Anda di halaman 1dari 28

7

B A B II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sirosis Hati

2.1.1 Definisi

Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya

perkembangan histologis dari nodul-nodul regeneratif yang dikelilingi oleh

jaringan ikat yang berakibat pada tejadinya hipertensi portal dan penyakit hati

tahap akhir (Schuppan,D.and Afdhal, NH. 2008).

2.1.2 Epidemiologi

SH memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dimana SH merupakan

penyebab tertinggi kematian ke-14 di dunia, ke-4 di Eropa tengah, dan ke-12 di

Amerika Serikat. Tingkat mortalitas SH diperkirakan sekitar 9,7 per 100.000

orang. SH menyebabkan 1,03 juta kematian setiap tahunnya di dunia dan kurang

lebih sebanyak 170.000 kematian per tahun di Eropa (Peng et al., 2016; Starr, SP.

And Raines, D. 2011).SH merupakan indiokasi utama dari 5500 transpalantasi hati

setiap tahunnya di Eropa. Di Amerika Serikat tercatat sebanyak 33.539 kematian

per tahun oleh karena SH. Prevalensi SH diestimasikan sekitar 0–3% pada

program penapisan di Perancis dan insidensi per tahun adalah sekitar 15,3 sampai

dengan 132,6 per 100.000 orang pada sebuah penelitian di Inggris dan Swedia.

Prevalensi SH kemungkinan bisa lebih besar dari data-data yang tercatat karena

SH pada tahap awal bersifat tak memberikan gejala sehingga tak terdiagnosis

(Tsochatzis et al., 2014).


8

Sejumlah lebih dari 40 persen kasus-kasus SH adalah kasus yang tidak

bergejala atau asymptomatic. Banyak kasus-kasus SH ini ditemukan secara

kebetulan atau tidak disengaja pada saat pemeriksaan kesehatan rutin,

pemeriksaan radiologi, ataupun pada saat otopsi. Pada tahun 2000 di Amerika

Serikat terdapat sekitar 360.000 pasien yang dirawat terkait dengan SH dan

kegagalan hati (Hidelbaugh et al., 2006).

Prevalensi SH di Indonesia belum diketahui secara jelas, hanya

berdasarkan pada laporan-laporan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit

Umum Pemerintah saja. Di Indonesia, angka kematian akibat SH masih tergolong

cukup tinggi. Bila melihat data profil kesehatan DIY tahun 2008, SH masih masuk

dalam 10 besar penyebab mortalitas paling tinggi di provinsi DIY dengan

prevalensi sebesar 1,87% pada urutan ke-9. Pada penelitian di RSUP Dr. Kariadi

Semarang pada tahun 2007 tercatatada 637 pasien SH dengan angka mortalitas

sebesar 9,7%. Adapun perbandingan prevalensi sirosis pada laki-laki dan

perempuan adalah sekitar 2,1 : 1 dengan usia rata-rata 44 tahun (Patasik et al.,

2015). Data yang diambil pada tahun 2004 di RSUP Samarinda selama 1 tahun

dicatat ada 30 penderita SH dan juga di RS Sardjito Yogyakarta tercatat jumlah

pasien SH adalah sekitar 4,1% dari pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam

selama periode 1 tahun. Di Medan, dijumpai pasien SH adalah sejumlah 819

orang (4%) dari seluruh pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam selama

periode waktu 4 tahun (Nurdjanah S, 2006). ›

2.1.3 Etiologi
9

Etiologi dari sirosis dapat diidentifikasi dengan mengetahui riwayat

penyakit pasien digabung dengan evaluasi serologis dan histologis. Penyakit hati

karena alkohol dan hepatitis C adalah penyebab SH paling sering di dunia barat,

sementara hepatitis B banyak dijumpai sebagai penyebab SH di sebagian besar

kawasan Asia dan Afrika sub-Sahara. Setelah identifikasi virus hepatitis C pada

tahun 1989 dan kejadian nonalcoholic steatohepatitis (NASH) pada penderita

obesitas dan diabetes, diagnosis SH tanpa sebab yang jelas (cryptogenic cirrhosis)

sudah sangat jarang dibuat (Schuppan,D.and Afdhal, NH. 2008). Kepustakaan

lain oleh Hidelbaugh dan kawan-kawan juga menyebutkan penyebab terbanyak

SH adalah penyalahgunaan alkohol, hepatitis virus kronik, dan perlemakan hati

yang mengakibatkan timbulnya NASH (nonalcoholic steatoheopatitis)

(Hidelbaugh et al., 2006).

Tabel 2.1. Etiologi umum SH (Starr, SP. and Raines, D. 2011)


Etiologi umum dari SH

Viral (hepatitis B 15% dan hepatitis C 47%)


Schistosomiasis
Inflamasi
Autoimun
Sarkoidosis

Alkohol
Toksin
Methotrexate

Primary biliary cirrhosis


Αlpha 1-antitrypsin deficiency
Genetik/kongenital Hemochromatosis
Nonalcoholic fatty liver disease
Wilson disease

Congestive heart failure

Venooclusive disease Budd-Chiari syndrome

Tak diketahui (14%)


10

Sangat penting untuk mengetahui etiologi SH karena dapat memperediksi

komplikasi-komplikasi dan keputusan-keputusan langsung tentang terapi. Selain

itu etiologi SH juga penting diketahui karena dapat dijadikan sebagai dasar diskusi

untuk tindakan-tindakan pencegahan, misalnya anggota keluarga dari pasien

dengan alcoholic cirrhosis atau hepatitis viral kronik, dan pertimbangan untuk

dilakukannya tes genetik ataupun tindakan pencegahan untuk kerabat dari pasien

dengan penyakit-penyakit genetik tertentu seperti hemochromatosis atau Wilson’s

disease (Schuppan,D.and Afdhal, NH. 2008).

2.1.4 Patogenesis

Transisi dari penyakit hati kronik ke sirosis melibatkan peradangan,

aktivasi dari hepatic stellate cells dengan kejadian fibrogenesis, angiogenesis, dan

lesi-lesi kematian parenkim yang disebabkan adanya hambatan vaskular. Proses

ini menyebabkan perubahan mikrovaskular yang ditandai oleh sinusoidal

remodelling (deposisi matriks ekstraselular dari sel-sel stelata aktif yang

berproliferasi sehingga menyebabkan proses kapilarisasi dari sinusoid hati),

formasi dari intrahepatic shunts (karena adanya angiogenesis dan hilangnya sel-

sel parenkimal), dan disfungsi endotelial hati. Disfungsi endotelial ditandai oleh

kurangnya pelepasan vasodilator-vasodilator, dimana yang terpenting adalah

nitric oxide (NO). Pelepasan dari NO dihambat oleh rendahnya aktivitas dari

endothelial nitric oxide synthetase (terjadi karena kurangnya protein-kinase-B-

dependent phosphorylation, kurangnya kofaktor-kofaktor, adanya peningkatan

scavengingkarena adanya stres oksidatif, dan tingginya konsentrasi dari inhibitor

endogen dari NO), seiring dengan peningkatan produksi vasokonstriktor (terutama


11

stimulasi adrenergik dan thromboxan A2), serta aktivasi dari sistem renin

angiotensin, antidiuretic hormone, dan endothelins (Tsochatzis et al., 2014).

Peningkatan tahanan hati terhadap aliran darah portal adalah faktor utama

yang meningkatkan tekanan portal pada SH. Hal tersebut dihasilkan dari

kombinasi dari gangguan-gangguan struktural yang diasosiasikan dengan penyakit

hati tahap lanjut dan dari abnormalitas-abnormalitas fungsional yang

menyebabkan disfungsi endotelial dan peningkatan hepatic vascular tone; tekanan

portal mungkin dapat dikurangi sebanyak 30% bila abnormalitas fungsional ini

dikoreksi. Mekanisme molekular dari abnormalitas-abnormalitas ini sekarang

sedang berusaha untuk digambarkan dan merupakan target baru dalam hal terapi.

Vasodilatasi splanchnic dengan peningkatan aliran masuk darah ke dalam sistem

vena portal berkontribusi memperberat peningkatan tekanan portal. Vasodilatasi

splanchnic adalah respon adaptif terhadap perubahan pada hemodinamik

intrahepatal dalam kasus SH. Mekanismenya berlawanan langsung dengan

peningkatan hepatic vascular tone. Karena adanya mekanisme yang berlawanan

ini, usaha-usaha untuk mengoreksi hipertensi portal dengan aksi pada tahanan hati

atau aliran masuk darah portal seharusnya didasarkan secara ideal pada strategi-

strategi yang bersifat seselektif mungkin pada sirkulasi intrahepatal atau

splancnic. Pada SH tahap lanjut, vasodilatasi splancnic terlalu intens untuk

menentukan hyperdynamic splanchnic dan sirkulasi sistemik, dimana bersama-

sama dengan hipertensi portal memiliki peran utama dalam patogenesis dari asites

dan sindrom hepatorenal.Vasodilatasi sistemik lebih lanjutnya akan menyebabkan

pulmonary ventilation/perfution mismatch yang pada kasus berat menyebabkan


12

sindrom hepatopulmonar dan hipoksemia arteri. Hipertensi portopulmonar

ditandai oleh vasokonstriksi paru, yang dipikirkan terjadi karena disfungsi

endotelial dalam sirkulasi paru. Formasi dan peningkatan varises didorong oleh

faktor-faktor anatomis, peningkatan tekanan portal, peningkatan aliran darah

kolateral, dan oleh angiogenesis yang bergantung pada vascular endothelial

growth factor (VEGF), yang kesemuanya berkontribusi pada perdarahan variceal.

Pelebaran dari pembuluh mukosa gaster menyebabkan portal-hypertensive

gastropathy. Sebagai tambahan, adanya shunting dari darah portal ke sirkulasi

sistemik adalah penyebab utama dari hepatic encephalopathy, penurunan first

pass effect dari obat-obatan oral, dan penurunan fungsi sistem retikuloendotelial.

Bagaimanapun juga, kapilarisasi dari sinusoid-sinusoid dan shunts intrahepatal

juga penting karena perubahan ini mempengaruhi perfusi efektif hepatosit, dimana

hal tersebut adalah penentu utama dari kegagalan hati (Tsochatzis et al., 2014).

Peningkatan hepatic resistance Vasodilatasi splanchnic Formasi varises dan kolateral-


kolateral portal sistemik lain
Faktor-faktor anatomis Abnormalitas fungsional Respon adaptif
Fibrogenesis Disfungsi endotelial ↑NO, Peningkatan tekanan portal
Angiogenesis ↓NO, ↑thromboxane, ↑endothelin ↑CO/endocannabin/glukagon Faktor-faktor anatomi lokal
PELS ↑norepinephrine/angiotensin 2 ↓Respon vasokonstriktor VEGF-driven angiogenesis
Kapilarisasi sinusoidal ↑hepatic vascular tone VEGF-driven angiogenesis

Gagal hati ↑Portal inflow

Perdarahan variseal
Portal-hypertensive gastropathy

Hepatopulmonary syndrome Vasodilatasi perifer


Aktivasi faktor vasoaktif Portal-systemic encephalopathy
Disfungsi endotelial Retensi sodium ↓First pass effect
Asites ↓Fungsi RES dan ↑Ammonia
Hipertensi portopulmonary sindrom hepatorenal

Gambar 2.1. Patofisiologi peningkatan tekanan portal (Tsochatzis et al., 2014).


13

2.1.5 Gambaran Klinis

SH seringkali tak bergejala dan tak dicurigai sampai komplikasi-

komplikasinya muncul. Banyak kasus dari SH yang tak bergejala ini tidak pernah

mendapat perhatian klinik dan sering ditemukan saat otopsi. Diagnosis dari SH

yang tak bergejala ini biasanya terjadi secara kebetulan pada tes-tes penapisan

seperti pemeriksaan transaminase hati atau pada hasil temuan radiologis yang

mengarahkan pasien terhadap penyakit hati sehingga pasien dievaluasi lebih lanjut

lagi (Schuppan,D.and Afdhal, NH. 2008). Gambaran klinis SH secara umum

dapat disebabkan oleh timbulnya kegagalan faal hati dan adanya hipertensi portal

(Sherlock et al., 2002; Hidelbaugh et al.,2006).

