712 1396 1 PB
712 1396 1 PB
Jerizal Petrus
Pendidikan Bimbingan Konseling Universitas Negeri Semarang, Indonesia
PENDAHULUAN
Disadari bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni sangat pesat mengalami
kemajuan. Dengan demikian maka profesi konselor semakin ditantang untuk menghadapi
perkembangan tersebut. Untuk membentuk kepercayaan masyarakat terhadap profesi konselor maka
jalan satu - satunya adalah meningkatkan kinerja yang lebih baik. Peningkatan kinerja konselor
tentu sejalan dengan peningkatan keterampilan dalam membangun hubungan dalam proses
konseling.
Konseling adalah suatu cara profesional untuk membantu orang lain yang berfokus pada
kebutuhan dan tujuannya. Cara profesional memberi makna bahwa praktek konseling harus
melibatkan penggunaan keterampilan-keterampilan spesifik untuk mencapai tujuan bersama klien.
Dengan kata lain konseling adalah seni mempengaruhi konseli. Artinya, dengan proses konseling
konseli dapat dipengaruhi secara positif dalam memandang dan bertindak terhadap masalah yang
sementara dihadapi sehingga proses perubahan diri Konseli dapat berlangsung secara wajar. Untuk
itu, maka konselor membutuhkan seperangkat keterampilan konseling untuk mempengaruhi konseli
dapat berubah secara optimal berdasarkan potensi yang dimilikinya.
Dalam kerangka pikir itulah maka sebagai salah satu profesi yang melaksanakan praktek
profesional harus selalu memperbaharui diri dari segi teoritis -konseptual dan juga praktek. Dengan
menyadari akan hal tersebut niscaya praktek konseling di Indonesia akan mendapat tempat yang
dihargai dan bermartabat serta dipercaya oleh masyarakat luas dan tidak hanya dihargai dan
dipercayai pada setiap persekolahan saja. Praktek konseling secara profesional mengandung arti
bahwa konseling dilaksanakan oleh konselor yang benar-benar memahami teori dan praktek konseling
pada segala setting dan konteks.
Keberhasilan proses konseling terkait erat dengan dua hal utama yaitu karakteristik konselor
dan karakteristik klien. Karakteristik konselor yang dimaksudkan adalah konselor memiliki
pengetahuan dan praktek konseling, dapat meningkatkan harapan dan kehangatan yang positif.
Karakteristik konselor dalam proses konseling erat kaitannya dengan apa yang disebut dengan
kualitas konselor. Geldard, K & Geldard D., (2011) menjelaskan bahwa konselor yang berkualitas
memiliki ciri umum seperti bersikap tulus (kongruen); berempati; bersikap hangat; dan menunjukkan
kepekaan dalam hubungan harmonis yang dilandasi saling pengertian; tidak menghakimi dengan
penerimaan positif tanpa syarat; menunjukkan perhatian, pengertian dan dukungan; bersikap
kolaboratif di samping juga menunjukkan penghargaan terhadap kompetensi klien; dan menunjukkan
kemampuan dalam menggunakan keterampilan - keterampilan konseling sesuai dengan maksud dan
tujuannya.
Secara sengaja kajian ini dibuat semata-mata ingin mengingatkan atau menyegarkan kembali
kepada konselor bahwa kunci keberhasilan sebuah proses konseling harus dimulai dari bagaimana
membangun hubungan yang membantu konseli. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak konselor
gagal membangun hubungan proses konseling, tetapi proses konseling dipaksakan untuk tetap
dilanjutkan dalam sesi-sesi selanjutnya. Dalam kenyataan lain, proses konseling sering kali tidak
memperhatikan faktor-faktor umum yang mempengaruhi keberhasilan proses konseling. Sehingga,
yang terjadi dalam proses konseling hanya sebagai ajang uji coba teknik atau model konseling yang
diandalkan oleh konselor. Dekan kata lain konseling yang terjadi bukan semata-mata mencapai tujuan
esensial dari proses konseling namun lebih mengutamakan pengujian keefektifan dari model atau
teknik yang digunakan dalam konseling. Padahal ada banyak faktor yang ikut mempengaruhi
keberhasilan proses konseling itu sendiri.
