Anda di halaman 1dari 11

TUGAS UAS PENYAKIT AKIBAT KERJA

ANALISIS PELAPORAN DAN PENETAPAN


KASUS KECACATAN AKIBAT KECELAKAAN KERJA

Oleh:
SHABRINA FIRSTA AULIA
101611133056
Peminatan K3 2019

DEPARTEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelaksanaan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Indonesia masih


belum optimal. Hal ini dibuktikan dengan kejadian kecelakaan kerja yang masih
menjadi masalah di berbagai perusahaan. Menurut data terakhir di Indonesia, tercatat
sebanyak 103.283 kasus kecelakaan kerja yang tercatat bahwa setiap harinya ada 9
pekerja peserta Jamsostek meninggal dunia akibat kecelakaan kerja. Jumlah tersebut
meningkat dari tahun ke tahun bila dibandingkan dengan angka kecelakaan kerja pada
tahun 2012 sejumlah 103.074 kasus tahun 2011 sebanyak 99.491 kasus dan tahun
2010 sebanyak 98.711 kasus. (Aryantiningsih, 2016). Kasus kecelakaan kerja yang
terjadi pun bervariasi pada tingkat keparahannya baik berupa nyaris celaka (near
miss),kecelakaan ringan (minor accident), maupun kecelakaan berat (serious
accident) yang menimbulkan kematian.

Dalam rangka mencegah terjadinya kecelakaan, perusahaan seharusnya perlu


memperhatikan kejadian kecelakaan kerja dan nyaris celaka (near miss) dikarenakan
kejadian tersebut sulit untuk diprediksi serta cenderung tidak dilakukan pelaporan dan
pencatatan dikarenakan masih kurangnya kesadaran akan pentingnya pelaksanaan
keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.
BAB II
PERMASALAHAN

2.1 Keterangan Kasus

a. Judul Artikel: Tangan Kanan Diamputasi Akibat Tersengat Listrik Saat Bekerja,
BPJS Ketenagakerjaan Cabang Duri Berikan Santunan JKK
b. Korban: Khairul Arman (Karyawan PT. Buana Cipta Perkasa)
c. Waktu dan Lokasi: Kota Duri, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau..
Bulan Agustus 2016
d. Kecacatan: Tangan kiri mengalami cacat fungsi (diamputasi)
e. Santunan BPJS: - Biaya pengobatan Rp 224.097.000
- Santunan kecacatan Rp 112.140.000

2.2 Deskripsi Kasus

Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) cabang Duri telah memberikan


santunan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) kepada Khairul Arman, yang tersengat
listrik saat bekerja dan berakibat tangan sebelah kanan diamputasi (dipotong, red)
melalui operasi di rumah sakit. Khairul Arman yang merupakan peserta BPJS
Ketenagakerjaan sedang memasang trafo, saat Fuse Cut Out (CO), dirinya tersengat
aliran listrik. Untung, nyawanya terselamatkan, meskipun tangan kirinya mengalami
cacat fungsi.

"Khairul Arman tercatat sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan cabang Duri. Ia


(Khairul Arman, red) bekerja di PT Buana Cipta Perkasa," jelas Kepala BPJS
Ketenagakerjaan cabang Duri, Supriyatno kepada GoRiau.com, Minggu sore
(14/8/2016) di Kota Duri, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau.

Sebelum diberikan santunan tanggal 12 Agustus 2016, BPJS Ketenagakerjaan


terlebih dahulu melakukan verifikasi data yang dilengkapi perusahannya bekerja
sebelum klaim. BPJS Ketenagakerjaan memberikan santunan yang terdiri dari, biaya
pengobatan Rp224.097.000 dan santunan kecacatan Rp112.140.000, serta total yang
dibayarkan sejumlah Rp336.237.000 kepada Khairul Arman.

"JKK diberikan bagi korban kecelakaan kerja baik di dalam, di luar maupun di lalu
lintas (jalan raya, red) yang masih dalam kepentingan perusahaan atau tempat kerja
dan terlindungi oleh program BPJS Ketenagakerjaan. Kepada seluruh perusahaan
atau badan usaha di wilayah Kabupaten Bengkalis, untuk memberikan perlindungan
bagi karyawannya melalui BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan amanat Undang-
Undang," bebernya.

BPJS Ketenagakerjaan cabang Duri berharap, agar Khairul Arman


memanfaatkan sebaik-baiknya santunan itu untuk kelangsungan hidup keluarga. BPJS
Ketenagakerjaan Cabang Duri juga mengapresiasi PT Buana Cipta Perkasa yang tetap
memperkerjakan Khairul Arman dan telah mendaftarkan seluruh karyawanya.
Santunan itu diberikan kepada Khairul Arman oleh Kepala BPJS Ketenagakerjaan
Cabang Duri, Supriyatno, dan disaksikan Kepala Bidang Pelayanan, Manotar
Sihombing.

