Anda di halaman 1dari 23

GIZI DAN PERMASALAHANNYA DI INDONESIA

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH PEMBERDAYAAN


PESANTREN I

Dosen Pengampu:
dr. Dewi Masithah., M.Kes

Disusun Oleh : Kelompok 1

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2019

i
Anggota Kelompok 1 :
1. Ayu Aisyah Alya Hamida (6130018001)
2. Muhammad Sultan Nur Mashudi (6130018009)
3. Ninda Lucida Al-Zalia (6130018018)
4. Mimhadah Zahrotul Ulya (6130018019)
5. Afrizal Aditya Putra (6130018030)
6. Novi Rianti (6130018037)
7. Quddus Salam (6130018039)
8. Nabila Yusmawti (6130018040)
9. Iga Sukmawati (6130018045)
10. Nadia Hidayati (6130018047)
11. Erlica lydia Safitri (6130018054)

ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Gizi 3
B. Pedoman Gizi Seimbang 4
C. Komponen Gizi 5
D. Status Gizi 8
1. Pengertian Status Gizi 8
2. Penilaian Status Gizi 9
3. Indeks Antropometri 11
E. Permasalahan Gizi di Indonesia 11
BAB III PENUTUP18
A. Kesimpulan 18
B. Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat
kesehatan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental.
Untuk mendapatkan kualitas gizi yang baik makanan yang kita konsumsi setiap
hari harus mengandung zat-zat gizi, misalnya di Indonesia masyakaratnya
dianjurkan mengkonsumsi makanan dengan pedoman gizi seimbang. Status gizi
adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari
makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status
gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi
lebih (Almatsier, 2005).

Faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi adalah asupan


makanan dan penyakit infeksi. Berbagai faktor yang melatarbelakangi status gizi
seseorang misalnya faktor ekonomi, keluarga, produktivitas dan pengetahuan
tentang gizi. Saat ini masih banyak permasalahan gizi yang terjadi di Indonesia,
baik itu gizi kurang maupun gizi lebih. Masalah gizi kurang diantaranya Kurang
Energi Protein (KEP), Kekurangan Vitamin A (KVA), Gangguan Akibat
Kekurangan Yodium (GAKY), dan Anemia. Selain masalah gizi kurang, juga
ditemukan dampak dari konsumsi berlebih atau gizi lebih, yang disebut dengan
obesitas. Kelebihan gizi ini biasanya akan diikuti dengan timbulnya penyakit
seperti jantung koroner, diabetes melitus, stroke, dan yang lainnya. Oleh sebab
itu, dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai gizi mulai dari pengertian,
komponen, pedoman gizi seimbang, permasalahan gizi, dan bagaimana penilaian
status gizi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gizi?
2. Bagaimana pedoman gizi seimbang?
3. Apa saja komponen yang terdapat dalam gizi?

1
4. Apa yang dimaksud dan bagaimana penilaian status gizi?
5. Apa masalah yang terjadi jika kekurangan gizi?
6. Apa masalah yang terjadi jika gizi berlebih?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertia gizi.
2. Untuk mengetahui bagaimana pedoman gizi seimbang.
3. Untuk mengetahui komponen apa saja yang terdapat dalam gizi.
4. Untuk mengetahui definisi dan cara penilaian status gizi.
5. Untuk mengetahui masalah yang dapat ditimbulkan jika terjadi kekurangan gizi.
6. Untuk mengetahui masalah yang dapat ditimbulkan jika terjadi kelebihan gizi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Zat Gizi

Zat gizi adalah zat kimia yang dapat digunakan oleh organisme untuk
mempertahankan kegiatan metabolisme tubuhnya. Kegiatan metabolism pada
manusia dan hewan lainnya termasuk penyediaan energi, pertumbuhan,
pembaruan jaringan, dan reproduksi. Beberapa bahan kimia yang berperan
sebagai zat gizi adalah karbohidrat, protein, asam lemak, vitamin dan elemen
lain. Bahan kimia seperti serat makanan dan metabolit sekunder tanaman,
merupakan bagian dari makanan tetapi diklasifikasikan dalam zat gizi
(Wijayanti, 2017).

