, anestetik local denganberat jenis lebih besar dari CSS
disebut hiperbarik. Anestetik local dengan berat jenis lebih kecil dari
CSS disebut hipobarik.
Anestetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik
dipereolrh dengan mencamur anestetik local dengan dekstrosa.
Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan
mencampur dengan air injeksi.

Anestetik lokal Berat jenis Sifat Dosis


Lidokain (Xylobain, Lignokain)
2% plain 1.006 Isobaric 20 – 100 mg (2-5 ml)
5% alam dekstrose 7.5% 1.033 Hiperbarik 20 – 50. Mg (1-2 ml)
Bupivakain (markain)
0.5% dalam air 1.005 Isobarik 5 – 20 mg (1 – 4 ml)
0.5% dalam dekstrose 8.25% 1.027 Hiperbarik 5 – 15 mg (1 – 3 ml)

A. Penyebaran anesterik local tergantung:


1. Faktor utama
- Berat jenis anestetika loksl (barisitas)
- Posisi pasien (kecuali isobaric)
- Dosis dan volum anestetika local (kecuali isobaric)
2. Faktor tambahan
- Ketinggian suntikan
- Kecepatan suntikan/barbotase
- Ukuran jarum
- Keadaan fisik pasien
- Tekanan intraabdomeninal
B. Lama kerja anastetik local tergantung:
- Jenis anestesia local
- Besarnya dosis
- Ada tidaknya vasokonstriktor
- Besarnya penyebaran anestetika local

Universitas Muhammadiyah Jakarta


c. Komplikasi Tindakan
1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis, terjadi ‘venous pooling’. Pada dewasa
dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau
koloid 500 ml sebelum tindkan.
2. Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotesi atau hipoksia, terjadi akibat
blok sampai T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali napas
4. Trauma pembuluh darah
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggim atau spinal total

d. Komplikasi pasca Tindakan


1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urin
5. Meningitis

IV. Analgesia Epidural


Anestesia atau analgesia epidural ialah blokade saraf dengan
menempatkan obat di ruang epidural (peridural, ekstradural). Ruang
imi berada di antara ligamentum flavum dan duramater. Bagian atas
berbatasan dengam foramen magnum di dasar tengkorak dan di bawah
dengan selaput sakrokogsigeal. Kedalaman ruang ini rata-rata 5 mm
dan di bagian posterior kedalaman maksimal pada daerah lumbal. Obat
anestetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada akar saraf
spinal yang terletak di bagian lateral. Awal kerja anestesia epidural

Universitas Muhammadiyah Jakarta


lebih lambat dibanding anestesia spinal, sedangkan kualitas blokade
sensorik-motorik juga lebih lemah.
Isi ruang epidural:
1. Sakus duralis
2. Cabang saraf spinal (spinal nerve roots)
3. Pleksus venosus epiduralis
4. Arteria spinalis
5. Pembuluh limfe
6. Jaringan lemak
a. Indikasi anestesia epidural
a. Indikasi anestesi epidural
1. pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah.
2. Tatalaksana nyeri saat persalinan.
3. Penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak
banyak perdarahan.
4. Tambahan pada anestesia umum ringan karena penyakit
tertentu pasien.
b. Ruang epidural bertekanan negatif (<1 atm) kemungkinan karena:
1. Pemindahan tekanan negatif dari torak melalui ruang
paravertebralis.
2. Fleksi maksimal punggung.
3. Dorongan ke depan saat jarum disuntikkan.
4. Redistribusi aliran darah serebrospinal.

c. Penyebaran obat pada anestesia epidural bergantung:


1. Volume obat yang disuntikkan
2. Usia pasien (tua minimal, 19 tahun maksimal)
3. Kecepatan suntikan
4. Besarnya dosis
5. Ketinggian tempat suntikan
6. Posisi pasien
7. Panjang kolumna vertebralis

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Suntikan 10-15 ml obat akan menyebar ke kedua sisi sebanyak
5 segmen

d. Teknik Analgesia Epidural


Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang
subaraknoid.
1. Posisi pasien pada saat tusukan seperti pada analgesia spinal.
2. Tusukan jarum epidural biasanya dikerjakan pada ketinggian
L3-4, karena jarak antara ligamentum flavum-duramater pada
ketinggian ini adalah yang terlebar.
3. Jarum epidural yang digunakan ada dua macam.
Jarum ujung tajam (Crawford) Untuk dosis tunggal. Jarum
ujung khusus (Tuohy) Untuk pemandu memasukkan kateter ke
ruang epidural. Jarum ini biasanya ditandai setiap cm.

