Anda di halaman 1dari 8

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/317092009

Urgensi Keterlibatan Civil Society dalam Demokrasi

Article · May 2017

CITATIONS READS

0 5,869

1 author:

David Efendi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
32 PUBLICATIONS   11 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

BA Thesis at UGM View project

Ilmu Pemerintahan UMY View project

All content following this page was uploaded by David Efendi on 24 May 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Urgensi Keterlibatan Civil Society dalam Demokrasi1
David Efendi2

Pendahuluan

Tema masyarakat sipil atau civil society sudah dibicarakan sejak abad ke-18.
Terdapat juga catatan Cicero yang telah menggunakan kata ini pada tahun 106-43
SM. Masyarakat sipil mencakup beragam organisasi, formal dan informal yang
meliputi asosiasi ekonomi, budaya, informasi dan pendidikan, kelompok
kepentingan, organisasi pembangunan, dan dapat pula kelompok yang
berorientasi isu, dan kewarganegaraan (Diamond, 2003). Ada pun karakter civil
society ini, menurut Diamond, antara lain adalah terkait kepengaturan formal
kelompok, tujuan dan metode, pelembagaan organisasi, dan pluralism. Karakter
ini sangat dekat sebagaimana hasil penelusuran Pabottinggi mengenai sistem
demokrasi. Sistem pemerintahan ini berpatokan pada kolektifitas, prinsip
kebebasan, prosedural, menghargai hak, saling kontrol, pluralisme, dan
konstitusionalisme.

Topik ini masih relevan untuk didiskusikan dalam masyarakat kontemporer.


Ketakutan akan ‘kagagalan’ demokrasi juga membawa pemikiran reflektif untuk
kembali memperkerjakan praktik kehidupan civil society di berbagai masyarakat.
Potensi keterlibatan masyarakat sipil dalam menjadi panawar dari persoalan
defisit demokrasi di dunia kontemporer saat ini menduduki peran sentral (Steffek,
Kissling, & Nanz, 2008). Hal ini bukan baru kalau kita menengok ke belakang
gagasan Tocquiville mengenai pentingnya asosiasi yang berwatak volunterisme
dan egalitarianisme—dimana situasi ini yang menjadikan demokrasi dapat bekerja
dengan baik di Amerika (Tocqueville, 2005). Robert Putnam (2008) dalam
bukunya ‘making democracy works’ menapak tilas jejak Tocquiville untuk melihat
bagaimana demokrasi bekerja di Itali dan mendapatkan kesimpulan yang senada:
demokrasi dapat bekerja di masyarakat yang partisipasi warganya kuat. Hal ini
juga mampu mendorong tumbuhnya sektor pembangunan ekonomi. Pada saat
civic virtue di Amerika mengalami kemunduruan, Putnam juga menuliskan buku
yang cukup terkenal yaitu yang berjudul Bowling Alone. Selain di Eropa atau
Amerika, entitas masyarakat sipil juga dianggap sangat penting keberadaan untuk
menjadi mitra pemerintah di Jepang (Kingston, 2004), Malaysia (Weiss, 2009),
dan Korea (Amstrong, 2002).

Menurut Ernest Gellner, Civil Society merujuk pada mayarakat yang terdiri
atas berbagai institusi non-pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk dapat


1 Makalah ini disiapkan untuk bahan diskusi dalam kegiatan “Pendidikan Politik Bagi Masyarakat”
yang diselenggarakan oleh Kesbangpol DI Yogyakarta pada hari Rabu, tanggal 24 Mei 2017 di
Yogyakarta.
2 Staf Pengajar Program studi Ilmu Pemerintahan, Fisipol, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Email: defendi@umy.ac.id
2

mengimbangi Negara. Sementara Cohen dan Arato mendefinisikan sebagai


awilayah interaksi sosial diantara wilayah ekonomi, politik dan negara yang
didalamnya mencakup semua kelompok-kelompok sosial yang bekerjasama
membangun ikatan-ikatan sosial diluar lembaga resmi, menggalang solidaritas
kemanusiaan, dan mengejar kebaikan bersama (public goods). Civil society
terbentuk karenanya adanya interaksi dengan negara karenanya disebut pula
dengan istilah civil government oleh Jhon Locke. Ada pun syarat keberadaan civil
society itu sendiri terdiri dari partisipasi politik, asosiasi, perlindungan hukum
bagi individu. Aspek civil society terdiri dari pertanggungjawaban negara,
keterbukaan informasi, pengakuan HAM, inklusifitas (Nordholt, 2002)