2.3 Ulasan Kasus

Dalam deskripsi kasus tersebut, belum dijelaskan alur pencatatan dan


pelaporan kejadian kecelakaan kerja maupun system penetapan tunjangan yang
dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan cabang Duri kepada korban. Hanya terdapat
penjelasan mengenai besaran tunjangan yang diberikan serta adanya proses verifikasi
data. Proses verifikasi data dilakukan untuk menyesuaikan data yang didapatkan dari
pihak rumah sakit yang menangani pengobatan korban, yang kemudian digunakan
sebagai acuan dalam penetapan biaya pengobatan yang diberikan oleh BPJS
Ketenagakerjaan.

Selain itu, dalam deskripsi kasus juga tidak disebutkan besaran upah yang
diterima oleh korban. Sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan terkait kesesuaian
besaran tunjangan kecelakaan dan kecacatan yang diterima dengan peraturan yang
ditetapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi Kerja

Bekerja merupakan hal yang dilakukan oleh hampir seluruh lapisan


masyarakat. As’ad (2004) menjelaskan bahwa bekerja mengandung arti melaksankan
suatu tugas yang diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh manusia yang
bersangkutan. Faktor pendorong penting yang menyebabkan manusia bekerja adalah
adanya kebutuhan yang harus dipenuhi. Selanjutnya, Smith dan Wakeley dalam buku
As’ad (2004) menambahkan bahwa seseorang didorong untuk beraktivitas karena dia
berharap bahwa hal ini akan membawa pada keadaan yang lebih memuaskan daripada
keadaan sekarang. Sedangkan pendapat Dr. May Smith dalam buku Anoraga (1998)
yang berjudul Psikologi Kerja menyatakan bahwa tujuan dari kerja adalah untuk
hidup. Dengan demikian, maka mereka yang menukarkan kegiatan fisik atau kegiatan
otak dengan sarana kebutuhan untuk hidup, berarti bekerja.

Dari ketiga teori di atas dapat disimpulkan bahwa bekerja adalah suatu
aktivitas yang didorong dengan harapan mendapatkan hasil akhir berupa kebutuhan
hidup yang dapat membuat individu tersebut mendapatkan kepuasan yang lebih dari
sebelumnya.

3.2 Kecelakaan Kerja

Kecelakaan disebut kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan. Tidak
terduga, oleh karena dibelakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan.
Kecelakaan dapat terjadi dikarenakan oleh pekerjaan atau pada waktu melaksanakan
pekerjaan. Sedangkan menurut Frank E. Bird Jr dalam Aryantiningsih (2016),
kecelakaan pada perusahaan adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki, dapat
mengakibatkan kerugian jiwa serta kerusakan harta benda. Keadaan itu biasanya
terjadi sebagai akibat dari adanya kontak dengan sumber energi yang melebihi
ambang batas atau struktur. Adanya perkembangan pembangunan menimbulkan
konsekuensi peningkatan intensitas kerja yang mengakibatkan peningkatan risiko
kecelakaan di lingkungan kerja. Menurut Internasional Labour Organization (ILO),
kecelakaan akibat kerja pada dasarnya disebabkan oleh 3 faktor diantaranya: factor
manusia, factor pekerjaan serta factor lingkungan di tempat kerja.

Klasifikasi kecelakaan kerja secara umum dibagi menjadi 3:

1. Nyaris celaka (near miss accident), secara fisik seorang pekerja belum
mengalami kecelakan, tetapi akibat dari suatu keadaan atau tindakan yang
mengarah terhadap terjadinya kecelakaan
2. Kecelakaan ringan (minor accident), kecelakaan ringan sering juga disebut
first aid accident yakni kecelakaan yang cukup dibantu dengan pertolongan
pertama pada kecelakaan (P3K)
3. Kecelakan berat (serious accident), kecelakaan yang berakibat timbulnya
korban meninggal.
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Teori Pelaporan Kecelakaan Kerja

Menurut Silalahi (1991), tata cara pelaporan kecelakaan kerja terdiri dari:

1. Pelaporan Kecelakaan
Semua kecelakaan dan kejadian-kejadian yang berbahaya perlu dilaporkan
kepada pihak supervisor dan selanjutnya supervisor mengambil langkah
antara lain:
a. Memberikan bantuan pengobatan bagi yang terluka atau cidera
b. Memperbaiki kondisi yang berbahaya
c. Mengisi laporan kecelakaan
d. Memberikan laporan singkat kepada atasan secepat mungkin

Setelah terjadi kecelakaan serius, kondisi dibiarkan untuk tidak disentuh


sambal menunggu penyelidikan selanjutnya.