Gambar 5. Jarum epidural

4. Untuk
mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Tetapi yang
paling populer ialah teknik hilangnya resistensi dan teknik tetes
tergantung.
- Teknik hilangnya resistensi (loss of resistance). Teknik ini
menggunakan semprit kaca atau semprit plastik rendah
resistensi yang diisi oleh udara atau NaCl sebanyak ±3 ml.
Setelah diberikan anestetik lokal pada tempat suntikan,
jarum epidural ditusukkan sedalam 1-2 cm. Kemudian
udara atau NaCl disuntikkan pelahan-lahan secara terputus-
putus (intermiten) sambil mendorong jarum epidural

Universitas Muhammadiyah Jakarta


sampai terasa menembus jaringan keras (ligamentum
flavum) yang disusul oleh hilangnya resistensi. Setelah
yakin ujung jarum berada dalam ruang epidural, dilakukan
uji dosis (test dose).
- Teknik tetes tergantung (hanging drop). Persiapan sama
seperti teknik hilangnya resistensi, tetapi pada teknik ini
hanya menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai
terlihat ada tetes NaCl yang menggantung. Dengan
mendorong jarum epidural perlahan-lahan secara lembut
sampai terasa menembus jaringan keras yang kemudian
disusul oleh tersedotnya tetes NaCl ke ruang epidural,
setelah dilakukan uji dosis (test dose). tersedotnya tetes
NaCl ke ruang epidural. Dilakukan Uji dosis (test dose).

e. Uji dosis (test dose)


Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan
Setelah ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan
untuk dosis berulang (kontinyu) melalui kateter. Masukkan
anestetik lokal 3 ml yang sudah bercampur adrenalin 1:200.000.
- Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar
letak jarum atau kateter benar.
- Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat masuk ke ruang
subaraknoid karena terlalu dalam.
- Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%,
kemungkinan obat masuk vena epidural.

f. Cara penyuntikan
Setelah diyakini posisi jarum atau kateter benar, suntikkan
anestetik lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sebanyak 3-5 ml
sampai tercapai dosis total. Suntikan terlalu cepat menyebabkan
tekanan dalam ruang epidural mendadak tinggi, sehingga

Universitas Muhammadiyah Jakarta


menimbulkan peninggian tekanan intrakranial, nyeri kepala dan
gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.

g. Dosis maksimal dewasa muda sehat 1.6 ml/segmen yang tentunya


bergantung pada konsentrasi obat. Pada lansia dan neonates dosis
dikurangi sampai 50% dan pada wanita hamil dikurangi sampai
30% akibat pengaruh hormon dan mengecilnya ruang epidural
akibat ramainya vaskularisasi darah dalam ruang epidural.

h. Uji keberhasilan epidural. Keberhasilan analgesia epidural:


- Tentang blok simpatis diketahui dari perubahan suhu.
- Tentang blok sensorik dari uji tusuk jarum.
- Tentang blok motorik dari skala Bromage.

Melipat lutut Melipat jari


Blok tak ada ++ ++
Blok parsial + ++
Blok hampir lengkap - +
Blok lengkap - -

Tabel. Skala Bromage

i. Anestetik lokal yang digunakan untuk epidural


1. Lidokain (Xylokain, Lidonest)
Umumnya digunakan 1-2%, dengan mula kerja 10 menit dan
relak otot baik. 0.8% blokade sensorik baik tanpa blokade
motorik. 1.5% lazim digunakan untuk pembedahan. 2% untuk
relaksasi pasien berotot.
2. Bupivakain (Markain) Konsentrasi 0.5% tanpa adrenalin,
analgesianya sampai 8 jam. Volum yang digunakan <20 ml.
j. Komplikasi
1. Blok tidak merata
2. Depresi kardiovaskular (hipotensi)
3. Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)
4. Mual-muntah

Universitas Muhammadiyah Jakarta


V. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif
bertujuan untuk :
a) Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang
selamaoperasi.
b) Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi :


a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml/kg BB /
jam. Setiap kenaikan suhu 1° Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-
15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
 Ringan : 4 ml/kgBB/jam.
 Sedang : 6 ml/kgBB/jam
 Berat : 8 ml/kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari


10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila
perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian
plasma/koloid / dextran.

c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


VI. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi
dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi
umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula
diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas
pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage.

Tabel 1. Aldrete Scoring System

No. Kriteria Skor


1 Aktivitas  Mampu menggerakan empat ekstremitas 2
Motorik  Mampu menggerakan dua ekstremitas 1
 Tidak mampu menggerakan ekstremitas 0
2 Respirasi  Mampu nafas dalam, batuk, dan tangis 2
 Sesak atau pernapasan terbatas 1
 Henti napas 0
3 Tekanan Darah  Berubah sampai 20 % dari pra bedah 2
 Berubah sampai 20-50% dari pra bedah 1
 Berubah sampai > 50% dari pra bedah 0
4 Kesadaran  Sadar baik dan orientasi baik 2
 Sadar setelah dipanggil 1
 Tak ada tanggapan terhadap rangsangan 0
5 Warna Kulit  Kemerahan 2
 Pucat agak suram 1
 Sianosis 0
Universitas Muhammadiyah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.


Ed.2. Cet. V. Jakarta: Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.2010.
2. Olawine A, Joe M Das. NCBI: Spinal Anesthesia. 2020.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537299/
3. National library of medicine. Diphenhydramie. 2019.
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Diphenhydramine

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai