Anda di halaman 1dari 48

FISIOLOGI MANUSIA

“SISTEM REPRODUKSI SERTA KASUS DAN PEMBAHASAN”

Disusun Oleh:

1. AGUS DIAH EKA LESTARI


2. CAROLINE LYSTIA RUT WINASIS
3. DESTA NAFARAN NADYAGITA
4. DEYARIZKA NURUL SYARAH
5. HALIMAH DWI PUTRIYANTI
6. SIVIYANI AROFAH
7. TUTUT HARDIYANTI
8. ZANNETA NOURMA SYA’BANI

PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN


JURUSAN KEBIDANAN
POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III
2019

i
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Organ Reproduksi Pria


1. Anatomi Organ Reproduksi Pria
Genetalia external pada laki-laki adalah penis dan scrotum (sebuah
kantung yang melindungi testes).Penis terdiri dari glans (kepala), dan
batang.Glans ditutupi oleh lapisan kulit yang disebut klitoral hood atau
kulit penutup skrotum(bagian yang disunat).Scrotum berfungsi
mengelilingi dan melindungi kedua testis.
Epididimis berbentuk lonjong kecil yang bersandar pada permukaan
testis dan dimana sperma dimasak dan disimpan.Epididimis mengarah ke
vas deferens (tabung yang membawa sperma dari testis).Vas deferens
meluas lalu kemudian bergabung dengan saluran dari dua vesica
seminalis(terletak di sisi kelenjar prostat) untuk membentuk duktus
ejakulasi yang memanjang melalui tubuh kelenjar prostat dan kosong ke
uretra. Kelenjar prostat mengelilingi kandung kemih(bagian yang
menyimpan urin) dan urethra (tabung tipis yang luas melalui penis dan
membawa air mani dan urin di luar tubuh, meskipun tidak secara
bersamaan). Cowper glands (bulbourethral glands) dapat ditemukan pada
setiap sisi urethra, tepat di bawah kelenjar prostat.

1
2. Organ Reproduksi Eksternal (genetalia luar)
a. Skrotum :
1) Kantung yang berisi testis
2) Terdiri dari lapisan luar kulit yang tebal dengan sejumlah kelenjar
lemak dan keringat
3) Fungsi : sebagai penyangga bagi testis
i. Regulasi temperatur
b. Penis :
1) Organ untuk kopulasi
2) Terdiri dari 2 corpus cavernosum dan corpus spongiosum
3) Corpus cavernosum penis : disebelah dorsal,dibungkus tunica
albugenia tebal ± 0,5 mm, ketika ereksi tersusun oleh serabut
kolagen sirkuler (sblh dlm) dan longitudinale (luar)
4) Corpus spongiosum penis : disebelah ventral,dilapisi tunica
albugenia,cavernae lebih padat dan kecil-kecil,bagian tengah
ditembus oleh urethra
3. Organ Reproduksi Internal (genetalia dalam)
a. Testis
Testis adalah organ primer untuk reproduksi pria.Organ ini
mengalami penurunan dari daerah asalnya, melalui kanalis inguinalis
ke dalam skrotum.Fungsi dan struktur diatur oleh hormon
gonadotropin.Berbentuk oval dan terletak di kantung skrotum. Testis
berjumlah sepasang terdapat di bagian tubuh sebelah kanan dan kiri
tubuh terdiri dari serat jaringan ikat dan otot polos
Alat ini tersusun atas kerangka bungkus dan struktur dalam.

2
Bungkus luar :

a. Tunika vaginalis
Terdiri dari 2 lapis sebagai kantong yaitu mesothelium
melapisi permukaan testis bagian anterior.
b. Tunika albugenia adalah jaringan ikat padat fibrosa merupakan
kapsula yang lebih tebal sepanjang permukaan posterior yaitu
mediastinum testis.
c. Tunika vasculosa : sangat tipis

Struktur Dalam:

a. Septa merupakan perluasan tunika albugenia yang membagi testis


menjadi± 250 lobulus.
b. Lobulus yang terdiri dari 1-4 tubulus seminiferus yaitu eksokrin
dan jaringan ikat longgar diantara tubulus terdapatendocrynocytus
interstitialis (leydig) adalah endokrin .

b. Saluran Pengeluaran
1) Epididimis

3
Epididimis adalah saluran transport sperma pertama yang terdiri
dari caput, corpus dan cauda mempunyai 4 fungsi :
a. Transpor sperma Transport
b. konsentrasi sperma
c. Penyimpanan sperma
d. Maturasi/pematangan sperma (khususnya di daerah cauda)

Epididimis merupakan saluran berkelok-kelok di dalam


skrotum yang keluar dari testis.Eoididimis berjumlah sepasang
di sebelah kanan dan kiri.

2) Duktus Deferens (Vas deferens)


Vas deferens atau saluran sperma (duktus deferens)
merupakan saluran lurus yang mengarah ke atas dan merupakan
lanjutan dari epididimis.Vas deferens tidak menempel pada testis
dan ujung salurannya terdapat di dalam kelenjar prostat.
3) Saluran ejakulasi
Saluran ejakulasi merupakan saluran pendek yang
menghubungkan kantung semen dengan uretra.Saluran ini
berfungsi untuk mengeluarkan sperma agar masuk ke dalam
uretra.
4) Uretra
Uretra merupakan saluran akhir reproduksi yang terdapat di
dalam penis.Uretra pada penis dikelilingi oleh jaringan erektil
yang rongga-rongganya banyak mengandung pembuluh darah
dan ujung-ujung saraf perasa. Bila ada suatu rangsangan, rongga
tersebut akan terisi penuh oleh darah sehingga penis menjadi
tegang dan mengembang (ereksi).

4
Gambar penis dilihat dari insisi transversal

5) Kelenjar Assesoris
Selama sperma melalui saluran pengeluaran, terjadi
penambahan berbagai getah kelamin yang dihasilkan oleh kelenjar
asesoris.Kelenjar asesoris merupakan kelenjar kelamin yang terdiri
dari vesikula seminalis, kelenjar prostat dank kelenjar Cowper.
a) Vesikula Seminalis
Vesikula seminalis atau kantung semen (kantung mani)
merupakan kelenjar berlekuk-lekuk yang terletak di belakang
kandung kemih. Dinding vesikula seminalis menghasilkan zat
makanan yang merupakan sumber makanan bagi sperma.
b) Kelenjar Prostat
Kelenjar Prostat melingkari bagian atas uretra dan terletak
di bagian bawah kantung kemih.
c) Kelenjar Cowper
Kelenjar cowper (kelenjar bulbouretra) merupakan kelenjar
yangsalurannya langsung menuju uretra.
4. Kelainan Organ Reproduksi Pria
Gangguan yang terjadi pada alat/organ reproduksi laki- laki akan
menyebabkan terjadinya gangguan pada sperma. Gangguan ini
menyebabkan seorang laki-laki menjadi kurang subur bahkan bisa tidak
subur.Gangguan sperma tersebut biasanya terjadi pada produksi
spermanya, bentuk spermanya, faal spermanya, fungsi spermanya,
transportasi spermanya.
Selain itu juga masih ada gangguan sperma yang tidak diketahui
penyebabnya, dan ini semua akan menyebabkan tidak baiknya kualitas dan

5
kuantitas sperma. Masalah gangguan reproduksi pada pria ini disebabkan
oleh hal-hal berikut ini:
a. Cryptorchidism: buah pelirnya hanya satu atau tidak ada di dalam
kantung pelirnya.
b. Hypospadia: lubang keluar sperma/kencing pada laki-laki di sebelah
bawah, biasanya ketika buang air kecil alirannya “tidak deras.”
c. Pseudohermaphrodite: bentuk alat kelamin ganda ( laki-laki dan
perempuan), tetapi tidak sempurna. Vagina tidak sempurna (tidak
memiliki lubang vagina misalnya) atau tidak memiliki vagina.
d. Micro penis: penis kecil / tidak berkembang.
e. Hipogonadisme: merupakan penurunan fungsi testis yang
disebabkan oleh gangguan interaksi hormon, seperti hormon
androgen dan estrogen. Gangguan ini menyebabkan infertilitas,
impotensi, dan tidak adanya tanda-tanda kepriaan. Penanganannya
dapat dilakukan dengan terapi hormon.
f. Kriptorkidisme: merupakan kegagalan dari satu atau kedua testis
untuk turun dari rongga abdomen ke dalam scrotum pada waktu
bayi. Penanganannya dapat dilakukan dengan pemberian hormone
chorionic gonadotropin untuk merangsang testosterone.
g. Impotensi: kelainan ini dialami oleh laki-laki, yaitu suatu keadaan
penis yang tidak dapat melakukan ereksi (tegang), sehingga sulit
melakukan kopulasi (fertilisasi). Biasanya impotensi disebabkan oleh
factor hormonal, yaitu terlambatnya fungsi hormone reproduksi, bisa
juga disebabkan oleh factor psikologis atau emosional seseorang.

6
B. Organ Reproduksi Wanita
a. Anatomi Organ Reproduksi Wanita
a. Payudara

Payudara (mammae/ susu) adalah kalenjar yang terletak di


bawah kulit, di atas otot dada. Fungsi dari payudara adalah
memproduksi susu untuk menutrisi bayi. Manusia mempunyai sepasang
kalenjar payudara, yang beratnya lebih 200 gram, saat hamil 600 gram
dan saat menyusui 800 gram.
Pada payudara terdapat tiga bagian utama, yaitu :
1) Korpus (badan), yaitu bagian yang membesar
2) Areola, yaitu bagian yang kehitaman di tengah
3) Papilla atau puting, yaitu bagian yang menonjol di puncak
payudara

b. Kelainan Organ Reproduksi Wanita


1) Uterus Bicornis.
Kelainan ini dapat berakibat sulitnya pembuahan atau seringnya
mengalami keguguran. Maka, jika calon ibu mengalami keadaan
seperti ini, mereka harus rajin memeriksa kandungannya ke dokter
SPoG. Ada 2 jenis Uterus Bicornis, yaitu:
a) Uterus bicornis unikollis, terjadi pemisahan uterus kanan dan
sebelah kiri yang sangat jelas , namun serviks/leher rahim tetap
menjadi satu .

8
b) Uterus bicornis bikollis, terjadi pemisahan uterus kanan dan
kiri, serviks ganda, dan vagina tunggal atau ganda.
2) Endometriosis
Endometriosis adalah terdapatnya jaringan endometrium di luar
rahim , misalnya di ovarium. Wanita yang mengidap endometriosis
ini biasanya akan sulit hamil. Gejala penyakit ini adalah sakit
ketika menstruasi akibat meluruhnya jaringan endometrium
bersamaan dengan menstruasi.

c. Fisiologi Sistem Reproduksi Wanita


1) Fungsi Seksual
Pada fungsi ini, alat yang berperan adalah vulva dan
vagina. Kelenjar pada vulva yang dapat mengeluarkan cairan,
berguna sebagai pelumas pada saat sanggama. Selain itu vulva dan
vagina juga berfungsi sebagai jalan lahir.
2) Fungsi Hormonal
Fungsi hormonal ialah peran indung telur dan rahim
didalam mempertahankan ciri kewanitaan dan pengaturan haid.
Perubahan-perubahan fisik dan psikis yang terjadi sepanjang
kehidupan seorang wanita erat hubungannya dengan fungsi indung
telur yang menghasilkan hormon-hormon wanita yaitu estrogen
dan progesteron. Dalam masa kanak-kanak indung telur belum
menunaikan fungsinya dengan baik. Indung telur mulai berfungsi,
yaitu kurang lebih pada usia 9 tahun, barulah secara produktif
menghasilkan hormon-hormon wanita. Hormon-hormon ini
mengadakan interaksi dengan hormon-hormon yang dihasilkan
kelenjar-kelenjar di otak. Akibatnya terjadilah perubahan-
perubahan fisik pada wanita, seperti terjadi pertumbuhan payudara,
kemudian terjadi pertumbuhan rambut kemaluan. disusul rambut-
rambut di ketiak.

