Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
C. Epidemiologi
Menurut Arif Mansjoer (2007) pathofisiologi dari faringitis akut
adalah penularan terjadi melalui droplet.Kuman menginfiltrasi lapisan
epitel kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial
bereaksi terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear.Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian oedem
dan sekresi yang meningkat.Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi
menebal dan cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding
faring.Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi
lebar.Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih, atau abu – abu
terdapat folikel atau jaringan limfoid.Tampak bahwa folikel dan bercak –
bercak pada dinding faring posterior atau terletak lebih ke lateral menjadi
meradang dan membengkak sehingga timbul radang pada tenggorok atau
faringitis.
D. Etiologi
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008) Virus merupakan etiologi
terbanyak faringitis akut, terutama pada anak berusia < 3 tahun
(prasekolah).Virus penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus,
Rhinovirus, dan virus parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis.
Virus Epstein Barr (Epstein Barr virus,EBV) dapat menyebabkan
faringitis, tetapi disertai dengan gejala infeksimononikleosis seperti
splenomegali dan limfadenopati genelisata. Infeksi sistemik seperti infeksi
virus campak, virus Rubella, dan berbagai virus lainnya juga dapat
menunjukan gejala faringitis akut. Streptococcus ß hemolitikus grup A
adalah bakteri penyebab terbanyak faringitis akut. Bakteri tersebut
mencakup 15 – 30 % dari penyebab faringitis akut pada anak.
Pendapat lain dikemukakan oleh Bibhat K Mandal (2006) etiologi dari
faringitis akut adalah :
1. Streptococcus pygenes
2. Virus EPSTEIN-BARR (EBV)
3. Corynebacterium diphtheria
Selain itu, Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan
faring danmenyumbang terjadinya faringitis fungal.Faringitis gonorea
hanya terdapat padapasien yang menlakukan kontak orogenital
(Rusmarjono dan Efiaty ArsyadSoepardi, 2007).
Faktor resiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang
dingin,turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza,
konsumsimakanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan,
merokok, danseseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita
sakit tenggorokan ataudemam (Jill Gore, 2013).
E. Tanda dan gejala
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008) Faringitis streptokokus
sangat mungkin jika di jumpai tanda dan gejala berikut:
a. Awitan akut, disertai mual dan muntah
b. Faring hiperemis
c. Demam
d. Nyeri tenggorokan
e. Tonsil bengkak dengan eksudasi
f. Kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri
g. Uvula bengkak dan merah
h. Ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder
i. Ruam skarlantina
j. Petikie palatum mole
Menurut Wong (2010) manifestasi klinik dari faringitis akut :
a. Demam (mencapai 40°C)
b. Sakit kepala
c. Anorexia
d. Dysphagia
e. Mual, muntah
f. Faring edema atau bengkak
F. Patofisiologi
Menurut Arif Mansjoer (2007) pathofisiologi dari faringitis akut
adalah penularan terjadi melalui droplet.Kuman menginfiltrasi lapisan
epitel kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial
bereaksi terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear.Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian oedem
dan sekresi yang meningkat.Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi
menebal dan cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding
faring.Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi
lebar.Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih, atau abu – abu
terdapat folikel atau jaringan limfoid.Tampak bahwa folikel dan bercak –
bercak pada dinding faring posterior atau terletak lebih ke lateral menjadi
meradang dan membengkak sehingga timbul radang pada tenggorok atau
faringitis.
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008) patogenesis dari
faringitis akut yaitu bakteri maupun virus dapat secara langsung
menginfasi mukosa faring yang kemudian menyebabkan respon
peradangan lokal.Rhinovirus menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder
akibat sekresi nasal.Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring
uvula, dan palatum mole.Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi
dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan local,
sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil, atau keduanya.Infeksi
streptokokus ditandai dengan invasi local serta penglepasan toksin
ekstraseluler dan protease.Transmisi dari virus yang khusus dan SBHGA
terutama terjadi akibat kontak tangan dengan secret hidung di bandingkan
dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang
pendek, yaitu 24-72 jam.
G. Pathway
FARINGITIS
Inflamasi
Kurangnya Defisiensi
pengetahuan pengetahuan
G. Komplikasi
Menurut Kazzi (2006) Biasanya faringitis dapat sembuh sendiri.Namun
jika faringitis ini berlangsung lebih dari 1 minggu, masih terdapat demam,
pembesaran nodus limfa, atau muncul bintik kemerahan.Hal tersebut
berarti dapat terjadi komplikasi dari faringitis, seperti demam reumatik.
