Anda di halaman 1dari 7

Empat Prinsip Fundamental Bioetika

Theza Pellondo'u

Ilmu bioetika mencakup bidang yang luas yang berkaitan dengan


kehidupan manusia, mulai dari aborsi sampai dengan eutanasia, termasuk
peminjaman/penyewaan rahim, alokasi sumber daya kesehatan yang sulit
didapat (contohnya organ, pembatasan layanan kesehatan), transplantasi organ,
juga hak untuk menolak prosedur penatalaksanaan karena alasan agama atau
kebudayaan.1 Cakupan bioetika juga bisa masuk ke bidang bioteknologi,
termasuk kloning, terapi gen, ekstensi kehidupan, perancangan genetik manusia,
astroetika dan kehidupan di luar angkasa,2 dan menipulasi biologi dasar melalui
pengubahan DNA dan protein.3 Perkembangan teknologi ini akan memengaruhi
evolusi di masa depan, dan mungkin juga akan memerlukan prinsip-prinsip baru
yang membahas tentang inti dari kehidupan, seperti etika biotik yang
menghargai kehidupan itu sendiri sebagai proses dan struktur biologis dasar,
dan juga perkembangannya.4
Dalam bidang kedokteran, fokus utama bioetika adalah hubungan antara
dokter dan pasien. Pasien sering berada dalam situasi yang menyulitkan dan
sering kali sulit untuk memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan, sehingga tak
jarang pula pasien – dan keluarganya – menyerahkan keputusan terbaik di
tangan dokter. Dengan pertimbangan inilah etikawan Amerika Tom L.
Beauchamp dan James F. Childress mencetuskan empat prinsip fundamental
bioetika pada tahun 1979.5 Prinsip-prinsip ini membentuk kerangka moral yang
dapat digunakan pasien dan dokter untuk menganalisa situasi yang dihadapi. 6
Sampai sekarang keempat prinsip etika kedokteran tersebut masih dipakai untuk
mengevaluasi keuntungan dan kesulitan dari suatu prosedur medis, dan prinsip
ini dapat digunakan di semua hal yang menyangkut permasalahan etis di bidang
kedokteran, bukan hanya dari sisi klinis. Idealnya, untuk suatu prosedur medis
dapat dikatakan etis, prosedur tersebut harus memenuhi keempat prinsip berikut
ini:5, 7, 8
1. (Respect for) Autonomy
2. Justice
3. Beneficence
4. Nonmaleficence

(Respect for) Autonomy


Otonomi berasal dari bahasa Yunani kuno, αὐτο (auto: diri sendiri) dan
νόμος (nomos: hukum), yang berarti menurut hukum yang dianut diri sendiri. 9
Makna luas dari otonomi adalah keadaan merdeka untuk mengatur diri sendiri
tanpa pengaruh dari luar; tidak sama dengan orang lain.10
Pasien memiliki otonomi dalam mengambil keputusan mengenai prosedur
pelayanan kesehatan, dan dalam pengambilan keputusan ini pasien tidak boleh
berada dalam tekanan mau pun paksaan, terutama dari praktisi kesehatan.
Supaya pasien bisa mengambil keputusan yang terbaik menurutnya, maka
dokter punya wajib untuk menjelaskan prosedur atau penatalaksanaan yang
akan dijalani pasien beserta alternatifnya secara lengkap dan jelas sehingga
pasien dapat memahami semua risiko dan keuntungan dari suatu prosedur dan
seberapa besar kemungkinannya untuk berhasil.
Pada saat Perang Dunia II para dokter dan peneliti Nazi Jerman melakukan
penelitian terhadap manusia tanpa persetujuan dari subyek penelitian, yaitu
tawanan perang, terutama orang-orang Yahudi. Penelitian dilakukan tanpa
memedulikan keselematan subyek, sehingga banyak yang menjadi cacat,
bahkan meninggal dunia, karena prosedur penelitian.11, 12, 13 Setelah Jerman
kalah perang, diadakan persidangan di kota Nuremberg, Jerman, terhadap
kejahatan perang yang dilakukan Jerman. Persidangan ini berlangsung dari 20
November 1945 sampai 1 Oktober 1946.14, 15 Pada tanggal 9 November 1946
dilaksanakan persidangan khusus untuk mengadili para dokter, peneliti, dan
orang-orang lain yang terlibat dalam penelitian selama perang tersebut, dan
pada tanggal 20 Agustus 1947 dikeluarkan hasil putusan sidang, dan salah
satunya adalah Kode Nuremberg.16, 17 Poin pertama dari Kode Nuremberg yang
berbunyi “Required is the voluntary, well-informed, understanding consent of
the human subject in a full legal capacity” inilah yang menjadi dasar dari
prinsip otonomi.17
Prinsip otonomi adalah inti dari konsep informed consent, yang merupakan
suatu proses di mana pemberi layanan kesehatan memberikan informasi yang
adekuat kepada pasien kompeten sehingga pasien dapat membuat pilihan
sukarela untuk menerima atau menolak penatalaksaan. 18 Supaya informed
consent dapat tercapai maka hal-hal berikut harus didiskusikan:19
- Prosedur yang akan dilakukan
- Alternatif dari penatalaksaan utama
- Risiko, keuntungan, dan ketidakpastian yang berkaitan dari masing-masing
pilihan
- Penilaian pengertian pasien
- Penerimaan pasien terhadap intervensi yang akan dilakukan
Ada tiga standar supaya informasi yang diberikan dapat dikatakan sebagai
informasi yang adekuat, yaitu berdasarkan standar dokter, standar pasien, dan
standar subyektif.19 Berdasarkan standar dokter, dokter selaku pemberi layanan
kesehatan yang menentukan informasi apa saja yang patut diberikan kepada
pasien. Kelemahan dari standar ini adalah standar ini cenderung tidak sesuai
dengan tujuan dari informed consent karena berfokus pada dokter dan bukannya
pasien. Standar pasien merupakan standar kecukupan informasi yang digunakan
di banyak negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan standar ini dokter harus
memberikan informasi selengkap-lengkapnya sampai pasien merasa jelas benar
apa yang akan dihadapinya. Standar ini juga beririsan dengan standar subyektif
karena pemberian informasi disesuaikan dengan kompetensi pasien, misalnya
taraf pendidikan dan ekonomi pasien.
Ada beberapa pengecualian terhadap terlaksananya prinsip autonomy ini,
di antaranya adalah:19
1. Pasien tidak mampu untuk membuat keputusan sendiri, misalnya pasien
demensia, yang mana keputusan akan diambil oleh yang berwenang.
2. Pasien tidak mampu untuk membuat keputusan sendiri sedangkan harus
segera dilakukan penatalaksanaan, misalnya pada kasus pasien cedera berat
dalam keadaan tidak sadar. Dalam hal ini keputusan dokter wajib
berlandaskan prinsip beneficence dan nonmaleficence.
3. Pasien sudah melepaskan haknya untuk membuat keputusan.
4. Pasien secara sadar menyerahkan keputusan ke tangan orang lain, umumnya
ke pasangannya atau keluarganya.
Dalam keadaan tertentu otonomi pasien dalam membuat keputusan dapat
dibatasi bila menyangkut keselamatan orang lain,20 misalnya pasien penyakit
menular seksual tidak mau pasangannya untuk tahu tentang penyakitnya
sementara prosedur penanganan penyakit menular seksual adalah mengobati
pasien dan pasangannya.

Justice
Prosedur kesehatan yang ada harus sesuai dengan peraturan dan undang-
undang yang berlaku di suatu masyarakat. Dalam hal ini, ada empat hal yang
harus dipertimbangkan oleh penyedia layanan kesehatan, yaitu distribusi
sumber daya yang merata (terutama yang sulit didapat), kebutuhan tiap daerah
yang tidak sama, hak dan kewajiban, dan kemungkinan timbulnya konflik
dengan peraturan yang ada.
Prinsip justice menekankan pada pemerataan pelayanan kesehatan, yaitu
pasien-pasien yang berada dalam posisi yang serupa mendapatkan pelayanan
yang serupa pula.21, 22 Dengan kata lain imparsialitas harus diterapkan pada
semua orang, yang berarti lepas dari bias, prasangka, rasa tidak suka, atau pun
lebih menguntungkan suatu pihak dan merugikan pihak lain.23, 24 Poin nomor 9
Sumpah Dokter Indonesia secara jelas mengatakan bahwa dalam menunaikan
kewajiban terhadap penderita seorang dokter tidak akan membiarkan dirinya
terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik
kepartaian atau kedudukan sosial.25

Beneficence
Beneficence didefinisikan sebagai tindakan baik atau menghasilkan
kebaikan;26 secara aktif bertindak baik, termasuk yang bertujuan untuk
keuntungan orang lain.27
William Frankena mengatakan bahwa prinsip beneficence memiliki empat
elemen:28, 29
1. Seseorang tidak boleh menyebabkan keburukan
2. Seseorang harus mencegah keburukan
3. Seseorang harus menghilangkan keburukan
4. Seseorang harus berbuat atau membawa kebaikan
Suatu prosedur kesehatan harus dilakukan dengan tujuan utama kebaikan
pasien. Praktisi dan penyedia layanan kesehatan diwajibkan untuk selalu
mempertimbangkan risiko yang ada dari tiap alternatif penatalaksanaan, di
mana idealnya suatu tindakan hanya memiliki unsur keuntungan dan tanpa
unsur risiko. Hal ini tentu saja tidak mungkin tercapai, sehingga suatu prosedur
dikatakan memiliki nilai etis tinggi bila keuntungan melebihi risiko yang harus
diterima pasien. Penentuan beneficence dari suatu penatalaksanaan juga harus
mempertimbangkan pasien, karena pengertian pasien dan dokter dapat berbeda.
Penatalaksanaan yang sama pun bisa memiliki nilai beneficence yang berbeda
bagi pasien yang berbeda.
Ada kalanya di mana prinsip beneficence akan berbenturan dengan prinsip
autonomy, misalnya pasien stroke hemoragik yang sampai perlu dioperasi untuk
mengeluarkan darah dari rongga kepala namun setelah operasi pasien tidak mau
mengikuti saran dokter untuk mengubah kebiasaan hidup supaya tidak terjadi
stroke berikutnya. Bila keadaan ini terjadi, selama pasien memenuhi kriteria
untuk membuat keputusan otonom maka dokter harus menghormati keputusan
pasien. Dokter hanya bisa berusaha untuk meyakinkan pasien, tapi tidak berhak
untuk melarang pasien.30
Supaya seorang dokter dapat memenuhi prinsip beneficence dalam
melakukan pelayanan kesehatan maka dokter tersebut harus selalu menjaga
kesehatannya supaya dapat melayani pasien secara maksimal dan juga
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidangnya dan
juga mengikuti pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuannya, seperti
yang tercantum pada Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 20 dan 21.31

Nonmaleficence
Berbeda dengan prinsip beneficence yang bersifat aktif, prinsip
nonmaleficence lebih bersifat pasif. Inti dari prinsip ini adalah prosedur yang
dilakukan tidak boleh membuat pasien malah makin parah.
Maksim primum, non nocere, yang berarti “pertama-tama, jangan
melukai”, sudah dikenal di dunia kedokteran selama berabad-abad, meski pun
tidak diketahui secara pasti siapa yang mencetuskannya dan kapan munculnya.
Banyak yang berasumsi maksim ini berasal dari Hipokrates atau Galen namun
tidak ditemukan bukti yang mendukung,32 meski pun dalam Sumpah Hipokrates
ditemukan poin yang menyerupai maksim ini, yaitu “...and I will take care that
they suffer no hurt or damage”,33 yang dalam Sumpah Dokter Indonesia
disesuaikan menjadi “...senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.”34
James Childress mengatakan bahwa elemen pertama dari keempat elemen
beneficence William Frankena juga merupakan prinsip nonmaleficence.28, 29
Childress bersama Tom Beauchamp elemen Frankena menjadi nonmaleficence
(elemen 1) dan beneficence (elemen 2-4) dengan argumen kewajiban untuk
tidak menyebabkan keburukan berbeda dengan kewajiban untuk mendatangkan
kebaikan.35
Pada beberapa kasus, prinsip ini sulit untuk benar-benar diterapkan, karena
nyaris tidak ada prosedur yang tidak memiliki risiko sama sekali. Umumnya
keputusan diserahkan kepada pasien berdasarkan prinsip autonomy, bila pasien
tidak mungkin memberikan persetujuan atau pun penolakan maka dokter harus
mengingat syarat suatu prosedur dapat dikatakan prosedur yang etis, yaitu
keuntungan melakukan prosedur tersebut melebihi risiko yang ada.36

Penutup
Seorang dokter harus menyadari bahwa bioetika tidak hanya memelajari
tentang etika yang berkaitan dengan kedokteran. Bioetika merupakan subyek
ilmu transdisiplin yang mencakup biologi, kedokteran, etika, filsafat, hukum,
sosiologi, ekonomi, politik, antropologi, kebudayaan, agama, seni, dan bahasa
yang utamanya memelajari tentang perilaku manusia.
Bioetika sendiri merupakan disiplin ilmu yang tergolong baru yang
menggabungkan pengetahuan tentang biologi dan sistem-sistem nilai manusia,
yang menjembatani antara ilmu pengetahuan dan kemanusiaan dan
memperbaiki dunia yang beradab.

“Morality is not the doctrine of how we may make ourselves happy, but
how we may make ourselves worthy of happiness”
- Immanuel Kant -
Daftar Pustaka
1. Muzur, A., (2014). "The nature of bioethics revisited: A comment on Tomislav
Bracanović", Developing World Bioethics 1, 2014, pp 109–110.
2. “Astro-Ethics and Our Future”, www.astroethics.com, diakses pada 16 April 2015.
3. Freemont, P. F., Kitney, R. I., “Synthetic Biology”, World Scientific, New Jersey, 2012.
4. Mautner, M. N., (2009). "Life-centered ethics, and the human future in
space", Bioethics 23, 2012, pp 433–440.
5. Beauchamp, T. L. and Childress, J. F., “Principles of Biomedical Ethics” 7th ed, Oxford
University Press, Oxford, 2012.
6. Ebbesen, M., Andersen, S., and Pedersen, B. D., “Further Development of Beauchamp
and Childress’ Theory Based on Empirical Ethics”, 2012,
http://www.omicsonline.org/further-development-of-beauchamp-and-childress-theory-
based-on-empirical-ethics-2155-9627.S6-e001.pdf, diakses pada 12 Maret 2016.
7. “The four principles of biomedical ethics”,
http://www.ukcen.net/index.php/ethical_issues/ethical_frameworks/the_four_principles_
of_biomedical_ethics, diakses pada 8 April 2015.
8. “What are the Basic Principles of  Medical Ethics?”,
https://web.stanford.edu/class/siw198q/websites/reprotech/New%20Ways%20of
%20Making%20Babies/EthicVoc.htm, diakses pada 14 April 2015.
9. Merriam-Webster Dictionary, “Autonomy”, http://www.merriam-
webster.com/dictionary/autonomy, diakses pada 13 Maret 2016.
10. Wikipedia, “Autonomy”, https://en.wikipedia.org/wiki/Autonomy, diakses pada 13
Maret 2016.
11. Wikipedia, “Nazi human experimentation”,
https://en.wikipedia.org/wiki/Nazi_human_experimentation, diakses pada 13 Meret
2016.
12. “Nazi Medical Experiments: Background & Overview”,
https://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/Holocaust/nazi_experiments.html, diakses
pada 13 Maret 2016.
13. Holocaust Encyclopedia, “Nazi Medical Experiments”,
https://www.ushmm.org/wlc/en/article.php?ModuleId=10005168, diakses pada 13 Maret
2016.
14. Reginbogin, H. R., “Tyranny on Trial”, The Nuremberg Trials: International Criminal
Law Since 1945, K. G. Saur München, 2006, p. 106.
15. Wikipedia, “Nuremberg trials”, https://en.wikipedia.org/wiki/Nuremberg_trials, diakses
pada 13 Maret 2016.
16. Wikipedia, “Doctors’ trials”, https://en.wikipedia.org/wiki/Doctors%27_trial, diakses
pada 13 Maret 2016.
17. Wikipedia, “Nuremberg Code”, https://en.wikipedia.org/wiki/Nuremberg_Code, diakses
pada 13 Maret 2016.
18. Appelbaum, P. S., “Assessment of patient’s competence to consent to treatment”, New
England Journal of Medicine, 2007, p. 357.
19. De Bord, J., “Informed Consent”, Ethics in Medicine, University of Washington School
of Medicine, 2014, https://depts.washington.edu/bioethx/topics/consent.html diakses
pada 13 Maret 2016.
20. Varellius, J., “The value of autonomy in medical ethics”, NCBI, 2006,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2780686/, diakses pada 15 Maret 2016.
21. UK Clinical Ethics Network, “Ethical Frameworks”, Ethical Issues,
http://www.ukcen.net/index.php/ethical_issues/ethical_frameworks/the_four_principles_
of_biomedical_ethics, 2011, diakses pada 14 Maret 2016.
22. Wordnik, “Impartiality”, https://www.wordnik.com/words/impartiality, diakses pada 14
Maret 2016.
23. Wikipedia, “Impartiality”, https://en.wikipedia.org/wiki/Impartiality, diakses pada 14
Maret 2016.
24. Merriam-Webster Dictionary, “Impartial”, http://www.merriam-
webster.com/dictionary/impartial, diakses pada 14 Maret 2016.
25. “Sumpah Dokter Indonesia”, Wikipedia,
http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Dokter_Indonesia, diakses pada 24 April 2015.
26. Merrian-Webster Dictionary, “Beneficent”, http://www.merriam-
webster.com/dictionary/beneficent, diakses pada 15 Maret 2016.
27. Medical Dictionary – The Free Dictionary, “Beneficence”, http://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/beneficence, diakses pada 15 Maret 2016.
28. Shelp, E. E. (ed), Childress, J. F., “Beneficence and Health Policy”, Philosophy and
Mendicine volume II: Beneficence and Health Care, D. Reidel Publishing Company,
Dordrecht, 1982, pp. 224-5.
29. Frankena, W. K., “Utilitarianism, Justice, and Love”, Ethics 2nd ed., 1973,
http://www.ditext.com/frankena/ethics.html, diakses pada 15 Maret 2016.
30. Pantilat, S., “Autonomy vs. Beneficence”, Ethics Fast Fact,
http://missinglink.ucsf.edu/lm/ethics/Content%20Pages/fast_fact_auton_bene.htm,
diakses pada 15 Maret 2016.
31. “Kode Etik Kedokteran Indonesia”, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, 2012.
32. Smith, C. M., “Origin and uses of primum non nocere--above all, do no harm!”, NCBI,
2005, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15778417, diakses pada 15 Maret 2016.
33. Edelstein, L., “The Hippocratic Oath: Text, Translation and Interpretation”, 1943, p 56.
34. “Sumpah Dokter Indonesia”, Wikipedia,
http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Dokter_Indonesia, diakses pada 24 April 2015.
35. Beauchamp, T. L. and Childress, J. F., “Nonmaleficence”, Principles of Biomedical
Ethics 7th ed, Oxford University Press, Oxford, 2012, p. 114.
36. Pantilat, S., “Beneficence vs. Nonmaleficence”, Ethics Fast Fact,
http://missinglink.ucsf.edu/lm/ethics/Content%20Pages/fast_fact_bene_nonmal.htm,
diakses pada 15 Maret 2016.

Anda mungkin juga menyukai