9
Selanjutnya terjadilah haid yang pertama kali disebut
menarche, yaitu sekitar usia 10-16 tahun. Mula-mula haid datang
tidak teratur, selanjutnya timbul secara teratur. Sejak saat inilah
seorang wanita masuk kedalam masa reproduksinya yang
berlangsung kurang lebih 30 tahun. Setelah masa reproduksi
wanita masuk kedalam masa kllmakterium, yaitu masa yang
menunjukan fungsi indung telur yang mulai berkurang.
Mula-mula haid menjadi sedikit, kemudian datang 1-2
bulan sekali atau tidak teratur dan akhirnya berhenti sama sekali.
Bila keadaan ini berlangsung 1 tahun, maka dikatakan wanita
mengalami menopause. Menurunnya fungsi indung telur ini sering
disertai gejala-gejala panas, berkeringat, jantung berdebar,
gangguan psikis yaitu emosi yang labil. Pada saat ini terjadi
pengecilan alat-alat reproduksi clan kerapuhan tulang.
Menstruasi atau haid timbul karena penganuh-pengaruh
hormon yang berinteraksi terhadap selaput lendir rahim
(endometrium). Lapisan tersebut berbeda ketebalannya dari hari ke
hari, paling tebal terjadi pada saat masa subur, yang mana
endometrium dipersiapkan untuk kehamilan. Bila kehamilan tidak
terjadi, tapisan ini mengelupas dan terbuang berupa darah haid.
Biasarrya haid berlangsung 2- 8 hari dan jumlahnya kurang lebih
30-80 cc. Sesaat setelah darah haid habis, lapisan tersebut mulai
tumbuh kembali, mula-mula tipis kemudian bertambah tebal untuk
kemudian mengelupas lagi berupa darah haid. Menjelang haid dan
beberapa hari saat haid wanita sering mengeluh, mudah
tersinggung, pusing, nafsu makan berkurang, buah dada tegang,
mual dan sakit perut bagian bawah.
Kebanyakan wanita menyadari adanya keluhan ini dan
tidak mengganggu aktivitasnya, tetapi beberapa wanita merasakan
keluhan ini berlebihan. Berat ringannya keluhan ini, sesungguhrrya

10
tergantung dari latar belakang psikologis dan keadaan emosi pada
saat haid.
3) Fungsi Reproduksi
Tugas reproduksi dilakukan oleh indung telur, saluran telur dan
rahim. Sel telur yang setiap bulannya dikeluarkan dari kantung telur
pada saat masa subur akan masuk ke dalam saluran telur untuk
kemudian bertemu dan menyatu dengan sel benih pria (spermatozoa)
membentuk organisme baru yang disebut zygote, pada saat inilah
ditentukan jenis kelamin janin dan sifat-sifat genetiknya. Selanjutnya
zygote akan terus berjalan sepanjang saluran telur dan masuk kedalam
rahim. Biasanya pada bagian atas rahim, zygote akan menanamkan diri
dan berkembang menjadi mudah. Barulah selanjutnya tumbuh dan
berkembang sebagai janin yang kemudian akan lahir pada umur
kehamilan cukup bulan.

d. Alat Genetalia Luar

1) Mons Veneris (Mons Pubis)


Mons veneris adalah bagian yang sedikit menonjol dan
bagian yang menutupi tulang kemaluan (simfisis pubis). Bagian ini
disusun oleh jaringan lemak dengan sedikit jaringan ikat. Mons
Veneris juga sering dikenal dengan nama gunung venus, ketika
dewasa bagian mons veneris akan ditutupi oleh rambut – rambut
kemaluan dan membentuk pola seperti segitiga terbalik.

11
2) Labia Majora (Bibir Besar Kemaluan)
Seperti namanya, Bagian ini berbentuk seperti bibir. Labia
Mayora merupakan bagian lanjutan dari mons veneris yang
berbentuk lonjok, menuju ke bawah dan bersatu membentuk
perineum. Bagian Luar dari Labia Mayor disusun oleh jaringan
lemak, kelenjar keringat, dan saat dewasa biasanya ditutupi oleh
rambut – rambut kemaluan yang merupakan rambut dari mons
veneris. Sedangkan selaput lemak yang tidak berambut, namun
memiliki banyak ujung – ujung saraf sehingga sensitif saat
melakukan hubungan seksual.
3) Labia Minora (Bibir Kecil Kemaluan)
Labia Minora merupakan organ berbentuk lipatan yang
terdapat di dalam Labia Mayora. Alat ini tidak memiliki rambut,
tersusun atas jaringan lemak, dan memiliki banyak pembuluh darah
sehingga dapat membesar saat gairah seks bertambah. Bibir Kecil
Kemaluan ini mengelilingi Orifisium Vagina (lubang Kemaluan).
Labia Minora analog dengan Kulit Skrotum pada Alat Reproduksi
Pria.
4) Klitoris
Klitoris adalah organ bersifat erektil yang sangat sensitif
terhadap rangsangan saat hubungan seksual. Klitoris memiliki
banyak pembuluh darah dan terdapat banyak ujung saraf padanya,
oleh karena itu Organ ini sangat sensitif dan bersifat erektil.
Klitoris Analog dengan Penis pada Alat Reproduksi Pria.
5) Vestibulum
Vestibulum adalah rongga pada kemaluan yang dibatasi
oleh labia minora pada sisi kiri dan kanan, dibatasi oleh klitoris
pada bagian atas, dan dibatasi oleh pertemuan dua labia minora
pada bagian belakang (bawah) nya. Vestibulum merupakan tempat
bermuaranya Uretra (saluran kencing) dan Muara Vagina (liang
Senggama)

12
Masing – Masing Dua Lubang Saluran Kelenjar Bartholini
dan Skene (Kelenjar ini mengeluarkan cairan seperti lendir saat
pendahuluan hubungan untuk memudahkan masuknya penis)

6) Himen (Selaput Dara)


Himen merupakan selaput membran tipis yang menutupi lubang
vagina. Himen ini mudah robek sehingga dapat dijadikan salah satu
aspek untuk menilai keperawanan. Normalnya Himen memiliki satu
lubang agak besar yang berbentuk seperti lingkaran. Himen merupakan
tempat keluarnya cairan atau darah saat menstruasi. Saat Melakukan
hubungan seks untuk pertama kalinya himen biasanya akan robek dan
mengeluarkan darah. Setelah melahirkan hanya akan tertinggal sisa –
sisa himen yang disebut caruncula Hymenalis (caruncula mirtiformis).

e. Alat Genetalia Dalam

1) Vagina
Vagina adalah muskulo membranasea (Otot-Selaput) yang
menghubungkan rahim dengan dunia luar. Vagina memiliki
panjang sekitar 8 – 10 cm, terletak antara kandung kemih dan
rektum, memiliki dinding yang berlipat – lipat, lapisan terluarnya
merupakan selaput lendir, lapisan tengahnya tersusun atas otot-otot,
dan lapisan paling dalam berupa jaringan ikat yang berserat.
Vagina berfungsi sebagai jalan lahir, sebagai sarana dalam

13
hubungan seksual dan sebagai saluran untuk mengalirkan darah dan
lendir saat menstruasi.
Otot pada vagina merupakan otot yang berasal dari
sphingter ani dan levator ani (Otot anus/dubur), sehingga otot ini
dapat dikendalikan dan dilatih. Vagina tidak mempunyai kelenjar
yang dapat menghasilkan cairan, tetapi cairan yang selalu
membasahinya berasal dari kelenjar yang terdapat pada rahim.
2) Uterus
Merupakan Jaringan otot yang kuat, terletak di pelvis minor
diantara kandung kemih dan rektum.Dinding belakang dan depan
dan bagian atas tertutup peritonium, sedangkan bagian bawah
berhubungan dengan kandung kemih.Vaskularisasi uterus berasal
dari arteri uterina yang merupakan cabang utama dari arteri illiaka
interna (arterihipogastrika interna).
3) Tuba Fallopii
Tuba fallopii merupakan tubulo-muskuler, dengan panjang
12 cm dan diameternya antara 3 sampai 8 mm. fungsi tubae sangat
penting, yaiu untuk menangkap ovum yang di lepaskan saat
ovulasi, sebagai saluran dari spermatozoa ovum dan hasil konsepsi,
tempat terjadinya konsepsi, dan tempat pertumbuhan dan
perkembangan hasil konsepsi sampai mencapai bentuk blastula
yang siap melakukan implantasi.
4) Ovarium
Merupakan kelenjar berbentuk buah kenari terletak kiri dan
kanan uterus di bawah tuba uterina dan terikat di sebelah belakang
oleh ligamentum latum uterus. Setiap bulan sebuah folikel
berkembang dan sebuah ovum dilepaskan pada saat kira-kira
pertengahan (hari ke-14) siklus menstruasi. Ovulasi adalah
pematangan folikel de graaf dan mengeluarkan ovum. Ketika
dilahirkan, wanita memiliki cadangan ovum sebanyak 100.000
buah di dalam ovariumnya, bila habis menopause.

14
Ovarium yang disebut juga indung telur, mempunyai 3 fungsi:
a. Memproduksi ovum
b. Memproduksi hormone estrogen
c. Memproduksi progesteron
Memasuki pubertas yaitu sekitar usia 13-16 tahun dimulai
pertumbuhan folikel primordial ovarium yang mengeluarkan
hormon estrogen. Estrogen merupakan hormone terpenting pada
wanita. Pengeluaran hormone ini menumbuhkan tanda seks
sekunder pada wanita seperti pembesaran payudara, pertumbuhan
rambut pubis, pertumbuhan rambut ketiak, dan akhirnya terjadi
pengeluaran darah menstruasi pertama yang disebut menarche.
Awal-awal menstruasi sering tidak teratur karena folikel
graaf belum melepaskan ovum yang disebut ovulasi. Hal ini terjadi
karena memberikan kesempatan pada estrogen untuk
menumbuhkan tanda-tanda seks sekunder. Pada usia 17-18 tahun
menstruasi sudah teratur dengan interval 28-30 hari yang
berlangsung kurang lebih 2-3 hari disertai dengan ovulasi, sebagai
kematangan organ reproduksi wanita.

15
C. Hormon
1. Pengertian Hormon
Hormon adalah getah yang dihasilkan oleh suatu kelenjar dan langsung
diedarkan oleh darah. Kata hormon berasal dari kata hormaeni yang berarti
memacu atau menggiatkan. Hormon diperlukan oleh tubuh dalam jumlah
yang sedikit, namun hormon mempunyai pengaruh yang besar. Hormon
berfungsi untuk mengatur homeostatis, memacu pertumbuhan, reproduksi
metabolisme dan tingkah laku.
Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar kelamin wanita (ovarium)
Ovarium menghasilkan sel telur (ovum) dan juga hormon perempuan, yang
meliputi esterogen dan progesteron. Hormon esterogen dan progesteron
merupakan hormon yang disintesis di dalam ovarium terutama dari
kolesterol yang bersala di dalam darah, dan juga walaupun sebagian
kecilnya diperoleh dari asetil koenzim A, suatu molekul yang dapat
berkombinasi dan membentuk inti steroid yang tepat. Selama sintesis,
progesteronlah yang pertama kali akan disintesis selama fase folikular
siklus ovarium. Sebelum kedua hormon ini keluar dari ovarium sebagian
progesteron yang dibentuk akan diubah menjadi esterogen oleh sel sel
granulosa.
Progesteron dan esterogen adalah dua hormon yang paling penting
bagi wanita, karena merupakan hormon seks utama di dalam tubuh wanita.
Kedua hormon ini adalah hormon steroid. Mereka memainkan peran
penting dalam proses kehamilan, siklus menstruasi, dll dalam tubuh wanita.
Keseimbangan hormon ini harus dijaga. Kedua hormon ini berkerja sama
untuk mempertahankan siklus menstruasi dan kehamilan.
a. Esterogen
Dihasilkan oleh sel folikel de graaf. Fungsinya adalah:
Menebalkan endometrium dan mempersiapkan untuk kehamilan.
b. Progesteron
Dihasilkan oleh korpus luteum, yaitu berkas folikel yang telah
ditinggalkan sel telur. Fungsinya adalah Mengatur pertumbuhan ari-ari
(placenta), Menghambat produksi FSH oleh Esterogen. Pada ibu yang
telah melahirkan progesteron berfungsi memperlancar produksi air susu

16
dan mengatur pertumbuhan endometrium dan pembuluh darah dari
dinding rahim
Terdapat pula Gonadotopin-releasing hormon (GnRH) dan juga
Gonadotopin. GnRH adalah hormon peptida yang dihasilkan oleh
hipotalamus, yang menstimulasi sel-sel gonadotrop pada hipofisis
anterior. Di hipotalamus sendiri pengeluaran GnRH diatur oleh nukleus
arkuata. Neuron pada nukleus arkuata memiliki kemampuan untuk
memproduksi dan melepas gelombang GnRH ke hipofisis. Sedangkan,
gonadotropin pada wanita meliputi Follicle-stimulating hormone (FSH)
dan luteinizing hormone (LH). Baik FSH dan LH disekresikan oleh
kelenjar hipofisis anterior pada usia antara 9-12 tahun. Efek dari sekresi
hormon tersebut adalah siklus menstruasi yang terjadi pada usia sekitar
11-15 tahun. Periode ini dikatakan pubertas sedangkan siklus
menstruasi pertama disebut menarche. FSH dan LH bekerja
menstimulasi ovarium dengan berikatan pada reseptor FSH dan
reseptor LH. Reseptor yang teraktivasi akan meningkatkan laju sekresi
sel, pertumbuhan, dan proliferasi sel.
a. Follicle-stimulating hormone (FSH)
FSH merupakan hormon yang memiliki struktur glikoprotein,
diproduksi di sel gonadotrop hipofisis, distimulasi oleh hormon
aktivin dan dihambat oleh hormon inhibin. FSH berfungsi dalam
pertumbuhan, perkembangan, maturasi saat pubertas, dan
reproduksi.
Pada wanita, FSH menstimulasi maturasi sel-sel germinal,
menstimulasi pertumbuhan folikel terutama pada sel-sel granulosa
dan mencegah atresia folikel. Pada akhir fase folikular kerja FSH
dihambat oleh inhibin dan pada akhir fase luteal aktivitas FSH
kembali meningkat untuk mempersiapkan siklus ovulasi berikutnya,
demikian seterusnya.
Kerja FSH juga dihambat oleh estradiol (estrogen) yang
dihasilkan oleh folikel matang sehingga menyebabkan folikel
tersebut dapat mengalami ovulasi.

17
b. Luteinizing hormone (LH)
LH merupakan hormon yang memiliki struktur glikoprotein
heterodimer, diproduksi di sel gonadotrop hipofisis dan kerjanya
tidak dipengaruhi oleh aktivitas aktivin, inhibin, dan hormon seks.
Pada saat FSH menstimulasi pertumbuhan folikel, khususnya
sel granulosa, maka pengeluaran estrogen akan memicu munculnya
reseptor untuk LH. LH akan berikatan pada reseptornya tersebut dan
estrogen akan mengirim umpan balik positif untuk mengeluarkan
lebih banyak lagi LH. Dengan semakin banyaknya LH, maka akan
memicu ovulasi (pengeluaran ovum) dari folikel sekaligus
mengarahkan pembentukan korpus luteum. Korpus luteum yang
terbentuk akan menghasilkan progesteron yang berguna pada saat
implantasi.

b. Efek Hormon Ovarium


Fungsi reproduksi wanita salah satunya adalah memiliki siklus aktivitas
yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan dari folikel dominan.
Normalnya ovarium akan memproduksi satu folikel dominan yang akan
mengalami ovulasi pada setiap siklus menstruasi. Folikel dominan akan
memproduksi estradiol pada saat fase folikuler dari siklus ovarium. Setelah
ovulasi, folikel akan berubah menjadi corpus luteum yang akan mensekresi
progesteron dalam jumlah besar saat fase luteal dari siklus menstruasi.
Estradiol dan progesteron bekerja pada uterus untuk mempersiapkan kondisi
uterus sebagai tempat implantasi embrio.
Hormon kelamin ovarium adalah esterogen dan progestin, yang paling
penting dari esterogen adalah hormon estradiol dan yang paling penting dari
progestin adalah progesterone. Berikut adalah efek hormone ovarium bagi
tubuh kita:
a. Progestin berkaitan hampir seluruhnya dengan persiapan akhir dari
uterus untuk menerima kehamilan dan persiapan dari payudara untuk
laktasi. Efek Pada Uterus Dan Organ Kelamin Luar Wanita Esterogen
mengubah epitel vagina dari tipe kuboid menjadi bertingkat, yang di
anggap lebih tahan terhadap trauma dan infekwsi dari pada epitel
prapubertas. Infeksi pada anak, seeperti vaginitis gonore dapat

18
disembuhkan dengan pemberian esterogen hanya karena eterogen dapat
meningkatkan ketahanan dari epitel vagina. Sesudah puberts ukuran
uterus meningkat menjadi dua sampai tiga kali lipat, hal itu terjadi
karena pengaruh esterogen yang menyebabkan terjadinya poliferasi yang
nyata stroma endometrium dan sangat meningkatkan perkembangan
kelenjar endometrium yang nantinya akan dimanfaatkan untuk memeri
nutrisi pada ovum yang berimplantasi.
b. Efek Esterogen Pada Tuba Fallopi
Esterogen menyebabkan jaringan kelenjar berpoliferasi dan
yang penting eterogen menyebabkan jumlah sel sel epitel bersilia yang
membatasi tuba fallopi bertambah banyak.
c. Efek Esterogen Pada Payudara
Efek esterogen pada payudara menyebabkan: (1)
perkembangan jaringan stroma payudara (2) pertumbuhan system duktus
yang luas (3)deposit lemak lemak pada payudara. Esterogen juga
memulai pertumbuhan payudara dan alat – alat pembentuk air susu
payudara. Esterogen juga berperan pada pertumbuhan karakteristik dan
penampilan luar dari dari payudara wanita dewasa. Tetapi esterogen
tidak berperan dalam mengubah payudara menjadi organ pembentuk
susu.
d. Efek Eterogen Pada Tulang Rangka
Sesudah menopause hampir tidak ada esterogen yang disekresi
oleh ovarium. Kekurangan esterogen ini menyebabkan : (1)
kerkurangnya aktivitas osteoblastik pada tulang (2) berkurangnya
matriks tulang (3) berkurangnya deposit kalsium dan fosfat tulang. Efek
ini sangat hebat sehingga menyebabkan osteoporosis.
e. Efek Esterogen Pada Pengendapan Protein
Esterogen menyebabkan peningkatan total protein tubuh, yang
terbukti dari adanya keseimbangan nitrogen yang sedikit positif apabila
diberikan esterogen. Keadaan ini kemungkinan dihasilkan dari efek
pertumbuhan esterogen pada organ kelamin, tulang dan beberapa
jaringan tubuh yang lain.

19
f. Efek Esterogen Pada Deposit Lemak
Esterogen menyebabkan peningkatan jumlah deposit lemak
dalam jaringan subkuntan. Sebagai akibatnya seluruh berat jenis tubuh
wanita dilihat dari daya apungnya di air, dianggap lebih kecil
dibandingkan dengan tubuh pria yang engandung lebih banyak protein
dan lebih sedikit lemak. Esterogen juga menyebabkan deposit lemak
pada payudara, jaringan subkutan, bokong dan paha yang merupakan
karakteristik dari sosok wanita.
g. Efek Esterogen Pada Kulit
Esterogen menyebabkan kulit berkembang mebentuk tektur
yang halus dan biasanya lembut, tetapi meskipun demikian kulit lebih
tebal dari pada kulit seorang anak atau kulit wanita yang dikastari.
Esterogen juga menybabkan kulit menjadi lebih vaskular dari pada
normal: efek ini seringkali berkaitan dengan meningkatnya kehangatan
dari kulit dan seringkali menyebabkan pendarahan pada permukaan yang
terluka dibandingkan pendaraan yang terjadi pada pria.
h. Efek Esterogen Pada Keseimbangan Elektrolit
Esterogen dapat menyebabkan terjadinya retensi natrium dan air
oleh tubulus ginjal, efek esterogen ini ringan dan jarang bermakana
kecuali pada masa kehamilan.
i. Efek Progesterone Pada Uterus
Fungsi progesterone yang paling penting adalah untuk
meningkatkan perubahan sekretorik pada endometrium uterus selama
separuh terakhir siklus seksual bulanan wanita. Progesterone juga
memgurangi frekuensi dan intensitas kontraksi uterus, sehingga
membantu mencegah terlepasnya ovum yag sudah berimplantasi.
j. Efek Progesterone Pada Tuba Fallopi
Progesterone juga meningkatkan perubhan sekretorik pada
mukosa yang membatassi tuba fallopi. Sekresi ini dibutuhkan untuk
nutrisi ovum yang telah dibuahi dan sedang membelah, sewaktu ovum
bergerak dalam tuba fallopi sebelum berimplantasi.
k. Efek Progesterone Pada Payudara
Progesterone meningkatkan perkembangan dari lobulus dan
alveoli payudara, mengakibatkan sel sel alveolar berpoliferasi,

20
membesar, dan menjadi bersifat sekretorik. Progeteron juga
menyebabkan payudara membengkak. Sebagian dari pembengkakan ini
terjadi karena pekembangan sekretorik dari lobulus dan alveoli.
l. Efek Perogesteron Pada Keseimbangan Elektrolit
Meningkatkan reapsobsi natrium, klorida, dan air dari tubulus
distal ginjal. Progeteron lebih sering menyebabkan peningkatan eksresi
natrium dan air. Progeteron secara lemah dapat meningkatakan retensi
natrium dan pada tubulus ginjal, progesterone juga dapat menghambat
efek yang lebih kuat dari aldosteron, jadi biasanya menyebabkan
terjadinya pengeluaran akhir natrium dan air dari tubuh.

c. Siklus Ovari

a. Pengertian Ovulasi
Adalah dikeluarkannya sel telur dari indung telur yang
dirangsang pengeluarannya oleh hormon yang dikeluarkan kelenajar
hipofise atau LH. Sel telur yang telah matang ini kemudian bergerak
menuju tuba falopii untuk di buahi. Jika tidak terjadi pembuahan
oleh sperma, maka sel telur akan mati dan akan keluar bersama
dengan dinding rahim
b. Siklus Ovarium
1) Fase Folikular
a) Hari ke 1-8
Kadar FSH dan LH relatif tinggi memacu perkembangan 10-
20 folikel dengan satu folikel dominan. Folikel dominan