2.1.5.1 Kegagalan Faal Hati

Adanya kegagalan faal hati pada SH akan menyebabkan gejala subyektif

yang umum dan tidak spesifik seperti adanya kelemahan, berat badan yang turun,

perut yang kembung, mual muntah, dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik dapat

ditemukan adanya spider nevi dan eritema palmaris (terjadi karena peningkatan

estradiol dan penurunan degradasi estradiol di hati); pertumbuhan rambut yang

kurang dan ginekomastia pada pria (terjadi karena meningkatnya konversi dari

androstenedione ke estrone dan estradiol serta karena adanya penurunan

degradasi estradiol di hati); atrofi testis (terjadi karena penurunan produksi

testosteron ataupun karena efek toksik langsung dari alkohol); ikterus (terjadi

karena adanya gangguan pada fungsi excretory hepatosit); dan perubahan status
14

mental karena adanya ensefalopati hepatik. Pada pemeriksaan laboratorium

banyak dijumpai hipoalbuminemia sehingga terjadi rasio albumin dan globulin

serum pasien yang terbalik (Schuppan,D.and Afdhal, NH. 2008; Sherlock et al.,

2002; Hidelbaugh et al., 2006).

2.1.5.2 Hipertensi Portal

Hipertensi portal adalah sindroma klinik umum yang didefinisikan sebagai

peningkatan dari hepatic venous pressure gradient (HPVG) diatas 5 mmHg.

Walaupun gradien ini menggambarkan hipertensi portal, gradien yang bernilai

lebih dari atau sama dengan 10 mmHg adalah merupakan hipertensi portal yang

signifikan, karena gradien tekanan ini dikatakan dapat meramalkan pembentukan

dari varises, sirosis dekompensata, dan karsinoma hepatoselular (Al-Busafi et al.,

2012; Banerjee BJK, 2012; Minano et al., 2010). Hipertensi portal ditandai

dengan adanya peningkatan curah jantung dan penurunan resistensi vaskular

sistemik yang menyebabkan terjadinya kondisi sirkulasi hiperdinamik dengan

vasodilatasi arterial splanchnic. Vasodilatasi arterial splanchnic ini menyebabkan

adanya peningkatan aliran darah portal yang pada akhirnya menimbulkan

hipertensi portal yang berat. Pembentukan dari varises gastroesofageal dan

perdarahan variseal adalah konsekuensi langsung yang paling mudah terjadi pada

hipertensi portal (Dib et al., 2006; Bari, K. and Garcia-Tsao, G. 2012).

Secara anatomis, vena portal dibentuk dari gabungan antara vena

mesentrika superior dan vena splenic. Vena mesentrika mengumpulkan darah dari

sirkulasi splanchnic. Maka, aliran masuk vena portal ditentukan oleh keadaan

konstriksi atau dilatasi dari arteriol-arteriol splanchnic. Mekanisme awal dalam


15

terjadinya hipertensi portal adalah adanya peningkatan tahanan vaskular yang

dapat terjadi pada tahap mana saja dalam sistem vena portal. Maka dari itu

hipertensi portal dikategorikan atau diklasifikasikan berdasarkan etiologinya

menjadi prehepatic, intrahepatic, dan posthepatic. Penyebab paling umum dari

hipertensi portal adalah SH yang merupakan bagian dari penyebab intrahepatic

(mencapai 95% dari seluruh penyebab hipertensi portal) (Minano et al., 2010;

Sharara et al., 2001).

Pada SH, peningkatan tahanan disebabkan sebagian besar oleh distorsi

arsitektural hati (fibrosis dan nodul-nodul regeneratif), tetapi sekitar sepertiga dari

peningkatan tahanan adalah disebabkan oleh vasokonstriksi intrahepatik. Hal ini

disebabkan oleh aktivasi sel-sel stelata dengan kontraksi aktif dari myofibroblast

dan sel-sel otot polos vaskular di vena-vena portal, yang pada gilirannya

disebabkan oleh peningkatan vasokonstriktor endogen (seperti endothelin) dan

penurunan bioavaibilitas nitric oxide. Ada 2 mekanisme yang menyebabkan

penurunan nitric oxide. Pertama, nitric oxide synthesizing enzyme endothelial

nitric oxide synthase (eNOS) dihambat oleh regulator-regulator negatif (seperti

caveolin-1) yang meningkat selama SH. Kedua, stress oksidatif meningkat selama

SH, dimana sel-sel endotelial sinusoid hati menerima stress oksidatif ini sebagai

respon terhadap berbagai macam zat seperti endotoksin bakteri, virus, obat-

obatan, dan ethanol. Selama SH, peningkatan radikal-radikal superoksida bereaksi

dengan nitric oxide untuk membentuk peroxynitrite yang merupakan racun

endogen. Hal ini menyebabkan bioavaibilitas nitric oxide berkurang. Kolateral-

kolateral porto-sistemik berkembang sebagai konsekuensi dari tingginya tekanan


16

pada vena portal dan memperbaiki peningkatan tekanan. Bagaimanapun juga,

bahkan ketika aliran darah portal dialihkan melalui kolateral-kolateral ini,

hipertensi portal tetap ada seiiring adanya peningkatan aliran masuk vena portal,

yang disebabkan oleh vasodilatasi splancnic, yang sebagian besar dimediasi oleh

peningkatan nitric oxide. Peningkatan aliran masuk vena portal ini sering terjadi

terutama pada SH tahap lanjut (Minano et al., 2010; Iwakiri Y, 2014; Maruyama,

H. and Yokosuka, O. 2012).

Kolateral yang paling penting adalah kolateral yang membentuk varises

gastroesofageal. Walaupun pembentukan kolateral telah diasumsikan sebagai hasil

dari dilatasi saluran-saluran vaskular yang telah ada sebelumnya, namun bukti

terkini mengimplikasikan adanya proses neoangiogenesis. Proses ini berkontribusi

bukan hanya terhadap terbentuknya kolatera-kolateral porto-sistemik tetapi juga

terhadap peningkatan aliran daran splanchnic (arteriolar-capillary-network)

(Minano et al., 2010).

Gambaran klinis dari hipertensi portal adalah adanya asites, splenomegali,

pelebaran vena-vena kolateral pada dinding perut (caput medusae), perdarahan

saluran cerna karena pecahnya varises gastroesovageal, dan hemoroid. Asites

terjadi bila tekanan portal melebihi 8 mmHg dan varises dikatakan terjadi bila

tekanan portal lebih dari 12 mmHg. Splenomegali dapat ditemukan pada semua

kasus hipertensi portal serta mungkin dapat disertai trombositopenia ataupun

leukopenia. Penyebab paling umum pasien dengan hipertensi portal untuk dirawat

di rumah sakit adalah adanya perdarahan saluran cerna yang disebabkan sebagian

besar oleh pecahnya varises esofagus. Hipertensi portal terdapat pada 60% kasus
17

SH dekompensata dan pada 40% pada SH kompensata (Banerjee BJK, 2012;

Pinzani et al, 2005).

