Theza Pellondo'u
Justice
Prosedur kesehatan yang ada harus sesuai dengan peraturan dan undang-
undang yang berlaku di suatu masyarakat. Dalam hal ini, ada empat hal yang
harus dipertimbangkan oleh penyedia layanan kesehatan, yaitu distribusi
sumber daya yang merata (terutama yang sulit didapat), kebutuhan tiap daerah
yang tidak sama, hak dan kewajiban, dan kemungkinan timbulnya konflik
dengan peraturan yang ada.
Prinsip justice menekankan pada pemerataan pelayanan kesehatan, yaitu
pasien-pasien yang berada dalam posisi yang serupa mendapatkan pelayanan
yang serupa pula.21, 22 Dengan kata lain imparsialitas harus diterapkan pada
semua orang, yang berarti lepas dari bias, prasangka, rasa tidak suka, atau pun
lebih menguntungkan suatu pihak dan merugikan pihak lain.23, 24 Poin nomor 9
Sumpah Dokter Indonesia secara jelas mengatakan bahwa dalam menunaikan
kewajiban terhadap penderita seorang dokter tidak akan membiarkan dirinya
terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik
kepartaian atau kedudukan sosial.25
Beneficence
Beneficence didefinisikan sebagai tindakan baik atau menghasilkan
kebaikan;26 secara aktif bertindak baik, termasuk yang bertujuan untuk
keuntungan orang lain.27
William Frankena mengatakan bahwa prinsip beneficence memiliki empat
elemen:28, 29
1. Seseorang tidak boleh menyebabkan keburukan
2. Seseorang harus mencegah keburukan
3. Seseorang harus menghilangkan keburukan
4. Seseorang harus berbuat atau membawa kebaikan
Suatu prosedur kesehatan harus dilakukan dengan tujuan utama kebaikan
pasien. Praktisi dan penyedia layanan kesehatan diwajibkan untuk selalu
mempertimbangkan risiko yang ada dari tiap alternatif penatalaksanaan, di
mana idealnya suatu tindakan hanya memiliki unsur keuntungan dan tanpa
unsur risiko. Hal ini tentu saja tidak mungkin tercapai, sehingga suatu prosedur
dikatakan memiliki nilai etis tinggi bila keuntungan melebihi risiko yang harus
diterima pasien. Penentuan beneficence dari suatu penatalaksanaan juga harus
mempertimbangkan pasien, karena pengertian pasien dan dokter dapat berbeda.
Penatalaksanaan yang sama pun bisa memiliki nilai beneficence yang berbeda
bagi pasien yang berbeda.
Ada kalanya di mana prinsip beneficence akan berbenturan dengan prinsip
autonomy, misalnya pasien stroke hemoragik yang sampai perlu dioperasi untuk
mengeluarkan darah dari rongga kepala namun setelah operasi pasien tidak mau
mengikuti saran dokter untuk mengubah kebiasaan hidup supaya tidak terjadi
stroke berikutnya. Bila keadaan ini terjadi, selama pasien memenuhi kriteria
untuk membuat keputusan otonom maka dokter harus menghormati keputusan
pasien. Dokter hanya bisa berusaha untuk meyakinkan pasien, tapi tidak berhak
untuk melarang pasien.30
Supaya seorang dokter dapat memenuhi prinsip beneficence dalam
melakukan pelayanan kesehatan maka dokter tersebut harus selalu menjaga
kesehatannya supaya dapat melayani pasien secara maksimal dan juga
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidangnya dan
juga mengikuti pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuannya, seperti
yang tercantum pada Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 20 dan 21.31
Nonmaleficence
Berbeda dengan prinsip beneficence yang bersifat aktif, prinsip
nonmaleficence lebih bersifat pasif. Inti dari prinsip ini adalah prosedur yang
dilakukan tidak boleh membuat pasien malah makin parah.
Maksim primum, non nocere, yang berarti “pertama-tama, jangan
melukai”, sudah dikenal di dunia kedokteran selama berabad-abad, meski pun
tidak diketahui secara pasti siapa yang mencetuskannya dan kapan munculnya.
Banyak yang berasumsi maksim ini berasal dari Hipokrates atau Galen namun
tidak ditemukan bukti yang mendukung,32 meski pun dalam Sumpah Hipokrates
ditemukan poin yang menyerupai maksim ini, yaitu “...and I will take care that
they suffer no hurt or damage”,33 yang dalam Sumpah Dokter Indonesia
disesuaikan menjadi “...senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.”34
James Childress mengatakan bahwa elemen pertama dari keempat elemen
beneficence William Frankena juga merupakan prinsip nonmaleficence.28, 29
Childress bersama Tom Beauchamp elemen Frankena menjadi nonmaleficence
(elemen 1) dan beneficence (elemen 2-4) dengan argumen kewajiban untuk
tidak menyebabkan keburukan berbeda dengan kewajiban untuk mendatangkan
kebaikan.35
Pada beberapa kasus, prinsip ini sulit untuk benar-benar diterapkan, karena
nyaris tidak ada prosedur yang tidak memiliki risiko sama sekali. Umumnya
keputusan diserahkan kepada pasien berdasarkan prinsip autonomy, bila pasien
tidak mungkin memberikan persetujuan atau pun penolakan maka dokter harus
mengingat syarat suatu prosedur dapat dikatakan prosedur yang etis, yaitu
keuntungan melakukan prosedur tersebut melebihi risiko yang ada.36
Penutup
Seorang dokter harus menyadari bahwa bioetika tidak hanya memelajari
tentang etika yang berkaitan dengan kedokteran. Bioetika merupakan subyek
ilmu transdisiplin yang mencakup biologi, kedokteran, etika, filsafat, hukum,
sosiologi, ekonomi, politik, antropologi, kebudayaan, agama, seni, dan bahasa
yang utamanya memelajari tentang perilaku manusia.
Bioetika sendiri merupakan disiplin ilmu yang tergolong baru yang
menggabungkan pengetahuan tentang biologi dan sistem-sistem nilai manusia,
yang menjembatani antara ilmu pengetahuan dan kemanusiaan dan
memperbaiki dunia yang beradab.
“Morality is not the doctrine of how we may make ourselves happy, but
how we may make ourselves worthy of happiness”
- Immanuel Kant -
Daftar Pustaka
1. Muzur, A., (2014). "The nature of bioethics revisited: A comment on Tomislav
Bracanović", Developing World Bioethics 1, 2014, pp 109–110.
2. “Astro-Ethics and Our Future”, www.astroethics.com, diakses pada 16 April 2015.
3. Freemont, P. F., Kitney, R. I., “Synthetic Biology”, World Scientific, New Jersey, 2012.
4. Mautner, M. N., (2009). "Life-centered ethics, and the human future in
space", Bioethics 23, 2012, pp 433–440.
5. Beauchamp, T. L. and Childress, J. F., “Principles of Biomedical Ethics” 7th ed, Oxford
University Press, Oxford, 2012.
6. Ebbesen, M., Andersen, S., and Pedersen, B. D., “Further Development of Beauchamp
and Childress’ Theory Based on Empirical Ethics”, 2012,
http://www.omicsonline.org/further-development-of-beauchamp-and-childress-theory-
based-on-empirical-ethics-2155-9627.S6-e001.pdf, diakses pada 12 Maret 2016.
7. “The four principles of biomedical ethics”,
http://www.ukcen.net/index.php/ethical_issues/ethical_frameworks/the_four_principles_
of_biomedical_ethics, diakses pada 8 April 2015.
8. “What are the Basic Principles of Medical Ethics?”,
https://web.stanford.edu/class/siw198q/websites/reprotech/New%20Ways%20of
%20Making%20Babies/EthicVoc.htm, diakses pada 14 April 2015.
9. Merriam-Webster Dictionary, “Autonomy”, http://www.merriam-
webster.com/dictionary/autonomy, diakses pada 13 Maret 2016.
10. Wikipedia, “Autonomy”, https://en.wikipedia.org/wiki/Autonomy, diakses pada 13
Maret 2016.
11. Wikipedia, “Nazi human experimentation”,
https://en.wikipedia.org/wiki/Nazi_human_experimentation, diakses pada 13 Meret
2016.
12. “Nazi Medical Experiments: Background & Overview”,
https://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/Holocaust/nazi_experiments.html, diakses
pada 13 Maret 2016.
13. Holocaust Encyclopedia, “Nazi Medical Experiments”,
https://www.ushmm.org/wlc/en/article.php?ModuleId=10005168, diakses pada 13 Maret
2016.
14. Reginbogin, H. R., “Tyranny on Trial”, The Nuremberg Trials: International Criminal
Law Since 1945, K. G. Saur München, 2006, p. 106.
15. Wikipedia, “Nuremberg trials”, https://en.wikipedia.org/wiki/Nuremberg_trials, diakses
pada 13 Maret 2016.
16. Wikipedia, “Doctors’ trials”, https://en.wikipedia.org/wiki/Doctors%27_trial, diakses
pada 13 Maret 2016.
17. Wikipedia, “Nuremberg Code”, https://en.wikipedia.org/wiki/Nuremberg_Code, diakses
pada 13 Maret 2016.
18. Appelbaum, P. S., “Assessment of patient’s competence to consent to treatment”, New
England Journal of Medicine, 2007, p. 357.
19. De Bord, J., “Informed Consent”, Ethics in Medicine, University of Washington School
of Medicine, 2014, https://depts.washington.edu/bioethx/topics/consent.html diakses
pada 13 Maret 2016.
20. Varellius, J., “The value of autonomy in medical ethics”, NCBI, 2006,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2780686/, diakses pada 15 Maret 2016.
21. UK Clinical Ethics Network, “Ethical Frameworks”, Ethical Issues,
http://www.ukcen.net/index.php/ethical_issues/ethical_frameworks/the_four_principles_
of_biomedical_ethics, 2011, diakses pada 14 Maret 2016.
22. Wordnik, “Impartiality”, https://www.wordnik.com/words/impartiality, diakses pada 14
Maret 2016.
23. Wikipedia, “Impartiality”, https://en.wikipedia.org/wiki/Impartiality, diakses pada 14
Maret 2016.
24. Merriam-Webster Dictionary, “Impartial”, http://www.merriam-
webster.com/dictionary/impartial, diakses pada 14 Maret 2016.
25. “Sumpah Dokter Indonesia”, Wikipedia,
http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Dokter_Indonesia, diakses pada 24 April 2015.
26. Merrian-Webster Dictionary, “Beneficent”, http://www.merriam-
webster.com/dictionary/beneficent, diakses pada 15 Maret 2016.
27. Medical Dictionary – The Free Dictionary, “Beneficence”, http://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/beneficence, diakses pada 15 Maret 2016.
28. Shelp, E. E. (ed), Childress, J. F., “Beneficence and Health Policy”, Philosophy and
Mendicine volume II: Beneficence and Health Care, D. Reidel Publishing Company,
Dordrecht, 1982, pp. 224-5.
29. Frankena, W. K., “Utilitarianism, Justice, and Love”, Ethics 2nd ed., 1973,
http://www.ditext.com/frankena/ethics.html, diakses pada 15 Maret 2016.
30. Pantilat, S., “Autonomy vs. Beneficence”, Ethics Fast Fact,
http://missinglink.ucsf.edu/lm/ethics/Content%20Pages/fast_fact_auton_bene.htm,
diakses pada 15 Maret 2016.
31. “Kode Etik Kedokteran Indonesia”, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, 2012.
32. Smith, C. M., “Origin and uses of primum non nocere--above all, do no harm!”, NCBI,
2005, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15778417, diakses pada 15 Maret 2016.
33. Edelstein, L., “The Hippocratic Oath: Text, Translation and Interpretation”, 1943, p 56.
34. “Sumpah Dokter Indonesia”, Wikipedia,
http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Dokter_Indonesia, diakses pada 24 April 2015.
35. Beauchamp, T. L. and Childress, J. F., “Nonmaleficence”, Principles of Biomedical
Ethics 7th ed, Oxford University Press, Oxford, 2012, p. 114.
36. Pantilat, S., “Beneficence vs. Nonmaleficence”, Ethics Fast Fact,
http://missinglink.ucsf.edu/lm/ethics/Content%20Pages/fast_fact_bene_nonmal.htm,
diakses pada 15 Maret 2016.