21
tersebut nampak pada fase folicular, sisa folikel mengalami
atresia. Relatif tingginya kadar FSH dan LH merupakan
trigger turunnya estrogen dan progesteron pada akhir siklus.
Selama dan segera setelah haid kadar estrogen relatif rendah
tapi mulai meningkat karena terjadi perkembangan folikel.
b) Hari ke 9 – 14
Pada saat ukuran folikel meningkat lokalisasi akumulasi
cairan tampak sekitar sel granulosa dan menjadi konfluen,
memberikan peningkatan pengisian cairan di ruang sentral
yang disebut antrum yang merupakan transformasi folikel
primer menjadi sebuah Graafian folikel di mana oosit
menempati posisi eksentrik, di kelilingi oleh 2 sampai 3 lapis
sel granulosa yang disebut kumulus ooforus.
Perubahan hormon : Hubungannya dengan pematangan
folikel adalah ada kenaikan yang progresif dalam produksi
estrogen (terutama estradiol) oleh sel granulosa dari folikel
yang berkembang. Mencapai 18 jam sebelum ovulasi.
Karena kadar estrogen meningkat, pelepasan kedua
gonadotropin ditekan yang berguna untuk mencegah
hiperstimulasi dari ovarium dan pematangan banyak folikel.
Sel granulosa juga menghasilkan inhibin dan mempunyai
implikasi sebagai faktor dalam mencegah jumlah folikel
yang matang.
2) Ovulasi
Ovulasi adalah pembesaran folikel secara cepat yang diikuti
dengan protrusi dari permukaan korteks ovarium dan pecahnya
folikel dengan ekstrusinya oosit yang ditempeli oleh kumulus
ooforus. Pada beberapa perempuan saat ovulasi dapat dirasakan
dengan adanya nyeri di fosa iliaka. Pemeriksaan USG
menunjukan adanya rasa sakit yang terjadi sebelum folikel pecah.
Perubahan hormon: Estrogen meningkat sekresi LH (melalui
hipotalamus) melibatkan meningkatnya produksi androgen dan
estrogen. Segera sebelum ovulasi terjadi penurunan kadar

22
estradiol yang cepat dan peningkatan produksi progesteron.
Ovulasi terjadi 8 jam dari mid-cycle surge LH.
3) Fase luteal
Hari ke 15-28 Sisa folikel tertahan dalam ovarium dipenitarsi
oleh kapilar dan fibroblas dari teka. Sel granulosa mengalami
luteinisasi menjadi korpus luteum. Korpus luteum merupakan
sumber utama hormon steroid seks, estrogen dan progesteron
disekresi oleh ovarium pada fase pasca-ovulasi. Korpus luteum
meningkatkan produksi progesteron dan estradiol. Kedua hormon
tersebut diproduksi dari perkusor yang sama.
Selama fase luteal kadar gonadotropin mencapai nadir dan tetap
rendah sampai terjadi regresi korpus luteum yang terjadi pada
hari ke 26-28. Jika terjadi konsepsi dan implantasi, korpus
luteum tidak mengalami regresi karena dipertahankan oleh
gonadotrofin yang dihasilkan oleh trofoblas. Jika konsepsi dan
implantasi tidak terjadi korpus luteum akan mengalami regresi
dan terjadilah haid. Setelah kadar hormon steroid turun akan
diikuti peningkatan kadar gonadotropin untuk inisiasi siklus
berikutnya.
c. Kelainan Fungsi Ovarium
1) Kelainan menstruasi, beberapa wanita yang infertil mempunyai
siklus anovulasi; ia gagal berovulasi, tetapi mempunyai masa
menstruasi pada interval cukup teratur. Siklus anovulasi
biasanya terjadi 1-2 tahun pertama setelah menarche dan juga
sebelum menopause. Contoh : amenore.
2) Sindroma ovarium, polikistik, suatu keadaan yang ditandai oleh
penebalan capsula ovarium dan pembentukan beberapa kista
folikular, biasanya dalam kedua ovarium. Testosteron estradiol
dan LH plasma meningkat dalam sindrom ini, sedangkan FSH
plasma rendah.
3) Tumor ovarium, pensekresi androgen dapat menyebabkan
maskulinisasi dan tumor pensekresi enstrogen dalam masa
kanak-kanak dapat menyebabkan seks prekoks.

23
d. Siklus Uterus
Dengan diproduksinya hormon steroid oleh ovarium secara siklik akan
menginduksi perubahan penting pada uterus, yang melibatkan endometrium
dan mukosa serviks.
a. Endometrium
Endometrium terdiri dari 2 lapis superfisial yang akan mengelupas saat
haid dan lapisan basal yang tidak ikut dalam proses haid, tetapi ikut
dalam proses regenerasi lapisan superfisial untuk siklus berikutnya.
Batas antara 2 lapis tersebut ditandai dengan perubahan dalam
karakteristik arteriola yang memasok endometriun. Basal endometrium
kuat, tapi karena pengaruh hormon menjadi berkeluk dan memberikan
kesempatan a. Spiralis berkembang. susunan anatomi tersebut sangat
penting dalam fisiologi pengelupasan lapisan superfisial endometrium.

b. Fase proliferasi
Selama fase folikular di ovarium, endometrium di bawah pengaruh
estrogen. Pada akhir haid proses regenerasi berjalan dengan cepat. Saat
ini disebut fase proliferasi, kelenjar tubular yang tersusun rapi sejajar
dengan sedikit sekresi.
c. Fase sekretoris
Setelah ovulasi, produksi progesteron menginduksi perubahan sekresi
endometrium. Tampak sekretori dari vakuole dalam epitel kelenjar
dibawah nukleus, sekresi maternal ke dalam lumen kelenjar dan menjadi
berkelok kelok.
d. Fase haid
Normal fase luteal berlangsung selama 14 hari. Pada akhir fase ini
terjadi regresi korpus luteum yang ada hubungannya dengan
menurunnya produksi estrogen dan progesteron ovarium. Penurunan ini
diikuti oleh kontraksi spasmodik yang intens dari bagian aeteri spiralis
kemudian endometrium menjadi iskemik dan nekrosis, terjadi
pengelupasan lapisan superfisial endometrium dan terjadilah
pendarahan.
Vasospamus terjadi karena adanya produksi lokal prostagladin.
Prostaglandin juga meningkatkan kontraksi uterus bersamaan dengan

24
aliran darah haid yang tidak membeku karena adanya aktivitas
fibrinolitik lokal dalam pembuluh darah endometrium yang mencapai
puncaknya saat haid.
e. Mukus serviks
Pada perempuan ada kontinuitas yang langsung antara alat genital bagian
bawah dengan kavum peritonei. Kontinuitas ini sangat penting unktuk
akses spermatozoon menuju ke ovum, fertilisasi terjadi dalam tuba
falopii. Ada risiko infeksi yang asendens, tetapi secara alami risiko
tersebut dicegah dengan adanya mukus serviks sebagai barier yang
permebeliatasnya bervariasi selama siklus haid
1) Awal fase folikular mukus serviks viskus dan impermeabel
2) Akhir fase folikular kadar estrogen meningkat memacu perubahan
dan komposisi mukus, kadar airnya meningkat secara progresif,
sebelum ovulasi terjadi mukus serviks banyak mengandung air dan
mudah dipenetrasi oleh spermatozoon. Perubahan ini dikenal
dengan istilah “spinnbarkheit”
3) Setelah ovulasi progesteron diproduksi oleh korpus luteum yang
efeknya berlawanan dengan estrogen, dan mukus serviks menjadi
impermeabel lagi, orifisium uteri eksternum kontraksi.
Perubahan-perubahan ini dapat dimonitori oleh perempuan sendiri
jika ingin terjadi konsepsi atau dia ingin menggunakan “rhythm
methode” kontrasepsi. Dalam klinik perubahan ini dapat dimonitori
dengan memeriksa mukus serviks di bawah mikroskop tampak gambaran
seperti daun pakis atau fern-like pattern yang paralel dengan kadar
estrogen sirkulasi, maksimum pada saat sebelum ovulasi, setelah itu
perlahan-lahan hilang.
f. Perubahan-perubahan siklis lain
1) Suhu badan basal
Kenaikan suhu badan basal sekitar 1 derajat F atau 0,5 derajat
C terjadi pada saat ovulasi dan terus bertahan sampai terjadi haid.
Hal ini disebabkan oleh efek termogenik progesteron pada tingkat
hipotalamus. Bila terjadi konsepsi kenaikan suhu badan basal akan
dipertahankan selama kehamilan. Efek yang sama jika dinduksi
dengan pemberian progesteron.

25
2) Perubahan pada mama
Kelenjar mama manusia sangat sensitif terhadap pengaruh
estrogen dan progesteron. Pembesaran mama merupakan tanda
pertama pubertas, merupakan respons peningkatan estrogen
ovarium. Estrogen dan progesteron berefek sinergis pada mama
selama siklus pembesaran mama pada fase luteal sebagai respons
kenaikan progesteron. Pembesaran mama disebabkan oleh
perubahan vaskular, bukan karena perubahan kelenjar.
3) Efek psikologi
Pada beberapa perempuan ada perubahan mood selama siklus
haid, pada fase luteal akhir ada peningkatan labilitas emosi.
Perubahan ini langsung karena penurunan progesteron. Meskipun
demikian, perubahan mood tidak sinkron dengan fluktuasi hormon.

D. Hiperkoagulasi/Trombofilia
Trombofilia atau sering juga disebut hiperkoagulasi atau darah kental adalah
penyakit yang berhubungan dengan pembekuan darah. Trombofilia adalah
kondisi di mana proses alami pembekuan darah dalam tubuh menjadi
meningkat. Trombofilia kerap disebut dengan penyakit darah kental.
Trombofilia tidak memiliki gejala. Namun, gumpalan darah yang terbentuk
akibat pembekuan darah yang berlebih dapat membahayakan. Pembekuan darah
dapat terjadi pada arteri dan vena. Arteri merupakan pembuluh darah yang
berfungsi sebagai saluran untuk mengalirkan darah ke organ dan jaringan tubuh,
sedangkan vena merupakan pembuluh darah yang berfungsi sebagai saluran
untuk mengembalikan darah dari organ atau jaringan tubuh ke jantung.
Gumpalan darah yang terjadi pada vena, atau yang biasa disebut deep vein
thrombosis, merupakan permasalahan yang paling sering ditemui. Gejala yang
biasanya muncul adalah pembengkakan dan nyeri pada tungkai, serta kulit
tampak kemerahan. Kondisi ini dapat menyebabkan komplikasi berupa emboli
paru, yaitu ketika gumpalan darah lepas ke pembuluh darah arteri paru-paru.
Gejala yang timbul saat terjadi emboli paru adalah nyeri dada, sakit saat batuk,
sesak napas, atau bahkan penurunan kesadaran. Gumpalan darah juga dapat
terjadi pada bagian-bagian tubuh lain, seperti otak dan jantung, sehingga
mengakibatkan stroke atau serangan jantung di usia muda. Selain itu,

26
trombofilia berisiko menimbulkan masalah saat kehamilan, seperti keguguran
berulang atau preeklamsia karena pasokan oksigen dan nutrisi lewat plasenta
terhambat bekuan darah. karena pasokan oksigen dan nutrisi lewat plasenta
1. Penyebab Trombofilia
Trombofilia muncul karena adanya ketidakseimbangan zat alami tubuh
yang berperan pada proses pembekuan darah, salah satunya akibat faktor
genetik yang diturunkan (herediter). Trombofilia yang terkait dengan faktor
genetik ini memiliki beberapa tipe, yakni:
a. Defisiensi protein C, protein S, atau anthitrombin III. Protein C, protein
S, dan anthitrombin III adalah zat alami tubuh yang bersifat antikoagulan
atau berfungsi mencegah pembekuan darah yang terjadi. Ketika jumlah
zat-zat tersebut berkurang, maka proses pencegahan pembekuan darah
akan turut terganggu. Dampaknya, pembekuan darah akan meningkat.
Kekurangan bawaan dari salah satu dari tiga protein ini ditemukan pada
sekitar 15% dari pasien yang datang dengan trombosis vena sebelum usia
45. Selain karena faktor keturunan, kondisi tersebut juga dapat
disebabkan oleh suatu penyakit, misalnya penyakit ginjal. (herditary).
Trombin juga bertindak untuk menghasilkan efek antikoagulan yaitu
dengan mengaktifkan protein C, suatu proses yang sangat ditingkatkan
oleh interaksi trombin dengan trombomodulin. Protein C protein yang
diaktifkan secara inaktif mengaktifkan faktor-faktor Va dan VIIIa pada
permukaan sel platelet dan endotel dan karenanya berfungsi untuk
memblokir pembentukan trombin dan langkah-langkah selanjutnya dalam
koagulasi. Protein C membutuhkan protein S, molekul lain yang
tergantung vitamin K sebagai faktor pendamping. Ketidakseimbangan
antara pengurangan inhibitor koagulasi dan / atau peningkatan aktivasi
faktor koagulasi menyebabkan trombosis. Antithrombin (AT) adalah
inhibitor proteinase serin yang memainkan peran penting dalam proses
koagulasi melalui interaksi dengan co-factor-nya, heparin.

b. Protrombin merupakan protein yang membantu proses pembekuan darah.