Sirosis

↑ Resistensi intrahepatik

Hipertensi Portal

Kolateral-kolateral porto-sistemik

Vasodilatasi arterial

Sindrom sirkulasi hiperdinamik


↓Mean arterial pressure, ↓systemic vascular resistance,
↑cardiac index

Varises esofagus + Asites

Gambar 2.2. Diagram hipertensi portal (Iwakiri Y, 2014).

2.1.6 Diagnosis

SH didiagnosis berdasarkan kriteria diagnosis standar yang dikeluarkan

oleh International Hepatology Informatics Group (1994), yaitu secara klinis

didapatkan tanda-tanda SH seperti adanya varises esofagus, splenomegali, asites,

muscle wasting, spider angioma, dan pada pemeriksaan ultrasonografi didapatkan


18

tanda-tanda yang mendukung SH seperti adanya nodulasi pada parenkim hati,

asites, splenomegali, atau perubahan vaskuler akibat SH (Carroll et al., 1994).

Diagnosis pasti atau definitif dari SH adalah pemeriksaan histopatologi hati,

namun pemeriksaan ini dikatakan jarang dilakukan dan hanya dilakukan pada

kasus-kasus yang tidak jelas (Tsochatzis et al., 2014).

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, tahap awal SH biasanya tak

bergejala (SH kompensata) dan sering ditemukan secara kebetulan pada

pemeriksaan klinik rutin dan laboratorium rutin. Namun pada tahapan yang lebih

lanjut (SH dekompensata), diagnosis kadang tak sulit ditegakkan karena telah

memberikan gejala-gejala seperti asites, splenomegali, pembesaran vena-vena

kolateral, eritema palmaris, spider angioma, ikterus, rasio albumin globulin yang

terbalik, dan lain-lain (Sherlock et al., 2002).

Pemeriksaan imaging seperti ultrasonografi (USG), computerized

tomography (CT), dan magnetic resonance imaging (MRI) tidak begitu sensitif

untuk mendeteksi SH. Bagaimanapun juga, spesifitasnya dikatakan cukup tinggi

ketika penyebab jelas ada dan pada imaging terlihat ada permukaan hati yang

tidak homogen, rarefied hepatic central vein, lobus kaudatus yang membesar,

splenomegali, atau adanya vena-vena kolateral dengan catatan etiologi-etiologi

lain harus sudah dieksklusi. USG memberikan informasi penting tentang

arsitektur hati, pemeriksaan ini murah dan banyak tersedia. USG dan Doppler

USG dari diameter dan kecepatan vena portal dan sentral sangat berguna untuk tes

penapisan hipertensi portal. Gambaran USG pada SH sangat tergantung pada berat

ringannya penyakit. CT dan MRI konvensional dikatakan tidak berguna untuk


19

menentukan tingkat keparahan SH, namun CT helical dan MRI dengan kontras

adalah modalitas pilihan ketika karsinoma hepatoselular ataupun lesi vaskular

dicurigai. (Schuppan,D.and Afdhal, NH. 2008; Sherlock et al., 2002).

2.1.7 Derajat Penyakit Sirosis Hati

Derajat penyakit SH atau tingkat keparahan SH dapat dinilai dengan

modifikasi kriteria Child-Turcotte-Pugh. Kriteria ini menilaiderajat penyuakit SH

berdasarkan adanya ensefalopati hepatikum, asites, pemeriksaan kadar albumin

dan bilirubin serum serta waktu prothrombin atau International Normalized Ratio

(INR). Sesuai kriteria tersebut pasien SH diklasifikasikan menjadi tiga yaitu Child

A, B dan C (Peng et al., 2016; Lee et al, 2003).

Tabel 2.2. Klasifikasi sirosis modifikasi kriteria Child-Turcotte-Pugh (Lee et al,

2003).

Variabel Nilai 1 Nilai 2 Nilai 3

Ensefalopati - Stadium 1-2 Stadium 3-4

Asites - Ringan Sedang-berat

Albumin (g%) >3,5 2,8 – 3,5 < 2,8

Bilirubin (mg%) <2,0 2,0 – 3,0 > 3,0

Protrombin time (seconds <4 4–6 >6

prolonged or INR) INR <1,7 INR 1,7-2,3 INR > 2,3

Keterangan :

Jumlah nilai 5 – 6 : Child A ( gangguan fungsi hati ringan )

Jumlah nilai 7 – 9 : Child B (gangguan fungsi hati sedang )


20

Jumlah nilai 10 – 15 : Child C (gangguan fungsi hati berat )

2.2 Platelet dan Mean Platelet Volume (MPV)

Platelet atau trombosit berdiameter hanya sekitar 20 % dari sel darah

merah. Hitung trombosit normal adalah antara 150.000 sampai 450.000 / L

darah. Trombosit atau platelet berasal dari sel-sel sumsum tulang yang disebut

megakariosit. Megakariosit berasal dari pluripotential hematopoietic progenitors.

Interleukin 11 (IL-11), interleukin 6 (IL-6), dan stem cell factor (SCF) adalah

substansi-substansi yang menstimulasi tahapan-tahapan spesifik perkembangan

megakariosit, namun hanya berfungsi bila ada peran bersama dari thrombopoietin

(TPO) atau interleukin 3 (IL-3). Hormon yang dominan mengendalikan

perkembangan megakariosit adalah thrombopoietin (TPO). Megakariosit ini

kemudian akan mengalami endomitosis dan menjadi polyploid (mengandung lebih

dari 2 set kromosom). Setelah itu megakariosit akan mengalami tahapan maturasi

dimana sitoplasmanya dipenuhi dengan protein-protein yang platelet-specific,

organel-organel, dan sistem membran yang akhirnya akan terbagi membentuk

platelet-platelet. Megakariosit yang berukuran besar ini kemudian akan

mengalami proses fragmentasi yang berakibat pada pelepasan lebih dari 1000

platelet atau trombosit per 1 sel megakariosit (George JN., 2007; Italiano, JE. and

Hartwig, JH. 2013).

Platelet atau trombosit mengandung banyak struktur yang sangat penting

untuk menghentikan perdarahan. Trombosit memiliki protein-protein pada

permukaannya dan memiliki banyak granula yang mampu mensekresikan protein-

protein lain sehingga memampukan mereka untuk melekat pada dinding


21

pembuluh darah yang bocor dan untuk merekatkan diri antara satu dengan yang

lainnya (George JN, 2007). Trombosit bersirkulasi di dalam pembuluh darah

sebagai entitas tunggal yang tidak berinteraksi dengan trombosit lain atau tipe-tipe

sel lain. Transisi dari keadaan nonadhesive ini ke keadaan adhesive dapat

dicetuskan dengan cepat bila trombosit terpapar dengan stimulus yang tepat.