Nutrisi atau zat gizi merupakan senyawa dari makanan yang digunakan
tubuh untuk fungsi fisiologis normal. Definisi yang luas ini mencakup senyawa
yang digunakan langsung untuk produksi energi, yang membantu dalam
metabolism (koenzim), untuk membangun struktur tubuh, atau untuk membantu
dalam fungsi sel tertentu. Suatu zat gizi sangat penting untuk organisme dalam
kelangsungan siklus hidup dan terlibat dalam fungsi organisme.

Menurut Asmira Sutarto (1980: 10) secara umum fungsi zat makanan adalah
sebagai berikut:

1. Memberi bahan untuk membangun tubuh dan memelihara serta memperbaiki


bagian-bagian tubuh yang hilang dan rusak.

2. Memberi kekuatan atau tenaga, sehingga kita dapat bergerak dan bekerja.

3. Memberi bahan untuk mengatur proses-proses dalam tubuh.

4. Membangun dan memelihara tubuh.

3
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka untuk mendapatkan
kualitas gizi yang baik makanan yang kita konsumsi setiap hari harus
mengandung zat-zat gizi, misalnya di Indonesia masyakaratnya dianjurkan
mengkonsumsi makanan dengan pedoman gizi seimbang. Gizi seimbang adalah
susunan makanan sehari-hari yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah
yang sesuai dengan kebutuhan tubuh yaitu jenis kelamin, umur dan status
kesehatan. Gizi seimbang bagi anak sekolah dipenuhi setiap hari dengan
makanan yang beraneka ragam. Secara umum menu makanan yang seimbang
dengan komposisi energi dari karbohidrat 50% - 65%, protein 10% - 20%, dan
lemak 20% - 30%.

B. Pedoman Gizi Seimbang

Konsumsi makanan dengan pola gizi seimbang harus memperhatikan


empat prinsip dasar, yaitu keanekaragaman pangan, aktivitas fisik yang teratur
dan terukur, kebersihan diri dan lingkungan yang terjaga, serta pantau atau
pertahankan berat badan ideal. Pendekatan lain yang lebih komprehensif adalah
dengan menggunakan 4 pilar (Depkes 2013), yaitu:

1. Makan yang beraneka ragam.

Pentingnya makan secara bervariasi, karena tidak ada satu jenis makanan
yang mengandung semua jenis zat gizi yang dibutuhkan anak sekolah. Dalam
satu hari sebaiknya mengonsumsi makanan yang mengandung zat sumber
tenaga, pembangun dan pengatur.

2. Melakukan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Penerapan prinsip dan kebiasaan hidup bersih sangat penting untuk


mewujudkan gizi seimbang. Kebiasaan hidup tidak bersih antara lain akan
berisiko timbulnya penyakit infeksi yang merupakan salah satu faktor yang
sangat penting dan berpengaruh terhadap status gizi.

3. Melakukan aktivitas fisik.

4
Aktivitas fisik merupakan setiap gerakan tubuh yang dapat
meningkatkan pengeluaran tenaga/ energi dan pembakaran energi. Aktivitas
fisik mampu merangsang perkembangan otot-otot sehingga berpengaruh
terhadap pertumbuhan yang optimal. Gerak motorik kasar yang dilakukan pada
usia pertumbuhan sangat banyak manfaatnya, diantaranya membuat tubuh
menjadi lebih lentur, otot dan tulang semakin kuat serta menjaga kebugaran.

5. Monitor berat badan (BB) ideal.


Salah satu indikator yang menunjukkan keseimbangan zat gizi di dalam
tubuh adalah BB ideal. Oleh karena itu, perlu membiasakan menimbang berat
badan secara rutin. Pemantauan BB ideal merupakan hal yang harus menjadi
bagian dari ‘Pola Hidup’ dengan ‘Gizi Seimbang’. Perbandingan Berat Badan
(BB) dengan Tinggi Badan (TB) dikenal dengan Indeks Masa Tubuh (IMT).
Bila IMT dibawah normal, mengindikasikan bahwa anak kurus sehingga perlu
meningkatkan asupan gizi dari makanan. Sebaliknya bila IMT menunjukkan
angka diatas normal, mengindikasikan bahwa anak mengalami kegemukan atau
obesitas, sebaiknya mengurangi makanan sumber lemak dan karbohidrat.