Pada kondisi ini, produksi protrombin meningkat sehingga pembekuan
terjadi secara berlebihan.

27
c. Faktor V Leiden. Serupa dengan protrombin, Faktor V Leiden juga
merupakan tipe trombofilia yang disebabkan oleh kelainan genetik.
Namun, letak mutasi gen yang terjadi pada faktor V Leiden dan
protrombin berbeda. Selain disebabkan oleh faktor keturunan, trombofilia
juga dapat disebabkan atau dipicu oleh beberapa faktor lain, seperti:
Pertambahan usia, Kehamilan, Imobilisasi atau tidak bergerak dalam
waktu yang lama, Peradangan, Obesitas, Sindrom antifosfolipid, Anemia
sel sabit atau anemia hemolitik, Kanker, Diabetes, Penggunaan pil KB,
Tengah menjalani terapi penggantian hormone.

2. Diagnosis Trombofilia
Seseorang yang mengalami gumpalan darah pada usia di bawah 40
tahun, perlu dicurigai mengalami trombofilia. Selain itu, untuk mendiagnosis
trombofilia, dokter dapat melakukan tes darah dan tes darah ini dapat
dilakukan berulang kali. Namun, ada beberapa ketentuan terkait waktu
sebelum tes tersebut dilakukan. Bagi pasien yang menderita deep vein
thrombosis atau emboli paru, seringkali harus menunggu beberapa minggu
atau bulan setelah pulih, untuk menjalani tes. Begitu pun pasien yang
menggunakan obat pengencer darah (antikoagulan), seperti warfarin, tes baru
bisa dilakukan 4-6 minggu setelah penggunaan obat telah dihentikan. Ketika
tes darah yang dilakukan menunjukan bahwa pasien menderita trombofilia,
maka tes lanjutan akan dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih rinci.
Pasien akan dianjurkan untuk berkonsultasi langsung dengan dokter spesialis
darah (ahli hematologi).
3. Pengobatan Trombofilia
Penderita trombofilia umumnya tidak membutuhkan perawatan.
Namun, dokter perlu melihat seberapa besar risiko yang mungkin timbul
akibat adanya peningkatan pembekuan darah. Besarnya risiko yang ada
bergantung kepada:
a. Usia
b. Gaya hidup
c. Riwayat penyakit dan obat-obatan yang tengah digunakan
d. Tipe trombofilia yang diderita
e. Berat badan

28
Penggunaan obat biasanya ditujukan untuk mengatasi komplikasi dari
trombofilia, seperti deep vein thrombosis atau emboli paru. Obat yang
digunakan untuk mengatasi pembekuan darah berlebih pada tubuh adalah
obat pengencer darah, seperti warfarin atau heparin.
Warfarin merupakan obat pengencer darah yang banyak dipengaruhi
oleh makanan dan obat-obatan lain yang turut dikonsumsi. Agar pengobatan
efektif, dokter akan meningkatkan atau menurunkan dosis warfarin yang
disesuaikan dengan hasil tes darah INR. INR berfungsi untuk menilai waktu
pembekuan darah seseorang. Konsultasikan dengan dokter mengenai nilai
INR yang dianjurkan, untuk mencegah terbentuknya gumpalan darah
kembali.

E. Koagulasi dalam Kehamilan


Kondisi kehamilan juga berpengaruh pada koagulasi dan fibrinolisis. Pada ibu
hamil terjadi perubahan keseimbangan koagulasi intravaskular dan fibrinolisis
sehingga menginduksi suatu keadaan hiperkoagulasi (Sulin, 2010). Faktor-faktor
prokoagulasi meningkat pada akhir dari trimester satu, kecuali faktor XI dan XII.
Contohnya faktor VII, VIII dan IX seluruhnya meningkat dan kadar fibrinogen
plasma menjadi dua kali lipat sedangkan antitrombin III, inhibitor koagulasi menurun
jumlahnya. Protein C, yang menginaktivasi faktor V dan VIII, kemungkinan tidak
berubah selama kehamilan tapi konsentrasi protein S, salah satu kofaktornya,
menurun selama trimester satu dan dua. Sekitar 5-10% dari total fibrinogen yang
berada dalam sirkulasi dikonsumsi selama pelepasan plasenta. Hal ini yang
menyebabkan thromboembolism sebagai salah satu penyebab utama kematian pada
ibu hamil di Amerika Serikat (Pipkin, 2007).
Aktifitas plasma fibrinolitik menurun selama kehamilan dan persalinan namun
kembali ke kondisi normal dalam satu jam setelah kelahiran plasenta yang
menunjukkan bahwa kontrol dari fibrinolisis selama kehamilan dipengaruhi oleh
mediator-mediator dari plasenta (Pipkin, 2007). Kehamilan normal juga
mengakibatkan perubahan kadar platelet. Menurut Cunningham et al, (2010),
ditemukan kadar platelet yang sedikit lebih rendah selama kehamilan yaitu sekitar

29
213.000/L dibandingkan 250.000/L pada perempuan yang tidak hamil. Penurunan
kadar platelet ini sebagian diakibatkan oleh efek dari hemodilusi.

F. Hiperkoagulitas Dalam Kehamilan

Perubahan fisiologis yang terjadi selama kehamilan terutama bertanggung jawab


untuk peningkatan trombogenitas periode peripartum. Sejumlah faktor pembekuan
termasuk faktor VII, faktor VIII, Faktor X, faktor von Willebrand, dan fibrinogen
meningkat sebagai akibat dari perubahan hormon. Pada saat yang sama, resistensi
terhadap protein C teraktivasi meningkat pada trimester kedua dan ketiga dan aktivitas
protein S berkurang karena perubahan kadar antigen protein S total. Ada juga
peningkatan jumlah inhibitor jalur fibrinolitik seperti inhibitor fibrinolitik yang dapat
diaktifkan (TAFI) dan inhibitor aktivator plasminogen 1 dan 2 (PAI-1 dan PAI-2)

Selain itu, perubahan fisik kehamilan menghasilkan peningkatan keadaan


trombotik. Peningkatan tekanan pada vena pelvis dari uterus besar dan penurunan aliran
pada ekstremitas bawah menyebabkan peningkatan stasis. Kompresi relatif dari vena
iliaka kiri oleh arteri iliac kanan saat perjalanan di kapal menyebabkan peningkatan
gumpalan di vena iliaka kiri. Meskipun stasis meningkat selama kehamilan dan nyeri
tungkai dan pembengkakan lebih sering terjadi selama trimester ketiga, kejadian DVT
(Deep Vein Trombosis) didistribusikan relatif sama di seluruh trimester.

Penyakit bersamaan seperti lupus eritematosa sistemik atau penyakit sel sabit serta
faktor risiko lain termasuk obesitas, mobilitas yang menurun, bertambahnya usia, dan
merokok semuanya meningkatkan risiko trombosis. Diperkirakan bahwa wanita yang
berusia lebih dari 35 tahun dan hamil memiliki risiko 1,38 kali lipat mengalami peristiwa
pembekuan selama periode peripartum. Wanita yang memiliki riwayat kejadian
pembekuan spontan memiliki peningkatan risiko mengembangkan peristiwa kedua
dengan perkiraan tingkat kekambuhan 10,9% selama kehamilan.

Secara keseluruhan, perubahan fisiologis dan anatomi kehamilan memerlukan


waktu beberapa minggu untuk diselesaikan setelah melahirkan, dan risiko trombosis tetap
meningkat (dan bahkan bahkan meningkat dibandingkan dengan kehamilan) hingga
sekitar 6 minggu pascapersalinan.

30
1. Acquired Disorders

Trombofilia yang didapat utama yang menyebabkan peningkatan risiko VTE


(venous thromboembolism) pada kehamilan adalah sindrom antibodi antifosfolipid.
Sejumlah kriteria harus dipenuhi untuk membuat diagnosis sindrom antibodi
antifosfolipid. Ini termasuk satu atau lebih kejadian trombosis, dan/ atau keguguran awal
(3 atau lebih) terjadi pada 10 minggu pertama kehamilan, 1 atau lebih kehilangan janin
yang terjadi setelah 10 minggu atau kelahiran prematur pada ≤34 minggu untuk
preeklampsia atau insufficiency placental. Catatan klinis ini juga harus disertai dengan
kriteria laboratorium yang ditentukan. Lupus anticoagulant (LAC) harus ada dalam
plasma pada 2 kali setidaknya dalam 12 minggu dan / atau antibodi anticardiolipin (aCL)
baik dari isotipe IgG atau IgM (atau keduanya) yang ada dalam plasma pada titer sedang
hingga tinggi (> 40 ), atau adanya anti-beta2-glikoprotein (anti-b2GPI) dari isotipe IgG
atau IgM harus ada pada 2 atau lebih setidaknya selisih 12 minggu

Sindrom antibodi antifosfolipid telah dikaitkan dengan rasio odds 15,8 untuk
risiko pembekuan selama kehamilan. Ada hubungan yang jelas antara antibodi
antifosfolipid dan keguguran. Persistensi anticardiolipins dan antikoagulan lupus sangat
terkait dengan peningkatan risiko komplikasi trombotik terkait kehamilan, tetapi
pengelolaan pasien ini tidak didefinisikan dengan baik.

2. Inherited Disorders
Trombofilia yang diturunkan ada pada lebih dari 50% kasus VTE terkait
kehamilan. Ada sejumlah kelainan bawaan yang mengarah pada peningkatan risiko
trombotik. Abnormalitas yang paling sering adalah mutasi Factor V Leiden dan mutasi
gen protrombin. Mutasi ini terjadi pada 2-5% dari populasi Kaukasia, bertanggung jawab
atas kelainan genetik utama yang terkait dengan VTE. Mutasi Faktor V Leiden
disebabkan oleh penggantian arginin dengan glutamin pada posisi asam amino 506. Hal
ini menghasilkan perubahan konformasi pada protein yang berkontribusi terhadap
resistensi protein C teraktivasi melalui faktor inaktivasi Va yang mengganggu. Mutasi
protrombin 20210 dihasilkan dari penggantian guanin dengan adenin pada posisi nonkode
20210, yang mengarah ke peningkatan kadar protrombin plasma yang kemungkinan
disebabkan oleh peningkatan stabilitas protrombin mRNA. 44% dari gumpalan terkait
kehamilan pada pasien dengan riwayat VTE dikaitkan dengan mutasi Factor V Leiden.

31
Prevalensi mutasi Prothrombin G20210A adalah 17% pada pasien yang mengembangkan
VTE selama kehamilan.

Risiko VTE terkait kehamilan pada gangguan ini telah dinilai dalam meta-analisis
baru-baru ini yang melibatkan peninjauan 9 studi. Risiko homozigot Factor V Leiden
untuk trombosis dikaitkan dengan rasio odds 43,4 sedangkan mutasi protrombin
homozigot dikaitkan dengan rasio odds 24,4. Heterozigositas untuk Factor V Leiden
dikaitkan dengan rasio odds 8,3 sedangkan heterozigositas untuk protrombin G20210A
dikaitkan dengan rasio odds 6,8. Lebih sederhana lagi, telah diperkirakan bahwa 1 dari
500 faktor V Leiden heterozigot dan 1 dari 200 prothrombin G20210A heterozigot akan
mengalami kejadian trombotik selama kehamilan.