Hubungan yang membantu dan komunikasi teraupetik adalah hal yang sangat penting dalam
proses konseling dan psikoterapi. Dalam bagian-bagian berikut ini akan dijelaskan tentang konsep
hubungan, kondisi inti hubungan teraupetik, strategi/teknik komunikasi dalam hubungan, kualitas
hubungan, dan 4 faktor umum dalam teraupetik. Dengan sub -bahasan sebagaimana disebutkan itu,
diharapkan dapat memberi sejumlah informasi terkait dengan proses hubungan yang membantu dan
bagaimana komunikasi terupatik dipraktekan.
METODE PENELITIAN
Konsep Hubungan
Kontak aktual antara konselor dan Konseli yang mencari pertolongan merupakan inti dari
apa yang dimaksud dengan konseling. Terlepas dari konselor yang mungkin dapat menggunakan teori
untuk memahami malasah klien, dan mungkin saja memiliki berbagai teknik yang dikehendaki
Konseliuntuk mengungkap dan mengatasi berbagai masalah tersebut, faktanya adalah teori dan
praktik disampaikan melalui kehadiran dan eksistensi konselor sebagai person; sebab alat utama dari
konseling adalah konselor. Minat kepada hubungan teraupetik telah menjadi perhatian umum semua
praktisi terapi. Bahkan walaupun berbagai pendekatan konseling yang berbeda dapat memahami
hubungan klien-Konselor dalam berbagai cara, akan tetapi mereka semua dapat sepakat bahwa
konseling yang efektif terletak pada cara hubungan ini berfungsi, apa yang terjadi apabila hubungan
tersebut bermasalah dan bagaimana cara membenarkannya (McLeod, 2013:401-402).
Sehubungan dengan hubungan teraupetik sebagaimana dijelaskan di atas, Capuzzi Gros
(2011:3) menjelaskan bahwa hubungan yang membantu tampaknya menjadi landasan yang efektif
(Bertolino & O'Hanlon, 2002; Halverson & Miars, 2005; Miars & Halverson, 2001; Seligman,2001;
Skovholt, 2005; Sommers-Flanagan, 2007). Kata-kata seperti integral, perlu dan wajib digunakan
untuk menggambarkan hubungan dan pentingnya dalam efektivitas proses membantu. Meskipun
secara teoritis yang berbeda dan menggunakan pendekatan yang berbeda untuk menggambarkan
hubungan, masing-masing membahas signifikansi hubungan membantu dalam memfasilitasi
perubahan klien. Kottler dan Brown (1992), dalam buku mereka Pengantar Terapi Konseling,
membuat komentar mengenai pentingnya hubungan berikut ini:Terlepas dari pengaturan di mana
Anda berlatih konseling, apakah di sekolah, lembaga, rumah sakit, atau praktek swasta, hubungan
Anda mengembangkan konseli sangat penting untuk setiap kemajuan. Karena tanpa tingkat
keintiman yang tinggi dan kepercayaan antara konselor dan konseli, sangat sedikit yang bisa dicapai.
Dalam hubungan lebih lanjut dari pentingnya hubungan yang membantu, harus bersifat
dinamis. Artinya bahwa itu terus berubah baik secara verbal maupun nonverbal. Hubungan adalah
kendaraan utama untuk konseli dan konselor untuk mengekspresikan dan memenuhi kebutuhan
mereka, serta untuk masalah konselor dengan keahlian membantu. Hubungan menekankan aspek
afektif, karena hubungan umumnya didefinisikan kualitas emosional yang disimpulkan dari interaksi.
Selanjutnya Mc Leod (2013) menjelaskan bahwa nilai penting hubungan konseli dan
konselor telah direfleksikan dalam berbagai temuan studi riset. Dalam riset tersebut konseli diminta
untuk menggambarkan apa manfaat dari konseling dan apa yang tidak berfaedah dari konseling.
Mereka menemukan bahwa para konseli menganggap faktor hubungan lebih penting ketimbang
penggunaan teknik terapi. Dalam pandangan konseli, kualitas hubungan dengan konselor merekalah
yang memberikan kontribusi besar terhadap nilai terapi untuk mereka. Riset lainnya mencakup
pengukuran kekuatan hubungan klien dan konselor di awal terapi, dan mencari tahu apakah kekuatan
hubungan teraupetik akan membuahkan hasil yang baik. Riset ini berulang kali memperlihatkan
kuatnya korelasi antara kualitas hubungan teraupetik dengan jumlah yang konseli dapatkan dari
terapi.