C. Komponen Zat Gizi


Zat gizi digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu zat gizi makro (karbohidrat,
protein, dan lemak) dan zat gizi mikro (vitamin dan mineral). Tubuh manusia
membutuhkan aneka ragam pangan untuk memenuhi semua zat gizi tersebut.
Kekurangan atau kelebihan salah satu unsur zat gizi dalam konsumsi pangan
akan menyebabkan kelainan atau penyakit. Oleh karena itu, perlu diterapkan
kebiasaan makan yang seimbang sejak usia dini dengan jumlah yang sesuai
kebutuhan masing-masing anak agar dapat dicapai tingkat kecerdasan dan
kondisi kesehatan yang prima (Depkes, 2013).

Di bawah ini merupakan zat gizi makro, yaitu:

1. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber utama zat tenaga atau energi. Di
dalam tubuh setiap 1 gram karbohidrat dapat memberikan energi sebesar 4

5
kkal. Pada umumnya, karbohidrat terdiri dari karbohidrat sederhana, yaitu
monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa), disakarida (sukrosa, laktosa,
maltosa), karbohidrat kompleks (polisakarida seperti pati, glikogen,
selulosa), pektin dan lignin. Sumber karbohidrat sederhana adalah berbagai
jenis tepung dan gula, sedangkan sumber karbohidrat kompleks adalah padi-
padian (misalnya beras, jagung, gandum), umbi-umbian (misalnya ubi jalar,
ubi kayu, talas, kentang), sagu, pisang, dan hasil olahan lainnya.

Konsumsi karbohidrat sederhana akan segera menghasilkan tenaga


atau energi, namun akan cepat habis sehingga akan cepat merasa lapar. Oleh
karena itu, sebaiknya mengonsumsi karbohidrat kompleks agar rasa
kenyang bertahan lebih lama. Kekurangan karbohidrat dapat menyebabkan
mudah lelah, mudah terkena infeksi, dan kurang konsentrasi. Konsumsi
karbohidrat sederhana, terutama gula dibatasi empat sendok makan setiap
hari karena kelebihan energi tersebut akan disimpan dalam bentuk lemak
sehingga dapat menyebabkan obesitas.

2. Lemak

Lemak menghasilkan energi tertinggi karena setiap 1 gram asupan


lemak akan menghasilkan 9 kkal energi. Pada umumnya lemak merupakan
trigliserida yang terdiri dari gliserol dan asam-asam lemak. Asam lemak
dikelompokkan menjadi asam lemak jenuh (asam palmitat dan asam
stearate), dan asam lemak tak jenuh (omega-3 misalnya asam linoleate,
asam arachidonat, dan dokosaheksaenoat/DHA serta omega-6). Asam lemak
tak jenuh sangat dibutuhkan anak-anak terutama untuk proses pertumbuhan
dan perkembangan otak.

Sumber lemak secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu nabati


(tumbuhan) dan hewani (hewan). Sumber lemak nabati yaitu berbagai
minyak seperti minyak sawit dan minyak kelapa, kemiri, alpukat, dan
margarin. Sumber lemak hewani antara lain kuning telur, daging, ikan, hati,
susu, mentega dan keju. Komposisi konsumsi lemak yang dianjurkan dalam
sehari adalah dua bagian pangan sumber lemak nabati dan satu sumber

6
lemak hewani. Konsumsi lemak berlebih dalam waktu lama dapat
mengakibatkan peningkatan berat badan dan berlanjut menjadi obesitas.

3. Protein

Protein merupakan rangkaian dari unit-unit asam amino. Asam


amino terdiri dari asam amino essensial dan non essensial. Asam amino
essensial adalah asam amino yang diperlukan oleh tubuh tetapi tidak dapat
disintesis oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi dari makanan yang
dikonsumsi sehari-hari. Sedangkan asam amino non essensial merupakan
asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh. Protein berperan penting
sebagai zat pembangun dalam struktur dan fungsi sel. Selain itu protein juga
dapat menjadi sumber energi, yaitu menghasilkan 4 kkal dari 1 gram
protein. Sumber protein dapat berasal dari nabati seperti kacang-kacangan
dan protein hewani seperti susu, daging, dan ikan.

