net/publication/317092009
CITATIONS READS
0 5,869
1 author:
David Efendi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
32 PUBLICATIONS 11 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by David Efendi on 24 May 2017.
Pendahuluan
Tema masyarakat sipil atau civil society sudah dibicarakan sejak abad ke-18.
Terdapat juga catatan Cicero yang telah menggunakan kata ini pada tahun 106-43
SM. Masyarakat sipil mencakup beragam organisasi, formal dan informal yang
meliputi asosiasi ekonomi, budaya, informasi dan pendidikan, kelompok
kepentingan, organisasi pembangunan, dan dapat pula kelompok yang
berorientasi isu, dan kewarganegaraan (Diamond, 2003). Ada pun karakter civil
society ini, menurut Diamond, antara lain adalah terkait kepengaturan formal
kelompok, tujuan dan metode, pelembagaan organisasi, dan pluralism. Karakter
ini sangat dekat sebagaimana hasil penelusuran Pabottinggi mengenai sistem
demokrasi. Sistem pemerintahan ini berpatokan pada kolektifitas, prinsip
kebebasan, prosedural, menghargai hak, saling kontrol, pluralisme, dan
konstitusionalisme.
Menurut Ernest Gellner, Civil Society merujuk pada mayarakat yang terdiri
atas berbagai institusi non-pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk dapat
1 Makalah ini disiapkan untuk bahan diskusi dalam kegiatan “Pendidikan Politik Bagi Masyarakat”
yang diselenggarakan oleh Kesbangpol DI Yogyakarta pada hari Rabu, tanggal 24 Mei 2017 di
Yogyakarta.
2 Staf Pengajar Program studi Ilmu Pemerintahan, Fisipol, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Email: defendi@umy.ac.id
2
Demokrasi atau demokratisasi telah menjadi salah satu tema sentral dalam
hasanah politik kontemporer, termasuk di Indonesia. Ada yang menekankan pada
pendekatan atau masalah nilai dan budaya (Almond dan Verba, 1984; Harrison
dan Huntington, 2000), model dan bentuk baru demokrasi (Held,1986 dan 1999;
Dahl, 1999), masalah-masalah civil society (Diamond,1992), masalah civilian
supremacy upon military (Huntington,1956; Diamond dan Plattner (ed.), 2000),
tingkatan modernisasi demokrasi (Apter, 1987; Diamond, Linz, and Lipset (eds.),
1990; International IDEA, 2001), pilihan strategistrategi demokrasi (O’Donnell,
Schmitter, dan Whitehead, 1993a, 1993b, 1993c, 1993d; O’Donnell dan Schmitter,
1993; Huntington, 1991), lembaga-lembaga demokratis (Linz and Valenzuela
(eds.), 1994), dan lain sebagainya. Kontribusi dari semua ini adalah penampakan
hubungan pasang surut antara negara dan masyarakat. Suatu kesmepatan negara
menjadi paling dominan, kadang di masyarakat sipil dan kadang tidak menentu
sebagai arena yang dinegosiasikan. Setelah sekian lama pergulatan ideologi politik
global, demokrasi liberal berhasil memenangkannya (Fukuyama,2001). Namun,
bukan berarti demokrasi liberal tanpa persoalan di perjalanannya.
politik, kesejahteraan dan civility akan datang dan terbentuk dengan sendirinya
jika lembagalembaga sudah berhasil dibangun. Terbukti kemudian lembaga-
lembaga selalu perlu diketuk agar benar-benar membunyikan demokrasi. Jika
tidak, lembaga baru sekaliber pemilu yang jujur dan adil sekalipun akan terjebak
konservatisme. Contohnya, pemilu sebagai metode seleksi pemimpin justru
memperkuat posisi kekuatan-kekuatan anti-demokrasi. Keterpurukan ini
disebabkan kegagalan mempraktikkan simbiosis antara demokrasi dan nasion
dimana hal itu hanya memungkinkan dilakukan dengan ‘konsolidasi kebangsaan
(Pabottinggi, 2013).
Partisipasi politik di era demokrasi hari ini tidak dapat sepenuhnya terlepas
dari kontribusi masyarakat sipil baik dalam kehidupan sehari-hari tata kelola
pemerintahan atau pembangunan, juga sangat terasa pada saat kegiatan suksesi
kekuasaan atau kepemimpinan baik di level lokal maupun nasional. Hubungan
antara masyarakat sipil dan demokrasi itu sama seperti hubungan antara
keberadaan borjuasi dan demokrasi itu sendiri sebagaimana adagium Barringtone
Moore, ‘no bourgeoisie no democracy’. Sehingga, dapat dikatakan juga, kehadiran
demokrasi tanpa partisipasi aktif masyarakat sipil hanya menjadi demokrasi yang
dangkal—demokrasi yang lebih berat di prosedur ketimbang subtansi demokrasi
itu sendiri: kesetaraan, kebebasan, keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan.
Transisi politik yang diarahkan kepada tahap konsolidasi demokrasi dapat
dilakukan oleh rezim penguasa (Share, 1987) atau oleh masyarakat sipil
(Huntington, 1991), dan atau kolaborasi keduanya. Dalam hal keberhasilan
mengelola transisi kepada konsolidasi ditentukan oleh kemunculan ‘elit yang
bersatu secara konsensual’ dengan satu komitmen bersama terhadap aturan main
demokrasi, yaitu seperangkat norma tentang aturan tingkah laku politik, dan
struktur interaksi yang memupuk keakraban dan kepercayaan antar individu
(Burton, Gunther, & Highley, 1992).
Sementara definisi yang positif atau netral semakin meluas hari ini. Organisasi
masyarakat sipil (disebut juga NGO, atau Civil Society Organization/CSO)
didefinisikan sebagai kelompok-kelompok asosiasi yang berfungsi mengerem
kekuasaan negara, menjadi perantara aspirasi masyarakat kepada negara, dan
merupakan kelembagaan sosial yang saling berinteraksi internal dan eksternal
yang dapat menjadi pendukung dan penghambat kerja-kerja negara (Chazan,
2003). Pemahaman lain mengarahkan pada kekuatan masyarakat sipil justru
merepresentasikan kelas ekonomi dan politik tertentu sebagaimana teori Marxist
pada umumnya yang membela masyarakat hanya menjadi dua kelas saja.
Di zaman demokrasi, kekuatan civil society yang mandiri dapat bekerja lintas
kelas dan mampu menjadi ‘pengerem’ tendensi intervensionis yang dilakukan
negara (Cohen dalam Hikam, 1996). Negara mempunyai watak ‘memaksakan
kehendak’ ini merupakan keadaan obyektif yang tidak terhindarkan—negara
sebagai satu-satunya lembaga yang secara sah dapat menggunakan kekerasan
dalam rangkah menegakkan ‘ketertiban’ menurut rasionalitasnya (Weber, 1978).
Tidak dapat dipungkiri bahwa kapitalisme menumbuhkan civil society berbasis
kelas dan dapat mempromosikan demokrasi liberal (Lipset, 1959). Tentu saja,
bukan tanpa konsekuensi. Lipset memberikan gambaran kompleksitas bagaimana
bekerjanya pranata sosial dan hubungannya dengan demokrasi sebagaimana
bagan di bawah ini:
Kesimpulan
Referensi
Amstrong, C. K. (2002). Korean Society Civil society, democracy and the state
(second ed.). (C. K. Amstrong, Ed.) London and New York: Routledge.
7
Steffek, J., Kissling, C., & Nanz, P. (2008). Civil Society Participation in European
and Global Governance A Cure for the Democratic Deficit?
Transformations of the State.pdf. (J. Steffek, C. Kissling, & P. Nanz, Eds.)
New York: PALGRAVE MACMILLAN.
Weiss, M. L. (2009). Edging Toward a New Politics in Malaysia: Civil Society at the
Gate? Asian Survey, 49(5), 741-758.
Kingston, J. (2004). Japan’s Quiet Transformation Social change and civil society
in the twenty-first century. New York: RoutledgeCurzon.
Bryson, J. M. (2001). Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Weber, M. (1978). Economy and Society. California: University of California Press.
Tocqueville, A. (2005). De Tocqueville : selections from democracy in America.
New York: Barnes & Noble.
Lipset, S. M. (1959). Some Social Requisities of Democracy: Economic
Development and Political Legitimacy. The American PoliticalScience
Review, 53(1), 69-105.
Fakih, M. (2010). Masyarakat sipil untuk transformasi sosial: Pergolakan Ideologi
LSM Indonesia. Yogyakarta: InsistPress.
Agustinus, L. (2006). Kilasan Singat Mengenai Demokrasi. Jurnal Mandatory,
2(1), 125-14.
Dahl, R. (1999). On Democracy. New Haven: Yale University Press.
Share, D. (1987). Transition to Democracy and Transition through Trasaction .
Comparative Political Studies , 19(4), 201-222.
Huntington, S. (1991). The Third Wave Democratization in the Late Twentieth
Century . Norman and London: University of Oklahoma Press.
Huntington, S. (1965). Political Development and Political Decay. World Politics,
XVII(3), 386— 430.
Tornquist, O. (2005). Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan
Indonesia. Jakarta: Demos.
Diamond, L. (2003). Developing democracy toward concolidation. Yogyakarta:
IRE Press.
Burton, M. G., Gunther, R., & Highley, J. (1992). Elite Transformation and
Democratic Rezimes. In R. Gunther, & J. Highley, Elites and Democratic
Concolidation in latin America and Southern Europe (pp. 295-307).
Cambridge: Cambridge University Press.
Pabottinggi, M. (2013). Kepemimpinan dan Demokrasi Kita: Akar akar
kebangkrutan kepemimpinan di era reformasi dan jalan menuju
kebangkitan. Majalah Prisma, 32, 3-27.