Ada banyak adopsi civil society dengan pendekatan scholar di Indonesia


dengan berbagai padanan seperti ‘masyarakat sipil’ atau ‘masyarakat madani.’
Kata madani berasal dari kata “madaniyah” yang berarti peradaban. Masyarakat
madani adalah masyarakat yang merujuk pada masyarakat Islam yang pernah
dibangun Nabi Muhammad, sebagai masyarakat kota atau masyarakat
berperadaban dengan ciri antara lain: egalitarian(kesederajatan), menghargai
pluralsime, menghargai prestasi, keterbukaan, toleransi dan musyawarah
(Nurcholis Madjid, 1999). Oleh karena itu masyarakat madani berarti masyarakat
yang berperadaban. Selain itu masyarakat sipil merupakan situasi masyarakat
yang mandiri dan demokratis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi norma, nilai-nilai,
dan hukum yang ditopang oleh penguasaan teknologi yang beradab, iman dan
ilmu. Sedangkan, Syamsudin Haris mengatakan bahwa masyarakat madani adalah
suatu lingkup interaksi sosial yang berada di luar pengaaruh negara dan model
yang tersusun dari lingkungan masyarakat paling akrab seperti keluarga, asosiasi
sukarela, gerakan kemasyarakatan dan berbagai bentuk lingkungan komunikasi
antar warga masyarakat.

Demokrasi dan Civil Society

Demokrasi atau demokratisasi telah menjadi salah satu tema sentral dalam
hasanah politik kontemporer, termasuk di Indonesia. Ada yang menekankan pada
pendekatan atau masalah nilai dan budaya (Almond dan Verba, 1984; Harrison
dan Huntington, 2000), model dan bentuk baru demokrasi (Held,1986 dan 1999;
Dahl, 1999), masalah-masalah civil society (Diamond,1992), masalah civilian
supremacy upon military (Huntington,1956; Diamond dan Plattner (ed.), 2000),
tingkatan modernisasi demokrasi (Apter, 1987; Diamond, Linz, and Lipset (eds.),
1990; International IDEA, 2001), pilihan strategistrategi demokrasi (O’Donnell,
Schmitter, dan Whitehead, 1993a, 1993b, 1993c, 1993d; O’Donnell dan Schmitter,
1993; Huntington, 1991), lembaga-lembaga demokratis (Linz and Valenzuela
(eds.), 1994), dan lain sebagainya. Kontribusi dari semua ini adalah penampakan
hubungan pasang surut antara negara dan masyarakat. Suatu kesmepatan negara
menjadi paling dominan, kadang di masyarakat sipil dan kadang tidak menentu
sebagai arena yang dinegosiasikan. Setelah sekian lama pergulatan ideologi politik
global, demokrasi liberal berhasil memenangkannya (Fukuyama,2001). Namun,
bukan berarti demokrasi liberal tanpa persoalan di perjalanannya.

Krisis demokrasi liberal, disinyalir sangat kuat, bersumber dari obsesi


berlebihan demokrasi liberal terhadap metode, prosedur dan institusi dalam
memaknai dan menjelaskan arti penting pemerintahan dari, oleh dan untuk
rakyat. Akibatnya model demokrasi liberal tidak peka pada isu-isu seperti
partisipasi, keadilan atau budaya demokrasi. Tampaknya model ini percaya inklusi
3

politik, kesejahteraan dan civility akan datang dan terbentuk dengan sendirinya
jika lembagalembaga sudah berhasil dibangun. Terbukti kemudian lembaga-
lembaga selalu perlu diketuk agar benar-benar membunyikan demokrasi. Jika
tidak, lembaga baru sekaliber pemilu yang jujur dan adil sekalipun akan terjebak
konservatisme. Contohnya, pemilu sebagai metode seleksi pemimpin justru
memperkuat posisi kekuatan-kekuatan anti-demokrasi. Keterpurukan ini
disebabkan kegagalan mempraktikkan simbiosis antara demokrasi dan nasion
dimana hal itu hanya memungkinkan dilakukan dengan ‘konsolidasi kebangsaan
(Pabottinggi, 2013).