Adhesi platelet terjadi melalui proses yang terkoordinasi dan terjadi melalui 4

tahapan yaitu thetering, rolling, aktivasi, dan adhesi stabil. Tahap pertama adalah

thetering. Penelitian-penelitian telah membuktikan adanya shear forces yang

timbul ketika darah bersirkulasi pada tempat yang mengalami cidera endotel dan

hal ini memicu terjadinya interaksi platelet-endotel yang bersifat sementara.

Elemen penting dari kejadian ini adalah adanya ikatan sementara antara GP Ib ke

von Willebrand Factor (VWF). Tahap berikutnya adalah rolling yang terjadi

sebagai akibat dari interaksi afinitas rendah antara kolagen dan GP VI. Tahap ini

diperkuat oleh interaksi antara kolagen dengan reseptor GP Ia/IIa pada platelet.

Proses selanjutnya adalah aktivasi platelet yang terjadi setelah paracrine dan

autocrine-mediated signalling melalui pelepasan tromboxane A2 dan adenosine

diphosphate oleh platelet, bersamaan dengan aktivasi trombin oleh tissue factor

dari dinding pembuluh darah. Penguatan adhesi platelet yang stabil dan

pembentukan trombus selanjutnya dimediasi oleh interaksi dari integrin GP

IIb/IIIa dengan fibrinogen dan VWF. Trombin merubah fibrinogen ke fibrin yang

bertindak sebagai struktur dasar yang stabil untuk pembentukan trombus yang

berlangsung (Kiefer, TL. and Becker, RC. 2009).


22

Abnormalitas pada parameter-parameter hematologi adalah sangat umum

terjadi pada kondisi SH. Patogenesis dari abnormalitas-abnormalitas ini bersifat

multifaktorial dan termasuk portal hypertension-induced sequestration, perubahan

pada bone marrow stimulating factors, ataupun supresi sumsum tulang yang

diinduksi virus atau toksin. Abnormalitas pada parameter hematologi ini

dihubungkan dengan peningkatan risiko komplikasi seperti perdarahan dan infeksi

(Qamar et al., 2009). Trombosit juga adalah salah satu parameter hematologi yang

dipengaruhi oleh kondisi SH. Trombositopenia adalah perubahan parameter

hematologi yang paling umum dan awal terjadi pada kondisi SH (Mukker et al.,

2016). Trombositopenia pada SH sering dikaitkan dengan tingkat keparahan

penyakit yang lanjut dan prognosis yang lebih buruk (Mitchell et al., 2015).

Trombositopenia karena SH dan disfungsi platelet disebabkan oleh banyak faktor

yang memiliki banyak kontribusi. Hipertensi portal menyebabkan splenic pooling,

memisahkan platelet dari sirkulasi. Portosystemic shunting dan gangguan gut

barrier menyebabkan endotoxaemia dengan aktivasi imun sistemik, produksi

antibodi antiplatelet, fibrinolisis yang menyimpang, dan aktivasi koagulasi dengan

konsumsi platelet. SH dan penurunan massa hati menyebabkan turunnya kadar

thrombopoetin dan produksi platelet yang turun (Hayashi et al., 2014; Tapper et

al., 2013).

Selain trombositopenia, kondisi SH juga mempengaruhi Mean platelet

volume (MPV). MPV adalah perhitungan ukuran rata-rata platelet yang beredar di

sirkulasi (Mukker et al., 2016; Witters et al., 2008). Nilai normal MPV adalah

antara 7,5 sampai dengan 11,5 fL. MPV mencerminkan senyawa-senyawa aktif
23

dan granula di dalam platelet. Platelet adalah sel-sel yang tidak berinti dan

ukurannya sebagian besar tergantung pada derajat fragmentasi dari megakariosit.

Semakin besar suatu platelet, maka semakin banyak glikogen, adenin, nukleotida,

dan fosfat normal yang terkandung dan semakin tinggi juga keaktifannya. Dengan

kata lain semakin besar nilai MPV, maka platelet akan lebih banyak mengandung

granula-granula sehingga aksi hemostatik dan pro-inflammatory-nya akan jauh

lebih efektif. Oleh karena alasan ini, maka MPV diusulkan sebagai indikator dari

fungsi dan aktivasi platelet. Nilai MPV dapat diperoleh melalui bacaan dari full

blood count analyzers sebagai bagian dari tes complete blood count atau

pemeriksaan darah lengkap (Xianghong et al., 2013; Suvak et al., 2013).

2.2.1 Regulasi dari thrombopoiesis dan ukuran platelet

Megakariosit berkontribusi dalam sirkulasi darah dengan memproduksi

partikel-partikel tak berinti berbentuk cakram dengan masa hidup sekitar 8-10

hari. Partikel-partikel ini, yang disebut platelet, adalah fragmen-fragmen

sitoplasma megakariosit. Morfologi dan kapasitas fungsionalnya ditentukan oleh 2

faktor yaitu faktor yang mempengaruhi proses megakaryocytopoiesis dan sirkulasi

dari platelet. Faktor yang pertama dipikirkan lebih banyak berpengaruh pada

ukuran platelet dan fungsinya. Morfologi platelet cenderung tetap konstan selama

masa hidupnya. Dengan kata lain, regulasi dari fungsi dan penuaan platelet,

terutama dalam menjaga massa platelet (hitung platelet dikalikan dengan MPV)

dan potensi hemostatik yang baik, adalah tergantung dari kemampuan untuk

reduplikasi DNA dan maturitas dari progenitor-progenitor thrombopoietic

(Gasparyan et al., 2011).


24

Beberapa agen hormonal dan imun mempengaruhi maturasi sel-sel

thrombopoietic dan melepaskan platelet ke sirkulasi. Dari agen-agen ini,

thrombopoietin, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor, interleukin

(IL)-1, tumor necrosis factor (TNF)-alpha, dan IL-6 adalah agen-agen yang

penting. Pada kondisi yang stabil, kadar thrombopoietin dipengaruhi oleh jenis

kelamin (lebih tinggi pada pria) dan hitung platelet (sedikit lebih tinggi pada

orang dengan hitung platelet rendah). Dalam kondisi stress, korelasi positif antara

thrombopoietin, kemampuan reduplikasi DNA progenitor platelet, aktifitas

fungsional, dan hitung platelet yang tinggi lebih jelas terlihat (Gasparyan et al.,

2011).