Kekurangan protein koagulasi normal juga dapat menyebabkan kondisi


hiperkoagulabel. Kelainan pada protein S, protein C, dan antitrombin semuanya
berhubungan dengan trombofilia selama kehamilan. Seperti yang telah dibahas
sebelumnya, perubahan faktor koagulasi ini terjadi sebagai manifestasi fisiologis
kehamilan. Kekurangan dalam faktor-faktor koagulasi ini menyebabkan perubahan yang
lebih dalam pada tingkat koagulasi. Rasio odds untuk kejadian VTE pada kehamilan
adalah 4,8 untuk wanita dengan defisiensi protein C, 3,2 untuk defisiensi protein S, dan
4,7 untuk defisiensi antitrombin. Risiko untuk kejadian trombotik selama kehamilan
untuk wanita dengan defisiensi protein C adalah 1 banding 113, 1 banding 42 untuk
defisiensi antitrombin tipe 2, dan 1 in 3 untuk defisiensi antitrombin tipe 1.

Hubungan trombofilia dengan mutasi pada MTHFR masih kontroversial. Mutasi


C667T pada gen MTHFR menghasilkan tingkat homocysteine yang lebih tinggi yang
penting untuk metabolisme vitamin B12 dan folat. Sebagai konsekuensi fisiologis alami
dari kehamilan, kadar homosistein bisa rendah. Meskipun sebelumnya didalilkan bahwa
ada hubungan, baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa kehadiran mutasi homozigot pada
gen MRHFR tidak secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko VTE selama
kehamilan (rasio odds 0,7) .

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semua trombofilia turunan kecuali
untuk mutasi MTHFR dikaitkan dengan peningkatan risiko VTE selama kehamilan.
Berdasarkan statistik ini, tampak bahwa risiko terbesar terjadi pada mereka yang
homozigot untuk mutasi Factor V Leiden atau prothrombin 20210, Factor V Leiden dan

32
prothrombin G20210A compoundheterozygotes, dan mereka dengan kekurangan
antithrombin.

G. Hasil Terkait dengan Thrombophilias dalam Kehamilan

Kontribusi trombofilia terhadap hasil yang merugikan pada kehamilan masih


kontroversial. Studi cenderung kecil, memiliki bias seleksi populasi, dan memiliki
perbedaan dalam kriteria diagnostik. Namun, ada sejumlah gangguan yang telah dikaitkan
dengan trombofilia termasuk preeklampsia, solusio plasenta, keterlambatan pertumbuhan
intrauterin, dan kehilangan janin.

1. Kehilangan Kehamilan pada Wanita Hamil dengan Trombofilia Inherited

Banyak penelitian telah mencoba untuk mengatasi masalah ini dan masih ada
kontroversi mengenai hubungan trombofilia pada kehilangan janin. Studi yang
meneliti peran Factor V Leiden dan mutasi gen protrombin 20210 tidak konklusif,
dengan beberapa studi menunjukkan peran penting dalam kejadian kehilangan janin
dan yang lainnya menjadi kurang jelas. Studi lain yang melibatkan lebih dari 5000
wanita menemukan bahwa memang ada hubungan yang kuat antara Faktor V Leiden
dan risiko lahir mati dengan rasio odds 10,9. Dalam penelitian ini, tidak ada hubungan
yang sama yang ditetapkan untuk kehilangan janin dini, dan mutasi gen protrombin
tidak terkait dengan peningkatan risiko. Dalam studi yang lebih kecil yang hanya
melibatkan 100 wanita hamil, ada lagi hubungan antara Faktor V Leiden dan
kelahiran mati tetapi juga mutasi gen protrombin. Dalam studi ini, bagaimanapun,
hanya kehilangan kehamilan yang terlambat dan bukan kehamilan awal yang
dikaitkan dengan mutasi ini. Dalam penelitian NOHA (Nimes Obstetricians and
Hematologist) yang didasarkan pada kohort lebih dari 32.000 pasien dalam desain
case-control, dari 18% pasien yang mengalami keguguran, ada hubungan yang jelas
antara heterozigositas untuk Factor V Leiden. dengan rasio odds 3,46 dan mutasi gen
protrombin dengan rasio odds 2,60. Kerugian ini terutama terjadi setelah minggu
kesepuluh kehamilan tanpa asosiasi yang ditemukan pada awal kehamilan.
Berdasarkan studi-studi ini, tampak bahwa ada hubungan antara Faktor V Leiden dan
kelahiran mati, tetapi hubungan tersebut kecil karena diungkapkan oleh studi kohort
prospektif yang menunjukkan bahwa risiko rendah pada 4,2% dibandingkan dengan
3,2% untuk noncarrier

33
Dua meta-analisis menunjukkan bahwa kehadiran mutasi faktor V Factor V
Leiden atau prothrombin dikaitkan dengan peningkatan risiko kehilangan kehamilan
pada trimester pertama atau kedua serta dengan kehilangan kehamilan berulang. Peran
trombofilia lain kurang jelas; meta-analisis oleh Rey dan rekan menemukan bahwa
kekurangan protein C dan antitrombin tidak terkait dengan kehilangan janin,
sedangkan kekurangan protein S dikaitkan dengan kehilangan janin jangka panjang.

Studi prospektif terkontrol prospektif yang memeriksa beberapa penyebab


trombofilia dan hubungannya dengan kehilangan janin adalah studi EPCOT (European
Prospective Cohort on Thrombophilia), yang mengevaluasi 843 wanita dengan
trombofilia termasuk 571 wanita dengan 1524 kehamilan dibandingkan dengan 541
wanita kontrol, 395 di antaranya. memiliki 1019 kehamilan. Tingkat kehilangan janin
lebih tinggi pada wanita yang memiliki lebih dari satu trombofilia dengan rasio odds
14,3 untuk kelahiran mati. Asosiasi untuk wanita dengan satu kondisi trombofilik
adalah 29% berbanding 23% pada kelompok kontrol dengan rasio odds 1,35. Semua
trombofilia memiliki kecenderungan peningkatan risiko kelahiran mati atau kematian
janin yang terlambat. Rasio odds untuk lahir mati untuk cacat individu adalah
defisiensi antitrombin 5,2, protein C 2,3, defisiensi protein S 3,3, dan Faktor V Leiden
2.0. Namun tidak ada bukti yang meyakinkan tentang hubungan antara trombofilia dan
keguguran pada awal kehamilan dengan hanya saran bahwa kekurangan antithrombin
dapat berperan.

Studi kohort lain dari lebih dari 490 pasien menemukan bahwa tidak ada
hubungan antara trombofilia ibu dan kehilangan kehamilan dini. Faktanya, para
penulis menyarankan bahwa mungkin ada keuntungan protektif terhadap trombofilia
untuk kelangsungan hidup kehamilan dini dengan tingkat kehilangan berulang yang
lebih rendah. Namun, penelitian ini memang menemukan hubungan yang sederhana
dengan hasil kehamilan yang merugikan termasuk kematian janin terlambat atau masih
lahir setelah 14 minggu kehamilan. Secara keseluruhan, studi-studi ini akan
menyarankan bahwa memiliki trombofilia yang mendasarinya terkait dengan
kehilangan kehamilan yang terlambat atau kelahiran mati tetapi bukan peningkatan
risiko kehilangan kehamilan dini.

34
2. Trombofilia dan Abrasi Plasenta

Solusio plasenta juga telah dikaitkan dengan kondisi trombofilik yang mendasari
pada pasien hamil meskipun hubungan yang konsisten belum ditetapkan. Baru-baru
ini didukung oleh Roqué dan rekannya yang melihat sejumlah hasil plasenta yang
merugikan pada wanita dengan trombofilia. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
risiko solusio meningkat karena jumlah kondisi trombofilik yang dibawa oleh pasien
meningkat dalam dosis yang tergantung. Hubungan paling signifikan antara abrupsi
dan trombofilia ditemukan pada pasien dengan defisiensi antitrombin. Penelitian lain
juga melihat risiko ini tetapi belum mengungkapkan hubungan yang jelas. Studi lain
menunjukkan bahwa hyperhomocystinemia, tetapi bukan mutasi MTHFR, dapat
dikaitkan dengan solusio plasenta baik dalam pendekatan kohort dan meta-analisis.
Oleh karena itu, tampaknya kekurangan antithrombin dan hyperhomocystinemia
dapat meningkatkan risiko solusio plasenta tetapi signifikansi statistik masih kurang.

3. Trombofilia dan Preeklampsia

Patologi plasenta lain yang telah dikaitkan dengan trombofilia adalah


preeklampsia, dan telah diperkirakan bahwa 40% dari pasien yang mengalami
preeklampsia memiliki trombofilia yang mendasarinya. Namun, seperti hasil
kehamilan buruk lainnya, datanya masih beragam. Kasus-kasus yang terkait dengan
trombofilia tampaknya memiliki fenotipe yang parah dengan peningkatan risiko
HELLP (hipertensi, tes fungsi hati yang meningkat, dan trombosit yang rendah). Studi
yang melihat hubungan ini sulit ditafsirkan karena masalah analisis statistik termasuk
heterogenitas antar studi. Sebuah meta-analisis besar menemukan bahwa Factor V
Leiden dikaitkan dengan preeklamsia dengan rasio odds 2,5 untuk hipertensi berat
selama kehamilan. Namun penelitian lain belum memberikan bukti yang meyakinkan,
dengan hanya peningkatan risiko kecil yang dikaitkan dengan Faktor V Leiden pada
preeklampsia. Hasil serupa ditemukan dalam kasus mutasi gen protrombin, dengan
hanya risiko kecil preeklampsia yang terkait dengan keadaan hiperkoagulasi ini.
Trombofilia lain juga dapat dikaitkan dengan preeklampsia seperti yang disarankan
oleh meta-analisis baru-baru ini yang menemukan rasio odds 12,7 untuk hubungan
dengan kekurangan protein S dan rasio odds 21,5 untuk hubungan dengan protein C.
Sayangnya, analisis ini mencakup banyak studi kecil yang melemahkan analisis
statistik secara keseluruhan dan tidak ada kesimpulan pasti yang dapat ditarik.

35
Penelitian lain juga telah membahas apakah ada peran trombofilia dalam hasil
kehamilan yang merugikan yang menghasilkan bayi berat lahir rendah atau
keterlambatan pertumbuhan intrauterin. Sebuah meta-analisis yang melihat peran
Factor V Leiden dan mutasi gen protrombin serta homozigosis MTHFR dan risiko
pembatasan pertumbuhan intrauterin tidak mengungkapkan hubungan yang
mendasarinya. Meta-analisis lain menemukan hubungan antara defisiensi protein S
dan keterlambatan pertumbuhan janin dengan rasio odds 10,2. Sekali lagi, analisis ini
tidak pasti karena ukuran sampel yang kecil dari studi komponen yang dimasukkan
dan interval kepercayaan yang luas yang mengurangi dampak temuan.

Meskipun penelitian ini telah inklusif dalam banyak hubungan antara trombofilia
dan hasil kehamilan yang buruk, banyak yang masih mendasarkan keputusan
pengobatan pada data statistik minimal konklusif ini. Karena hubungan ini, beberapa
bahkan menyarankan bahwa trombofilia turunan harus diuji secara rutin pada populasi
umum. Ini tidak mungkin, bagaimanapun, untuk menghasilkan manfaat terapi yang
penting karena kondisi ini sangat jarang pada populasi umum dan bahkan lebih kecil
kemungkinannya untuk dikaitkan dengan hasil kehamilan buruk yang dapat
dimodifikasi. Pedoman terbaru dari American College of Obstetrics and Gynecology
mendalilkan bahwa wanita yang memiliki pengetahuan trombofilia akan secara
langsung berdampak pada manajemen klinis harus dipertimbangkan untuk skrining.
Oleh karena itu, wanita dengan riwayat VTE spontan atau kerabat tingkat pertama
dengan riwayat pembekuan yang signifikan harus dipertimbangkan untuk pengujian.
Pedoman ACOG tidak merekomendasikan skrining wanita dengan riwayat kehilangan
janin dini yang berulang atau tidak berulang atau hasil kehamilan yang merugikan
karena kurangnya bukti dari data klinis. Skrining kontroversial pada wanita yang
mengalami kehilangan pada tahap akhir kehamilan dan yang memiliki patologi
plasenta yang menunjukkan bahwa iskemia, infark, atau trombosis pembuluh darah
mungkin berkontribusi pada kematian janin karena ada tingkat rekurensi yang rendah
dari hasil ini dan klinis. data masih kurang.

Semua pengujian untuk gangguan trombofilik ini harus terjadi dengan baik dari
kejadian pembekuan atau kehamilan karena masalah akut dapat memengaruhi hasil
pengujian. Selain itu, pasien tidak boleh menerima antikoagulasi ketika pengujian
dilakukan karena kadar antitrombin dapat tidak akurat pada pasien yang

36
menggunakan produk heparin dan protein C dan kadar protein S akan lebih rendah
pada pasien yang menggunakan warfarin.

H. Antikoagulasi selama Kehamilan

Antikoagulan pilihan selama kehamilan adalah heparin berat molekul rendah


(LMWH), meskipun heparin tak terfraksi dengan dosis yang disesuaikan (UHF) juga
dapat digunakan. Heparin dengan berat molekul rendah lebih disukai karena waktu paruh
yang diperpanjang, ketersediaan hayati yang lebih baik, dan kemudahan penggunaan dan
penurunan insiden keropos tulang dibandingkan dengan heparin yang tidak terfraksi.
Benzil alkohol sering digunakan sebagai pengawet untuk botol multidosis heparin yang
tidak terfraksi, dan ketika diberikan pada neonatus dapat menyebabkan gangguan
pernapasan dan bahkan kematian. Heparin tanpa fraksi yang diawetkan dengan benzyl
alkohol harus digunakan dengan hati-hati segera sebelum pengiriman. Untuk pasien
dengan VTE akut pada dosis pengobatan heparin, izin masuk ke rumah sakit untuk
heparin tanpa intravena intravena sebelum persalinan mungkin diperlukan. Volume
rendah dosis profilaksis heparin yang tidak difraksi yang diberikan, atau penggunaan
jarum suntik yang tidak mengandung benzyl alkohol, kurang memprihatinkan. Warfarin
biasanya dihindari setelah trimester pertama karena kekhawatiran untuk embriopati
warfarin. Antikoagulasi dengan heparin dengan berat molekul rendah biasanya dimulai
selama periode antepartum dan beralih pada minggu ke-36 kehamilan ke heparin yang
tidak terfraksi untuk menghindari kekhawatiran akan komplikasi anestesi epidural yang
dapat terjadi dengan waktu paruh yang lebih lama dari heparin dengan berat molekul
rendah. Antikoagulasi untuk VTE harus dilanjutkan untuk setidaknya 3-6 bulan dari
perkembangan VTE tetapi jika VTE ditemukan di awal kehamilan, antikoagulasi harus
dilanjutkan melalui pengiriman dan untuk setidaknya 4-6 minggu postpartum tergantung
pada pemulihan dari kelahiran dan kondisi trombofilik yang mendasari . Pada periode
postpartum, kelanjutan dari heparin dengan berat molekul rendah atau bridging to
warfarin adalah pilihan yang dapat diterima.

Dosis profilaksis optimal heparin atau LMWH belum ditentukan untuk wanita
hamil. Wanita hamil telah terbukti membutuhkan dosis UFH yang lebih tinggi untuk
mencapai tingkat antikoagulasi profilaksis dan terapeutik. Dosis terapeutik LMWH
membutuhkan penyesuaian dosis selama kehamilan karena berat badan meningkat.
Aktivitas anti-Xa puncak telah ditemukan lebih rendah pada wanita hamil daripada

37
wanita postpartum. Sementara banyak mekanisme, seperti peningkatan pembersihan
ginjal, peningkatan volume plasma, dan peningkatan kadar protein prokoagulan, dianggap
berperan dalam kebutuhan peningkatan dosis heparin atau LMWH, sulit untuk melakukan
studi pada wanita hamil. Penggunaan dosis menengah UFH atau LMWH adalah strategi
yang diterima untuk profilaksis VTE pada wanita hamil dengan peningkatan risiko VTE
berulang, dan didukung oleh pedoman ACCP .

Untuk pasien dengan risiko VTE berulang yang tinggi hingga tinggi (DVT
sebelumnya dan trombofilia kuat), dianjurkan antikoagulasi intensitas menengah. Dosis
intensitas menengah dapat terdiri dari 40 mg enoxaparin setiap 12 jam atau enoxaparin 1
mg / kg sekali sehari

I. Antikoagulasi profilaksis selama Kehamilan

Meskipun jelas bahwa hubungan antara kehilangan kehamilan dini dan


trombofilia tidak menjamin penggunaan antikoagulasi secara umum, penggunaan
antikoagulasi untuk wanita dengan riwayat kehilangan janin di akhir kehamilan masih
kontroversial [30]. Sejumlah penelitian telah membahas penggunaan antikoagulasi pada
kehamilan pada pasien dengan riwayat trombofilia dan hasil kehamilan yang merugikan.
Satu percobaan dari 160 wanita dengan riwayat kehilangan janin setelah 10 minggu
kehamilan dan adanya keadaan hiperkoagulabel termasuk Factor V Leiden, mutasi gen
protrombin, atau defisiensi protein S mengacak wanita menjadi aspirin dosis rendah atau
dosis profilaksis enoxaparin untuk durasi kehamilan. Wanita dalam kelompok enoxaparin
memiliki 86% kelahiran hidup dibandingkan dengan tingkat 28% pada mereka yang
menerima aspirin. Percobaan ini bukan tanpa kesalahan, karena tingkat kelahiran di
lengan aspirin jauh lebih rendah dari yang diharapkan, dan penelitian ini juga tidak buta.
Manfaat juga terlihat dalam penelitian kohort pada wanita dengan defisiensi protein C,
defisiensi protein S, atau defisiensi antitrombin. Penggunaan tromboprofilaksis selama
kehamilan menghasilkan tingkat kehilangan janin yang jauh lebih rendah (0% berbanding
45%), tetapi penelitian ini juga sulit ditafsirkan karena kecil dan tidak diacak atau
dibutakan. Studi lain menemukan bahwa wanita dengan trombofilia dan riwayat
kehilangan kehamilan pertama dapat melahirkan tanpa hasil yang merugikan pada
kehamilan berikutnya tanpa adanya antikoagulasi. Dengan demikian, sama seperti data
yang menetapkan hubungan antara trombofilia dan hasil kehamilan yang merugikan

38
membingungkan, demikian juga dampak antikoagulasi untuk memperbaiki
kecenderungan hiperkoagulabilitas yang mendasarinya.

Penggunaan antikoagulasi belum menunjukkan manfaat yang signifikan pada


wanita dengan riwayat keguguran tetapi tanpa trombofilia yang diketahui. Tinjauan
sistemik dari uji coba terkontrol secara acak yang melihat penggunaan heparin dengan
berat molekul rendah pada wanita dengan kehilangan janin berulang atau lambat yang
tidak berulang tanpa riwayat trombofilia tidak dapat disimpulkan tanpa manfaat
antikoagulasi yang terlihat pada kelompok ini. Jelas dibutuhkan lebih banyak penelitian
pada wanita dengan dan tanpa trombofilia dalam pengaturan keguguran berulang.

Antikoagulasi untuk sindrom antifosfolipid yang diketahui jauh lebih mudah


karena dikaitkan dengan dampak yang mencolok pada hasil kehamilan. Satu percobaan
wanita dengan antibodi antifosfolipid positif dan keguguran berulang menunjukkan hasil
yang meningkat secara signifikan dengan penggunaan aspirin dan heparin dibandingkan
dengan aspirin saja, dengan 71% kelahiran hidup pada wanita yang menerima terapi
kombinasi versus 42% kelahiran hidup pada mereka yang menerima aspirin sendiri [58].
Studi lain juga menunjukkan peningkatan angka kelahiran hidup 50% dengan terapi
kombinasi [59]. Namun masalah ini bukan tanpa kontroversi, seperti yang ditunjukkan
dalam percobaan di mana tingkat yang sama dari kelahiran hidup terlihat pada wanita
dengan sindrom antifosfolipid yang diobati dengan heparin dan aspirin atau aspirin saja,
menunjukkan tidak ada manfaat tambahan dari heparin.

Dalam rangka mengembangkan pedoman untuk manajemen wanita dengan


trombofilia dan hasil kehamilan yang merugikan, American College of Chest Physicians
telah menetapkan pedoman pengobatan yang direkomendasikan berdasarkan keluarga dan
riwayat pribadi VTE. Pedoman ini menyatakan bahwa wanita dengan riwayat sindrom
antibodi antifosfolipid berdasarkan nilai-nilai laboratorium dan riwayat kehilangan
kehamilan sebelumnya harus menerima antikoagulasi profilaksis dengan heparin berat
molekul rendah dan aspirin dosis rendah (atau profilaksis atau dosis menengah heparin
tanpa fraksi saja). Mereka yang diketahui homozygosity untuk mutasi Factor V Leiden
atau prothrombin 20210 dan riwayat keluarga VTE yang positif disarankan untuk
menjalani profilaksis antepartum dan postpartum dengan heparin atau warfarin dengan
dosis sedang atau sedang, sedangkan yang dengan mutasi homozigot dan tidak memiliki
riwayat keluarga dengan VTE. VTE disarankan hanya menjalani profilaksis pascapartum

39
selama 6 minggu. Wanita dengan semua trombofilia lain yang diketahui — apakah
mereka memiliki riwayat keluarga VTE atau tidak — disarankan untuk menjalani
pemantauan ketat saja. Profilaksis pascapartum dengan profilaksis atau dosis menengah
heparin atau warfarin dengan berat molekul rendah disarankan untuk wanita hamil
dengan riwayat VTE pribadi sebelumnya.

Berdasarkan semua bukti yang disajikan, jelas bahwa penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk mengatasi masalah seputar peran antikoagulan dalam mencegah
kehamilan lanjut. Sementara informasi lebih lanjut dikumpulkan, keputusan klinis harus
didasarkan pada evaluasi setiap kasus.

40
BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN

1. Kasus Sistem Reproduksi


Judul : Sindrom Ovarium Polikistik Permasalahan dan Penatalaksanaannya
Oleh : Laksmi Maharani, Raditya Wratsangka

Sindrom ovarium polikistik merupakan salah satu masalah


endokrinologi pada wanita masa reproduksi yang berhubungan dengan
kelainan hormonal dan dapat mempengaruhi kesehatan wanita tersebut
secara umum. Pada kenyataannya, baik gejala klinik, pemeriksaan
biokimiawi maupun pemeriksaan penunjangnya dapat memberikan hasil
yang bervariasi. Alasan yang paling sering menjadi penyebab pasien
dengan sindrom ini datang ke dokter ialah adanya gangguan pada siklus
menstruasi dan infertilitas, masalah obesitas dan pertumbuhan rambut
yang berlebihan serta kelainan lainnya seperti hipertensi, kadar lemak
darah dan gula darah yang meningkat. Saat ini sudah terbukti bahwa
sindrom ovarium polikistik tidak hanya menyebabkan kelainan pada
bidang ginekologi saja tetapi juga berkaitan dengan kelainan metabolisme
lain, yaitu adanya resistensi insulin yang berimplikasi pada kesehatan
jangka panjang pasien. Wanita dengan kelainan ini mempunyai risiko
lebih besar untuk mendapat penyakit diabetes melitus, penyakit jantung
koroner dan karsinoma endometrium. Adanya terapi berupa senyawa
sensitisasi insulin diharapkan dapat membantu pasien memperbaiki
kelainan hormonal yang mendasari kelainan pada sindrom ini.