Beberapa komplikasi faringitis akut yang lain adalah :
1. Demam scarlet, yang di tandai dengan demam dan bintik kemerahan.
2. Demam reumatik, yang dapat menyebabkan inflamasi sendi, atau
kerusakan pada katup jantung. Demam reumatik merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi pada faringitis akut.
3. Glomerulonefritis, komplikasi berupa glomerulonefritis akut
merupakan respon inflamasi terhadap protein M spesifik. Komplek
antigen- antibody yang terbentuk berakumulasi pada glomerulus ginjal
yang akhirnya menyebabkan glomerulonefritis ini.
4. Abses peritonsilar biasanya disertai dengan nyeri faringeal, disfagia,
demam dan dehidrasi.
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
1. Kultur tenggorok : merupakan suatu metode yang dilakukan untuk
menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh
bakteri GABHS. Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan swab
dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen
diinokulasi pada agar darah dan ditanami disk antibiotik.
2. Kriteria standar untuk penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah
persentase sensitifitas mencapai 90-99 %. Kultur tenggorok sangat
penting bagi penderita yang lebih dari 10 hari. GABHS rapid antigen
detection test merupakan suatu metode untuk mendiagnosa faringitis
karena infeksi GABHS. Tes ini akan menjadi indikasi jika pasien
memiliki resiko sedang, atau jika seorang dokter tidak nyaman
memberikan terapi antibiotik dengan resiko tinggi untuk pasien. Jika
hasil yang diperoleh adalah positif maka pengobatan antibiotik yang
tepat, namun jika hasilnya negatif maka pengobatan antibiotik
dihentikan kemudian dilakukan follow – up
a. Hasil kultur tenggorok negative
b. Rapid antigen detection tidak sensitive untuk Streptococcus Group
C dan G atau jenis bakteri patogen lainnya (Kazzi, et.al.,2006).
I. Penatalaksanaan
Menurut Wong (2009) penatalaksanaan terapeutik dari faringitis
akut jika terjadi infeksi tenggorokan akibat streptococcus, penisilin oral
dapat diberikan dengan dosis yang cukup untuk mengendalikan
manifestasi local akut. Penisillin memang tidak mencegah perkembangan
glomerunefritis akut pada anak-anak yang rentan namun dapat mencegah
penyebab strein nefrogenik dari streptococcus hemolitik ß grup A ke
anggota keluarga lainnya. Antibiotic lain yang di gunakan untuk
mengobati streptococcus hemolitik ß grup A adalah eritromisin,
azitromisin, klaritromisin, sefalosporin seperti sefdinir (omnicef) dan
amoksisilin.
Pendapat lain dikemukakan oleh Natalia (2003) jika diduga
faringitis streptokokus (biasanya pada anak usia 3 tahun atau lebih),
berikan Benzatin penisilin (suntikan tunggal) 600.000 unit untuk anak usia
di bawah 5 tahun, 1.200.000 unit untuk usia 5 tahun atau lebih. Ampisilin
atau amoksisilin selama 10 hari atau penisilin V (fenoksimetilpenisilin) 2-
4 kali sehari selama 10 hari.Kortrimolsasol tidak direkomendasikan untuk
nyeri tenggorok yang disebabkan oleh streptokokus karena tidak efektif,
jika penisilin V digunakan berikan 125mg dua kali sehari selama 10 hari.
II. Konsep Tumbuh Kembang & Hospitalisas
A. Pengertian Tumbuh Kembang
Pertumbuhan (growth) adalah merupakan peningkatan jumlah dan
besar sel di seluruh bagian tubuh selama sel-sel tersebut membelah diri
dan mensintesis protein-protein baru, menghasilkan penambahan jumlah
dan berat secara keseluruhan atau sebagian. Dalam pertumbuhan manusia
juga terjadi perubahan ukuran, berat badan, tinggi badan, ukuran tulang
dan gigi, serta perubahan secara kuantitatif dan perubahan fisik pada diri
manusia itu. Dalam pertumbuhan manusia terdapat peristiwa percepatan
dan perlambatan.Peristiwa ini merupakan kejadian yang ada dalam setiap
organ tubuh.