Sedangkan zat gizi mikro, yaitu:

1. Vitamin

Vitamin merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh dalam jumlah


sangat sedikit namun sangat penting, serta harus selalu tersedia dalam
makanan karena tidak dapat diproduksi oleh tubuh. Berdasarkan
kelarutannya, vitamin dibagi menjadi vitamin larut air (Vitamin B1, B2, B3,
B6, B12, asam pantotenat, asam folat, biotin, dan vitamin c). Sedangkan
vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D, E, dan K.

2. Mineral

Mineral yang penting untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tulang


adalah kalsium, magnesium, fosfor dan fluor. Sumber pangan yang
mengandung kalsium antara lain produk olahan susu. Mineral lain yang
diperlukan oleh tubuh antara lain natrium, kalium, klor, besi, seng, iodium,

7
selenium, mangan, kronium dan molibdenum. Garam umumnya
mengandung natrium, dan biasanya banyak terdapat pada makanan, bumbu
penyedap, dan pengawet. Natrium berfungsi untuk mengatur tekanan darah,
namun konsumsi natrium berlebih merupakan salah satu faktor yang
mengakibatkan kenaikan tekanan darah. Konsumsi garam sebaiknya
dibatasi 1 sendok teh setiap harinya.

3. Air

Air merupakan salah satu zat gizi yang sangat penting bagi
kesehatan. Air mempunyai fungsi penting bagi tubuh manusia yaitu sebagai
pembentuk tubuh, pengatur suhu tubuh, pelarut, pelumas, media transportasi
zat, dan sebagai media pembuangan racun dan sisa metabolisme tubuh.

4. Serat

Serat juga dibutuhkan oleh tubuh terutama untuk membantu


memperlancar proses buang air besar. Serat pangan larut air umumnya
terdapat dalam buah, kacang, dan sereal berfungsi untuk memperlambat
penyerapan glukosa, kolesterol dan garam empedu di dalam usus halus
sehingga menurunkan kadar gula darah dan kolesterol darah. Sedangkan
serat pangan tak larut air dapat membantu memudahkan buang air besar
yang bersumber dari buah dan sayuran.

D. Status Gizi
1. Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang
dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di
dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang,
gizi normal, dan gizi lebih (Almatsier, 2005).

Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat
keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang
dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Energi yang

8
masuk ke dalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi
lainnya. Status gizi normal merupakan keadaan yang sangat diinginkan oleh
semua orang (Apriadji, 1986).

Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition


merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih
sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi
yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu (Wardlaw, 2007).

Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang


dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi
yang dikeluarkan. Hal ini terjadi karena jumlah energi yang masuk melebihi
kecukupan energi yang dianjurkan untuk seseorang, akhirnya kelebihan zat gizi
disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi
gemuk (Apriadji, 1986).

2. Penilaian Status Gizi


Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang
diperoleh dengan menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu
populasi atau individu yang memiliki risiko status gizi kurang maupun gizi lebih
(Hartriyanti dan Triyanti, 2007). Penilaian status gizi terdiri dari dua jenis,
yaitu :
a. Penilaian Langsung
1. Antropometri
Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status
gizi yang berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan
dengan umur dan tingkat gizi seseorang. Metode antropometri
sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi dan
protein. Akan tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk
mengidentifikasi zat-zat gizi yang spesifik.
2. Klinis
Pemeriksaan klinis merupakan cara penilaian status gizi
berdasarkan perubahan yang terjadi yang berhubungan erat

9
dengan kekurangan maupun kelebihan asupan zat gizi.
Pemeriksaan klinis dapat dilihat pada jaringan epitel yang
terdapat di mata, kulit, rambut, mukosa mulut, dan organ yang
dekat dengan permukaan tubuh.