McLeod (2013) memberi kesimpulan bahwa dalam proses konseling pentingnya
hubungan antara konseli dan konselor dalam semua pendekatan terapi. Jelas bahwa konselor yang
didik untuk menggunakan model teoritis yang berbeda juga menggunakan cara yang berbeda untuk
memahami hubungan teraupetik. Dan, juga tampak jelas bahwa ada “kebenaran” mendasar berkaitan
dengan hubungan konselor dan konseli, dan relevan dengan semua pendekatan konseling, di dalam
ide Rogers (1957) dan Bordin (1979), serta konsep transference dan counter-trensference Freud. Terdapat
pula kecenderungan bahwa sebagian Konseli akan merespon lebih baik terhadap beberapa tipe
hubungan tertentu, tergantung pada sejarah dan kebutuhan personal mereka. Hubungan teraupetik
sangat berarti dalam konseling – kualitas hubungan tersebut menunjukkan kontribusi signifikan
terhadap hasil akhir konseling, dan kemampuan untuk membuat konseli tetap mengikuti konseling.
Karena itu, konselor harus menyadari seberapa besar kekuatannya dalam membuat dan
mempertahankan cara bermanfaat dalam berhubungan dengan klien, dan juga untuk tetap terus
berusaha untuk lebih responsif terhadap begitu banyaknya variasi pola hubungan yang mungkin
ditunjukkan oleh klien. Hubungan teraupetik adalah hal yang kompleks dan beroperasi pada sejumlah
level yang berbeda di satu waktu. Sangat sulit untuk menggeneralisir dengan baik pandangan
seseorang untuk membangun pemahaman yang akurat tentang bagaimana perilaku seseorang dalam
hubungan. Bagi konselor mana pun, membangun pemahaman tentang bagaimana dia “masuk” dalam
hubungan dengan konseli sangat ditentukan oleh kesempatan yang dimilikinya, seperti kelompok
pendidikan, atau supervisi, yang akan diberikan umpan balik dan menantang caranya berhubungan
dengan orang lain.
Dalam penjelasan Capuzzi Gros (2013) selanjutnya terkait dengan proses perkembangan
membangun hubungan dengan mengacu pada Brammer (1985); Purkey dan Schmidt (1987); dan
Egan (2002) menjelaskan sebagai berikut :
Brammer (1985) membagi proses perkembangan menjadi dua fase, masing-masing dengan
empat tahap yang khas. Tahap pertama; membangun hubungan, termasuk mempersiapkan
konseli dan membuka hubungan, mengklarifikasi masalah, dan penataan proses. Tahap kedua;
memfasilitasi tindakan positif, melibatkan eksplorasi, konsolidasi, perencanaan dan penghentian.
Purkey dan Schmidt (1987) mengembangkan tiga tahap dalam membangun hubungan yang
membantu, masing-masing berisi empat langkah. Tahap pertama; persiapan, termasuk memiliki
keinginan untuk hubungan, mengharapkan hal-hal yang baik, mempersiapkan pengaturan, dan
membaca situasi. Tahap kedua; mulai menanggapi, termasuk memilih caringly, bertindak tepat,
menghormati konseli, dan memastikan penerimaan. Tahap ketiga; tindak lanjut dan termasuk
menafsirkan tanggapan, negosiasi posisi, mengevaluasi proses dan mengembangkan kepercayaan.
Egan (2002) menyatakan bahwa hubungan yang membantu minimal dapat dipecah menjadi
tiga tahap; membangun hubungan, menantang konseli untuk menemukan cara mengubah, dan
memfasilitasi tindakan konseli yang positif. Tujuan dalam tahap pertama adalah untuk membangun
dasar saling kepercayaan dan pemahaman konseli. Pada tahap kedua, konselor menantang konseli
untuk “mencoba” cara berpikir yang baru, perasaan, dan berperilaku. Pada tahap ketiga, konselor
membantu konseli dalam tindakan memfasilitasi yang mengarah ke arah perubahan dan pertumbuhan
dalam kehidupan Konselidi luar hubungan konseling.