Regulasi megakaryocytopoiesis diprogram untuk memenuhi permintaan

platelet yang aktif dalam kondisi fisiologis dan patologis, sehingga menghasilkan

perubahan hitung trombosit yang bersifat time-dependent. Proses ini bisa

tergantung atau tak tergantung dengan thrombopoietin (Gasparyan et al., 2011).

Hubungan terbalik yang sering disebut antara hitung platelet dan MPV

dalam kondisi fisiologis dan patologis mencerminkan kecenderungan untuk

mengatur hemostasis dengan menjaga massa platelet yang konstan. Hubungan

terbalik ini biasa terlihat pada berbagai penyakit inflamasi kronik dimana terjadi

peningkatan thrombopoiesis sehingga sejumlah platelet berukuran besar dilepas

ke sirkulasi dan bermigrasi ke tempat-tempat inflamasi dimana platelet-platelet

tersebut nantinya akan dikonsumsi (Gasparyan et al., 2011).

Platelet yang bersirkulasi mengandung banyak matrix ribonucleic acid,

mitokondria, dan granula-granula padat yang menyediakan mekanisme


25

pengaturan sendiri dengan merubah bentuk dan melepas substansi-substansi

biologis aktif. Selama ini telah dikenal ada 3 tipe granula yang ditemukan dalam

platelet yaitu α-granules, dense granules, dan lisosom. α-Granules adalah granula

yang paling banyak ditemukan di platelet (sekitar 50-80 granula per platelet) dan

mengandung banyak jenis substansi biologis yang diantaranya adalah Von

Willebrand Factor (VWF) (berperan dalam hemostasis atau trombosis), CXCL4

(berperan dalam inflamasi), P-selectin (berperan dalam angiogenesis), dan juga

substansi-substansi lainnya. Dense granules atau granula padat adalah tipe granula

yang juga ada dalam platelet. Jumlah dari dense granules ini per platelet adalah

sekitar 3-8 granula dan juga mengandung banyak jenis substansi biologis yang

sebagian diantaranya adalah CD63 (berperan dalam hemostasis/trombosis) dan

serotonin (berperan dalam inflamasi). Jenis granula yang paling sedikit ditemukan

di platelet adalah lisosom (biasanya ditemukan < 3 granula per platelet). Pada

lisosom ini biasanya ditemukan substansi fosfatase asam yang berperan dalam

endosomal digestion. Perubahan cepat (menit atau jam) pada platelet, termasuk

peningkatan MPV, dapat terjadi sebagai hasil dari sintesis agen-agen

prothrombotic dan pro-inflamasi di dalam platelet, degranulasi granula-granula,

dan pelepasan platelet-platelet reaktif dari limpa (Gasparyan et al., 2011;

Flaumenhaft R., 2013).

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi MPV

MPV diukur dengan cell counters yang menggunakan impedansi dan efek

optik. Tidak akuratnya pengukuran parameter MPV dapat dikarenakan karena

pengambilan dan penyimpanan darah yang tidak benar. MPV sangat sensitif
26

terhadap perbedaan dari antikoagulasi sample darah, temperatur penyimpanan,

dan penundaan pengerjaan proses pemeriksaan. Secara khusus, pembengkakan

platelet yang tergantung waktu pada darah dapat menyebabkan peningkatan

artefactual MPV dan kesalahan interpretasi (Gasparyan et al., 2011).

Selain faktor hitung trombosit, pengambilan sample darah, dan

penyimpanan sample darah, nilai MPV banyak dipengaruhi oleh beberapa hal.

Kenaikan ataupun penurunan nilai MPV dapat terjadi pada berbagai macam

kondisi. Sebuah penelitian yang dilakukan pada subjek-subjek lanjut usia di Italia

menemukan korelasi yang positif antara nilai MPV dengan nilai gula darah puasa.

Sebuah penelitian di Jepang juga menemukan bahwa MPV pada pasien-pasien

prediabetes memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang

normal dan memang memiliki hubungan yang positif dengan gula darah puasa

pada subjek-subjek yang prediabetik dan yang sehat (Shimodaira et al., 2013).

Subjek dengan diabetes mellitus pada beberapa penelitian juga telah diketahui

memiliki nilai MPV yang lebih tinggi (terutama bagi mereka yang memiliki nilai

HBA1C ≥ 6,5%) dari pada subjek yang sehat. Seperti yang sudah disebutkan

sebelumnya bahwa kenaikan MPV menggambarkan platelet yang semakin reaktif.

Pada kepustakaan disebutkan bahwa kenaikan nilai MPV disebabkan oleh banyak

faktor. Hal tersebut dihubungkan dengan faktor-faktor biokimia seperti

hiperglikemia dan hiperlipidemia, resistansi insulin, status inflamasi, dan juga

dengan peningkatan ekspresi reseptor-reseptor glikoprotein dan growth factors.

Hiperglikemia dapat meningkatkan reaktifitas platelet dengan menginduksi glikasi


27

protein-protein non-enzimatik pada permukaan platelet, dengan efek osmotik

glukosa, dan dengan aktivasi protein kinase C (Kodiatte et al., 2012).

Kondisi hipertensi juga telah diketahui berhubungan dengan nilai MPV.

Sebuah penelitian di Turki menemukan bahwa adanya hipertensi merupakan

prediktor dari tingginya nilai MPV dan MPV juga ditemukan lebih tinggi secara

signifikan pada kelompok pasien hipertensi dibandingkan dengan kelompok

pasien prehipertensi. Kenaikan MPV pada pasien hipertensi disebabkan karena

adanya kenaikan aktivasi platelet. Kenaikan aktivasi platelet ini diduga

berhubungan dengan aktivasi sistem renin angiotensin, kenaikan kadar

katekolamin, dan adanya kondisi komorbid lain seperti diabetes ataupun merokok.