3. Biokimia
Pemeriksaan biokimia disebut juga cara laboratorium.
Pemeriksaan biokimia pemeriksaan yang digunakan untuk
mendeteksi adanya defisiensi zat gizi pada kasus yang lebih parah
lagi, dimana dilakukan pemeriksaan dalam suatu bahan biopsi
sehingga dapat diketahui kadar zat gizi atau adanya simpanan di
jaringan.
b. Penilaian Tidak Langsung
1. Survey Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian
status gizi dengan melihat jumlah dan jenis makanan yang
dikonsumsi oleh individu maupun keluarga. Data yang didapat
dapat berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif
dapat mengetahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi,
sedangkan data kualitatif dapat diketahui frekuensi makan dan
cara seseorang maupun keluarga dalam memperoleh pangan
sesuai dengan kebutuhan gizi.

2. Statistik Vital
Statistik vital merupakan salah satu metode penilaian
status gizi melalui data-data mengenai statistik kesehatan yang
berhubungan dengan gizi, seperti angka kematian menurut umur
tertentu, angka penyebab kesakitan dan kematian, statistik
pelayanan kesehatan, dan angka penyakit infeksi yang berkaitan
dengan kekurangan gizi
3. Faktor Ekologi
Penilaian status gizi dengan menggunakan faktor ekologi
karena masalah gizi dapat terjadi karena interaksi beberapa faktor

10
ekologi, seperti faktor biologis, faktor fisik, dan lingkungan
budaya. Penilaian berdasarkan faktor ekologi digunakan untuk
mengetahui penyebab kejadian gizi salah (malnutrition) di suatu
masyarakat yang nantinya akan sangat berguna untuk melakukan
intervensi gizi.
3. Indeks Antropometri
Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter. Indeks
antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih
pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur dan tingkat gizi. Salah satu
contoh dari indeks antropometri adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) atau yang
disebut dengan Body Mass Index (Supariasa, 2001).

E. Permasalahan Gizi di Indonesia


Permasalahan gizi adalah keadaan dimana gizi dalam tubuh tidak
seimbang yaitu kekurangan atau kelebihan. Masalah gizi kurang masih tersebar
luas di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, masalah yang timbul
akibat asupan gizi yang kurang diantaranya Kurang Energi Protein (KEP),
Kekurangan Vitamin A (KVA), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
(GAKY), dan Anemia. Selain masalah gizi kurang, akhir-akhir ini ditemukan
juga dampak dari konsumsi berlebih atau gizi lebih, tidak hanya pada orang
dewasa tetapi juga pada anak dan balita. Masalah yang sering muncul adalah
obesitas (berat badan berlebih), yang akan diikuti dengan timbulnya penyakit
seperti jantung koroner, diabetes melitus, stroke, dan yang lainnya
(Sulistyoningsih, 2011).

Di bawah ini merupakan permasalahan gizi kurang, yaitu:

1. Kurang Energi Protein (KEP)


Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan
sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG).
Malnutrisi energi protein adalah seseorang yang kekurangan gizi yang

11
disebabkan oleh konsumsi energi protein dalam makanan sehari-hari atau
gangguan penyakit tertentu (Depkes, 1999).

Klasifikasi kurang energi protein menurut Departemen Kesehatan


RI, 1999:
a. KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS pada pita
warna kuning.
b. KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak di
bawah garis merah (BBM).
c. KEP berat / gizi buruk bila hasil penimbangan BB / 4 < 60% baku median
WHO – NCNS. Pada KMS tidak ada garis pemisah KEP berat/gizi buruk
dan KEP sedang, sehingga untuk menentukan KEP berat /gizi buruk
digunakan table BB / 4 baku median WHO - NCNS.
Faktor penyebab yang dapat menimbulkan kekurangan energi
protein menurut Naziruddin (1998) yaitu:
a. Sosial ekonomi yang rendah.
b. Sukar atau mahalnya makanan yang baik.
c. Kurangnya pengertian orang tua mengenai gizi.
d. Kurangnya faktor infeksi pada anak (misal: diare).
e. Kepercayaan dan kebiasaan yang salah terhadap makanan (missal: tidak
makan daging atau telur disaat luka).
Menurut Ngastiyah (1997) penderita kekurangan energi protein akan
memberikan gambaran klinik berupa:
a. Pertumbuhan terganggu meliputi berat badan dan tinggi badan.
b. Perubahan mental berupa cengeng dan apatis.
c. Adanya cederm ringan atau berat karena penurunan protein plasma.
d. Jaringan lemak dibawah kulit menghilang, kulit keriput dan tanus otot
menurun.
e. Kulit bersisik
f. Anemia
g. Carzy pavemen permatosisis (bercak-bercak putih dan merah muda
dengan tepi hitam).

