Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera Kepala

2.1.1 Definisi cedera kepala

Cedera kepala adalah kerusakan otak yang disebabkan oleh benturan fisik

dari luar kepala, sehingga mengubah kesadaran dan menimbulkan kerusakan

kemampuan kognitif serta fisik, baik sementara atau permanen (Brain Injury

Assosiation of America, 2009).

2.1.2 Epidemiologi cedera otak

Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor sebagai alat transportasi

komersial di Negara berkembang menyebabkan secara tidak langsung

peningkatan insiden cedera otak, terutama pada usia produktif karena dampak dari

kecelakaan lalu lintas yang terjadi. Hal ini membuat cedera kepala menjadi salah

satu masalah kesehatan masyarakat dan sosioekonomi di beberapa Negara.

Pada tahun 2010, berdasarkan data Centers for Disease Control and

Prevention (CDC) di Amerika Serikat menyatakan bahwa 2,5 juta orang masuk ke

Unit Gawat Darurat (UGD) karena cedera kepala, 87 persen mendapatkan terapi

hanya di UGD, 11 persen rawat inap dan 2 persen meninggal (CDC, 2014).

Angka kejadian cedera otak tertinggi adalah pada kelompok usia dewasa

muda yang berusia 15-24 tahun, dimana kejadian pada laki-laki 58% lebih banyak

dibandingkan dengan wanita (Rowland et al, 2010).

7
8

2.1.3 Patofisiologi cedera kepala

Cedera kepala dibagi menjadi cedera primer dan sekunder. Cedera primer

adalah cedera yang disebabkan oleh kekuatan dari luar yang mempengaruhi

kepala, termasuk meninges, parenkim dan pembuluh darah. Kekuatan berupa

akselerasi dan deselerasi cepat, gelombang ledak atau trauma langsung yang

menembus tempurung kepala. Fokal lesi yang dihasilkan seperti kontusio, laserasi

otak dan lesi intrakranial (pendarahan epidural, subdural dan parenkim).

Sedangkan pada cedera difus menyebabkan edema otak dan cedera axonal. Cedera

difus kurang terlihat pada gambaran neuroimaging, namun akan tampak jelas

pada pemeriksaan histopatologis post mortem secara mikroskopis. Cedera axonal

adalah kerusakan axonal yang luas pada otak, akibat dari trauma, hypoxia,

iskemia dan hipoglikemia. Sedangkan edema otak terjadi peningkatan tekanan

intrakranial dan mengurangi tekanan perfusi serebral, menyebabkan kerusakan

otak (David, 2009).

Cedera sekunder merupakan lanjutan cedera primer, proses seluler dan

biokimiawi yang kompleks terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa hari

setelah trauma dengan proses patofisiologis yang berbeda – beda, seperti

kerusakan blood-brain barrier, pelepasan faktor inflamasi, kelebihan radikal

bebas, pelepasan neurotransmitter glutamate, influks ion calsium dan sodium ke

dalam neuron sehingga menyebabkan disfungsi dari mitokondria. Tingkat

keparahan dipengaruhi oleh intensitas secondary insult selama masa perawatan

(Masel and DeWitt, 2010).


9

2.2 Epidural Hematoma

2.2.1 Definisi epidural hematoma

EDH adalah hematoma di ruang potensial antara tabula interna tulang

kalvarium dan duramater (David et al, 2009).

Gambar 2.1 Gambaran CT Scan pasien EDH

2.2.2 Epidemiologi epidural hematoma

EDH dengan insiden 2,7 hingga 4 persen dari seluruh pasien cedera kepala

dan 22 hingga 56 persen dalam keadaan koma saat masuk ke unit gawat darurat.

Terbanyak karena kecelakaan lalu lintas 53 persen dan akibat terjatuh 30 persen.

Sering terjadi pada usia 20 hingga 30 tahun dan jarang di usia tua lebih dari 60

tahun dan anak kurang dari 2 tahun, perbandingan laki dan perempuan adalah 4

berbanding 1 (Lee et al, 1998; Bullock et al, 2006).