Karenanya, penting untuk merenungkan statemen Mansour Fakih dalam


(Bryson, 2001) berikut:

“Salah satu pendekatan untuk menciptakan suatu masyarakat yang adil


dan demokratis adalah dengan memberikan peluang dan ruang kepada
setiap golongan untuk memperjuangkan cita-cita mereka secara
demokratis.”

Interaksi sosial-politik-ekonomi secara umum dapat dipahami sebagai


interaksi antara wilayah state society, business society, dan civil society. Ketiga
wilayah ini memiliki interest masing-masing. Kadang ada yang dapat
diperjuangkan bersama-sama ada yang tidak, bahkan ada yang saling bertabrakan
satu dengan lainnya. Situasi konfliktual ini juga kerapkali terjadi di negara-negara
demokrasi baru dimana ruang kebebasan di salahpahami. Sebagai akibatnya,
pertikaian politik gampang redah dan gampang kambuh tergantung cuaca politik
dan keadaan ekonomi yang melingkupinya.

Partisipasi politik di era demokrasi hari ini tidak dapat sepenuhnya terlepas
dari kontribusi masyarakat sipil baik dalam kehidupan sehari-hari tata kelola
pemerintahan atau pembangunan, juga sangat terasa pada saat kegiatan suksesi
kekuasaan atau kepemimpinan baik di level lokal maupun nasional. Hubungan
antara masyarakat sipil dan demokrasi itu sama seperti hubungan antara
keberadaan borjuasi dan demokrasi itu sendiri sebagaimana adagium Barringtone
Moore, ‘no bourgeoisie no democracy’. Sehingga, dapat dikatakan juga, kehadiran
demokrasi tanpa partisipasi aktif masyarakat sipil hanya menjadi demokrasi yang
dangkal—demokrasi yang lebih berat di prosedur ketimbang subtansi demokrasi
itu sendiri: kesetaraan, kebebasan, keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan.
Transisi politik yang diarahkan kepada tahap konsolidasi demokrasi dapat
dilakukan oleh rezim penguasa (Share, 1987) atau oleh masyarakat sipil
(Huntington, 1991), dan atau kolaborasi keduanya. Dalam hal keberhasilan
mengelola transisi kepada konsolidasi ditentukan oleh kemunculan ‘elit yang
bersatu secara konsensual’ dengan satu komitmen bersama terhadap aturan main
demokrasi, yaitu seperangkat norma tentang aturan tingkah laku politik, dan
struktur interaksi yang memupuk keakraban dan kepercayaan antar individu
(Burton, Gunther, & Highley, 1992).

Tidak bisa dipungkiri, demokrasi yang bermakna musti membutuhkan


kondisi-kondisi awal yang memadai guna terwujudnya demokratisasi itu sendiri,
yaitu: (1) adanya pemilihan umum yang bebas, adil, dan berkala; (2) kebebasan
berpendapat; (3) adanya akses ke sumber-sumber informasi yang luas dan
alternatif; (4) adanya otonomi asosiasional; (5) adanya lembaga perwakilan; dan
(6) hak warganegara yang inklusif (Dahl, 1999). Lain dari itu, sistem politik yang
demokratis pada hakikatnya memerlukan tiga prinsip dasar sebagai
4

institusionalisasi demokrasi itu sendiri, seperti: pertama, tegaknya etika dan


moralitas politik sebagai landasan kerja sistem politik, ekonomi, dan sosial dalam
horison bernegara dan berbangsa. Kedua, tegaknya prinsip konstitusionalisme
secara tegas, melalui pelaksanaan (dan kepatuhan) terhadap supremasi hukum di
masyarakat. Dan terakhir, ketiga, diberlakukan dan dilaksanakannya mekanisme
akuntabilitas publik, yakni mekanisme yang memosisikan semua pemegang
jabatan publik sebagai pemegang amanat dari warga masyarakat sehingga dapat
dimintai pertanggunggugatannya (Agustinus, 2006).