12
h. Pembesaran hati

2. Anemia
Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau
hemoglobin (protein pembawa O2) dari nilai normal dalam darah sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer sehingga pengiriman O2 ke jaringan menurun.
Secara fisiologi, harga normal hemoglobin bervariasi tergantung umur, jenis
kelamin, kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu, perlu
ditentukan batasan kadar hemoglobin pada anemia.

Berdasarkan gambaran morfologik, anemia diklasifikasikan menjadi


tiga jenis (Soeparman, 1993), yaitu:
a. Anemia normositik normokrom.
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan
akut, hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum
tulang. Terjadi penurunan jumlah eritrosit tidak disertai dengan perubahan
konsentrasi hemoglobin (Indeks eritrosit normal pada anak: MCV 73 – 101
fl, MCH 23 – 31 pg , MCHC 26 – 35 %), bentuk dan ukuran eritrosit.
b. Anemia makrositik hiperkrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan
hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks
eritrosit pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %).
Ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam folat),

13
serta anemia makrositik non-megaloblastik (penyakit hati, dan
myelodisplasia)

c. Anemia mikrositik hipokrom


Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks
eritrosit : MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %).
Penyebab anemia mikrositik hipokrom yaitu berkurangnya zat besi (Anemia
Defisiensi Besi), berkurangnya sintesis globin (Thalasemia dan
Hemoglobinopati), berkurangnya sintesis heme (Anemia Sideroblastik).

3. Kekurangan Vitamin A (KVA)

Kekurangan vitamin A ialah penyakit sistemik yang merusak sel dan


organ tubuh dan menyebabkan metaplasia keratinisasi pada epitel saluran
pernapasan, saluran kemih, dan saluran pencernaan. Perubahan pada ketiga
saluran ini relatif awal terjadi karena kerusakan yang terdeteksi pada mata.
Namun, karena hanya mata yang mudah diamati dan diperiksa, diagnosis
klinis yang spesifik didasarkan pada pemeriksaan mata. Kekurangan vitamin
A dapat terjadi pada semua umur akan tetapi kekurangan yang disertai
kelain pada mata umumnya terdapat pada anak berusia 6 bulan sampai 4
tahun (Sidarta, 2008).

KVA pada anak balita dapat mengakibatkan risiko kematian sampai


20- 30%. Mortalitas anak balita yang buta karena keratomalasia dapat
mencapai 50- 90%. Survei Nasional Xeropthalmia 1978 menemukan
prevalensi X1b (bitot spot) pada anak balita 1,34%, dan pada tahun 1992
turun menjadi 0,35%. Angka tersebut masih di bawah kriteria yang
ditetapkan WHO sebagai masalah kesehatan masyarakat (0,5%). Survei
tersebut juga menemukan 50,2% anak balita mempunyai kadar serum
vitamin A < 20 μg/dl, lebih tinggi dari batas ambang menurut IVACG
sebesar 15% (Depkes RI, 2006).

14
Penyebab kekurangan vitamin A antara lain dikarenakan konsumsi
vitamin A dalam makanan sehari-hari tidak mencukupi kebutuhan tubuh
dalam jangka waktu lama. Proses penyerapan makanan dalam tubuh
terganggu karena infestasi cacing, diare, rendahnya konsumsi lemak, protein
dan seng. Adanya penyakit ISPA, campak , dan diare (Depkes RI, 2006;
Sidharta, 2008).

4. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)

Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) adalah sekumpulan


gejala yang timbul karena tubuh seseorang kekurangan unsur yodium secara
terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama. Suatu daerah disebut
dengan daerah kekurangan yodium bila tanah dan airnya sangat kekurangan
yodium karena sering terjadi erosi akibat hujan lebat atau banjir. tinggal di
daerah tersebut jika hanya tergantung pada sumber air dan bahan makanan
setempat akan kekurangan yodium.