Berdasarkan pada pandangan-pandangan di atas terkait dengan perkembangan membangun
hubungan, oleh Capuzzi Gros (2013) menjelaskan bahwa proses membangun hubungan yang
didasarkan pada konsistensi ditemukan dalam penelitian dan pengalaman klinis sebagai berikut:
tahap pertama pengembangan hubungan. Tahap ini meliputi pertemuan awal konseli dan
konselor, membangun hubungan, pengumpulan informasi, penetapan tujuan dan menginformasikan
tentang kondisi konseli di mana konseling akan mengambil tempat (peran misalnya, kerahasiaan,
merekam, konselor/konseli).
tahap kedua extended eksplorasi. Tahap ini dibangun atas dasar yang ditetapkan dalam tahap
pertama. Melalui teknik yang dipilih, pendekatan teoritis, dan strategi, konselor mengeksplorasi
secara mendalam dinamika emosional dan kognitif dari konseli, parameter masalah, mencoba solusi
sebelumnya, kemampuan pengambilan keputusan dan evaluasi tujuan yang ditentukan pada tahap
pertama.
tahap ketiga resolusi masalah. Tahap ini tergantung pada informasi yang diperoleh selama
dua tahap sebelumnya ditandai dengan meningkatnya aktivitas untuk semua pihak yang terlibat.
Kegiatan konselor, menunjukkan, instruksi, dan menyediakan lingkungan yang aman bagi
pengembangan perubahan. Kegiatan konseli fokus pada reevaluasi, emosional dan dinamika kognitif,
mencoba perilaku baru (baik di dalam dan di luar sesi).
tahap keempat pemutusan dan tindak lanjut. Tahap ini adalah tahap penutupan hubungan
yang membantu dan kooperatif ditentukan oleh semua pihak yang terlibat. Metode dan prosedur
untuk tindak lanjut ditentukan sebelum pertemuan berakhir.
Hal penting untuk diingat bahwa hubungan ini tidak secara otomatis melalui tahapan yang
diidentifikasi secara berurut. Hubungan mungkin akan berakhir disalah satu tahap berdasarkan
keputusan yang dibuat oleh konseli, konselor, atau keduanya. Dan juga tidak mungkin untuk
mengidentifikasi jumlah waktu yang harus dialokasikan untuk setiap tahap tertentu. D. Brown dan
Srebalus (1998), menyikapi sifat tentatif dari tahap hubungan ini secara hati-hati sebagai berikut:
sebelum menjelaskan urutan peristiwa dalam konseling, penting untuk dicatat bahwa banyak
konseli, untuk suatu alasan atau lainnya, tidak akan menyelesaikan semua tahapan konseling. Proses
itu akan ditinggalkan sebelum waktunya, bukan karena sesuatu yang tidak beres, tetapi karena faktor
eksternal untuk hubungan konselor-klien. Misalnya, tahun ajaran mungkin akan berakhir untuk klien
mahasiswa, atau konselor mungkin menjauh untuk menerima pekerjaan baru. Ketika konseling
sedang dalam proses dan harus tiba-tiba berakhir, para peserta akan merasakan ketidaklengkapan dan
merasa kehilangan.
persepsi konselor. Dengan mencerminkan perasaan, seorang konselor melampaui ide dan pemikiran
yang diungkapkan oleh konseli dan merespon perasaan dan emosi di balik kata-kata.
clarifying dan perception checking
strategi ini memungkinkan seorang konselor meminta konseli untuk menjelaskan kata-kata,
pikiran, atau perasaan (klarifikasi) atau untuk meminta konfirmasi atau koreksi dari persepsi mengenai
kata-kata, pikiran, atau perasaan.
Summarizing
strategi ini memungkinkan konselor untuk melakukan beberapa hal: pertama, secara lisan
meninjau berbagai jenis informasi yang telah disampaikan dalam sesi; kedua, konselor menyoroti
informasi yang telah dibahas; dan ketiga, menyediakan kesempatan kepada konseli untuk mendengar
berbagai isu yang telah disajikan. Oleh karena itu, konselor dan konseli tidak hanya meninjau ulang
dan menentukan signifikansi informasi yang disajikan tetapi juga untuk menggunakan ulasan untuk
membangun.
positif, pengungkapan diri disertai dengan kemungkinan pemodelan pengungkapan diri untuk
konseli atau membantu konseli mendapatkan perspektif yang berbeda tentang masalah yang disajikan.