Penatalaksanaan
Pada sindrom ovarium polikistik, perkembangan folikel dan
ovulasi terganggu sehingga terjadi infertilitas. Antiestrogen – dalam hal ini
klomifen sitrat paling banyak dipakai – merupakan pilihan pertama untuk
mengindukasi ovulasi.(1-3,10,12,13) Strukturnya yang mirip dengan
estrogen menyebabkan klomifen sitrat mampu berikatan dengan reseptor
estrogen dan mempengaruhi aktivitas hipotalamus, sehingga meskipun
kadar estrogen dalam darah meningkat, tetapi karena kapasitas reseptor
estrogen menurun maka sekresi GnRH meningkat. Rangsangan GnRH
dalam lingkungan estrogen yang tinggi menyebabkan kelenjar hipofise
lebih peka terurama dalam mensekresi FSH. Kebanyakan wanita infertil
dengan sindrom ini (63%-95%) mengalami ovulasi dengan klomifen sitrat.
Persentase yang tinggi ini tergantung pada penggunaan dosis progresif
sampai terjadinya ovulasi.(13) Jangka waktu pemberiannya tidak boleh
lebih dari 6 bulan karena berpotensi meningkatkan risiko kanker ovarium.
Walaupun pemberian klomifen sitrat dapat menyebabkan ovulasi tetapi
tidak memperbesar kemungkinan terjadinya konsepsi. Sehingga apabila
pasien gagal hamil dengan terapi ini maka dicoba terapi dengan
menggunakan human menopausal gonadotropine (hMG) atau human
follicle stimulating hormone (hFSH) yang telah dimurnikan. Hormon-
hormon ini merangsang ovarium untuk menghasilkan ovum. Tetapi
pemberiannya membutuhkan monitoring yang intensif untuk mengurangi
angka kejadian kehamilan multipel dan sindrom hiperstimulasi ovarium.
Kecenderungan tersebut menyebabkan preparat ini diberikan dalam dosis
rendah dengan akibat pencapaian angka kehamilan juga lebih rendah yaitu
hanya 36% setiap siklus.(2,13)
Penatalaksanaan infertilitas untuk dapat mengembalikan fungsi
reproduksi pada wanita ini juga dapat dilakukan secara operatif. Prosedur
reseksi baji pada ovarium efektif menurunkan produksi LH dan androgen.
Menstruasi yang teratur didapatkan pada 75% pasien dengan angka
kehamilan mencapai 60%. Tetapi prosedur ini menyebabkan komplikasi
berupa perlekatan di sekitar daerah pelvis pada sekitar 30% pasien,(7,8)
sehingga sekarang dilakukan dengan teknik elektrokauter secara
laparoskopik yang tidak terlalu invasif. Meskipun dapat membantu
regulasi menstruasi dan terjadinya ovulasi, komplikasi perlekatan harus
dipertimbangkan karena kemungkinan untuk menjadi hamil berkurang di
samping efek dari prosedur ini hanya jangka pendek.(1,13)

35
Untuk pasien yang tidak ingin hamil dapat menggunakan pil
kontrasepsi kombinasi untuk mengatur siklus menstruasi. Keuntungan dari
terapi ini adalah adanya komponen progesteron yang dapat menyebabkan
supresi sekresi LH sehingga berkurangnya produksi androgen dari
ovarium dan komponen estrogen yang meningkatkan produksi SHBG
sehingga konsentrasi testosteron bebas dapat menurun dan akhirnya dapat
juga memperbaiki hirsutisme dan masalah kulit yang disebabkan oleh
hiperandrogenisme. Selain itu dapat mengurangi keluhan dismenorea,
perdarahan uterus disfungsional dan angka kejadian penyakit radang
panggul serta menurunkan kemungkinan terkena kanker endometrium dan
kanker ovarium.(9) Meskipun demikian pil kontrasepsi kombinasi dapat
menyebabkan eksaserbasi resistensi insulin dan meningkatkan kadar
trigliserida sehingga dapat memperbesar risiko penyakit kardiovaskuler
dan diabetes.(12)
Pada keadaan hiperandrogenisme, hirsutisme merupakan masalah
yang sering dikeluhkan oleh pasien. Jika tidak terlalu banyak dan
terlokalisasi, maka dapat lebih mudah dihilangkan secara mekanik. Tetapi
jika cara tersebut tidak efektif, dapat diberikan terapi antiandrogen. Yang
banyak dipakai adalah siprosteron asetat, yang merupakan progestin
sintetik. Jika dikombinasikan dengan etinilestradiol dapat dipakai sebagai
kontrasepsi dan memperbaiki siklus mestruasi. Alternatif lain adalah
spironolakton dengan mekanisme kerja meningkatkan katabolisme
androgen di mana testosteron diubah menjadi estradiol. Tetapi
spironolakton sering menyebabkan siklus menstruasi yang tidak teratur
sehingga harus dikombinasi dengan kontrasepsi oral dosis rendah. Semua
terapi untuk hirsutisme membutuhkan waktu 8-18 bulan sebelum
responnya dapat terlihat, yaitu pertumbuhan rambut menjadi labih lambat.
(10) Saat ini dengan elektrolisis, rambut yang tumbuh berlebihan dapat
dihilangkan secara permanen. Untuk kelainan kulit seperti dermatitis
seboroik, hidradenitis supuratif dan peradangan kulit lain dapat diobati

36
dengan antibiotika spektrum luas atau dengan kombinasi antiandrogen dan
derivat asam retinoid.
Penurunan berat badan juga perlu dilakukan oleh pasien sindrom
ovarium polikistik yang sebagian besar memang mengalami obesitas.
Faktor obesitas ini menjadi penyebab kegagalan pemicuan ovulasi dengan
klomifen sitrat. Makin tinggi berat badan penderita maka diperlukan dosis
klomifen sitrat yang lebih tinggi. Dengan penurunan berat badan maka
siklus menstruasi menjadi teratur, ovulasi dapat terjadi secara spontan dan
dapat mengurangi kejadian resistensi insulin.(6) Cara yang dipakai
biasanya kombinasi diet, olahraga dan pemberian obat-obat yang
memperbaiki sensitifitas jaringan terhadap insulin seperti metformin dan
troglitazon. Jadi sebaiknya usaha ini dilakukan bersamaan dengan terapi
yang lain karena dapat memperbaiki kelainan metabolik pada sindrom ini.
Pada saat ini terapi alternatif yang lebih sering digunakan untuk
sindrom ovarium polikistik adalah dengan senyawa sensitisasi insulin
yaitu metformin dan troglitazon. Dengan terapi ini diharapkan sensitifitas
tubuh terhadap insulin meningkat, sehingga dapat memperbaiki kelainan
hormonal yang berhubungan dengan sindrom ini. Selain itu juga dapat
menurunkan berat badan dengan cara memperbaiki metabolisme gula di
perifer, meningkatkan penggunaan glukosa oleh usus dan menekan
oksidasi asam lemak.(11) Pada percobaan, diberikan metformin dan
plasebo selama 4 sampai 8 minggu pada pasien sindrom ovarium polikistik
dengan obesitas dan hiperinsulinemia. Pada 2 bulan pertama pemakaian
metformin, pemulihan sudah terlihat jelas. Didapatkan penurunan sekresi
insulin pada pasien yang menggunakan metformin. Konsentrasi testosteron
bebas menurun sebagai akibat berkurangnya produksi testosteron dan
meningkatnya SHBG.(14) Metformin paling sering digunakan pada pasien
non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) karena tidak
menyebabkan hipoglikemi. Beberapa pasien dapat menurunkan berat
badan dan perbaikan tekanan darah serta kadar lemak darahnya. Selain itu
pasien dapat menstruasi dan menjadi hamil pada saat menggunakannya.

37
Efek samping yang paling sering adalah keluhan gastrointestinal.
(5,8,12,14,15) Obat lain yang dapat dipakai adalah troglitazon, tetapi
pemakaiannya harus diikuti dengan tes fungsi hati secara berkala karena
berpotensi menyebabkan kerusakan hati. Keunggulan dari terapi ini adalah
dapat mencegah perkembangan penyakit yang dapat menyerang penderita
seperti diabetes melitus,hipertensi dan penyakit jantung koroner.

Kesimpulan
Penampakan klinis yang menonjol pada pasien sindrom ovarium
polikistik dengan gangguan siklus haid dan anovulasi kronik adalah
infertilitas di samping gambaran klinis lainnya seperti hiperandrogenisme
dan obesitas. Adanya resistensi insulin yang mendasari kelainan hormonal
pada sindrom ini menyebabkan pemeriksaan nisbah gula puasa dan insulin
puasa dapat mendukung diagnosisnya. Pemakaian klomifen sitrat
merupakan pilihan utama untuk mengatasi infertilitas, dengan pemantauan
selama waktu pemberian lebih kurang 6 bulan untuk mencegah
meningkatnya risiko kanker ovarium. Pemberian hormon yang
merangsang ovarium untuk menghasilkan ovum dan penatalaksanaan
secara operatif kurang disukai karena efek dari prosedur ini tidak
sebanding dengan hasil yang diinginkan. Pemberian senyawa sensitisasi
insulin pada kasus gangguan infertilitas yang terbukti mempunyai
gambaran ovarium polikistik pada ultrasonografi juga dapat dianjurkan
untuk meningkatkan sensitifitas tubuh terhadap insulin. Selain dapat
memperbaiki kelainan hormonal yang berhubungan dengan sindrom ini,
juga dapat membantu menurunkan berat badan dengan cara memperbaiki
metabolisme gula di perifer, menekan oksidasi asam lemak dan
meningkatkan penggunaan glukosa oleh usus.

2. Kasus Hiperkoagulasi
Judul : Kehamilan dengan dengan Katub Jantung Prostetik Mekanik dan
Penggunaan Antikoagulan

38
Oleh : Anin Indriani, Bambang Rahardjo, Cholid Tri Tjahjono

Wanita yang menggunakan katub jantung prostetik mekanik yang


mengalami kehamilan, sangat berresiko terhadap ibu dan janin. Heparin
sangat aman bagi janin dibandingkan warfarin, namun memiliki efek
antikoagulasi yang lebih rendah dibandingkan warfarin. Studi kasus ini
melporkan seorang wanita 39 tahun dengan katub jantung prostetik
mekanik yang mengalami kehamilan setelah 2 tahun pemakaian. Selama
kehamilan penderita menggunakan antikoagulan warfarin. pada usia
kehamilan 5 minggu pasien mengalami abortus iminens namun bisa
diatasi. Pada usia kehamilan 22-24 minggu pasien mengalami serangan
asma namun dapat mengalami rekoveri. Selanjutnya pasien menentukan
cara persalinan perabdominam pada usia kehamilan 38 minggu. Hasil
akhir dari tatalaksana yang digunakan, didapatkan outcome yang baik
terhadap ibu maupun janin. Tidak didapatkan tanda–tanda embriopati
akibat penggunaan warfarin pada trimester pertama. Dari studi kasus ini
juga tampak bahwa warfarin cukup efektif untuk mencegah terjadinya
tromboemboli pada ibu, dan pemakaian UFH dapat digunakan sebagai
alternatif untuk persiapan persalinan.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A. 1003. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta, FKUI.


2. Ganong W.F. 1992. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Jakarta, EGC.
3. Mochtar R. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi.
Jakarta, EGC.
4. Purnomo B. 2003. Dasar-dasar Urologi. Jakarta, CV. Infomedika.
5. Wiknjosastro H. 1997. Ilmu Kebidanan, Jakarta, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
6. Staff.ui.ac.id/system/files/.../e-bookbioteknologipdsistemreproduksi.pdf
7. Febri, Ayu.2011.Biologi Reproduksi.Palembang:Salemba Medika

8. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/12/anatomi_dan_fisiologi_alat_reproduksi_wanita.p
df.

40
9. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3880751/
10. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1592479/
11. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4715840/

41

Anda mungkin juga menyukai