Pertumbuhan adalah suatu proses alamiah yang terjadi pada
individu,yaitu secara bertahap,berat dan tinggi anak semakin bertambah
dan secara simultan mengalami peningkatan untuk berfungsi baik secara
kognitif, psikososial maupun spiritual ( Supartini, 2000).
Perkembangan (development) adalah perubahan secara berangsur-
angsur dan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh, meningkatkan dan
meluasnya kapasitas seseorang melalui pertumbuhan, kematangan atau
kedewasaan (maturation), dan pembelajaran (learning).Perkembangan
manusia berjalan secara progresif, sistematis dan berkesinambungan
dengan perkembangan di waktu yang lalu.Perkembangan terjadi
perubahan dalam bentuk dan fungsi kematangan organ mulai dari aspek
fisik, intelektual, dan emosional.Perkembangan secara fisik yang terjadi
adalah dengan bertambahnya sempurna fungsi organ.Perkembangan
intelektual ditunjukan dengan kemampuan secara simbol maupun abstrak
seperti berbicara, bermain, berhitung.Perkembangan emosional dapat
dilihat dari perilaku sosial lingkungan anak.
E. Perkembangan Psikoseksual
Dalam perkembangan psikoseksual dalam tumbuh kembang dapat
dijelaskan beberapa tahap sebagai berikut :
1. Tahap oral-sensori (lahir sampai usia 12 bulan)
Dalam tahap ini biasanya anak memiliki karakter diantaranya
aktivitasnya mulai melibatkan mulut untuk sumber utama dalam
kenyamanan anak, perasaannya mulai bergantung pada orang lain
(dependen), prosedur dalam pemberian makan sebaiknya memberkan
kenyamanan dan keamanan bagi anak.
2. Tahap anal-muskular (usia 1-3 tahun / toddler)
Dalam tahap ini anak biasanya menggunakan rektum dan anus sebagai
sumber kenyamanan, apabila terjadi gangguan pada tahap ini dapat
menimbulkan kepribadian obsesif-kompulsif seperti keras kepala,
kikir, kejam dan temperamen.
3. Tahap falik (3-6 tahun / pra sekolah)
Tahap ini anak lebih merasa nyaman pada organ genitalnya, selain itu
masturbasi dimulai dan keinggintahuan tentang seksual.Hambatan
yang terjadi pada masa ini menyebabkan kesulitan dalam identitas
seksual dan bermasalah dengan otoritas, ekspresi malu, dan takut.
4. Tahap latensi (6-12 tahun / masa sekolah)
Tahap ini anak mulai menggunakan energinya untuk mulai aktivitas
intelektual dan fisik, dalam periode ini kegiatan seksual tidak muncul,
penggunaan koping dan mekanisme pertahanan diri muncul pada
waktu ini.
5. Genital (13 tahun keatas / pubertas atau remaja sampai dewasa)
Tahap ini genital menjadi pusat kesenangan seksual dan tekanan,
produksi horman seksual menstimulasi perkembangan heteroseksual,
energi ditunjukan untuk mencapai hubungan seksual yang teratur, pada
awal fase ini sering muncuul emosi yang belum matang, kemudian
berkembang kemampuan untuk menerima dan memberi cinta.
F. Perkembangan Biologis
Teori biologisme, biasa disebut teori nativisme menekankan
pentingnya peranan bakat.Pendirian biologisme ini dimulai lebniz (1646-
1716) yang mengemukakan teori kontunuitas yang dilanjutkan dengan
evoluisionisme. Selanjutnya Haeckel (1834-1919) seorang ahli biologi
Jerman mengemukakan teori biogenese, yang menyatakan bahwa
perkembangan ontogenese (individu) merupakan rekapitulasi dari
filogesenasi.
Para penganut bilogisme menekankan pada faktor biologis,
menekankan fase-fase perkembangan yang harus dilalui.Sedangkan
penganut sosiologisme atau empirisme menekankan peranan lingkungan
pada perkembangan pribadi.
Wolf menentang teori biogenese dan mengemukakan teori
epigenese, yang menyatakan bahwa perkembangan organisme itu tidak
ditentukan oleh performansinya, melainkan ada sesuatu yang baru.William
Stern mengemukakan teori konvergensi yang berusaha mensitesakan
kedua teori tersebut.
Sebagai makhluk kodrati yang kompleks, manusia memiliki
inteligensi dan kehendak bebas.Dalam hal perkembangan, pada awalnya
manusia berkembang alami sesuai dengan hukum alam. Kemudian
perkembangan alami manusia ini menjadi jauh melampui perkembangan
makhluk lain melalui intervensi inteligensi dan kebebasannya.
G. Perkembangan Psikososial
Erik H Erickson mengungkapkan pendapatnya tentang teori tentang
perkembangan psikososial diantaranya :
1. Trust vs mistrust -- bayi (lahir – 12 bulan)
Anak memiliki indikator positif yaitu belajar percaya pada orang lain,
tetapi selain itu ada segi negatifnya yaitu tidak percaya, menarik diri
dari lingkungan masyarakat,dan bahkan pengasingan. Pemenuhan
kepuasan untuk makan dan menghisap, rasa hangat dan nyaman, cinta
dan rasa aman itu bisa menghasilkan kepercayaan. Pada saat
kebutuhan dasar tidak terpenuhi bayi akan menjadi curiga, penuh rasa
takut, dan tidak percaya. Hal ini ditandai dengan perilaku makan, tidur
dan eliminasi yang buruk.
2. Otonomi vs ragu-ragu dan malu (autonomy vs shame & doubt) –
toddler (1-3 tahun)
Gejala positif dari tahap ini adalah kontrol diri tanpa kehilangan harga
diri, dan negatifnya anak terpaksa membatasi diri atau terpaksa
mengalah.Anak mulai mengembangkan kemandirian dan mulai
terbentk kontrol diri.Hal ini harus didukung oleh orang tua, mungkin
apabila dukungan tidak dimiliki maka anak tersebut memiliki
kepribadian yang ragu-ragu.
3. Inisiatif vs merasa bersalah (initiative vs guilt) -- pra sekolah ( 3-6
tahun)
Anak mulai mempelajari tingkat ketegasan dan tujuan mempengaruhi
lingkungan dan mulai mengevaluasi kebiasaan diri sendiri.Disamping
itu anak kurang percaya diri, pesimis, pembatasan dan kontrol yang
berlebihan terhadap aktivitas pribadinya. Rasa bersalah mungkin
muncul pada saat melakukan aktivitas yang berlawanan dengan orang
tua dan anak harus diajari memulai aktivitas tanpa mengganggu hak-
hak orang lain.
4. Industri vs inferior (industry vs inferiority) -- usia sekolah (6-12 tahun)
Anak mendapatkan pengenalan melalui demonstrasi ketrampilan dan
produksi benda-benda serta mengembangkan harga diri melalui
pencapaian, anak biasanya terpengaruhi oleh guru dan sekolah.Anak
juga sering hilang harapan, merasa cukup, menarik diri dari sekolah
dan teman sebaya.
5. Identitas vs bingung peran (identity vs role confusion) -- remaja (12 -
18 tahun)
Teman sebaya memiliki pengaruh yang sangat besar yang kuat
terhadap perilaku anak, anak mengembangkan penyatuan rasa diri
sendiri, kegagalan untuk mengembangkan rasa identitas dengan
kebingungan peran,sering muncul dari perasaan tidak adekuat, isolasi
dan keragu-raguan.
6. Intimasi vs isolasi (intimacy vs isolation) – dewasa muda (18-
25sampai 45tahun)
Individu mengembangkan kedekatan dan berbagi hubungan dengan
orang lain, yang mungkin termasuk pasangan seksualnya,
ketidakpastian individu mengenai akan mempunyai kesulitan
mengembangkan keintiman, individu tidak bersedia atau tidak mampu
berbagi mengenai diri sendiri hal ini akan menjadikan individu meraa
sendiri.
7. Generativitas vs stagnasi atau absorpsi diri – dewasa tengah (45 – 65
tahun)
Absorpsi diri orang dewasa akan direnungi selanjutnya,
mengekspresikan kepedulian pada dunia di masa yang akan datang,
perenungan diri sendiri mengarah pada stagnasi kehidupan. Orang
dewasa membimbing generasi selanjutnya, mengekspresikan kepada
dunia dimasa yang akan datang.
8. Integritas ego vs putus asa -- dewasa akhir (65 tahun keatas)
Masa lansia dapat melihat kebelakang dengan rasa puas dan
penerimaan hidup dan kematian, pencaian yang tidak berhasil dalam
krisis ini bisa menghasilkan perasaan putus asa karena individu
melihat kehidupan sebagai bagian dari ketidakberuntungan.
Selain teori tersebut menurut, diketahui bahwa gejolak emosi remaja
dan masalah remaja lain pada umumnya disebabkan antara lain oleh
adanya konflik peran sosial. Di satu pihak ia sudah ingin mandiri
sebagai orang dewasa, di pihak lain ia masih harus terus mengikuti
kemauan orang tua. Rasa ketergantungan pada orang tua di kalangan
anak anak Indonesia lebih besar lagi, karena memang dikehandaki
demikian oleh orang tua.Konflik peran yang yang dapat menimbulkan
gejolak emosi dan kesulitan kesulitan lain pada amasa remaja dapat
dikurangi dengan memberi latihan latihan agar anak dapat mandiri
sedini mungkin. Dengan kemandiriannya anak dapat memilih jalannya
sendiri dan ia akan berkembang lebih mantap. Oleh karena ia tahu
dengan tepat saat saat yang berbahaya di mana ia harus kembali
berkonsultasi dengan orang tuanya atau dengan orang dewasa lain
yang lebih tahu dari dirinya sendiri
H. Perkembangan Moral
Moral merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja.
Sebagian orang berpendapat bahwa moral bisa mengendalikan tingkah
laku anak yang beranjak dewasa ini sehingga ia tidak melakukan hal hal
yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak atau pandangan
masyarakat.Di sisi lain tiadanya moral seringkali dituding sebagai faktor
penyebab meningkatnya kenakalan remaja.
Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri punya peran
penting dalam pembentukan moral. W.G. Summer (1907), salah seorang
sosiolog, berpendapat bahwa tingkah laku manusia yang terkendali
disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang
mempunyai sanksi sanksi tersendiri buat pelanggar pelanggarnya.Bayi
berada dalam tahap perkembangan moral yang oleh Piaget (Hurlock,
1980) disebut moralitas dengan paksaan (preconventional level) yang
merupakan tahap pertama dari tiga tahapan perkembangan moral.
Menurut teori Kohlberg (1968) menyatakan bahwa perkembangan
moral meliputi beberapa tahap meliputi :
1. Tingkat premoral (prekonvensional) : lahir sampai 9 tahun
Anak menyesuaikan minat diri sendiri dengan aturan, berasumsi
bahwa penghargaan atau bantuan akan diterimanya, kewaspadaan
terhadap moral yang bisa diterima secara sosial, kontrol emosi
didapatkan dari luar.
2. Tingkat moralitas konvensional : 9-13 tahun
Usaha yang dilakukan untuk memyensngkan orang lain, kontrol emosi
didapat dari dalam, anak menyesuaikan diri untuk menghindari
penolakan dan menghindari kritikan dari yang berwenang.
3. Tingkat moralitas pasca konvensional : 13 tahun sampai meninggal
Individu memperoleh nilai moral yang benar, pencapaian nilai moral
yang benar terjadi setelah dicapai formal operasional dan tidak semua
orang mencapai tingkatan ini.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori
Kohlberg, ialah internalisasi (internalization), yakni perubahan
perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal
menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
I. Perkembangan spiritual
Sejalan dengan perkembangan social, perkembangan keagamaan
mulai disadari bahwa terdapat aturan-aturan perilaku yang boleh, harus
atau terlarang untuk melakukannya.Perkembangan spiritual anak sangat
bepengaruh sekali dalam tumbuh kembang anak. Agama sebagai pedoman
hidup anak untuk masa yang akan datang. Selain itu, moral seorang anak
juga dapat dibentuk melalui perkembangan spiritual.Anak diberi
pengetahuan adanya kepercayaan terhadap Tuhan YME sesuai dengan
kepercayaan yang dianut orang tua.Karena agama seorang anak itu
diturunkan/diwariskan oleh orang tuanya.
Para ahli berpendapat bahwa perkembangan spiritual dibagi menjadi 3
tahapan yaitu :
1. Masa kanak-kanak (sampai tujuh tahun)
Tanda-tandanya antara lain : sikap keagamaan resepsif meskipun
banyak bertanya, pandangan ke- Tuhanan masih dipersonifikasikan,
penghayatan secara rohaniah masih belum mendalam meskipun
mereka telah melakukan kegiatan ritual.
2. Masa anak sekolah
Tanda-tandanya antara lain : sikap keagamaan resepsif tetapi disertai
pengertian, pandangan dan faham ke-Tuhanan diterangkan secara
rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang bersumber pada
indikator alam semesta sebagai manifestasi dari eksistensi dan
keagungan-Nya, pengahayatan secara rohaniah makin mendalam
dalam melaksanakan ritual.
3. Masa remaja (12-18 tahun)
a. Tanda-tanda masa remaja awal : sikap negatif disebabkan alam
pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama
secara hypocrit yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu sama
dengan perbuatannya, pandangan dalam hal ke-Tuhanan menjadi
kacau karena ia bingung terhadap berbagai konsep tentang aliran
dan paham yang saling bertentangan.
b. Tanda-tanda masa remaja akhir : sikap kembali kearah positif
dengan tercapainya kedewasaan intelektual, pandangan dalam hal
ke-Tuhanan dipahamkan dalam konteks agama yang dianut dan
dipilih, penghayatan rohaninya kembali tenang setelah melalui
proses identifikasi dan membedakan agama sebagai doktrin bagi
para penganutnya.
J. Pengertian Hospitalisasi
1. Definisi Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan
yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di
rumah sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya
kembali ke rumah. (Supartini, 2004).
Hospitalisasi adalah bentuk stresor individu yang berlangsung
selama individu tersebut dirawat di rumah sakit.(Muhaj, 2009).
Hospitalisasi pada anak-anak (Hospitalisme in children) adalah
suatu sindrom yang berkaitan erat dengan depresi (depresen) analitik,
terjadi pada di rumah sakit yang dirawat secara terpisah dari ibunya
atau pengganti peran ibu dalam kurun waktu yang lama.Kondisi ini
ditandai dengan tidak adanya kegairahan, tidak responsif, kurus, pucat,
nafsu makan buruk, tidur terganggu, episode demam, hilangnya
kebiasaannya menghisap dan nampak tidak bahagia.Gangguan ini
dapat pulih kembali dengan anak dalam waktu 2-3 minggu.(Bastman
dkk, 2004).
2. Reaksi Orang Tua Terhadap Hospitalisasi Anak
Menurut Supartini (2004), reaksi orang tua terhadap perawatan anak di
rumah sakit dan latar belakang yang menyebabkan dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. Perasaan Cemas dan Takut
Perasaan yang sering ditunjukkan orang tua berkaitan dengan
adanya perasaan cemas dan takut ini adalah sering bertanya atau
bertanya tentang hal yang sama secara berulang pada orang
berbeda, gelisah, ekspresi wajah tegang, dan bahkan marah.
b. Perasaan Sedih
Perasaan ini muncul terutama pada saat anak dalam kondisi
terminal dan orang tua mengetahui bahwa tidak ada lagi harapan
anaknya untuk sembuh. Bahkan, pada saat menghadapi anaknya
yang menjelang ajal, rasa sedih dan berduka akan dialami oleh
orang tua. Disatu sisi orang tua dituntut untuk berada disamping
anaknya dan memberi bimbingan spiritual pada anaknya, dan disisi
lain mereka menghadapi ketidakberdayaan karena perasaan
terpukul dan lebih yang amat sangat. Pada kondisi ini orang tua
menunjukkan perilaku isolasi atau tidak mau didekati orang lain
bahkan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan.
c. Perasaan Frustasi
Pada kondisi anak yang telah dirawat cukup lama dan dirasakan
tidak mengalami perubahan serta tidak ada kuatnya dukungan
psikologi yang diterima orang tua baik dari keluarga maupun
kerabat lainnya maka orang tua akan merasa putus asa, bahkan
frustasi. Oleh karena itu, seringkali orang tua menunjukkan
perilaku tidak kooperatif, putus asa, menolak tindakan, bahkan
menginginkan pulang paksa.
Sedangkan menurut Nursalam (2005), reaksi keluarga terhadap anak
yang sakit dan dirawat di Rumah Sakit antara lain
a. Reaksi orang tua
Reaksi orang tua terhadap anaknya yang sakit dan dirawat di
rumah sakit di pengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain :
1) Tingkat keseriusan penyakit anak
2) Pengalaman sebelumnya terhadap sakit dan dirawat di rumah
sakit.
3) Prosedur pengobatan.
4) Sistem pendukung yang tersedia.
5) Kekuatan ego individu.
6) Kemampuan dalam penggunaaan koping.
7) Dukungan dari keluarga.
8) Kebudayan dan kepercayaan.
9) Reaksi saudara kandung (sibling)
Reaksi saudara sekandung terhadap anak yang sakit dan di rawat di
rumah sakit adalah kesepian, ketakutan, kekhawatiran, marah,
cemburu, benci, dan merasa bersalah. Orang tua sering kali
mencurahkan perhatian yang lebih besar terhadap anak yang sakit
di bandingkan dengan anak yang sehat. Hal ini akan menimbulkan
perasaan cemburu pada anak yang sehat dan anak merasa ditolak.
b. Penurunan peran anggota keluarga.
Dampak dari perpisahan terhadap peran keluarga adalah kehilangan
peran orang tua, saudara, dan anak cucu. Perhatian orang tua hanya
tertuju pada anak yang sakit. Akibatnya saudara-saudaranya yang
lain menganggap bahwa hal tersebut tidak adil. Respon tersebut
biasanya tidak disadari dan tidak disengaja. Orang tua sering
menyalahkan perilaku saudara kandung tersebut sebagai perilaku anti
sosial. Sakit akan membuat anak kehilangan kebersamaan mereka
dengan anggota keluarga yang lain atau teman sekelompok
c. Mencegah atau meminimalkan dampak dari perpisahan
1) Roming in
Roming in berarti orang tua dan anak tinggal bersama. Jika tidak
bisa, sebaiknya orang tua dapat melihat anak setiap saat untuk
mempertahankan kontak/komunikasi antara orang tua anak.
2) Partisipasi orang tua
Orang tua diharapkan dapat berpartisipasi dalam merawat anak
yang sakit, terutama dalam perawatan yang bisa dilakukan.
Perawat dapat memberikan kesempatan pada orang tua untuk
menyiapkan makanan anak dan memandikannya. Dalam hal ini,
perawat berperan sebagai pendidik kesehatan (health educator)
bagi keluarga.
Membuat ruangan perawatan seperti situasi di rumah dengan
mendekorasi dinding memakai poster/kartu bergambar sehingga
anak merasa aman jika diruang anak tersebut.
3. Intervensi Keperawatan pada Keluarga dalam Hospitalisasi
Menurut Muhaj (2009), bentuk intervensi keperawatan pada keluarga
yang terkait dengan hospitalisasi antara lain:
a. Memberi informasi
Salah satu intervensi keperawatan yang penting adalah
memberikan informasi. Sehubungan dengan penyakit, prosedur
pengobatan serta prognosis, reaksi emosional anak terhadap sakit
dan dirawat, serta reaksi emosional anggota keluarga terhadap anak
yang sakit dan ditawar.
b. Melibatkan saudara kandung.
Keterlibatan saudara kandung sangat penting untuk mengurangi
stres pada anak misalnya, keterlibatan dalam program bermainan,
mengunjungi saudara yang sakit secara teratur dan sebagainya.
Suliswati (2004), walaupun hospitalisasi sangat membuat stres bagi
anak dan keluarga, namun perawat harus mampu mengoptimalkan
manfaat positif dari hospitalisasi bagi hubungan antara anak dan
anggota keluarganya, antara lain dengan mengembangkan nilai-
nilai berikut:
c. Membantu perkembangan hubungan orang tua dan anak.
Hospitalisasi memberikan kesempatan pada orang tua untuk belajar
mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak.
d. Memberi kesempatan untuk pendidikan.
Hospitalisasi memberikan kesempatan pada anak dan anggota
keluarga untuk belajar mengenai tubuh dan profesi kesehatan.
e. Meningkatkan pengendalian diri
Pengalaman menghadapi krisis seperti penyakit atau hospitalisasi
akan memberi kesempatan untuk pengendalian diri (self mastery).
Salah interpretasi informasi dijelaskan secara benar 8. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
Kurang pajanan 3. Pasien dan keluarga mampu 9. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan
menjelaskan kembali apa yang second opinion dengan cara yang tepat atau
Kurang minat dalam belajar
dijelaskan perawat/tim kesehatan diindikasikan
Kurang dapat mengingat
lainnya 10.Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan
Tidak familiar dengan
cara yang tepat
sumber informasi
D. Evaluasi