2.2.3 Patofisiologi epidural hematoma

Cedera kepala terbanyak disebabkan oleh proses akselerasi dan deselerasi,

sedangkan pada EDH oleh trauma langsung pada kepala yang menyebabkan
10

fraktur tulang kalvarium, rupturnya arteri dan vena meningeal media, vena diploik

atau sinus vena. Disertai terlepasnya perlekatan duramater sehingga terbentuk

hematoma di ruang potensial antara tabula interna tulang kalvarium dan duramater

(Reilly and Bullock, 1990; David et al, 2009).

Gambar 2.2 Mekanisme trauma terbentuknya EDH

EDH yang disebabkan oleh ruptur arteri meningeal dan sinus dura cepat

menimbulkan peningkatan TIK dibandingkan vena, karena tekanan arteri lebih

tinggi. Arteri meningeal media penyebab terbanyak, dari 102 pasien anak dan 387

dewasa didapatkan 18 persen dan 36 persen (Mohanty et al, 1995). Sedangkan

pendarahan oleh vena sebesar 32 persen (Bullock et al, 2006).

Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan yang timbul karena adanya

volume massa otak, cairan cerebrospinal dan darah yang mensuplai otak pada

ruang intrakranial. Berdasarkan teori Monroe-Kelly, bila salah satu dari ketiga

komponen bertambah, dua komponen lainnya mengkompensasi dengan

mengurangi volume sehingga TIK tetap konstan (Mokri, 2001). Bertambahnya

volume EDH yang melebihi batas kompensasi akan meningkatkan TIK.


11

Gambar 2.3 Teori Monroe-Kelly

Hematoma intrakranial traumatik terjadi pada 25 hingga 35 persen pasien

dengan cedera kepala berat dan 5 hingga 10 persen cedera kepala sedang. Iskemik

otak sering disebabkan oleh cedera primer, dan dapat menyebar atau lebih sering

perilesi. Faktor yang mempengaruhi seperti kegagalan perfusi dan oksigenasi

serebral, trauma eksitoksik dan oklusi mikrovaskuler fokal. Mekanisme dan

intensitas sistemik menentukan luasnya kerusakan otak sekunder, proses sekunder

terjadi beberapa jam sampai beberapa hari, meliputi keluarnya neurotransmiter,

pembentukan radikal bebas, kerusakan calsium mediated, aktivasi gen, disfungsi

mitokondria dan respon inflamasi (Andrew et al, 2008).

Selain volume, letak EDH berperan dalam menentukan cepat lambatnya

gejala defisit neurologis yang muncul, terkait dengan jarak EDH dengan jaras

motorik batang otak. EDH dibagian frontal atau subfrontal akan lambat

memberikan efek pendesakan dibandingkan di daerah temporal. Volume EDH


12

yang cukup besar pada daerah temporal akan mendesak unkus dan girus

hipokampus kearah garis tengah dan tepi bebas tentorium dan akan menyebabkan

penurunan GCS, adanya lucid interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi

defisit neurologis berupa dilatasi pupil ipsilateral (penekanan nervus

occulomotorius) dan hemiparesis kontralateral (Ulman, 2006; Zauner, 2004).

2.2.4 Operasi trepanasi evakuasi hematoma

Perkembangan teknologi kedokteran dalam pengunaan CT Scan kepala

telah menurunkan mortalitas pasien EDH. Penentuan lokasi dan perkiraan volume

hematoma, MLS dan fokal lesi lain dapat segera diketahui. Gambaran EDH

adalah lesi hiperdens berbentuk bikonveks (Perron, 2008). Sebagian besar (70

hingga 80 persen) berlokasi di daerah temporoparietal, sedangkan 10 persen

berlokasi di frontal maupun oksipital. Volume EDH biasanya stabil, mencapai

volume maksimum hanya beberapa menit setelah trauma, tetapi 9 persen

penderita ditemukan progresifitas perdarahan sampai 24 jam pertama

(Sastrodiningrat, 2006; David, 2009).

Pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial oleh besarnya volume dan

letak EDH sangat mempengaruhi outcome. Indikasi operasi EDH adalah massa

hematoma kira-kira 40 ml, MLS lebih dari 5 mm, ketebalan EDH lebih dari 5

mm. Post operasi diharapkan kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas

normal, kembalinya pergeseran midline shift, kontrol pendarahan dan mencegah

perdarahan ulang (Iskandar, 2004). Penundaan dalam menegakkan diagnosa atau

tindakan operasi akan meningkatkan mortalitas pada pasien (Golden et al, 2013).
13

2.3 Outcome Pasien Epidural Hematoma Pasca Operasi

Penilaian outcome pasien EDH pasca trepanasi evakuasi hematoma

mengunakan Glasgow Outcome Scale (GOS). Penilaian tiga bulan pasca operasi

yang didasari oleh kapabilitas sosial pasien dikombinasikan efek mental dan

defisit neurologis. GOS dibagi lima kategori, yaitu: (Jennet et al, 2005)

1. Pemulihan maksimal. Pasien dapat berpartisipasi pada kehidupan sosial,

kembali bekerja seperti biasa. Dapat disertai komplikasi neurologis ringan

2. Kecacatan sedang. Kemampuan kebutuhan personal sehari-hari dapat

dikerjakan tetapi mobilitas dan kapasitas berinteraksi tidak dapat dilakukan

tanpa asisten

3. Kecacatan berat. Pasien mutlak bergantung pada orang lain (supervisi

perawat atau keluarga)

4. Vegetatif persisten. Pasien hanya mampu menuruti perintah ringan saja atau

bicara sesaat

5. Meninggal dunia.

Distribusi bimodal membagi GOS dalam 2 kelompok untuk sensitivitas

statistik dan penggunaan yang lebih praktis. Outcome favorable, terdiri dari

pemulihan maksimal, kecacatan sedang dan kecacatan berat. Dan outcome

unfavorable, terdiri dari vegetatif persisten dan meninggal (Jennet et al, 2005).

2.3.1 Usia

Usia pada beberapa penelitian menjadi salah satu faktor risiko yang

mempengaruhi outcome pasien cedera otak. Didapatkan peningkatan mortalitas

pasien sebesar 40 hingga 50 persen dengan bertambahnya usia per-10 tahun


14

(Hukkelhoven et al, 2003). Faktor pemberat pada pasien lansia seperti gangguan

jantung dan koagulopati, menjadi faktor risiko yang secara signifikan dapat

meningkatkan mortalitas pasien lansia dengan cedera otak (Thompson et al,

2012). Dan kapasitas autoregulasi yang berkurang mengakibatkan terjadinya

gangguan serebrovaskuler (Czonsnyka et al, 2005).

Penelitian pada pasien EDH berusia lebih dari 60 tahun memiliki outcome

unfavorable pasca operasi sebesar 87 persen dibandingkan usia 40 hingga 60

tahun sebesar 56 persen (Jennet et al, 1981). Penelitian prospektif pada 5.600

pasien, didapatkan hasil yang buruk pada pasien berusia lebih dari 55 tahun,

dibandingkan dengan pasien yang berusia lebih muda 35 tahun. Sedangkan pada

penelitian lainnya dari hasil follow-up setelah 6 bulan, mortalitas antara pasien

yang dilakukan tindakan operasi dan tidak pada usia lebih dari 65 tahun keduanya

didapatkan outcome unfavorable (Kentaro Shimoda et al, 2014).

2.3.2 Glascow coma scale awal dan lucid interval

Glascow coma scale (GCS) merupakan sistem klasifikasi yang reliable

dan universal dalam menilai status kesadaran pasien setelah cidera otak. GCS

dapat digunakan sebagai indikator outcome pasien EDH post trepanasi evakuasi

hematoma dan berhubungan dengan lucid interval, dimana adanya periode sadar

diantara periode tidak sadar. Terbentuknya hematoma intrakranial sebanyak 25

hingga 45 persen pada cidera otak berat, 3 hingga 12 persen pada cedera kepala

sedang dan 1 dari 500 pasien pada cedera kepala ringan (Thurman and Guerrero,

1999). Pada pasien EDH 22 hingga 56 persen dalam keadaan koma saat masuk ke

unit gawat darurat dengan riwayat lucid interval sebanyak 456 (47 persen) dari
15

963 pasien (Bullock et al, 2006). Penelitian pada 115 pasien EDH didapatkan 23

pasien meninggal dengan GCS awal kurang dari 8 dan 2 pasien dengan GCS lebih

dari 8. Dan pada 9 pasien (12 persen) tanpa lucid interval meninggal dari 73

pasien dan 14 (33 persen) dari 42 pasien dengan lucid interval (Ozkan et al,

2007). Penelitian yang dilakukan pada 9 pasien EDH dengan GCS awal kurang

dari 8 setelah tindakan operasi didapatkan outcome favorable, hanya 1 pasien

meninggal (Mushtaq et al, 2005). Dan pasien dengan GCS 3 hingga 5 memiliki

angka mortalitas 36 persen, dibandingkan GCS 6 hingga 8 angka mortalitas hanya

9 persen (Bullock et al, 2006). Pada penelitian lainnya, pasien dengan GCS 3

hingga 4 didapatkan outcome unfavorable sebanyak 78,05 persen dibandingkan

pasien GCS 5 hingga 6 sebanyak 52,6 persen dan 26 persen pasien dengan GCS 7

hingga 8 (Saini et al, 2012). Pada pasien cedera kepala berat komponen motorik

dari GCS memiliki predictive value yang lebih besar, karena respons mata dan

verbal biasanya absen atau lebih rendah pada pasien ini. Pasien dengan GCS

kurang atau sama dengan 5 atau komponen motorik dari GCS kurang atau sama

dengan 3 memiliki probabilitas mortalitas yang tinggi dibandingkan dengan GCS

lebih dari 5 dan motorik lebih dari 3 (Ting et al, 2010). Outcome yang secara

progresif menurun sejalan dengan penurunan GCS (Sastrodiningrat, 2006).

Sehingga dapat dikatakan GCS merupakan alat yang dapat digunakan dalam

memprediksi outcome (Mizraji et al, 2009).

2.3.3 Pupil abnormal

Pupil abnormal adalah pupil anisokor, dilatasi bilateral atau refleks yang

negatif terhadap rangsang cahaya. Keadaan ini mengambarkan terjadinya herniasi


16

uncal disebabkan oleh edema otak atau lesi massa intrakranial yang menekan

nervus cranialis ke tiga. Pupil abnormal menjadikan parameter yang banyak

diteliti karena secara tidak langsung dapat memprediksi keadaan dan outcome

pasca operasi trepanasi evakuasi hematoma pada pasien EDH.

Pasien EDH yang masuk ke UGD 20 hingga 30 persen dengan pupil

abnormal dan 62 persen pasien dalam keadaan koma (Bullock et al, 2006). Pupil

anisokor ipsilateral dengan hematoma tidak berhubungan dengan outcome bila

operasi segera dilakukan 70 menit setelah pupil dilatasi (Cohen et al, 1996).

Sedangkan pupil anisokor kontralateral dengan fokal lesi atau pupil dilatasi

bilateral berhubungan dengan mortalitas yang tinggi (Bullock et al, 2006).

Penelitian lainnya, pasien EDH dengan 35 persen anisokor dan 50 persen

dilatasi bilateral. Didapatkan 100 persen hasil akhir yang baik pada pupil anisokor

dan 90% yang disertai hemiparese dan hanya 1 pasien yang meninggal dengan

pupil dilatasi bilateral (Bricolo and Pasut, 1984). Pasien anisokor ipsilateral

dengan hematoma sebanyak 40 pasien dan pupil dilatasi bilateral (refleks pupil

negatif) 61 pasien didapatkan outcome favorable hanya 10 pasien (25 persen) dan

6 pasien (10 persen). Dengan demikian, gangguan gerakan ekstraokular

berhubungan dengan outcome unfavorable (Manley et al, 2001). Selain itu salah

satu parameter kuat yang berhubungan dengan mortalitas yang tinggi adalah

refleks pupil yang negatif (Rodriguez, 2013).