Masalah GAKY di Indonesia disebabkan karena kurangnya cakupan


konsumsi garam beryodium yang memenuhi syarat oleh rumah tangga atau
masyarakat. Hal ini didasarkan pada rendahnya pengetahuan masyarakat
tentang pentingnya garam beryodium bagi kesehatan dan kecerdasan
manusia. Sosialisasi sangat penting karena merupakan salah satu upaya
untuk penanggulangan GAKY yang efektif. Keberhasilan sosialisasi
tergantung pada peran aktif penyuluh (pemerintah, instansi terkait dan
masyarakat) dan respon dari masyarakat itu sendiri tentang arti penting
konsumsi garam beryodium dan dampak yang timbulkan dari penyakit
akibat kekurangan yodium.

Sedangkan untuk gizi berlebih dapat menyebabkan terjadinya


Obesitas. Obesitas merupakan suatu kelainan atau penyakit yang terjadi
karena adanya ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi
yang keluar sehingga menyebabkan terjadinya penimbunan jaringan lemak
dalam tubuh secara berlebihan. Obesitas/overweight telah menjadi pandemi
global di seluruh dunia dan dinyatakan oleh World Health Organization

15
(WHO) sebagai masalah kesehatan kronis terbesar. Obesitas atau yang biasa
dikenal sebagai kegemukan merupakan suatu masalah yang cukup
merisaukan dikalangan remaja. (Proverawati, 2010)

Masalah obesitas/overweight pada anak dan remaja dapat


meningkatkan kejadian diabetes mellitus (DM) tipe 2. Selain itu, juga
berisiko untuk menjadi obesitas pada saat dewasa dan berpotensi
mengakibatkan gangguan metabolisme glukosa dan penyakit degeneratif
seperti penyakit jantung, penyumbatan pembuluh darah dan lain-lain.

Masa remaja merupakan salah satu periode tumbuh kembang yang


penting dan menentukan pada periode perkembangan berikutnya. Remaja
yang mengalami obesitas, kelak pada masa dewasa cenderung obesitas. Hal
ini telah dibuktikan bahwa insiden obesitas pada periode transisi antara
remaja dan dewasa muda dalam kurun waktu lima tahun meningkat, yaitu
dari 10,9% menjadi 22,1% dan 4,3% di antaranya mempunyai IMT 40
(Sargowo, 2011). Di Indonesia, terutama di kota-kota besar, dengan adanya
perubahan gaya hidup yang menjurus ke westernisasi dan sedentary
berakibat pada perubahan polamakan / konsumsi masyarakat yang merujuk
pada polamakan tinggi kalori , tinggi lemak dan kolesterol,4,5 terutama
terhadap penawaran makanan siap saji ( fastfood) yang berdampak
meningkatkan risiko obesitas (Satoto, 1998).
Prevalensi overweight dan obesitas pada anak di dunia meningkat
dari 4,2% di tahun 1990 menjadi 6,7% di tahun 2010, dan diperkirakan akan
mencapai 9,1% di tahun 2020. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013, didapatkan prevalensi obesitas pada anak berusia 5-12
tahun adalah 8,8%, 13-15 tahun adalah 2,5%, dan 16-18 tahun adalah 1,6%
berdasarkan indeks massa tubuh menurut umur lebih dari Z score2
menggunakan baku antropometri WHO 2007 untuk anak berumur 5-18
tahun.

Tiga faktor penyebab obesitas yaitu faktor fisiologis, faktor


psikologis dan faktor kecelakaan. Faktor fisiologis adalah faktor yang

16
muncul dari berbagai variabel, baik yang bersifat herediter maupun non
herediter. Variabel yang bersifat herediter (faktor internal) merupakan
variabel yang berasal dari faktor keturunan sedangkan faktor yang bersifat
non herediter (faktor eksternal) merupakan faktor yang berasal dari luar
individu, misalnya pola makan, tingkat asupan gizi, tingkat aktivitas fisik
yang dilakukan individu, serta kondisi sosial ekonomi bahkan beberapa
penelitian menemukan hubungan insomnia atau kurang tidur sebagai faktor
risiko kejadian obesitas (Utomo, 2012).