2. Pengobatan
Seseorang yang terluka atau cidera pada jam kerja harus segera
memberitahukan dan melapor ke unit K3. Seseorang tang terluka atau cidera
di luar jam kerja, segera memberitahukan kepada supervisor yang akan
mengatur pengobatannya sebagai tindakan awal usaha pertolongan pertama.
3. Cidera ringan
Orang yang cidera harus melapor pada supervisor yang akan mengatur
pertolongan pengobatan serta mencatat dalam pelaporan kecelakaan.
Meskipun kecelakaan yang terjadi hanya ringan, tetapi laporan harus tetap
dibuat agar dapat diambil langkah pencegahan supaya kejadian tersebut tidak
terulang kembali. Dengan demikian, dapat mendidik pekerja agar memenuhi
kewajibannya untuk melaporkan setiap kecelakaan pada atasan.
4.2 Sistem Pelaporan Kecelakaan Kerja Menurut Undang-undang

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 Tentang


Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Pasal
43:

(1) Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib melaporkan Kecelakaan Kerja
atau penyakit akibat kerja yang menimpa Pekerja kepada BPJS Ketenagakerjaan dan
instansi setempat yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan laporan tahap I yang
disampaikan dalam jangka waktu paling lama 2 x 24 jam sejak terjadi Kecelakaan
Kerja atau sejak didiagnosis penyakit akibat kerja dengan menggunakan formulir
Kecelakaan Kerja tahap I yang telah ditetapkan.

(3) Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib melaporkan akibat Kecelakaan
Kerja atau penyakit akibat kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan dan instansi setempat
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.

(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan laporan tahap II yang
disampaikan dalam jangka waktu paling lama 2 x 24 jam sejak Pekerja dinyatakan
sembuh, Cacat, atau meninggal dunia berdasarkan surat keterangan dokter yang
menerangkan bahwa: a. keadaan sementara tidak mampu bekerja telah berakhir; b.
Cacat total tetap untuk selamanya; c. Cacat sebagian anatomis; d. Cacat sebagian
fungsi; atau e. meninggal dunia.

(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekaligus merupakan pengajuan
manfaat JKK kepada BPJS Ketenagakerjaan dengan melampirkan persyaratan yang
meliputi: a. Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan; b. Kartu Tanda Penduduk; c. surat
keterangan dokter yang memeriksa/merawat dan/atau dokter penasehat; d. kuitansi
biaya pengangkutan; e. kuitansi biaya pengobatan dan/atau perawatan, bila fasilitas
pelayanan kesehatan yang digunakan belum bekerjasama dengan BPJS
Ketenagakerjaan; dan f. dokumen pendukung lainnya apabila diperlukan.

(6) Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah lengkap, BPJS
Ketenagakerjaan menghitung dan membayar manfaat JKK kepada yang berhak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7) Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) belum lengkap, BPJS
Ketenagakerjaan memberitahukan kepada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak laporan akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit
akibat kerja tahap II diterima.

(8) Mekanisme pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) dapat
dilakukan baik secara manual dan/atau elektronik.

4.2 Penetapan Jaminan Kecelakaan Kerja

Penetapan Jaminan Kecelakaan Kerja diatur secara terperinci dalam Peraturan


Menteri diantaranya:

a. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 44 Tahun 2015 tentang


Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian
bagi Pekerja Harian Lepas, Borongan, dan Perjanjian Waktu Tertentu Pada
Sektor Usaha Jasa Konstruks
b. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
2015 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan
Kerja, Jaminan Kematian, dan Jminan Hari Tua Bagi Peserta Penerima Upah
c. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 01 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan
Jaminan Hari Tua Bagi Peserta Bukan Penerima Upah
d. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pelayanan
Kesehatan dan Besaran Tarif dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kecelakaan Kerja

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis, dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Pada kasus yang diambil, belum terdapat penjelasan mengenai system


pelaporan dan penetapan tunjangan oleh BPJS Ketenagakerjaan
2. Pada kasus yang diambil, BPJS Ketenagakerjaan memberikan santunan
berupa biaya pengobatan dan santunan kecacatan bagi pekerja yang
mengalami cacat fungsi karena tangan yang harus diamputasi.
3. Menurut Silalahi (1991), terdapat 3 langkah tata cara pelaporan kecelakaan
kerja diantaranya: Pelaporan Kecelakaan, pengobatan dan Cidera Ringan
4. Peraturan terkait pelaporan kecelakaan kerja diatur dalam PP Nomor 44 tahun
2015 khususnya Pasal 43
5. Peraturan terkait penetapan Jaminan Kecelakaan Kerja diatur lebih lanjut
dalam Permenaker
5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan diantaranya:

1. Dalam penulisan berita terkait kecelakaan kerja sebaiknya dijelaskan alur


pelaporan dan penetapan secara jelas
2. Perusahaan sebaiknya melakukan evaluasi sebagai upaya pencegahan agar
kejadian serupa tidak terulang kembali
DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, Pandji. 1998. Psikologi Kerja. Jakarta: PT. Rineka Cipta.


Aryantiningsih, Dwi Sapta. Dan Husmaryuli, Dewi. 2016. Kejadian Kecelakaan
Kerja Pekerja Aspal Mixing Plant (AMP) & Batching Plant di PT LWP
Pekanbaru Tahun 2015. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas 10 (2) 145-
150
As’ad, Moh. 2004. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.
Silalahi, Bennet N.B. dan Silalahi, Rumodang B. 1991. Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Karya Unipress.

Anda mungkin juga menyukai