2.3.4 Volume, letak EDH dan MLS

Gambaran CT scan kepala tidak hanya untuk mengidentifikasi hematoma,

tetapi juga untuk mengetahui volume EDH, mengukur MLS dan fokal lesi lain
17

yang menyertai EDH. Besarnya volume serta letak EDH secara langsung akan

menyebabkan midline shift (MLS) dan peningkatan TIK. Volume lebih dari 30 ml

di ruang supratentorial dan lebih dari 10 ml di ruang infratentorial, harus segera

dilakukan tindakan operasi trepanasi evakuasi hematoma. Dan pada hematoma

kecil disertai GCS kurang dari 8, MLS lebih dari 0,5 cm dan tanda herniasi otak

(Maas et al, 2005; Sastrodiningrat, 2006; Lumenta et al, 2010). Hal ini pada

beberapa penelitian dapat mempengaruhi outcome pasien EDH pasca operasi.

Penelitian pada 115 pasien EDH. Hematoma terbanyak pada regio

temporoparietal sebesar 35 persen dengan angka mortalitas 30 persen, diikuti

regio parietal dan frontal. Dan MLS lebih dari 1 cm sebanyak 88 pasien dengan

angka mortalitas 25 persen, serta dari 34 pasien dengan volume lebih dari 90 ml

didapatkan 21 meninggal (62 persen) dan volume kurang dari 90 ml hanya 2

pasien yang meninggal sebesar 4 persen (Ozkan et al, 2007). Sama dengan hasil

penelitian pada pasien dengan volume EDH kurang atau sama dengan 30 ml

memiliki hasil akhir yang baik pasca operasi dibandingkan volume lebih dari 30

ml (Smith, 2004). Berbeda dengan penelitian lainnya, tidak ditemukan hubungan

volume EDH sebagai faktor yang mempengaruhi outcome pasca operasi (Tataranu

L, et al 2014).

2.3.5 Fokal lesi lain

Pasien EDH yang disertai fokal lesi lain didapatkan sebesar 30 persen dari

CT Scan kepala. Dominan kontusio dan ICH, diikuti SDH dan edema otak. Pasien

EDH dengan SDH atau pendarahan parenkim memiliki outcome unfavorable

pasca operasi. Tingginya mortalitas sebesar 74 persen pasien EDH dengan SDH
18

dan GCS 3 hingga 5, sedangkan pasien EDH dengan GCS 3 hingga 5 tanpa fokal

lesi lain didapatkan angka mortalitas 36 persen dan hanya 9 persen pada GCS 6

hingga 8 (Bullock et al, 2006). Penelitian lainnya, dari 315 pasien didapatkan 33

persen pasien EDH disertai dengan fokal lesi lainnya (Lee et al, 1998).

2.3.6 Durasi pre-operasi

Durasi pre-operasi adalah lama waktu dari trauma hingga tindakan operasi

trepanasi evakuasi hematoma pada pasien EDH. Terdapat beberapa hasil

penelitian antara hubungan waktu operasi dengan outcome pasca operasi.

Penelitian pada 19 pasien EDH pasca operasi, dua pasien dengan durasi

waktu hingga tindakan operasi lebih dari 12 jam memberikan outcome

unfavorable. Sedangkan 17 pasien lainnya, dilakukan kurang dari 12 jam hanya 1

pasien dengan outcome unfavorable (Somashekar and Vikram, 2015). Sama

dengan penelitian lainnya, tindakan operasi yang dilakukan kurang dari 12 jam

memberikan angka mortalitas yang lebih rendah dibandingkan setelah 12 jam

(Rubiano et al, 2009). Berbeda dengan penelitian pada 200 pasien yang tindakan

operasi dilakukan kurang dari 4 jam, tidak didapatkan hubungan bermakna antara

waktu operasi dan outcome (Lee et al, 1998).

Identifikasi dan evakuasi hematoma yang cepat akan memberikan

probabilitas hidup yang baik karena pasien cedera kepala yang tidak mendapatkan

penanganan kurang dari 6 hingga 12 jam pasca trauma, akan berkembangnya

menjadi cedera sekunder, membuat otak menjadi iskemik dan memberikan

outcome unfavorable (Zauner and Muizelaar, 2004; Kim, 2010; Golden et al,

2013).

Anda mungkin juga menyukai