Alfina Setiawati - 3A - 19100017 - KMBII
Alfina Setiawati - 3A - 19100017 - KMBII
Dibuat Oleh :
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan saya yakin masih banyak kekurangan dalam
makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................3
LATAR BELAKANG...............................................................................................................3
BAB II........................................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................4
2.1 Definisi........................................................................................................................4
2.2 Anatomi.......................................................................................................................4
2.3 Fungsi Apendiks..........................................................................................................5
2.4 Etiologi........................................................................................................................7
2.5 Klasifikasi Apendisitis.................................................................................................8
2.6 Pathogenesis................................................................................................................8
2.7 Gejala klinis...............................................................................................................10
2.8 Pemeriksaan fisik.......................................................................................................12
2.9 Differensial Diagnosa................................................................................................15
2.10 Penatalaksanaan.........................................................................................................16
2.11 Komplikasi................................................................................................................20
2.12 Prognosis...................................................................................................................21
BAB III PENUTUP..................................................................................................................22
3.1 Kesimpulan................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................23
BAB I
LATAR BELAKANG
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak
sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut mengalami perforasi setelah
dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan
antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah
masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan.
Diagnosis appendicitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat
dibuat hanya pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka appendectomy
negatif pada pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan
fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendicitis.
2.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Pada masyarakat umum,sering
juga disebut dengan istilah radang usus buntu. Akan tetapi, istilah usus buntu yang selama
ini dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu
sebenarnya adalah sekum (caecum).
Sedangkan apendiks atau yang sering disebut juga dengan umbai cacing adalah organ
tambahan pada usus buntu. Umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix
(atau hanya appendix) adalah ujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum.
2.2 Anatomi
Apendiks terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Apendiks merupakan organ yang
berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan
pada orang dewasa umbai cacing berukuran sekitar 10 cm. Walaupun lokasi apendiks
selalu tetap yaitu berpangkal di sekum, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda-beda, yaitu
di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang pasti tetap terletak di peritoneum.
Apendiks memiliki lumen sempit dibagian proximal dan melebar pada bagian distal.
Saat lahir, apendiks pendek dan melebar dipersambungan dengan sekum. Selama anak-
anak, pertumbuhannya biasanya berotasi ke dalam retrocaecal tapi masih dalam
intraperitoneal. Pada apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungan
caecum dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi
apendiks terbanyak adalah Retrocaecal (74%) lalu menyusul Pelvic (21%), Patileal(5%),
Paracaecal (2%), subcaecal(1,5%) dan preleal (1%).
Apendiks dialiri darah oleh arteri apendicular yang merupakan cabang dari bagian
bawah arteri ileocolica. Arteri apendiks termasuk arteri akhir atau ujung. Apendiks
memiliki lebih dari 6 saluran limfe melintangi mesoapendiks menuju ke nodus limfe
ileocaecal.
2.3 Fungsi Apendiks
Organ apendiks pada awalnya dianggap sebagai organ tambahan yang tidak
mempunyai fungsi. Tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ
imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan
tubuh). Immunoglobulin sekretoal merupakan zat pelindung yang efektif terhadap infeksi
(berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam
apendiks adalah Ig-A. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat
pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain.
Selain itu, apendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam
pengaliran tersebut merupakan salah satu penyebab timbulnya appendisitis.
Fungsi appendiks masih mengalami banyak perdebatan, namun para ahli meyakini
antara lain sebagai berikut :
1. Berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh
Antara lain menghasilkan Immunoglobulin A (IgA) seperti halnya bagian lain
dari usus. IgA merupakan salah satu immunoglobulin (antibodi) yang sangat efektif
melindungi tubuh dari infeksi kuman penyakit. Menurut penelitian appendiks
memiliki fungsi pada fetus dan dewasa. Telah ditemukan sel endokrin pada appendiks
dari fetus umur 11 minggu yang berperanan dalam mekanisme kontrol biologis
(homeostasis). Pada dewasa, appendiks berperan sebagai organ limfatik. Dalam
penelitian terbukti appendiks kaya akan sel limfoid, yang menunjukkan bahwa
appendiks mungkin memainkan peranan pada sistem imun. Pada dekade terakhir para
ahli bedah berhenti mengangkat appendiks saat melakukan prosedur pembedahan
lainnya sebagai suatu tindakan pencegahan rutin, pengangkatan appendiks hanya
dilakukan dengan indikasi yang kuat, oleh karena pada kelainan saluran kencing
tertentu yang membutuhkan kemampuan menahan kencing yang baik (kontinen),
apendiks telah terbukti berhasil ditransplantasikan kedalam saluran kencing yang
menghubungkan buli (kandung kencing) dengan perut sehingga menghasilkan saluran
yang kontinen dan dapat mengembalikan fungsional dari buli.
2. Menurut penelitian yang dilakukan, Appendiks dulunya berguna dalam mencerna
dedaunan seperti halnya pada primata. Sejalan dengan waktu, kita memakan lebih
sedikit sayuran dan mulai mengalami evolusi, selama ratusan tahun, organ ini menjadi
semakin kecil untuk memberi ruang bagi perkembangan lambung. appendiks
kemungkinan merupakan organ vestigial dari manusia prasejarahyang mengalami
degradasi dan hampir menghilang dalam evolusinya. Bukti dapat ditemukan pada
hewan herbivora seperti halnya Koala. Sekum dari koala melekat pada perbatasan
antara usus besar dan halus seperti halnya manusia, namun sangat panjang,
memungkinkan baginya untuk menjadi tempat bagi bakteria spesifik untuk
pemecahan selulosa. Sejalan dengan manusia yang semakin banyak memakan
makanan yang mudah dicerna, mereka semakin sedikit memakan tanaman yang tinggi
selulosa sebagai energi. Sekum menjadi semakin tidak berguna bagi pencernaan hal
ini menyebabkan sebagian dari sekum semakin mengecil dan terbentuklah appendiks.
Teori evolusi menjelaskan seleksi natural bagi appendiks yang lebih besar oleh
karena appendiks yang lebih kecil dan tipis akan lebih baik bagi inflamasi dan
penyakit.
3. Menjaga Flora Usus
Penelitian yang dilakukan mengajukan teori bahwa appendiks menjadi surga bagi
bakteri yang berguna, saat penyakit menghilangkan semua bakteria tersebut dari
seluruh usus. Teori ini berdasarkan pada pemahaman baru bagaimana sistem imun
mendukung pertumbuhan dari bakteri usus yang berguna . Terdapat bukti bahwa
appendiks sebagai alat yang berfungsi dalam memulihkan bakteri yang berguna
setelah menderita diare.
2.4 Etiologi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang
bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia jaringan
limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa
merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
1. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab
lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang
disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana,
65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus
apendisitis akut dengan rupture.
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut.
Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan
memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan
dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya
fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa
kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi
dari Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya
terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan
tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
5. Faktor infeksi saluran pernapasan setelah mendapat penyakit saluran pernapasan
akut terutama epidemi influenza dan pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini
meningkat. Namun, hati-hati karena penyakit infeksi saluran pernapasan dapat
menimbulkan seperti gejala permulaan apendisitis.
2.6 Pathogenesis
a. Peranan lingkungan (diet dan higiene)
Penelitan epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah
serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional appendix dan
meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon.
Semua ini akan mempermudahkan timbulnya appendicitis. Diet memainkan
peranan utama pada pembentukan sifat feces, yang mana penting untuk pembentukan
fekalit. Kejadian appendicitis jarang di negara berkembang, di mana diet tinggi serat
dan konsistens feces lebih lembek.Kolitis , diverticulitis, dan karsinoma kolon adalah
penyakit yang sering terjadi di daerah denga diet rendah serat dan menghasilkan feces
dengan konsistensi keras.
b. Obstruksi luman
Merupakan faktor penyebab dominan dalam appendicitis akut. Fekalit
merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen appendix pada 20% anak-anak
dengan appendisitis terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat.
Frekuensi obstruksi meningkat sesuai denganderajat proses inflammasi. Fekalit
ditemukan 40% pada kasus appendicitis sederhana (simple), sedangkan pada
appendicitis akut dengan gangrene tanpa rupture terdapat 65% dan appendisitis akut
dengan gangrene disertai rupture terdapat 90%.
Jaringan lymphoid yang terdapat di submukosa appendix akan mengalami
edema dan hipertropi sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem gasrointestinal
atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan obstruksi lumen appendix.
Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan
kedalam lumen appendix dan hal ini merupakan salah satu alasan terjadinya
appendicitis pada neonatus.
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendicitis adalah erosi
mukosa appendix karena parasit seperti Entamuba Hystolitika dan benda asing
mungikn tersangkut di appendix untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan
gejala, namun cukup untuk menimbulkan risiko terjadinya perforasi.
Secara patogenisis faktor terpenting terjadinya appendicitis adalah adanya
obstruksi lumen appendix yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Sekresi mukosa
yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen appendix menyebabkan distensi
lumen akut sehingga akan terjadi kenaikan tekanan intraluminer dan sebagai
akibatnya terjadi obstruksi arteri serta iskemia.
Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan
seluruh lapsan dinding appendix, lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari
lumen masuk kedalam submukosa. Dengan adanya kuman dalam submukosa maka
tubuh akan bereaksi berupa peradangan suppurativa yang menghasilkan pus,keluarnya
pus dari dinding yang masuk kedalam lumen appendix akan mengakibatkan tekanan
inraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding appendix akan
bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa dinding appendix.
Mula-mula akan terjad penekanan pada vasa lmfatika, kemudian vena dan
terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari appendx, infark
seterusnya melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dindng
appendix akan mengalami perforas, sehingga pus akan tercurah kedalam rongga
peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada peritoneum parietal. Hasil akhir
dari proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan
omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika nfeksi tersebut tidak bias diatasi maka
akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang dengan
sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal in akan
mengakibatkan appendix cepat mengalami komplikasi.
c. Peranan flora bakteria
Flora bakteria pada appendix sama dengan di kolon, dengan ditemukan beragam
bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam appendicitis sama
dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya
negative terhadap appendicitis sederhana. Pada tahap appendicitis suppurativa, bakteri
aerobic terutam Escherichia Coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak
organsme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat
ditemukan. Bakteri aerobik yang paling layak dijumpai adalah E.coli. Sebagian besar
penderita appendicitis gangrenosa atau appendisitis atau appendistis perforasi banyak
ditemukan bakteri anerobk terutama Bacteriodes fragilis.
Diagnosis klinis apendisitis akut masih bisa salah 15%-20% walaupun telah dilakukan
pemeriksaan dilakukan dengan teliti dam cermat. Angka ini tinggi untuk pasien perempuan
dibanding laki-laki. Hal ini disebabkan perempuan yang masih muda sering memiliki gejala
yang mirip apendisitis akut. Keluhan itu biasanya berasal dari genetalia internal oleh karena
ovulasi, radang perlvis dan lain-lain.
Untuk lebih memudahkan diagnosis klinis apendisitis, para klinisi telah berhasil
mengembangkan berbagai metode diagnosis. Salah satunya adalah dengan menggunakan
indeks alvarado, berikut adalah indeks alvarado:
Dari tabel di atas dapat ditarik kesimpulan dengan menjumlah setiap skor, kemudian
kemungkinan diagnosis apendisitis adalah berdasarkan pembagian interval nilai yang
diperoleh tersebut.
1. Skor >8 : Berkemungkinan besar menderita apendisitis. Pasien ini dapat langsung
diambil tindakan pembedahan tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Kemudian perlu
dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan patologi anatomi.
2. Skor 2-8 : Tingkat kemungkinan sedang untuk terjadinya apendisitis. Pasien ini
sbaiknya dikerjakan pemeriksaan penunjang seperti foto polos abdomen ataupun CT
scan.
3. Skor <2 : Kecil kemungkinan pasien ini menderita apendisitis. Pasien ini tidak perlu
untuk di evaluasi lebih lanjut dan pasien dapat dipulangkan dengan catatan tetap
dilakukan follow up pada pasien ini.
2.9 Differensial Diagnosa
2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meliputi terapi medis dan
terapi bedah. Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai
akses ke pelayanan bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah
penelitian prospektif menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren dalam
beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis saja. Selain itu terapi
medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai risiko operasi yang
tinggi.
Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi
awal berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical
Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum pembedahan
dengan menggunakan antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis
non perforasi dan kurang dari 5 jam untuk apendisitis perforasi.
Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik
adalah pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat
apendisitis dengan perforasi.
1. Cairanintravena
cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera
dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien tua
atau kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena central.
Balance cairan harus diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat harus
di infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan
tekanan darah serta pengeluaran urin
pada level yang baik. Darah di berikan bila mengalami anemia dan atau
dengan perdarahan secara bersamaan.
2. Antibiotik
Pemberian antibiotik intraven diberikan untuk antisipasi bakteri patogen,
antibiotik initial diberikan termasuk gegerasi ke 3 cephalosporins,
ampicillin– sulbaktam, dll, dan metronidazol atau klindanisin untuk kuman
anaerob. Pemberian antibiotik postops harus di ubeah berdasarkan kulture
dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam
dengan normal leukosit. Setelah memperbaiki keadaan umum dengan
infus, antibiotik serta pemasangan pipa nasogastrik perlu di lakukan
pembedahan sebagai terapi definitif dari appendisitis perforasi.
Perlu dilakukan insisi yang panjang supaya mudah dilakukan pencucian rongga
peritonium untuk mengangkat material seperti darah, fibrin serta dilusi dari bakteria.
Pencucian cukup dengan larutan kristaloid isotonis yang hangat, penambahan antiseptik
dan antibiotik untuk irigasi cenderung tidak berguna bahkan malah berbahaya karena
menimbulkan adhesive (misal tetrasiklin atau provine iodine), anti biotik yang diberikan
secara parenteral dapat mencapai rongga peritonium dalam kadar bakterisid.
Ada juga ahli yang berpendapat bahwa dengan penambahan tetrasiklin 1 mg dalam 1
ml larutan garam dapat mengendalikan sepsis dan bisul residual, pada kadar ini antibiotik
bersifat bakterisid terhadap kebanyakan organisme. Walaupun sedikit membuat
kerusakan pada permungkaan peritonial tapi tidak ada bukti bahwa menimbulkan resiko
perlengketan. Tapi zat lain seperti iodine tidak populer. Setelah pencucian seluruh cairan
di rongga peritonium seluruh cairan harus diaspirasi.
a) Appendektomi
Apendiktomi terbuka merupakan operasi klasik pengangkatan apendiks.
Mencakup Mc Burney, Rocke-Davis atau Fowler-Weir insisi. Dilakukan diseksi
melalui oblique eksterna, oblique interna dan transversal untuk membuat suatu muscle
spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke peritoneum apendiks dikeluarkan ke
lapangan operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa yang terkena dicauter untuk
mengurangi perdarahan, beberapa orang melakukan inversi pada ujungnya, kemudian
sekum dikembalikan ke dalam perut dan insisi ditutup.
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
appendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
appendektomi sambil memberikan antibiotic dapat mengakibatkan abses perforasi.
Insidens appendix normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendicitis
akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.
Konservatif kemudian operasi elektif
- Bed rest total posisi Fowler (anti Tredelenburg)
- Diet rendah serat
- Antibiotika spectrum luas
- Metronidazole
- Monitor: Tanda-tanda peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam, LED bila baik
disuruh mobilisasi dan selanjutnya dipulangkan.
Penderita anak perlu cairan intravena untuk mengkoreksi dehhidrasi ringan.
Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung dan untuk mengurangi
bahaya muntah pada waktu induksi anestesi. Pada appendicitis akut dengan
komplkasi berupa peritonitis karena perforasi menuntut tindakan yang lebih
intensif, karena biasanya keadaan anak sudah sakit berat.
Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah, sekuestrasi cairan dalam rongga
abdomen dan febris. Anak memerlukan perawatan intensif sekurang-kurangnya 4-
6 jam sebelum dilakukan pembedahan. Pipa nasogastrik dpasang untuk
mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah
muntah. Kalau anak dalm keadaan syok hipovolemik maka diberikan cairan
Ringer Laktat 20ml/kgBB dalam larutan glukosa 5% secara intravena, kemudian
diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indkasi. Setelah pemberian
cairan intravena sebaknya devalues kembali kebutuhan dan kekurangan cairan.