Menurut Neera Candoke (1995), masyarakat sosial berkaitan dengan wacana


kritik rasional atau irrasional masyarakat yang secara ekspisit mensyaratkan
tumbuhnya infrastruktur demokrasi yang menggaransi kebebasan sipil. dalam
kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu menjamin keberadaan
masyarakat madani. Demokratisasi dirasa dapat terwujud melalui penegakkan
pilar-pilar demokrasi yang meliputi Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM/NGO), Pers yang bebas, supremasi hukum, kebebasan akademik di
Perguruan Tinggi, maraknya Partai politik dan kehidupan toleransi. Sebagai
ilutrasi, salah satu kasus yang dipotret di Malaysia adalah bahwa keberadaan
kelompok civil society telah memberikan warna sangat kental bagi keberhasilan
kelompok oposisi untuk melakukan bargaining politics yaitu dengan penyediaan
informasi, kandidat politisi, kolaborasi dengan berbagai kekuatan, dan
memberikan pilihan kepada masyarakat (Weiss, 2009). Keadaan yang mirip juga
terjadi di Indonesia tahun 1997-1998, di Filipine dan Thailand secara bersamaan.

Posisi dan Reposisi Civil Society

Kebaradaan aktor non-negara dalam rentang sejarah negara-negara tidak


semua mengandung konotasi positif. Banyak catatan sejarah yang memberikan
stereotype negative terhadapnya, misalnya, sebagai kelompok anarkis atau oposisi.
Keterlibatan gerakan kritis masyarakat sipil sangat beragam yang mengakibatkan
mereka harus vis a vis negara yang cukup beresiko. Masyarakat sipil di dalam
negara militeristik seringkali terlibat pada berbagai upaya advokasi menyuarakan
keadilan, pembangunan yang manusiawi dan berkelanjutan, anti korupsi, anti
perang, dan pembelaan terhadap hak asasi manusia. Mereka dapat berada dalam
kelompok partai, kelompok agama, sosial, budaya, dan sebagainya. Hal ini
menunjukkan karakter keterbukaan dan juga pekerjaan beresiko bagi aktor-aktor
di dalamnya. Optimisme yang dibangun adalah bahwa kontribusi sektor civil
society adalah dalam rangkah untuk memastikan dan mengawal proses
tranformasi sosial (Fakih, 2010). Jadi jelas, gerakan masyarakat sipil adalah
gerakan yang memiliki watak pro-perubahan.

Sementara definisi yang positif atau netral semakin meluas hari ini. Organisasi
masyarakat sipil (disebut juga NGO, atau Civil Society Organization/CSO)
didefinisikan sebagai kelompok-kelompok asosiasi yang berfungsi mengerem
kekuasaan negara, menjadi perantara aspirasi masyarakat kepada negara, dan
merupakan kelembagaan sosial yang saling berinteraksi internal dan eksternal
yang dapat menjadi pendukung dan penghambat kerja-kerja negara (Chazan,
2003). Pemahaman lain mengarahkan pada kekuatan masyarakat sipil justru
merepresentasikan kelas ekonomi dan politik tertentu sebagaimana teori Marxist
pada umumnya yang membela masyarakat hanya menjadi dua kelas saja.

Civil society sendiri secara luas dimengerti sebagai prasyarat bekerjasanya


sistem demokrasi (Pridham, 2000). Hal ini sesuai dengan temuan Demos bahwa
5

aktor-aktor pro-demokrasi cenderung aktif dalam berbagai organisasi masyarakat


sipil (Tornquist, 2005). Schimiter mempunyai pendapat sebaliknya yaitu akibat
segmentasi dan eklusivisme kelompok civil society dapat menghambat konsolidasi
demokrasi itu sendiri. Olle Tornquist sendiri tidak melihat otomasi kelompok
masyarakat sipil mendukung ‘proyek’ demokratisasi padahal untuk mewujudkan
demokrasi bermakna tidak cukup aktivisme kelompok masyarakat sipil saja.
Demokrasi bermakna mensyaratkan beberapa hal antara lain: kesetaraan,
kapasitas negara dan kelompok masyarakat sipil/individu dalam tata kelola
alokasi sumber daya kehidupan. Dengan demikian, entitas masyarakat sipil, pasar,
dan negara dapat hidup berdampingan secara damai—dengan menempatkan
posisi secara proporsional dan saling ada penghargaan untuk memastikan
demokrasi itu sendiri tidak menegasikan keberadaan entitas lain.