Ketika digunakan dengan tepat, keuntungan yang dibuat oleh semua pihak yang terlibat, dan
hubungan bergerak ke level yang lebih dalam.
confrontation
strategi ini memungkinkan konselor untuk memberikan umpan balik kepada konseli secara
berbeda dengan apa yang disajikan oleh konseli berdasarkan fakta yang jujur. Konselor menggunakan
strategi ini untuk menunjukkan reaksinya kepada klien, untuk mengidentifikasi perbedaan antara kata-
kata dan perilaku konseli, dan untuk menantang konseli untuk menempatkan kata-kata dan ide-ide ke
dalam tindakan. Jenis umpan balik langsung dan jujur harus menyediakan konseli dengan wawasan
tentang bagaimana konseli dihargai, serta menunjukkan tingkat kepedulian konselor.
response to nonverbal behaviors
strategi ini memungkinkan konselor untuk melampaui kata-kata konseli dan merespon pesan
yang sedang dikomunikasikan dengan tindakan fisik konseli. Hal ini dilihat dari seluruh gerakan
tubuh. Konselor mencari pola untuk mengkonfirmasi atau menyangkal kebenaran dalam kata-kata
konseli menggunakan ekspresi sendiri. Ketika pola seperti itu menjadi jelas, itu adalah tanggung jawab
konselor untuk berbagi pola-pola ini dengan konseli. Ini menjadi tanggung jawab konseli untuk
kerahasiaan atau menolak kredibilitas presepsi.
Teknik bukanlah hal yang tidak penting untuk keberhasilan terapi. Dalam kebanyakan
kasus, tiga faktor lainnya juga ikut mempengaruhi keberhasilan terapi, dalam waktu yang bersamaan
konselor menggunakan teknik-teknik khusus. Akibatnya meskipun sulit untuk menunjukkan tingkat
keberhasilan yang berbeda berdasarkan teknik yang berbeda, tanpa menggunakan model teoritis akan
sangat sulit membayangkan hasilnya. Lambert memperkirakan bahwa 15% variasi hasil terapi adalah
teknik-teknik khusus yang digunakan. Sedangkan menurut Wamplod (2001) memperkirakan
serendah 4%.
Expectancy
Frangki (1961) mendefinisikan variabel terapi sebagai harapan. Prosedur yang berbeda
semua dapat dilihat sebagai harapan positif atau harapan terapi. Jelas, sebagai faktor perubahan
positif potensial, harapan adalah kompleks dan dapat digunakan dan disalahgunakan. Secara
keseluruhan, Lambert memperkirakan bahwa harapan, memberi kontribusi variasi 15% dalam hasil
terapi.
Theraupetic Relationship
Setidaknya ada dua cara hubungan terapeutik tampaknya menghasilkan hasil terapi yang
positif. Pertama, sebagaimana Rogers (1942) mengemukakan, ketika konselor berhubungan dengan
konseli menggunakan kondisi inti positif tanpa syarat, empati, dan kesesuaian, hasil terapi lebih
positif. Rogers menyebut kondisi ini sebagai sikap konselor. Kedua, Freud secara tersirat menjelaskan
bahwa aliansi terapi ditandai kerja sama konseli dengan konselor. Ikatan antara konselor dan
konselitelah diidentifikasi sebagai komponen terapi yang penting dalam banyak studi (Barber,
Connolly, Crits-Christoph, Gladis, & Siqueland, 2009; Byrd, Patterson, & Turchik, 2010;
CritsChristoph, Gibbons, & Hearon, 2006; Kendall et al, 2009;. Meissner, 2007). Sebuah interaksi
spesifik yang baik contoh dari ikatan terapeutik dapat memfasilitasi atau memperdalam ikatan terapi
terjadi ketika konselor dan konseli berkolaborasi pada penetapan tujuan. Secara keseluruhan, Lambert
memperkirakan bahwa faktor hubungan terapi sekitar 30% dalam hasil terapi.