Sebelum pembedahan, anak harus memiliki urine output sebanyak 1ml/kgBB/jam.
Untuk menurunkan demam diberikan acetaminophen suppository (60mg/ tahun
umur). Jika suhu diatas 38% pada saat masuk rumah sakit,kompres alcohol dan
sedasi diindikasikan untuk mengontrol demam.
Antibiotika sebelum pembedahan dberikan pada semua anak dengan
appendists, antibotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi
appendicitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai pembedahan.
Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada pembakan
kuaman. Pemberian antibiotika untuk infeksi anearob sangat berguna untuk kasus-
kasus perforasi appendicitis. Antibiotika diberikan selama 5 hari setelah
pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita. Kombinasi antibiotika yang
efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spectrum luas diberikan sebelum dan
sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin (100mg/kg), gentamisin (7,5mg/kg)
dan klindamisin (40mg/kg) dalam dosis terbag selama 24jam ukup efektif untuk
mengontrol sepsis dan menghilangkan komplikasi appendicitis perforas.
Metronidazole aktif terhadap bakteri gram negative dan didistribusikan dangen
baik ka cairan tubuh dan jaraingan. Obat ini lebh murah dan dapat dijadikan
pengganti klindamisin.
b) Laparoskopik apendiktomi mulai diperkenalkan pada tahun 1987, dan telah sukses
dilakukan pada 90-94% kasus apendisitis dan 90% kasus apendisitis perforasi. Saat ini
laparoskopik apendiktomi lebih disukai. Prosedurnya, port placement terdiri dari
pertama menempatkan port kamera di daerah umbilikus, kemudian melihat langsung
ke dalam melalui 2 buah port yang berukuran 5 mm. Ada beberapa pilihan operasi,
pertama apakah 1 port diletakkan di kuadran kanan bawah dan yang lainnya di
kuadran kiri bawah atau keduanya diletakkan di kuadran kiri bawah. Sekum dan
apendiks kemudian dipindahkan dari lateral ke medial. Berbagai macam metode
tersedia untuk pengangkatan apendiks, seperti dectrocauter, endoloops, stapling
devices.
c) Laparoskopi
Laparoskopi merupakan teknik terbaru dalam operasi untuk mengeluarkan appendix.
Dengan teknik resiko pembedahan seperti perdarahan dapat dminimalkan. Selain itu,
laparotomi merupakan salah satu langkah diagnostik dalam menegakkan diagnose
appendicitis.
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang sering ditemukan adalah infeksi, perforasi, abses intra
abdominal/pelvi, sepsis,syok,dehidrasi. Perforasi yang ditemukan baik perforasi bebas
maupun perforasi pada appendix yang telah mengalami pendinginan, sehingga
membentuk massa yang terdiri dari kumpulan appendix, sekum dan keluk usus.
2.12 Prognosis
Bila ditangani dengan baik, prognosis appendix adalah baik. Secara umum
angka kematian pasien appendix akut adalah 0,2-0,8% yang lebih berhubungan
dengan komplikasi penyakitnya daripada akibat tindakan intervensi.
.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Pada masyarakat
umum,sering juga disebut dengan istilah radang usus buntu. Akan tetapi, istilah
usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat,
karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum).
Apendiks terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Apendiks merupakan
organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya kira-kira 10cm
(kisaran 3-15cm) dan pada orang dewasa umbai cacing berukuran sekitar 10 cm.
Walaupun lokasi apendiks selalu tetap yaitu berpangkal di sekum, lokasi ujung
umbai cacing bisa berbeda-beda, yaitu di retrocaecal atau di pinggang (pelvis)
yang pasti tetap terletak di peritoneum.
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur C. 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta:EGC (Penerbit
Buku Kedokteran).
Syamsuri, Istamar. 2004. Biologi Jilid 2A Untuk SMA kelas XI. Jakarta:Erlangga.