Lebih mendetail, pada hipertensi terjadi peningkatan aktifitas sistem saraf

simpatis. Efek dari peningkatan sistem saraf simpatis ini pada sistem hemostatik

terjadi melalui 2 cara. Cara pertama, aktivasi platelet melalui stimulasi alpha2-

adrenoreceptor menyebabkan perubahan bentuk dan tentu saja meningkatkan

MPV. Cara kedua, platelet teraktivasi yang besar ukurannya dan yang

disekuestrasi di limfa dapat dilepaskan kembali ke sistem sirkulasi karena adanya

peningkatan kadar adrenalin (Varol et al., 2010; Surgit et al., 2015). Hubungan

MPV dengan beberapa kondisi penyakit kardiovaskular juga telah banyak

dipelajari. Penelitian di Verona, Italia, menemukan bahwa nilai MPV meningkat

pada kondisi acute coronary syndrome (ACS) secara signifikan (Lippi et al.,

2009). Meningkatnya nilai MPV pada kondisi ACS memungkinkan bahwa MPV

berpotensi dapat dipakai sebagai biomarker prognostik yang berguna pada pasien

dengan penyakit kardiovaskular (Chu et al., 2010). Platelet dengan aktifitas


28

hemostatik tinggi memegang peranan penting pada patofisiologi penyakit arteri

koroner dan MPV merupakan indikator reaktifitas platelet. Beberapa penelitian

memang telah menunjukkan bahwa nilai MPV yang tinggi berhubungan dengan

kondisi PJK (Sansanayudh et al., 2014). Walau mekanisme pasti bahwa kenaikan

MPV dapat mempengaruhi perkembangan ke arah penyakit kardiovaskular atau

ACS tidak sepenuhnya dimengerti, banyak mekanisme mungkn terlibat. Platelet

yang lebih besar lebih aktif secara metabolik dan enzimatik lebih aktif daripada

platelet yang berukuran kecil. Platelet yang berukuran besar mengandung banyak

materi prothrombotic dan menunjukkan agregabilitas yang lebih besar. Maka dari

itu kemungkinan peningkatan MPV telah ada mendahului terjadinya kondisi acute

myocardiac infarction dan bukan merupakan hasil dari kondisi itu (Chu et al.,

2010). MPV juga ditemukan meningkat pada keadaan CHF. MPV pada keadaan

CHF juga menggambarkan adanya peningkatan aktifitas platelet. Ada banyak

faktor yang menyebabkan platelet teraktivasi pada keadaan CHF. Faktor-faktor

tersebut diantaranya adalah peningkatan katekolamin, aktivasi sistem renin

angiotensin, adanya perubahan hemodinamik, adanya perubahan vascular, adanya

pengaruh nitric oxide, dan adanya pengaruh dari sitokin-sitokin inflamasi (Budak

et al., 2014; Chung, I. and Lip, GY. 2006). Sebuah penelitian juga menemukan

adanya kenaikan nilai MPV pada keadaan stroke iskemik (Mayda Domac et al.,

2010). Hubungan antara peningkatan nilai MPV dan ischemic stroke adalah ada

pada tingginya rektifitas platelet yang MPV-nya besar sehingga meningkatkan

faktor resiko terjadinya ischemic stroke (Bath et al., 2004).


29

Kondisi VTE juga dikaitkan dengan peningkatan MPV. Pada Tromso

study, subjek yang memiliki nilai MPV fL dikatakan lebih beresiko untuk

terjadi VTE. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa pada kondisi deep vein

thrombosis (DVT) dapat ditemukan nilai MPV yang meningkat. MPV yang

meningkat adalah prediktor terjadinya VTE. Seperti yang sudah disebutkan

sebelumya peningkatan MPV melambangkan ukuran platelet yang lebih besar dan

platelet yang lebih reaktif, sehingga memiliki thrombotic potential yang lebih

tinggi dan mengekspresikan penanda-penanda aktivasi platelet yang lebih tinggi

seperti P-selectin. Akhir-akhir ini, kenaikan kadar P-selectin telah ditunjukkan

pada pasien-pasien VTE dan kenaikan P-selectin ini juga telah dihubungkan

dengan kenaikan resiko terjadinya VTE yang recurrent. Hal-hal ini mendukung

hipotesis bahwa aktivasi platelet dapat juga berperan dalam patogenesis terjadinya

VTE (Braekkan et al., 2009; Gasparyan et al., 2011).

Sepsis adalah kondisi yang sering dijumpai dan memang pada beberapa

penelitian menyebutkan bahwa subjek dengan kondisi sepsis memiliki nilai MPV

yang lebih tinggi. Sebuah penelitian di Turki menemukan bahwa nilai MPV

secara signifikan meningkat pada kelompok pasien sepsis dibandingkan dengan

kontrol serta lebih meningkat lagi nilainya secara signifikan pada kelompok

pasien sepsis berat dibandingkan dengan kelompok sepsis (Guclu et al., 2013).

Mekanisme dari perubahan fungsi platelet dalam keadaan sepsis masih belum

jelas. Bentuk platelet berubah dari discoid ke spherical dengan pseudopodia saat

aktivasinya dalam keadaan sepsis (Tajarernmuang et al., 2016). Merokok juga

dapat mempengaruhi nilai MPV. Kebiasaan merokok lama (didefinisikan dengan


30

20 batang rokok per hari selama setidaknya 5 tahun) dikatakan dapat

meningkatkan nilai MPV. Ada bukti dari sebuah penelitian yang melibatkan 121

subjek yang menghentikan kebiasaan merokoknya bahwa nilai MPV pada 121

subjek tersebut ditemukan kembali menurun (Gasparyan et al., 2011). Kenaikan

nilai MPV pada perokok menunjukkan adanya platelet-platelet muda yang

dilepaskan ke sirkulasi yang tentu saja bersifat lebih reaktif (Swaminathan et al.,

2015).

Banyak bukti juga telah menunjukkan peranan penting MPV sebagai

marker inflamasi, aktifitas penyakit, dan efikasi dari terapi anti inflamasi pada

beberapa penyakit inflamasi kronik. Sebuah penelitian di Turki menunjukkan

bahwa ada penurunan MPV pada subjek SLE dengan presentasi arthritis.

Penelitian lain juga menunjukkan penurunan MPV pada subjek dewasa dengan

SLE yang aktif. MPV juga dapat ditemukan menurun pada RA dan AS.