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Zat gizi adalah zat kimia yang dapat digunakan oleh organisme
untuk mempertahankan kegiatan metabolisme tubuhnya. Untuk memenuhi
pedoman gizi seimbang diperlukan zat gizi makro berupa karbohidrat,
protein dan lemak serta zat gizi mikro berupa vitamin dan mineral. Status
gizi seseorang dibedakan menjadi gizi normal, gizi kurang dan gizi berlebih.
Tidak seimbangnya gizi dalam tubuh seseorang dapat menimbulkan
berbagai penyakit. Gizi kurang diantaranya Kurang Energi Protein (KEP),
Kekurangan Vitamin A (KVA), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
(GAKY), dan Anemia. Sedangkan untuk gizi berlebih dapat mengakibatkan
obesitas yang akan diikuti dengan timbulnya penyakit seperti jantung
koroner, diabetes melitus, stroke, dan yang lainnya.

B. Saran
Zat gizi yang dikonsumsi sehari-hari harus terpenuhi baik gizi makro
maupun gizi mikro. Hal tersebut juga diperhatikan agar tidak terjadi
kekurangan atau kelebihan salah satu zat gizi. Selain itu dianjurkan untuk
selalu menerapkan gizi seimbang setiap harinya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Tama
Apriadji, Wied Harry. 1986. Gizi Keluarga. Jakarta: Penebar Swadaya
Departemen Kesehatan. 1999. Pedoman Praktek Laboratorium yang Benar.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan. 2013. Pedoman Pangan Jajanan Anak Sekolah untuk
Pencapaian Gizi Seimbang. Jakarta: Direktorat SPP, Deputi III, Badan
POM RI.
Departemen Kesehatan. 2006. Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi
Bangsa Indonesia. Jakarta: Keputusan Mentri Kesehatan
Naziruddin. 1998. Perawatan VI (Perawatan Kesehatam Masyarakat) Cetakan
Ke Dua Maret. FKPP-SPK SE JAWA BARAT.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit Edisi 1. Jakarta: EGC.
Proverawati. 2010. Obesitas dan Gangguan Perilaku Makan pada Remaja.
Yogyakarta: Nuha Medika
Sargowo D & Andarini S. 2011. Pengaruh Komposisi Asupan Makan terhadap
Komponen Sindrom Metabolik pada Remaja. Jurnal Kardiologi 11
Indonesia. Vol. 32, No. 1: 14-23 ISSN 0126/3773
Satoto, Karjati S, Darmojo B, Tjokroprawiro A, Kodyat BA. Kegemukan,
obesitas
dan penyakit degeneratif: epidemiologi dan strategi
penanggulangannya, dalam: widyakarya nasional pangan dan gizi VI
tahun 1998. Jakarta: LIPI, p. 87 – 90.
Sidharta P, Mardjono M. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat
Soeparman. 1993. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi kedua. Jakarta: FKUI.
Sudarto. 2012. Penanggulangan GAKY Melalui Peningkatan Kualitas Produksi

19
dan Distribusi Garam Beryodium. Volume XIII, Nomor 02 ISSN 1411-
1829
Sulistyoningsih, Hariyani. 2011. Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak.
Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Sutarto, Asmira. 1980. Ilmu Gizi. Jakarta: Aqua Press.
Supariasa. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
Utomo, G.T. 2012. Pengaruh Latihan Senam Aerobik terhadap Penurunan
Berat
Badan, Persen Lemak Tubuh dan Kadar Kolesterol pada Remaja Putri
Penderita Obesitas di Sanggar Senam Studio 88 Salatiga. Vol. 1 No.1.
Semarang: Universitas Negeri Semarang
Wardlaw, G.M. & Jeffrey, S.H. 2007. Perspective in Nutrition 7th Edition. New
York: Mc Graw Hill Companies Inc.
Wijayanti, Novita. 2017. Fisiologi Manusia dan Metabolisme Zat Gizi. Malang:
Universitas Brawijaya Press.

20

Anda mungkin juga menyukai