Extratherapeutic Factors
Lambert (1992) mendefinisikan faktor extratherapeutic sangat luas. Artinya faktor tersebut
termasuk faktor konseli seperti keparahan gangguan, motivasi, kemampuan untuk berhubungan
dengan orang lain, kekuatan ego, dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah di dalam
konseling, serta sumber bantuan dan dukungan dalam lingkungan (konseli) (Asay & Lambert, 1999,
hal. 33). Misalnya, banyak konseli yang mengalami remisi spontan (peningkatan tiba-tiba tanpa terapi)
melakukannya karena dukungan positif dari orang-orang penting dalam hidup mereka. Lambert
berpendapat bahwa faktor perubahan extratherapeutic sekitar 40% dari keberhasilan konseli.
Hasil riset lain yang dilakukan oleh Thomas L. Michelle (2006:205). Dalam penelitiannya
memperlihatkan keberhasilan keempat faktor penentu dalam hubungan teraupetik. Presentase rata-
rata untuk faktor umum untuk konselor di antaranya: 22% untuk faktor ekstra-terapeutik; 16% untuk
model atau teknik; 35% untuk hubungan terapeutik; dan 27% untuk harapan dan ekspektasi konseli.
Temuan untuk presentasi rata-rata kontribusi konseli dan konselor untuk mengubah dalam proses
konseling di antaranya; 61% untuk konseli dan 39% untuk konselor. Presentase keseluruhan untuk
faktor umum konseli di antaranya: 13% untuk faktor ektra-terapeutik; 28% untuk model/teknik
konseling; 29% untuk hubungan terapeutik; dan 30% untuk faktor harapan dan ekspektasi konseli.
Temuan untuk presentase kontribusi rata-rata konseli dan konselor untuk mengubah dalam proses
konseling di antaranya: 60% untuk konseli dan 40% untuk konselor.
Berdasarkan hasil-hasil temuan empirik di atas mengingatkan kepada konselor agar dalam
proses konseling perlu memperhatikan faktor-faktor umum tersebut. Oleh karena itu, empat faktor
tersebut harus mewarnai kerangka konseptual dan kerangka kerja konselor dalam melaksanakan
praktek konseling. Selain itu, keempat faktor ini memberi referensi yang efektif terhadap praktek –
praktek penelitian terbaik dalam bidang konseling dan perlu ada penelitian secara berkelanjutan
dalam setiap setting dan konteks di mana konseling itu dipraktekkan.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu: (a)
Membangun hubungan dalam proses konseling adalah hal mutlak yang harus dilakukan oleh konselor
dalam membantu konseli, (b) Konselor perlu melatih diri membangun hubungan yang membantu
dalam proses konseling agar kualitas hubungan antara konselor dan konseli lebih bermakna, (c)
Konselor perlu menguasai strategi membangun hubungan dalam proses konseling. Strategi yang
dimaksud adalah strategi membangun hubungan dan mendorong dialog konseli; strategi yang
membantu pengumpulan data dan informasi yang berkaitan dengan konseli; dan strategi yang
menambah ke dalam dan meningkatkan hubungan, (d) Dalam proses konseling, konselor perlu
memperhatikan faktor-faktor umum yang ikut mempengaruhi keberhasilan konseling yaitu faktor
model atau teknik yang digunakan dalam proses konseling, faktor harapan konseli, faktor hubungan
teraupetik, dan faktor ektra-terapeutik.
DAFTAR PUSTAKA
Capuzzi, D., & Gross, D.R. 2011. Counseling and Psychotherapy: Theories and Interventions (5th edition). Alexandria:
ACA.
Corey, Gerald. 2013. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (9 th edition). California: Brooks/Cole.
Flagan S.J & Flagan S.R. 2015. Counseling and Psychotherapy: Theory in Context and Practice. Canada: John
Wiley & Sons, Inc.
Geldard, K. & Geldard, D. 2011. Keterampilan Praktik Konseling: Pendekatan Integratif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Jones, N.R. 2012. Introduction to Counseling Skills. Londong: SAGE Publication.
McLeod, J. 2013. An Intoduction to Counseling. Fith Edition. New York: Open University Press.
Thomas, L.M. 2016. The Controibutung Factors of Changein a Theraupetic Process. Florida State University.