Di zaman demokrasi, kekuatan civil society yang mandiri dapat bekerja lintas
kelas dan mampu menjadi ‘pengerem’ tendensi intervensionis yang dilakukan
negara (Cohen dalam Hikam, 1996). Negara mempunyai watak ‘memaksakan
kehendak’ ini merupakan keadaan obyektif yang tidak terhindarkan—negara
sebagai satu-satunya lembaga yang secara sah dapat menggunakan kekerasan
dalam rangkah menegakkan ‘ketertiban’ menurut rasionalitasnya (Weber, 1978).
Tidak dapat dipungkiri bahwa kapitalisme menumbuhkan civil society berbasis
kelas dan dapat mempromosikan demokrasi liberal (Lipset, 1959). Tentu saja,
bukan tanpa konsekuensi. Lipset memberikan gambaran kompleksitas bagaimana
bekerjanya pranata sosial dan hubungannya dengan demokrasi sebagaimana
bagan di bawah ini:

Dalam lajur condition di atas memperlihatkan elemen-elemen masyarakat


sipil yang mempunyai potensi besar mendorong bekerjanya demokrasi (tengah).
Namun hal ini harus didukung oleh bekerjanya konsekuensi terhadap perubahan-
perubahan keadaan yang bertentangan dengan demokrasi seperti sistem sosial
tertutup, birokrasi yang kaku untuk mengarah pada sistem yang lebih membuka
ruang bekerjanya elemen non-negara. Jika gayung tidak bersambut, maka
demokrasi akan mengalami involusi dan dalam jangka panjangnya akan
mengakibatkan apa yang disebut ‘democracy deficit’ atau keadaan terburuknya,
mengarah pada, ‘political decay’ (Huntington, Political Development and Political
Decay, 1965);lihat juga Fukuyama, 2016). Situasi aktual hari ini menunjukkan
masi lebarnya kesenjangan antara elite dan masyarakat walaupun ruang politik
sudah terbuka lebar. Dengan kata lain, berbagai lembaga pemeringkat
menempatkan DIY sebagai juara namun dirasakan secara subtansial, masih jauh
panggang dari api misalnya jika ditengok dari kesenjangan ekonomi, akses
6

sumberdaya, dan tingkat kesejahteraan. Kehadiran berbagai organisasi


masyarakat sipil/NGO di DIY sebenarnya cukup mewarnai dinamika demokrasi
lokal dengan berbagai langgam gerakan masing-masing. Taruhlah sebagian kecil
contoh, IRE, Satunama, Pusham UII, Muhammadiyah, NU, LSM Perempuan telah
memberikan kontribusi sangat besar menjadi aktor demokrasi baik di lembaganya
berkait dengan kiprah di masyarakat atau menjadi aktor di lembaga pemerintahan.

Kesimpulan

Masyarakat sipil melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka,


sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari
negara. Masyarakat sipil sebagai keterilbatan warga negara yang bertindak secara
kolektif dalam ruang publik tertentu untuk mengekspresikan kepentingan-
kepentingan, hasrat, pilihan dan ide mereka untuk bertuakar informasi, mencapai
sasaran kolektif, mengajukan tuntutan negara, memperbaiki struktur dan fungsi
negara dan ‘menuntut’ akuntabilitas negara. Tiga dasawarsa terakhir kajian civil
society mengarah pada pembagian, pilihan, dan aliansi strategis dalam konteks
kepentingan antar aktor.