Penurunan nilai MPV pada SLE, RA, dan AS ini mungkin disebabkan karena

adanya peningkatan konsumsi platelet-platelet besar pada tempat inflamasi yang

terkait (Gasparyan et al., 2011; Safak et al., 2014; Delgado-Garcia et al., 2016;

Kisacik et al., 2008). Sebuah penelitian mengemukakan bahwa penurunan MPV

juga ditemukan secara signifikan pada kondisi IBD sehingga kegunaannya sangat

potensial sebagai pertanda aktifitas penyakit IBD tersebut (Kapsoritakis et al.,

2001). Pada proses inflamasi kronik seperti pada kasus IBD, terjadi abnormalitas

pembentukan trombosit dan terjadi peningkatan konsumsi platelet. Mediator-

mediator inflamasi menstimulasi prekursor-prekursor di sumsum tulang untuk

memacu pembentukan platelet dengan imbas waktu maturasi sehingga


31

mengeluarkan platelet-platelet yang lebih kecil ukurannya ke sirkulasi. Bersamaan

dengan itu, platelet-platelet yang lebih besar dan reaktif juga dikonsumsi di

tempat-tempat inflamasi pada IBD. Hal inilah yang menyebabkan turunnya MPV

pada kasus IBD (Voudoukis et al., 2014).

Kondisi perdarahan saluran cerna bagian atas juga dapat mempengaruhi

MPV. Pada sebuah penelitian disebutkan bahwa naiknya nilai MPV berhubungan

dengan durasi rawat inap di rumah sakit dan dengan jumlah transfusi darah yang

diperlukan pada kasus-kasus perdarahan saluran cerna bagian atas. Sementara itu

signifikansi nilai MPV pada kasus-kasus perdarahan lain masih belum banyak

diteliti (Tanoglu et al., 2015). Pasien-pasien yang dilakukan transfusi trombosit

tentu saja akan berpengaruh juga pada nilai MPV-nya. Pada kepustakaan

disebutkan bahwa usia trombosit normal yang beredar di dalam tubuh manusia

adalah rata-rata 10 hari, namun usia trombosit yang didapatkan dari hasil transfusi

adalah lebih pendek yaitu sekitar 4-5 hari (Shaz BH., 2009). Pada penelitian di

Korea, juga didapatkan adanya kenaikan nilai MPV pada pasien-pasien yang

mendapatkan transfusi trombosit (Lim, YA. and Cho, SR. 2009).

2.2.3 MPV pada Sirosis Hepatis

Baru-baru ini, hubungan antara MPV pada beberapa penyakit hati seperti

steatosis hati, SH, dan hepatitis telah diselidiki dan dipelajari. Steatosis hati dan

perlemakan hati secara langsung berhubungan dengan aterosklerosis dan faktor

risiko penyakit kardiovaskular, serta pada beberapa penelitian terdahulu, telah

menunjukkan adanya peningkatan MPV pada pasien dengan kondisi-kondisi ini

(HU et al., 2014). Sebuah penelitian juga telah menunjukkan adanya korelasi yang
32

positif antara MPV dengan tingkat fibrosis hati pada pasien dengan penyakit

hepatitis B kronik (Ekiz et al., 2011). Penelitian di Cina menunjukkan bahwa

MPV merupakan parameter laboratorium yang sederhana dan tidak invasif, serta

nilai MPV yang meningkat dapat berperan sebagai prediktor independent untuk

pasien-pasien sirosis dengan hepatitis B kronik (Qi et al., 2014). Selain itu,

penelitian lain juga menyebutkan peningkatan MPV pada pasien-pasien hepatitis

C kronik dengan tingkat fibrosis yang lanjut (Purnak et al., 2013). Pada pasien-

pasien dengan primary biliary cirrhosis (PBC), kenaikan nilai MPV juga

dihubungkan dengan derajat severitas histologis hati (Tahtaci et al., 2015). Sebuah

penelitian lain di India menemukan peningkatan signifikan MPV pada kelompok

pasien SH dibandingkan dengan kelompok normal. Penelitian tersebut juga

mengkorelasikan skor CTP dengan MPV dimana terdapat korelasi positif yang

signifikan diantara keduanya (Mukker et al., 2016).

Selain itu sudah disebutkan sebelumnya bahwa pada kondisi SH sering

dijumpai trombositopenia (Mukker et al., 2016). Kondisi trombositopenia ini

mempengaruhi derajat nilai MPV dimana pada kondisi trombositopenia, nilai

MPV cenderung lebih tinggi karena adanya hubungan terbalik antara hitung

platelet dan MPV dalam berbagai kondisi, baik itu kondisi fisiologis maupun

patologis. Hubungan terbalik ini seperti yang disebutkan sebelumnya sering

terlihat dalam berbagai penyakit inflamasi kronik dimana pada kondisi ini terjadi

peningkatan thrombopoiesis sehingga sejumlah platelet berukuran besar dilepas

ke sirkulasi dan bermigrasi ke tempat-tempat inflamasi dimana platelet-platelet

tersebut nantinya akan dikonsumsi (Gasparyan et al., 2011).


33

Pada SH, kita dapat menemukan adanya kondisi inflamasi sistemik.

Inflamasi sistemik ini dimediasi melalui aktivasi sel-sel imun innate dan adaptif

yang menyebabkan peningkatan produksi dari sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti

tumor necroting factor-α, IL-1, interferon-γ, IL-17, IL-18, ICAM-1, dan VCAM-

1. Pada banyak penelitian sebelumnya menyatakan juga bahwa kadar IL-6 plasma

pada kondisi SH ditemukan meningkat. IL-6 adalah sitokin berspektrum luas yang

dapat berperan pada maturasi megakariosit. Ketika efek dari IL-6 tersebut

digabung dengan efek IL-3 (efek sinergis), maka dapat meningkatkan

pertumbuhan megakariosit dan pertumbuhan sel-sel progenitor hematopoietik

muda secara cepat dan progresif. Dengan kata lain, IL-6 menyebabkan banyaknya

platelet muda berukuran besar yang masuk ke sirkulasi. Dikatakan juga bahwa IL-

6 mampu untuk menyebabkan peningkatan diameter platelet secara progresif.

Disamping trombositopenia pada kasus SH yang dapat berkontribusi dalam

meningkatnya MPV, peningkatan kadar IL-6 dan efek-efeknya pada maturasi

megakariosit dan pada peningkatan diameter platelet yang sudah dijelaskan

sebelumnya juga menjadi penyebab adanya peningkatan MPV pada kondisi SH

(Lee et al., 1996; Metwaly et al., 2016; Kurt et al., 2012). Pada sumber lain juga

dijelaskan bahwa pada pasien-pasien dengan kondisi hepatitis B kronik terdapat

peningkatan kadar IL-6 dimana IL-6 seperti yang disebut sebelumnya dapat

meningkatkan produksi platelet di sumsum tulang sehingga juga disebut hal inilah

yang menyebabkan banyaknya platelet-platelet muda berukuran besar yang

beredar di sirkulasi (Hu et al., 2014).


34

Anda mungkin juga menyukai