Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DISUSUN OLEH :
I. TUJUAN
1. Mempelajari fenomena pembuatan bahan struktur grafit dan grafena oksida
tereduksi.
2. Mempelajari karakterisasi bahan struktur grafit dan grafena oksida tereduksi.
3. Menentukan nilai kapasitasi bahan struktur grafit dan grafena oksida tereduksi.
Grafena merupakan alotrop karbon dengan bentuk dua dimensi dan berikatan
secara heksagonal. Grafena merupakan penyusun dasar dari alotrop karbon lainnya seperti
grafit, arang, carbon nanotubes dan fullerenes. Panjang ikatan C – C pada grafena sebesar
1,42 A, dengan ikatan yang kuat dalam satu bidang lapisan tetapi lemah antar lapisan lain.
Grafena merupakan senyawa dua dimensi yang hanya terdiri dari satu lapisan, sedangkan
untuk struktur ikatan yang terdapat pada grafena sama seperti alotrop karbon yang
berbentuk tiga dimensi (Royal Academy Sciences, 2010).
Luas permukaan dari satu lapisan grafena dapat mencapai 2630 m2/g, nilai ini jauh
lebih besar dari carbon black 900 m2/g atau carbon nanotubes yang memiliki luas
permukaan 100-1000 m2/g. Grafena berikatan secara heksagonal dengan luas permukaan
sebesar 0,052 nm2, dengan massa jenisnya yang sebesar 0,77 mg/m 2. Sehingga
berdasarkan hipotesis hammock, grafena dengan berat 0,77 mg memiliki luas permukaan
sebesar 1 m2. Pada sisi optis, grafena memiliki sifat yang unik dan luar biasa dimana
dapat mentransmisikan cahaya hingga >97,7%. Nilai konduktivitas untuk material
berdimensi dua dimensi diukur menggunakan persamaan 𝜎=𝑒𝑛𝜇 dengan nilai 𝜇=200.000
cm2V-1s-1 dan 𝑛= 1012 cm-2. Nilai tahanan dalam untuk material grafena per luas area
adalah sebesar 31Ω. Sehingga dengan menggunakan ketebalan grafena didapatkan bulk
konduktivitas listrik grafena sebesar 0,96x106 Ω-1cm-1, nilai ini lebih besar jika
dibandingkan dengan konduktivitas listrik tembaga yang hanya bernilai 0,6x106 Ω-1cm-1.
Selain itu grafena juga memiliki nilai konduktivitas panas yang lebih besar tembaga
dengan nilai konduktivitas panas grafena mencapai 5000 Wm-1K-1 sedangkan nilai
konduktivitas panas dari tembaga hanya sebesar 402 Wm-1K-1, dengan nilai ini maka
konduktivitas panas grafena mencapai 10 kali dibandingkan dengan tembaga. Grafena
memiliki nilai modulus young yang mencapai 1000 Gpa dengan rapat massa yang empat
kali lebih kecil jika dibandingkan dengan tembaga. Grafena memiliki kekuatan sebesar 42
N/m, sedangkan baja memiliki kekuatan sebesar 0,25 - 1,2x109 N/m2, sehingga dengan
ketebalan yang sama dengan grafena makan baja memiliki kekuatan (pada 2 dimensi)
sebesar 0,084-0,4 N/m sehingga grafena memiliki kekuatan 100 kali dibandingkan dengan
baja dan grafena bersifat fleksibel. Grafena diyakini dapat menjadi bahan penyusun utama
dari berbagai alotrop grafit (Ray, 2015).
Singkong (Manihot utillisima) merupakan makanan pokok ketiga setelah padi dan
jagung bagi masyarakat Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh sepanjang tahun di daerah
tropis dan memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi berbagai tanah. Tanaman
ini memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap. Kandungan kimia dan zat gizi pada
singkong adalah karbohidrat, lemak, protein, serat makanan, vitamin (B1, C), mineral (Fe,
F, Ca), dan zat non gizi, air. Selain itu, umbi singkong mengandung senyawa non gizi
tanin (Soehardi, S., 2004).
Kulit singkong merupakan limbah agroindustri pengolahan ketela pohon seperti
industri tepung tapioka, industri fer mentasi, dan industri pokok makanan. Komponen
kimia dan zat gizi pada kulit singkong adalah protein 8,11 gram, serat ksasar 15,2 gram,
pektin 0,22 gram, lemak 1,29 gram, dan kalsium 0,63 gram (Rahmat, R., 1997). Kulit
singkong merupakan salah satu limbah padat yang dihasilkan pada pembuatan keripik
singkong hasil olahan industri rumah tangga (Suherman, I., Melati, 2009). Kulit singkong
memiliki usur karbon cukup banyak yaitu sebesar 59,31% serta kemampuan untuk
mengadsorpsi ion logam karena mengandung protein, selulosa nonreduksi, dan serat
kasar. Kulit singkong tersebut juga memiliki banyak gugus fungsi –OH, -NH 2, -SH, dan –
CN yang dapat digunakan sebagai ligan untuk mengikat ion logam (Sadewo, 2010).
Kandungan yang dimiliki kulit singkong tersebut dapat digunakan sebagai bahan untuk
pembuatan arang aktif.
Karbon aktif merupakan padatan amorf berbentuk heksagonal datar dengan sebuah
atom C pada setiap sudutnya serta mempunyai permukaan yang luas dan jumlah pori yang
sangat banyak (Baker, F.S., Miller, C.E., Repik A.J., dan Tollens, E.D., 1997). Karbon
aktif adalah bentuk umum dari berbagai macam produk yang mengandung karbon yang
telah diaktifkan untuk meningkatkan luas permukaannya (Manes, M., 1998). Karbon aktif
berbentuk kristal mikro karbon grafit dengan pori-pori yang telah berkembang
kemampuannya dalam mengadsorpsi gas dan uap dari campuran gas dan zat-zat yang
tidak larut atauyang terdispersi dalam cairan (Roy, G.M., 1995).
Keaktifan daya menyerap dari karbon aktif tergantung dari jumlah senyawa
karbonnya. Daya serap karbon aktif ditentukan oleh luas permukaan partikel. Dan
kemampuan ini dapat menjadi lebih tinggi, jika karbon aktif tersebut telah dilakukan
aktivasi dengan faktor bahan-bahan kimia ataupun dengan pemanasan pada temperatur
tinggi. Dengan demikian, karbon akan mengalami perubahan sifat-sifat fisika dan kimia.
Karbon aktif yang berwarna hitam, tidak berbau, tidak berasa dan mempunyai daya serap
yang jauh lebih besar dibandingkan dengan karbon aktif yang belum menjalani proses
aktivasi, serta mempunyai permukaan yang luas, yaitu memiliki luas antara 300 – 200
m2 /gram. Luas permukaan yang luas disebabkan karbon mempunyai permukaan dalam
(internal surface) yang berongga, sehingga mempunyai kemampuan menyerap gas dan
uap atau zat yang berada di dalam suatu larutan.
Secara garis besar, ada 3 tahap pembuatan karbon aktif, yaitu:
1) Proses Dehidrasi adalah proses penghilangan air pada bahan baku. Bahan baku
dipanaskan sampai temperatur 170°C.
2) Proses Karbonisasi adalah proses pembakaran bahan baku dengan menggunakan
udara terbatas dengan temperatur udara antara 300ºC sampai 900ºC sesuai dengan
kekerasan bahan baku yang digunakan. Proses ini menyebabkan terjadinya penguraian
senyawa organik yang menyusun struktur bahan membentuk metanol, uap asam
asetat, tar, dan hidrokarbon. Material padat yang tertinggal setelah proses karbonisasi
adalah karbon dalam bentuk arang dengan permukaan spesifik yang sempit.
3) Proses Aktivasi dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Proses Aktivasi Fisika, biasanya karbon dipanaskan didalam furnace pada
temperatur 800°C-900°C. Beberapa bahan baku lebih mudah untuk diaktifasi jika
diklorinasi terlebih dahulu. Selanjutnya dikarbonisasi untuk menghilangkan
hidrokarbon yang terklorinasi dan akhinya diaktifasi dengan uap.
b. Proses Aktivasi Kimia merujuk pada pelibatan bahan-bahan kimia atau reagen
pengaktif. Menurut Kirk and Othmer (1978), bahan kimia yang dapat digunakan
sebagai pengaktif diantaranya CaCl2, Ca(OH)2, NaCl, MgCl2, HNO3, HCl,
Ca3(PO4)2, H3PO4, ZnCl2, dan sebagainya. Hessler (1951) dan Smith (1992)
menyatakan bahwa unsur-unsur mineral aktivator masuk diantara plat heksagon
dari kristalit dan memisahkan permukaan yang mula-mula tertutup. Dengan
demikian, saat pemanasan dilakukan, senyawa kontaminan yang berada dalam
pori menjadi lebih mudah terlepas. Hal ini menyebabkan luas permukaan yang
aktif bertambah besar dan meningkatkan daya serap karbon aktif Hessler, J.W.,
1951 ) ( Smith, K.S., 1992).
Kapasitansi
Kapasitansi adalah kemampuan sutau perangkat untuk menampung atau
menyimpan muatan listrik. Umumnya, kapasitansi ditemukan dalam medan
elektromagnetik, yang menggunakan jenis tertentu dari gaya fisik pada partikel. Gaya ini
membuat partikel akan menampilkan gerakan sebagai hasil dari interaksi muatan listrik.
Satuan kapasitansi adalah Farad dan satu farad adalah satu coulomb per volt. Sifat
untuk menyimpan muatan listrik diukur dalam farad. Farad adalah jumlah potensi muatan
listrik yang dapat mengubah satu volt dalam kapasitor.
B. Bahan
Bahan yang digunakan:
1. Kulit singkong
2. Aquadest
3. H2SO4
4. KMNO4
5. NaNO3
6. H2O2
7. HCl
V. DATA PENGAMATAN
Tabel 1. Data konduktansi dan kapasitansi
Grafit Grafit Oksida
Konduktansi (μS) 12,4 30,4
12,3 30,7
Rata-rata 12,35 30,55
VI. PEMBAHASAN
Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari fenomena pembuatan bahan struktur,
karakterisasi bahan struktur, dan menentukan nilai kapasitasi bahan struktur grafit dan
grafena oksida tereduksi dari arang tempurung kelapa. Metode Hummers digunakan untuk
mensintesis grafena dari kulit singkong.
Metode Hummers mengoksidasi grafit dengan cara mereaksikan grafit dengan
kalium permanganat (KMnO4) dan natrium nitrat (NaNO3) dalam larutan asam sulfat
(H2SO4). Proses oksidasi dilakukan pada suhu di bawah 20 °C sehingga diperlukan ice
bath, karena ketika penambahan dalam campuran akan menghasilkan reaksi eksotermis
sehingga terjadi kenaikan suhu dan letupan.
Reaksi yang terjadi ketika KMnO4 mereduksi Grafit Oksida, menurut Dreyer et
al, sebagai berikut :
KMnO4 + 3 H2SO4 → K+ + MnO3+ + H3O+ + 3 H2SO4-
MnO3+ + MnO4- → Mn2O7
Fungsi KMnO4 adalah untuk mengoksidasi grafit, sehingga terjadi penyusupan
atom oksigen ke dalam lapisan grafit dan membentuk ikatan seperti ikatan seperti C=O,
C-H, COOH, C-O-O, dan OH dengan atom karbon pada lapisan grafit, sedangkan fungsi
H2SO4 adalah untuk membuat reaksi berlangsung dalam suasana asam. Ketika reaksi
berlangsung pada suhu rendah, ujung grafit akan teroksidasi dan tersusupi dengan
bantuan oksidator, pada tahap ini terbentuk gugus OH. Ketika reaksi yang berlangsung
pada suhu sedang (35 °C), semakin bertambahnya suhu proses reaksi, maka kemampuan
untuk mengoksidasi meningkat, dan pada proses ini terbentuk gugus fungsi yang
mengandung oksigen lainnya, serta oksidator mampu menetrasi sampai pada lapisan
dalam grafit. Ketika reaksi berjalan pada suhu tinggi, asam sulfat konsentrat melepaskan
jumlah panas yang banyak yang mengakibatkan gaya antar lapisan rusak dan akhirnya
grafit oksida terkelupas menjadi lapisan tunggal. Penggunaan Ice bath dilakukan untuk
menjaga suhu karena pada saat penambahan aquadest dalam campuran akan terjadi reaksi
eksotermis sehingga akan terjadi kenaikan temperatur hingga 98°C yang dapat
menimbulkan letupan atu ledakan.
Hasil reaksi oksidasi terlihat sebagai suspensi berwarna hijau kehitaman dan
merupakan bukti fisik telah terjadi proses oksidasi. Setelah proses oksidasi selesai,
campuran ditambahkan 320 mL aquadest dan H 2O2 sampai tidak terbentuk lagi
gelembung untuk menghentikan proses oksidasi. Ketika hidrogen peroksida ditambahkan,
residu permanganat dan mangan dioksida direduksi menjadi larutan tak berwarna,
mangan sulfat dan warnanya akan berubah dari hitam kecoklatan menjadi kuning. Larutan
ini terlihat berwana kuning ketika disaring atau dipisahkan dari fase padat dengan
menggunakan kertas whatman. Fasa padat yang sudah terpisah dari liquid dicuci
menggunakan HCl 5% yang bertujuan untuk menghilangkan ion logam sisa yang
dihasilkan selama proses oksidasi dan aquades beberapa kali sampai pH larutan netral.
Ketika pH larutan netral dan tidak ada lagi SO4- maka dilakukan proses drying pada grafit
oksida pada temperatur 80˚C selama 24 jam.
Dari hasil pengukuran diperoleh nilai kapasitansi rata-rata grafit sebesar 749
nF/gram dan nilai kapasitansi rata-rata grafit oksida diperoleh 780,5 nF/gram. Nilai
kapasitansi grafit oksida lebih besar dibanding dengan nilai kapasitansi grafit dikarenakan
grafit oksida memiliki konduktivitas termal rata-rata yang lebih besar yaitu 30,55 μS,
sedangkan grafit memiliki konduktivitas termal sebesar 12,35 μS. Selain itu juga karena
berbedanya struktur kristal grafit dan grafit oksida, untuk bahan grafit struktur kristalnya
kurang teratur (dibandingkan dengan struktur kristal grafit oksida, struktur kristal grafit
oksida sangat teratur) dan luas permukaan grafit lebih kecil dibandingkan luas permukaan
grafit oksida. Konduktivitas termal, struktur kristal dan luas permukaan mempengaruhi
nilai kapasitansi yaitu semakin luas permukaan maka nilai kapasitansinya semakin
meningkat. Luas permukaan grafit yang lebih kecil dibandingkan luas permukaan grafit
oksida mengakibatkan mobilitas elektron menurun yang berakibat pada kecilnya nilai
kapasitansi yang dimiliki oleh grafit, begitu juga dengan konduktivitas termal yang
nilainya lebih besar akan memiliki kapasitansi yang lebih besar.
VII. KESIMPULAN
1. Metode yang digunakan adalah metode Hummer, yaitu mengoksidasi grafit sehingga
menjadi grafena oksida.
2. Karakterisasi dilakukan dengan mengukur konduktivitas dan kapasitansi.
Konduktansi adalah ukuran kemampuan suatu bahan untuk mengalirkan muatan dan
dalam standar SI mempunyai satuan siemens (S). Kapasitansi adalah kemampuan
suatu benda atau sistem benda untuk menyimpan muatan listrik (satuan secara SI
adalah farad).
3. Dari hasil pengukuran diperoleh nilai kapasitansi rata-rata grafit sebesar 749 nF/gram.
Lalu nilai kapasitansi rata-rata grafit oksida diperoleh 780,5 nF/gram. Nilai
kapasitansi grafit oksida lebih besar dibanding dengan nilai kapasitansi grafit
dikarenakan grafit oksida memiliki konduktivitas termal yang lebih besar yaitu 30,55
μS, sedangkan grafit memiliki konduktivitas termal sebesar 12,35 μS serta struktur
kristal yang lebih teratur dan juga luas permukaan yang lebih luas dibandingkan
dengan grafit.