Sebagai negara post-autoritarian, kapasitas kelompok masyarakat untuk


mengawal proses transisi dan konsolidasi ke arah demokrasi cukup diragukan
(Tornquist, 2003). Ia menambahkan bahwa adanya kaitan yang lepas antara kerja-
kerja pemberdayaan warga di akar rumput (tetapi gagal membangun hubungan
struktural micro politik-makro), dengan kerja-kerja gerakan masyarakat sipil yang
berhasil membangun hubungan dengan banyak aktor sipil tetapi gagal
membangun hubungan dengan warga di akar rumput. Kegagalan di level ini
menyebabkan pendulum aktor demokrasi kembali diambil alih negara?. Dalam
situasi ini perlu sekali memantapkan peran civil society yaitu dua hal yang menjadi
pemikiran pokok Mansour Fakih yaitu agenda ideologi dan gerakan politik.
Perjuangan ideologis dimaksudkan untuk membangun mekanisme internal dan
eksternal untuk membuka seluas-luasnya pendidikan politik bagi masyarakat agar
dapat memperjuangkan hak-haknya di dalam payung hukum. Thomas Metzger
menyebut masyarakat sipil sebagai ‘the ideological marketplace’—mengalirkan
ide-ide termasuk mengevaluasi dan mengkritik negara.

Sementara agenda politik dimaksudkan untuk memulai kerja-kerja analisis


sosial kritis untuk membangun kesadaran bersama akan posisi masing-masing di
dalam struktur yang ada. Untuk mewujudkan agenda kedua, gerakan sosial
sebagai ciri khas kiprah organisasi masyarakat sipil (Diani & Bison, 2004)
nampaknya perlu dikreasi secara lebih segar, kreatif, dan produktif. Namun hal ini
kerap kali menjadi agenda politik dari struktur kekuasaan dominan ketimbang
agenda masyarakat luas. Politisasi masyarakat sipil sudah menjadi hal yang tidak
rahasia lagi akhir-akhir ini. Dalam berbagai proses pemilu, situasi ini telah
memadu menjadi satu sehingga cukup sulit untuk nalar dikotomi mana gerakan
sosial ala civil society dan yang mana gerakan politiknya.

Referensi

Amstrong, C. K. (2002). Korean Society Civil society, democracy and the state
(second ed.). (C. K. Amstrong, Ed.) London and New York: Routledge.
7

Steffek, J., Kissling, C., & Nanz, P. (2008). Civil Society Participation in European
and Global Governance A Cure for the Democratic Deficit?
Transformations of the State.pdf. (J. Steffek, C. Kissling, & P. Nanz, Eds.)
New York: PALGRAVE MACMILLAN.
Weiss, M. L. (2009). Edging Toward a New Politics in Malaysia: Civil Society at the
Gate? Asian Survey, 49(5), 741-758.
Kingston, J. (2004). Japan’s Quiet Transformation Social change and civil society
in the twenty-first century. New York: RoutledgeCurzon.
Bryson, J. M. (2001). Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Weber, M. (1978). Economy and Society. California: University of California Press.
Tocqueville, A. (2005). De Tocqueville : selections from democracy in America.
New York: Barnes & Noble.
Lipset, S. M. (1959). Some Social Requisities of Democracy: Economic
Development and Political Legitimacy. The American PoliticalScience
Review, 53(1), 69-105.
Fakih, M. (2010). Masyarakat sipil untuk transformasi sosial: Pergolakan Ideologi
LSM Indonesia. Yogyakarta: InsistPress.
Agustinus, L. (2006). Kilasan Singat Mengenai Demokrasi. Jurnal Mandatory,
2(1), 125-14.
Dahl, R. (1999). On Democracy. New Haven: Yale University Press.
Share, D. (1987). Transition to Democracy and Transition through Trasaction .
Comparative Political Studies , 19(4), 201-222.
Huntington, S. (1991). The Third Wave Democratization in the Late Twentieth
Century . Norman and London: University of Oklahoma Press.
Huntington, S. (1965). Political Development and Political Decay. World Politics,
XVII(3), 386— 430.
Tornquist, O. (2005). Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan
Indonesia. Jakarta: Demos.
Diamond, L. (2003). Developing democracy toward concolidation. Yogyakarta:
IRE Press.
Burton, M. G., Gunther, R., & Highley, J. (1992). Elite Transformation and
Democratic Rezimes. In R. Gunther, & J. Highley, Elites and Democratic
Concolidation in latin America and Southern Europe (pp. 295-307).
Cambridge: Cambridge University Press.
Pabottinggi, M. (2013). Kepemimpinan dan Demokrasi Kita: Akar akar
kebangkrutan kepemimpinan di era reformasi dan jalan menuju
kebangkitan. Majalah Prisma, 32, 3-27.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai