Anda di halaman 1dari 54

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bagian ini memaparkan tentang: (1) Konsepsi belajar dan pembelajaran menurut

paradigma konstruktivistik, (2) strategi pembelajaran perubahan konseptual, (3)

strategi pembelajaran langsung, (4) alat praktik fisika berbasis lingkungan, (5) alat

praktik fisika berbasis laboratorium, (6) remidiasi miskonsepsi, (7) hasil

penelitian yang relevan, (8) kerangka berpikir, dan (9) hipotesis penelitian.

2.1 Konsepsi Belajar dan Pembelajaran menurut Paradigma Konstruktivistik

Menurut konsep konstruktivisme, pengetahuan seseorang bersifat

temporer, terus berkembang, terbentuk dengan mediasi masyarakat dan budaya.

Pengetahuan itu tidak pernah berhenti berkembang. Pengetahuan dalam diri

seseorang terbentuk ketika seseorang mengalami tempaan kognitif. Melalui

perspektif ini belajar dapat dipahami sebagai proses terbentuknya konflik kognitif

yang bergulir dengan sendirinya dalam diri seseorang ketika yang bersangkutan

memperoleh pengalaman kongkrit, wacana kolaboratif, dan kegiatan melakukan

refleksi (Santyasa, 2007b).

Para pendidik yang telah mencoba mewujudkan paradigma

konstruktivisme di dalam kelas kemudian mendeskripsikan prinsip-prinsip

pembelajaran berdasarkan paradigma tersebut. Brooks dan Brooks (dalam

Santyasa, 2007b) menyatakan lima prinsip belajar menurut paradigma

konstruktivisme yang satu sama lain berjalin berkelindan, yaitu: (1)

21
2

menghadapkan peserta didik kepada problem yang saling berkaitan; (2) membuat

struktur pembelajaran lewat konsep pokok dan di sekitar pikiran dasarnya; (3)

mendorong dan menghargai munculnya pandangan dari dalam diri peserta didik;

(4) kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan dan kemauan peserta didik, dan (5)

menilai pembelajaran secara kontekstual.

Dalam belajar sesuai dengan konsep konstrukstivisme hendaknya belajar

difokuskan pada kebermaknaan konsep daripada penghafalan pengetahuan.

Belajar bermakna terjadi melalui refleksi, resolusi konflik kognitif, dialog,

penelitian, pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, yang semuanya ditujukan

untuk memperbaharui tingkat pemikiran individu sehingga menjadi semakin

sempurna. Pembelajaran lebih dicirikan oleh aktivitas eksperimentasi, pertanyaan-

pertanyaan, investigasi, hipotesis, dan model-model yang dibangkitkan oleh siswa

sendiri.

Untuk menginternalisasi serta dapat menerapkan pembelajaran menurut

paradigma konstruktivistik, terlebih dulu guru diharapkan dapat merubah pikiran

sesuai dengan pandangan konstruktivistik. Guru konstruktivistik memiliki ciri-ciri

sebagai berikut.

1) Menghargai otonomi dan inisiatif siswa.

2) Menggunakan data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada

keterampilan berpikir kritis.

3) Mengutamakan kinerja siswa berupa mengklasifikasi, mengananalisis,

memprediksi, dan mengkreasi dalam mengerjakan tugas.

4) Menyertakan respon siswa dalam pembelajaran dan mengubah model atau

strategi pembelajaran sesuai dengan karakteristik materi pelajaran.


3

5) Menggali pemahaman siswa tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan

sebelum sharing pemahamannya tentang konsep-konsep tersebut.

6) Menyediakan peluang kepada siswa untuk berdiskusi baik dengan dirinya

maupun dengan siswa yang lain.

7) Mendorong sikap inquiry siswa dengan pertanyaan terbuka yang menuntut

mereka untuk berpikir kritis dan berdiskusi antar temannya.

8) Mengelaborasi respon awal siswa.

9) Menyertakan siswa dalam pengalaman-pengalaman yang dapat menimbulkan

kontradiksi terhadap hipotesis awal mereka dan kemudian mendorong diskusi.

10) Menyediakan kesempatan yang cukup kepada siswa dalam memikirkan dan

mengerjakan tugas-tugas.

11) Menumbuhkan sikap ingin tahu siswa melalui penggunaan model

pembelajaran yang beragam.

Tujuan belajar menurut paradigma konstruktivistik mendasarkan diri pada

tiga fokus belajar, yaitu: (1) proses, (2) tranfer belajar, dan (3) bagaimana belajar

(Santyasa, 2007b). Belajar dikatakan sebagai suatu proses memandang siswa

belajar dan berkembang secara alamiah. Oleh sebab itu pembelajaran seharusnya

bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada siswa untuk melakukan revolusi

kognitif. Pembelajaran tidak hanya memandang siswa dapat belajar dari apa yang

dipresentasikan oleh guru tetapi membiarkan siswa menemukan sendiri

pengetahuan itu.

Transfer belajar dimaksudkan agar siswa dapat menggunakan dan bukan

hanya dapat mengingat apa yang telah dipelajari. Dapat dikatakan pemahaman

konsep sangat diperlukan untuk mencapai tujuan belajar yang sesungguhnya.


4

Siswa yang hanya dapat mengingat dan menghafal sebagai suatu memori lebih

buruk hasil belajarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemahaman

konsep secara mendalam merupakan akar dari tujuan belajar secara

kontruktivisme. Tujuan pembelajaran sesuai dengan konsep kontrukstivisme yang

terakhir adalah bagaimana belajar. Dalam mencapai hasil belajar yang baik, siswa

belajar untuk memperoleh suatu pengetahuan mendasarkan diri pada bagaimana

mempelajari suatu konsep agar lebih mudah dipahami. Hal ini memerlukan

fasiltas yang cukup guna menjembatani siswa agar dapat mengembangkan

keterampilan berpikir mereka.

Pembelajaran kontrukstivisme selalu mengutamakan proses kognitif siswa.

Siswa diharapkan mampu menyeleksi informasi-informasi yang ada guna

melakukan proses pengorganisasian pengetahuan dalam kognitif siswa.

Selanjutnya siswa mengintegrasikan pengetahuan tersebut dalam pemahamannnya

melalui proses integrating sehingga revolusi kognitif dapat tercapai. Tujuan

akhirnya adalah agar hasil-hasil belajar dapat menjamin siswa untuk memperoleh

keterampilan penerapan pengetahuan secara bermakna.

Para guru diharapkan menjadi masyarakat memiliki pengetahuan yang luas

dan pemahaman yang mendalam. Tetapi guru tidak diharuskan memiliki semua

pengetahuan, hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang

mereka perlukan, di mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Di

samping penguasaan materi, guru juga dituntut memiliki keragaman model atau

strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat

digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam. Konsep

pembelajaran tersebut meletakkan landasan yang meyakinkan bahwa peranan


5

guru tidak lebih dari sebagai fasilitator, suatu posisi yang sesuai dengan

pandangan konstruktivistik. Guru sebagai fasilitator akan memiliki konsekuensi

langsung sebagai perancah, model, pelatih, dan pembimbing. Di samping sebagai

fasilitator.

Dalam paradigma kontruktivisme, guru diharapkan memiliki pemahaman

mendalam tentang materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk

siswa, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan

pembelajaran, merubah strategi ketika siswa sulit mencapai tujuan, berusaha

mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor siswa. Selain itu,

guru berkewajiban memonitor hasil belajar para siswa dan masalah-masalah yang

dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan

memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Lebih

daripada itu, guru mampu memberi keputusan mengenai isi, menseleksi proses-

proses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan siswa.

Selanjutnya guru memandu mengetengahi antar siswa dan membantu para

siswa memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari

suatu masalah. Pendidik juga mampu mengarahkan siswa untuk mengembangkan

sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian dan mengaitkan informasi baru

dengan pengetahuan awal. Hal yang lebih penting lagi, guru harus mampu

menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para siswa dan melakukan

pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan kepada siswa ikut berpikir kritis.

Untuk mencapai hal tersebut, sintaks pembelajaran yang berlandaskan paham

konstruktivistik acap kali mengalami adaptasi sesuai dengan kebutuhan. Hal ini
6

menjadi penting untuk menyempurnakan sintaks yang rekursif, fleksibel, dan

dinamis.

Pembelajaran menurut paradigma kontrukstivisme harus mampu

membawa dunia siswa ke dunia guru dan menghantarkan dunia guru ke dunia

siswa. Untuk mencapai hal tersebut dapat dilakukan dengan penggubahan

lingkungan dan sumber belajar. Lingkungan belajar diantaranya adalah sekolah,

keluarga, masyarakat, dan media masa. Sedangkan sumber belajar adalah guru,

orang tua, teman dewasa, teman sebaya, bahan, alat, dan lingkungan itu sendiri.

Sumber belajar ada yang dirancang khusus untuk pembelajaran (by design) dan

ada pula yang bukan dirancang khusus untuk pembelajaran, tetapi dapat

digunakan untuk keperluan pembelajaran (by utilization). Oleh karena

pembelajaran merupakan kegiatan rekayasa supaya terjadi peristiwa belajar, maka

penggubahan lingkungan dan sumber belajar di sini adalah terkait dengan upaya

guru memfasilitasi siswa untuk berinteraksi dengan lingkungan dan sumber

belajar tersebut.

2.2 Strategi Pembelajaran Perubahan Konseptual

Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau

proporsi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.

Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi

dan mencerminkan pemahan yang mendalam tentang sesuatu persoalan. Hal ini

disebabkan karena manusia mempunyai tingkat yang berbeda dalam menyikapi

situasi baru (Sadiman et al., 2005). Untuk itu siswa perlu dibiasakan memecahkan

masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-

ide. Keadaan ini muncul karena proses belajar dapat mengubah struktur otak.
7

Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi

pengetahuan dan keterampilan seseorang (Depdiknas, 2003b: 3-4).

Pengetahuan awal dapat berpengaruh baik secara langsung maupun tidak

terhadap proses pembelajaran. Dengan pengetahuan awal, secara langsung dapat

mempermudah proses pembelajaran dan mengarahkan hasil-hasil belajar yang

baik. Pengoptimalan kejelasan materi-materi pelajaran dan peningkatan efisiensi

penggunaan waktu belajar dalam pembelajaran secara tidak langsung dapat

dipengaruhi oleh pengetahuan awal ini (Santyasa, 2005a: 23). Penelitian

meunjukkan bahwa pra konsepsi dan miskonsepsi dapat menuntun siswa dalam

belajar. Keduanya sangat berpengaruh bagi usaha siswa menerima dan

membangun pengetahuan mereka dari buku teks dan di dalam kelas. Miskonsepsi

sebenarnya sangat berperan dalam penguasaan materi pelajaran (Suparno, 2005).

Apalagi pelajaran fisika dimana siswa harus memadukan pengetahuan sosial,

pengetahuan fisik, dan pengetahuan logiko-matematik dalam menyelesaikan

permasalahan (Indrawati, 2007). Kemampuan ini akan menyimpang jika

miskonsepsi yang dialami oleh siswa sangat besar. Banyak miskonsepsi sangat

riskan untuk diubah begitu saja (Suparno, 2005). Hal ini disebabkan oleh karena

setiap orang membangun pengetahuannya “persis” dengan pengalamannya

(Border dalam Sadia et al., 2004). Bila siswa tersebut ingin merefleksi diri untuk

mengetahui sejauh mana miskonsepsi yang dialaminya maka dengan sendirinya

siswa tersebut akan mencari jawaban atas kekeliruannya.

Pada dasarnya siswa belajar dari dirinya sendiri dalam rangka

mengkonstruksikan suatu konsep dalam pemahamannya mengenai pengetahuan

tertentu. Siswa kan merasa jenuh jika hanya disuguhi cara pembelajaran yang
8

monoton dan situasi ketika belajar hanya sebatas teori saja (Suparno, 2005).

Kebosanan siswa dalam belajar, terutama fisika yang merupakan ilmu yang

kompleks dapat teratasi jika guru mengadakan variasi dalam memberikan

pembelajaran di kelas (Usman dalam Artani, 2007).

Kesalahpahaman siswa dalam memahami suatu konsep akan berpengaruh

pada hasil belajar siswa tersebut. Pembelajaran IPA yang merupakan domain pada

saat eksperimen-eksperimen memainkan peranan utama dalam proses belajar

mengajar (Santyasa, 2005a: 24). Eksperimen akan menuntun siswa dalam

pembangunan pengetahuan di dalam benaknya. Secara tidak langsung

pengetahuan yang diperoleh dari pengamatan secara visual ini akan memberikan

konflik kognitif yang mampu mengarahkan siswa pada rasa ingin tahu yang besar.

Keingintahuan dapat menuntun siswa dalam pengembangan diri menjadi lebih

baik (Sadia et al., 2004). Tetapi jika pertanyaan yang timbul dalam benak siswa

tidak segera mendapat jawabannya maka dapat dipastikan akan ada kesenjangan

konsep yang akan dialami oleh siswa tersebut (Kim et al., 2005). Sebagai guru

yang dapat memfasilitasi dan memberikan ruang gerak yang cukup bagi siswa

untuk belajar maka guru tersebut harus mampu memberikan berbagai pilihan jalan

keluar yang mengacu pada perbaikan konsep siswa yang keliru.

Para siswa mengawali belajar formal tentang sains dengan ide-ide yang

sudah ada tentang alam (Koes, 2003). Beberapa ide tersebut sejalan dengan

konsep ilmiah, tetapi beberapa ide berbeda. Agar ide yang tidak sejalan dengan

konsep ilmiah maka perlu diadakan perubahan konseptual. Siswa harus

mengalami sendiri kejadian yang bertentangan dengan keyakinan merekayang

mereka miliki saat itu. Dengan demikian siswa akan merasa kecewa karena
9

konsepnya sendiri gagal untuk menjelaskan dengan baik beberapa hasil

pengamatan yang baru. Untuk itu perlu diterapkannya strategi pembelajaran

perubahan konseptual dengan konflik kognitif yang mampu menggoyahkan

stabilitas miskonsepsi siswa (Sadia, 1997; Santyasa, 2005a; Suastra, 2002;

Suparno, 2005). Dalam Suastra (2002) juga menyatakan strategi konflik kognitif

menekankan bahwa guru-guru yang kontruktivis selalu mempertanyakan jawaban

siswa, mereka menuntut penjelasan atas jawaban siswa yang dikemukakan dan

mendorong siswa untuk merefleksikan pengetahuannya. Refutational text

merupakan teks yang mengandung materi pelajaran. Teks ini dapat memberikan

gambaran yang jelas tentang miskonsepsi yang dialami siswa dan penjelasan yang

dapat mengatasi kesenjangan pengetahuan tersebut (Santyasa, 2005a). Dengan

demikian refutational text dapat membangkitkan konflik kognitif siswa sehingga

pembelajaran perubahan konseptual berjalan dengan baik.

Posner (dalam Suparno, 2005) menyatakan bahwa dalam proses

pembelajaran ada dua proses yang disebut asimilasi dan akomodasi. Dalam

asimilasi, siswa menggunakan konsep-konsep yang telah ada untuk menghadapi

gejala baru dengan dengan suatu perubahan kecil yang berupa penyesuaian.

Sedangkan dalam akomodasi, siswa siswa harus mengganti atau mengubah

konsep-konsep pokok mereka yang lama karena tidak cocok lagi dengan

persoalan baru. Proses asimilasi dan akomodasi merupakan konsep awal dari

strategi pembelajaran perubahan konseptual. Pembelajaran kontruktivisme

memandang perlunya menggali pengetahuan awal siswa untuk mengetahui

keadaan konsepsi siswa. Penggalian pengetahuan awal merupakan proses

asimilasi yang kemungkinan konsep siswa masih mengalami miskonsepsi.


10

Kemudian dilakukan proses akomodasi dengan melakukan perubahan gagasan

siswa yang masih miskonsepsi yang tentunya dengan suatu treatment.

Proses asimilasi dan akomodasi perlu untuk perkembangan kognitif siswa.

Dalam perkembangan intelektual siswa diperlukan keseimbngan antara asimilasi

dan akomodasi. Proses ini diisebut sebagai equilibrium. Bila terjadi ketidak

seimbangan (disequilibrium), maka siswa cenderung akan mengalami

miskonsepsi. Equilibrium akan membuat siswa menyatukan antara pengalaman

luar dengan struktur pengetahuan siswa. Untuk itu diperlukan suatu strategi yang

menjembatabi proses equilibrium ini (Yamin, 2005). Strategi inilah yang dikenal

dengan strategi perubahan konseptual. Pembelajaran ini merupakan seperangkat

kegiatan pembelajara dengan mengkomunikasikan dua atau lebih rangsangan

berupa sesuatu yang berlawanan atau berbeda kepada peserta didik agar terjadi

proses internal yang intensif dalam rangka mencapai keseimbangan ilmu

pengetahuan yang lebih tinggi (Sugianta, 2008).

Dalam Santyasa (2005a; 27-28) menyatakan bahwa strategi perubahan

konseptual memandang proses belajar sebagai hal yang diskontinu dalam

penyusunan ide-ide hingga memperoleh konsep yang baru. Strategi kognitif

adalah kemampuan internal seseorang untuk berpikir, memcahkan masalah, dan

mengambil keputusan (Yamin, 2005: 5). Kemudian strategi konflik kognitif

menekankan bahwa guru-guru yang kontruktivis selalu mempertanyakan jawaban

siswa, mereka menuntut penjelasan atas jawaban yang dikemukakan dan

mendorong siswa untuk merefleksikan pengetahuannya (Suastra, 2002).

Semuanya itu merupakan esensial dari proses pembelajaran. Strategi pembelajaran

perubahan konseptual memiliki empat variabel yang potensial dalam


11

pembelajaran fisika. Keempat variabel tersebut tertuang dalam strategi

pembelajaran konflik kognitif dengan menerapkan strategi-strategi demonstrasi,

analogi, konfrontatif dan penyajian contoh-contoh tandingan. Langkah-langkah

pembelajaran perubahan konseptual (Santyasa, 2005a; Suparno, 2005) adalah

sebagai berikut.

1) Mengungkapkan pengetahuan awal siswa secara eksplisit

Dari pengetahuan awal siswa, guru dapat membantu siswa untuk menyadari

akan konsepnya sendiri secara jelas. Caranya adalah dengan mengemukakan

suatu kejadian yang berhubungan dengan materi yang akan diajarkan.

Gagasan awal siswa dapat ditujukan dalam bentuk tulisan, gambaran, model

atau cerita.

2) Membahas dan mengevaluasi pengetahuan awal siswa

Langkah ini bertujuan agar siswa mengklarifikasi dan merevisi konsep awal

mereka melalui diskusi dalam kelompok dengan teman-teman dan juga

diskusi dengan guru. Setiap siswa mengekspresikan gagasannya di depan

kelompok, lalu dievaluasi bersama. Akhirnya siswa dapat menilai gagasan

mana yang terbaik da guru memberikan tanggapan.

3) Menciptakan konflik kognitif terhadap pengetahuan awal siswa

Memberikan siswa refutational text sebagai sangkalan atas gagasan siswa

yang masih mengalami miskonsepsi. Ketika siswa mengungkapkan

gagasannya dan dikritik oleh siswa lain dan terjadilah kesenjangan antara ide

dan teori yang ada sehingga siswa merasa tidak puas. Konflik kognitif pun

akan dialami oleh siswa (Sadia, 1997). Selanjutnya guru menyajikan

demonstrasi, analogi, konfrontasi, dan contoh-contoh tandingan sebagai tindak


12

lanjut dari refutational text yang diberikan sebelumnya. Ketika alat yang

tersedia mencukupi seluruh kelas, guru dan siswa dapat melakukan

eksperimen sebagai strategi konflik kognitif.

4) Menyemangati dan mengarahkan siswa untuk merestrukturisasi konsep siswa

Gru membantu siswa agar merefleksikan diri dan melihat perbedaan konsep

awal siswa dan konsep baru yang tercipta lewat strategi konflik kognitif tadi.

Guru membantu siswa agar pelan-pelan melakukan perubahan atas konsep

awalnya.

Berikut ini akan dipaparkan lebih lanjut mengenai empat variabel strategi

konflik kognitif.

1) Demonstrasi

Demonstrasi didefinisikan sebagai proses memperlihatkan sesuatu kepada

orang lain atau kelompok orang. Demonstrasi dapat dilakukan ketika guru

menghadapi kelas besar dan ketersediaan alat percoban yang sangat minim.

Tujuan dari kegiatan ini tidak hanya untuk memperlihatkan kejadian tetapi

ditujukan agar siswa mampu berpikir dalam menemukan masalah dan solusinya

berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya. Ketika apa yang diperoleh dari

hasil demonstrasi tersebut bertantangan dengan pegetahuan awal siswa maka

timbul konflik kognitif. Pada saat ini merupakan saat yang tepat untuk mengatasi

miskonsepsi. Dengan adanya konflik kognitif, siswa akan dituntut untuk berpikir

induktif, mengajukan masalah, merumuskan hipotesis, menganalisis dan

menyimpulkan. Dengan demikian, dalam demonstrasi, pembelajaran akan lebih

bermakna, sehingga dapat mengubah miskonsepsi siswa menjadi konspsi ilmiah

(Santyasa, 2005a; Suastra, 2002; Suparno, 2005).


13

Sebagai contoh, pembelajaran di kelas tentang konsep memuati

elektroskop. Guru akan membawa alat praktik berupa elektroskop sederhana.

Elektroskop tersebut terbuat dari bola lampu bekas, pelat logam, isolasi dan kertas

aluminium dari bekas bungkus rokok. Siswa akan diberikan pertanyaan jika

kepala elektroskop diinduksikan dengan penggaris plastik yang telah bermuatan

negatif, maka daun elektroskop akan bermuatan negatif atau positif? Siswa yang

mengalami miskonsepsi tentang induksi listrik akan menjawab bahwa daun

elektroskop akan bermuatan positif karena muatan yang dipakai untuk

menginduksikannya adalah negatif. Menurut pikiran siswa hal tersebut masuk

akal karena kepala elektroskop kelebihan muatan negatif hingga muatan

positifnya berkumpul pada daun elektroskop. Hal ini identik dengan konsep benda

netral dimana benda dikatakan netral apabila jumlah muatan positif dan

negatifnya sama.

Kemudian guru melakuakn demonstrasi di depan kelas. Guru

mendekatkan penggaris yang telah digosok dengan kain wol sehingga daun

elektroskop mengembang. Setelah kepala elektroskop dibumikan maka daun

elektroskop akan tetap mengembang. Kemudian batang penggaris yang telah

dimuati didekatkan kembali. Bila muatan daun lektroskop positif maka

seharusnya daun elektroskop tersebut seharusnya menguncup. Tetapikenyataanya

malah semakin mengembang. Langkah kedua dilakukan dengan cara

mendekatkan kain wol pada kepala elektroskop. Seharusnya daun elektroskop

semakin mengembang tetapi kenyataanya daun tersebut semakin menguncup. Hal

ini membuktikan bahwa jika elektroskop diinduksikan dengan muatan negatif

maka daunnya akan bermuatan negatif pula. Demikian pula bila yang
14

menginduksikannya adalah muatan positif maka daunnya bermuatan positif.

Dengan penjelasan dan bukti nyata yang telah diperlihatkan oleh guru, konflik

kognitif siswa akan membantu remidiasi miskonsepsi siswa menjadi konsepsi

ilmiah.

2) Analogi

Analogi digunakan ketika materi yang diajarkan oleh guru merupakan

materi yang non-observeble. Analogi merupakann suatu model yang mempunyai

aspek struktural yang dibstraksikan menurut konteksnya sehingga materi yang

diajarkan seolah-olah bersifat nyata. Pembelajaran dengan metode analogi dapat

dilakukan dengan memberikan konsep yang abstrak terlebih dahulu. Kemudian

siswa melakukan demonstrasi dengan peralatan yang dapat mewakili konseps

abstrak tersebut. Selanjutnya guru mengajukan pertanyaan yang dapat

mengarahkan pemahaman siswa dari konsep yang abstrak atau tidak masuk akal

menjadi lebih mudah diterima karena seolah-olah bersifat nyata (Santyasa, 2005a;

Suparno, 2005).

Sebagai contoh, konsep tekanan zat cair. Siswa diberikan masalah, kearah

manakah tekanan zat cair yang paling besar? Siswa yang mengalami miskonsepsi

akan menjawab tekanan zat cair yang paling besar arahnya selalu ke bawah. Tentu

saja jawaban siswa ini bertentangan dengan hukum Pascal dimana zat cair akan

memberikan tekanan ke segala arah dengan sama besar. Jawaban siswa yang

seperti itu masuk akal karena pengalaman yang mereka rasakan ketika berenang di

tempat yang lebih dalam dada mereka lebih sesak daripada tempat yang dangkal.

Sebagai contoh, konsep tekanan fluida dinamis. Siswa diberikan masalah,

udara manakah yang memiliki tekanan lebih besar, udara bergerak dengan
15

kecepatan tertentu atau udara yang relatif diam? Siswa yang mengalami

miskonsepsi tentunya akan menjawab udara yang bergerak dengan kecepatan

tertentu. Tentu saja hal ini bertentangan dengan konsep efek Venturi. Bila laju

fluida bertambah maka tekanannya berkurang. Jawaban siswa masuk akal karena

udara yang bergerak dapat memutar baling-baling. Sedangkan udara yang relatif

diam tidak.

Pembuktian teoritik yang dapat dilakukan oleh guru adalah dengan

memberikan analogi dari tekanan fluida dinamis. Siswa pertama kali dihadapkan

pada konsep bahwa fluida mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan yang lebih

rendah. Selanjutnya siswa diminta untuk melakukan percobaan kecil dengan alat

yang disebut penyemprot sederhana. Alat ini mirip dengan penyemprot nyamuk

yang terbuat dari botol bekas air mineral dan pipetnya. Bahan-bahan tersebut

disusun sedemikian rupa sehingga menyerupai penyemprot nyamuk tetapi tidak

menggunakan pompa. Jadi aliran udara dihasilkan dari tiupan siswa. Siswa

selanjutnya diminta untuk meniup pipa sehingga air di dalam botol mineral

menyembur keluar. Guru meminta siswa untuk menganalisis kejadian tersebut

dimana air yang berada ditempat yang lebih rendah dapat naik hanya dengan

mengalirkan udara pada tempat yang tinggi tersebut. Akhirnya siswa akan

menyadari antara gagasan awalnya dengan kenyataan tidak sesuai, guru kemudian

memotivasi siswa untuk merekonstruksi kembali pengetahuannya agar sesuai

dengan konsepsi ilmiah.

3) Konfrontatif

Strategi konfrontatif dapat dilakukan dengan cara memberikan penjelasan-

penjelasan yang bertentangan dengan pengetahuan awal siswa yang keliru.


16

Penjelasan yang konfontatif ini diharapkan dapat menggoyahkan stabilitas

gagasan-gagasan siswa. Ketika gagasan yang keliru tersebut goyah oleh karena

penjelasan tersebut, maka dapat memberikan peluang bagi siswa untuk

mengkonstruksikan konsep-konsep baru mereka melalui proses asimilasi dan/atau

akomodasi. Pada akhirnya akan terbentuk konsep ilmiah yang benar dan

miskonsepsi yang terjadi sebelumnya dapat teratasi. Misalnya pembelajaran

konsep hambatan pada kawat penghantar (Santyasa, 2005a).

Siswa dihadapkan pada suatu masalah, bagaimana jalannya cahaya bila

mengenai benda transparan? Kebanyakan siswa akan menjawab bahwa cahaya

akan berjalan searah dengan arah datangnya cahaya tanpa mengalami

pembelokan. Jawaban siswa ini masuk akal karena mereka melihat benda melalui

kaca jendela sama dengan melihat benda tanpa melalui kaca tersebut. Namun hal

tersebut justru keliru karena tidak sesuai dengan konsep ilmiah. Meskipun benda

tersebut transparan akan tetap mengalami pembiasan cahaya sehingga cahaya

akan dibelokkan.

Untuk mengatasi hal tersebut guru menyuruh siswa untuk melakukan

percobaan sederhana dengan menggunakan kaca yang tebal. Untuk memperoleh

kaca yang tebal tanpa pengeluaran biaya yang besar dapat dilakukan dengan cara

membuat kotak dari kaca tipis dimana di dalamnya diisi air. Kotak ini akan identik

dengan kaca planparalel di laboratorium. Kemudian kotak kaca tersebut

diletakkan di atas kertas tebal. Pada bagian bawah kotak dilukis garis sesuai

denganbentuk kotak tersebut. Di satu sisi kotak ditancapkan jarum pentul.

Kemudian siswa melihat jarum tersebut dari sisi lain dan menandai tempat benda

yang dilihatnya. Selanjutnya kaca diangkat dan siswa dihadapkan pada kenyataan
17

bahwatanda benda yang dilihatnya bergeser dari tempat sebenarnya. Pada saat ini

siswa akan mengalami konflik kognitif karena antara gagasan dirinya dengan teori

dan kenyataan yang ada tidak sesuai. Kemudian guru mendorong siswa untuk

mengkonstruksikan kembali pengetahuannya sehingga sesuai dengan konsep

ilmiah. Walaupun cahaya melalui benda transparan tetap akan mengalami

pembiasan bergantung pada indek bias benda tesebut.

4) Contoh Tandiangan

Strategi dengan memberikan contoh-contoh tandingan kepada siswa dalam

rangka mengatasi miskonsepsi dilakukan dengan cara memberikan contoh atau

kejadian serupa dengan miskonsepsi yang dialami. Langkah ini umumnya

dilakukan ketika pengetahuan siswa mengenai beberapa kejadian atau objek yang

sama namun dianggap berbeda. Metode contoh tandingan ini dapat dikatakan

sebagai suatu metode yang dapat mengatasi miskonsepsi siswa ketik siswa

tersebut mengamati suatu gejala dari satu sisi saja. Dengan demikian contoh

tandingan ini diberikan dengan memperlihatkan sisi lain dari gejala tersebut.

Misalnya tentang konsep energi potensial (Santyasa, 2005a; Suastra, 2002;

Suparno, 2005).

Siswa dengan gagasan yang masih miskonsepsi menyatakan bahwa energi

potensial merupakan energi yang dimiliki oleh benda karena kedudukannya yang

dipengaruhi oleh percepatan gravitasi dan massa benda. Energi potensial gravitasi

yang dirumuskan dengan Ep=mgh . Buktinya adalah dengan adanya benda

jatuh ke bumi. Tetapi pada konsep kelistrikan juga dikenal dengan energi potensial

listrik. Untuk menunjukkannya, guru memberikan siswa kapasitor dimana

kapasitor tersebut memiliki kapasitansi C . Jika kapasitor tersebut bermuatan


18

1
listrik, maka akan memiliki energi potensial listrik sebesar Ep= 2 CV 2 yang

dibuktikan dengan adanya percikan api ketika kaki-kaki kapasitor dishort. Pada

pegas juga memiliki energi potensial dalam keadaan terenggang yang besarnya

1
Ep= 2 kx 2 dimana pegas akan kembali pada keadaan semula ketika

dibebaskan. Ketiga contoh tersebut akan memberikan realita yang berbeda denga

gagasan awal siswa sehingga menimbulkan konflik dalam pikiran siswa. Pada saat

inilah miskonsepsi dapat diremidiasi sehingga konsep ilmiah dapat dibangun

dalam pikiran siswa (Santyasa, 2005a).

2.3 Strategi Pembelajaran Langsung

Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang mengutamakan

informasi konsep dan prinsisp, latihan soal-soal, dan tes (Koes, 2003; Santyasa,

2005a). Penekanan aspek pemahaman sangat jarang dilakukan, bahkan strategi

pengaktifan perubahan konseptual hampir tidak pernah ditemukan dalam

penyampaian pesan-pesan pembelajaran yang dilakukan dalam pembelajaran

konvensional. Dalam pembelajaran konvensional, pembelajaran langsung dari

sumber simbolik seperti guru atau buku. Kemudian pengasimilasian informasi

sehingga prinsip umum dimengerti. Kadang pula terjadi penggunaan prinsip untuk

kasus-kasus yang spesifik. Dengan demikian pembelajaran konvensional

merupakan pembelajaran yang tidak memperhatikan pengetahuan siswa (Koes,

2003; Trianto, 2007).

Belajar merupakan suatu proses kegiatan aktif siswa dalam membangun

makna atau pemahaman, maka siswa diberi waktu yang memadai untuk

melakukan proses itu (Fajar, 2004: 10). Artinya memberikan waktu yang cukup
19

untuk berpikir ketika siswa mennghadapi masalah sehingga siswa mempunyai

kesempatan untuk membangun gagasannya sendiri. Tetapi ketika pembelajaran

tersebut menerapkan pembelajaran konvensional tentunya hasil hasil belajar tidak

akan maksimal. Strategi pembelajaran langsung menurut teori belajar

behavioristik dimana siswa selalu dikondisikan untuk mengerti satu permasalahan

hanya dari satu sudut pandang saja. Hal ini dimaksudkan bahwa siswa diberikan

stimulus melalui penyampaian informasi langsung dari guru. Informasi ini

kemudian diasimilasikan oleh siswa dalam pikirannya sehingga mampu menjawab

tes yang hanya berkaitan dengan informasi yang sebelumnya disampaikan oleh

guru.

Strategi pembelajaran langsung merupakan salah satu pendekatan

mengajar yang tidak memperhatikan pengetahuan awal siswa yang dirancang

khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan

deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang

diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap (Trianto, 2007). Pengetahuan

deklaratif adalah pengetahuan tentang sesuatu, sedangkan pengetahuan prosedural

merupakan pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu. Menghafal rumus atau

hukum merupakan salah satuy contoh pengetahuan deklarattif. Sedangkan

bagaimana memperoleh rumus tersebut merupakan pengetahuan prosedural

(Santyasa, 2005a).

Pembelajaran langsung digunakan untuk menyampaikan sesuatu secara

langsung dari guru kepada siswa. Dalam pembelajaran langsung aktivitas siswa

hampir tidak kelihatan karena dalam pembelajaran ini segala sesuatunya

dirancang dan dilaksanakan oleh guru (Koes, 2003). Hasilnya adalah


20

pembelajaran akan tampak berpusat pada guru. Siswa hanya sebagai objek untuk

mentransmisikan informasi. Guru dapat dipandang sebagai simbolik sumber dari

pengetahuan itu sendiri. Siswa hanya dapat menerima penjelasan guru dan

mengerjakan tugas atau latihan saja.

Pelaksanaan pembelajaran langsung pada dasarnya bersumber dari guru

dan teks ajar konvensional yang tidak mampu memperlihatkan kesenjangan yang

terjadi antara teori dan gagasan siswa. Tujuan pembelajaran disampaikan oleh

guru dalam rangka menyiapkan siswa untuk belajar. Kemudian guru

mempresentasikan materi pembelajaran yang diikuti dengan demonstrasi.

Demonstrasi dilakukan karena pembelajaran langsung memiliki asumsi dimana

sebagian besar yang dipelajari berasal dari meniru orang lain. Selanjutnya

diadakan latihan soal yang dibimbing oleh guru. Latihan soal ini dapat berupa

tugas singkat, atau pelatihan pada siswa sampai benar-benar menguasai konsep

yang dipelajari. Tahap selanjutnya adalah memberikan umpan balik kepada siswa

sebagai tindak lanjut dari evaluasi pemahaman siswa. Tahap terakhir adalah

latihan mandiri yang berupa tugas rumah (Trinato, 2007).

Pembelajaran langsung merupakan strategi pembelajaran yang sangat

mudah untuk dipraktekkan. Secara lebih terperinci langkah-langkah pembelajaran

ini dijabarkan oleh Koes (2003) sebagai berikut.

Tahap 1: Orientasi. Guru menetapkan materi pelajaran, guru menelaah singkat

pelajaran sebelummnya, guru menetapkan tujuan pelajaran, guru menetapkan

prosedur pembelajaran.

Tahap 2: Presentasi. Guru menjelaskan atau mendemonstrasikan konsep atau

keterampilan baru, guru mengecek untuk pemahaman.


21

Tahap 3: Latihan Terstruktur. Guru membimbing kelompok siswa melalui berlatih

contoh dalam dalam langkah tertentu, siswa menanggapi pertanyaan. Guru

memberikan umpan balik pembetulan untuk kesalahan dan memberi penguatan

untuk latihan yang benar, guru mengacu pada buku yang ada.

Tahap 4: Latihan Terbimbing. Siswa berlatih semi independen, guru berkeliling

memantau latihan siswa, guru memberi umpan balik melalui pujian, petunjuk, dan

pengabaian, guru mengarahkan siswa untuk mengacu pada buku sebagai rujukan.

Tahap 5: Latihan Bebas. Siswa berlatih secara mandiri di rumah atau di kelas.

Umpan balik ditunda.

2.4 Alat Praktik Fisika Berbasis Lingkungan

Keberhasilan pembelajaran di sekolah tidak hanya bergantung dari

baiknya rumusan kurikulum atau silabus, tetapi juga perlu didukung oleh

tersedianya sarana pembelajaran yang memadai. Sarana pembelajaran merupakan

subkomponen yang tidak dapat ditinggalkan, termasuk sarana pendukung

laboratorium. Alangkah idealnya bila suatu sekolah memiliki alat-alat

laboratorium IPA yang lengkap dan mencukupi kebutuhan. Namun, saat ini untuk

mencapai keadaan seperti itu rasanya belum memungkinkan. Dengan

meningkatnya siswa yang masuk dan bertambahnya sekolah serta letak geografis

indonesia yang tersebar sampai ke pelosok-pelosok dengan karakteristik yang

berbeda, sehingga mengalami kesulitan dalam hal pengadaan atau melengkapi alat

praktik IPA (Indrawati, 2007). Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan guru yang

inovatif dan kreatif dalam mencari berbagai alternatif dalam rangka melengkapi

alat praktik fisika untuk membantu pembelajaran fisika.


22

Seorang guru IPA diharapkan tidak hanya dapat mengajarkan materi IPA

dengan baik, tetapi juga memiliki pengetahuan dan dapat mengembangkan alat

praktik fisika sederhana dimana bahan-bahannya sangat beragam dan mudah

diperoleh dari lingkungan (Depdiknas, 2004: 13). Depdiknas (2004) menyarankan

untuk membuat alat praktik fisika sederhana dari bahan-bahan di sekitar

lingkungan sekolah, rumah guru atau siswa. Senada dengan hal tersebut,

Sholahuddin (2003), Holubova (2005), dan Popov (2006) menyatakan bahwa

pemberdayaan pembelajaran sains dimulai sejak dini agar berdaya dalam

menanamkan sikap positif terhadap lingkungan.

Secara umum, pengertian alat praktik didefinisikan sebagai benda atau

peralatan yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan kegiatan pembelajaran.

Jika benda atau alat tersebut digunakan dalam pembelajaran fisika maka benda

atau alat tersebut disebut sebagai alat praktik fisika. Regional Education Centre

Science and Mathematic (RECSAM) (dalam Depdiknas 2004: 5) membagi alat

praktik ke dalam tiga kelompok, yaitu sebagai berikut.

1) Alat peraga adalah suatu alat atau set alat yang digunakan langsung untuk

membentuk suatu konsep. Alat peraga fisika digunakan untuk melakukan

kegiatan praktikum atau eksperimen.

2) Alat model adalah alat yang digunakan untuk membantu memudahkan dalam

memahami suatu konsep secara tidak langsung. Dalam kelompok ini yang

termasuk di dalamnya adalah model, karta, dan poster.

3) Alat pendukung adalah alat yang sifatnya mendukung jalannya

percobaan/eksperimen fisika atau kegiatan pembelajaran yang lainnya.


23

Jadi, alat praktik fisika berbasis lingkungan adalah suatu benda atau set alat yang

digunakan secara langsung maupun tidak langsung untuk menemukan suatu

konsep fisika dimana bahan dan peralatannya bersumber dari lingkungan sekitar

siswa.

Pengembangan alat praktik fisika berbasis lingkungan ini hendaknya

selalu mengacu pada keberadaan alat-alat laboratorium yang telah ada sehingga

tidak akan mengalami kesulitan dalam pembuatannya. Alat yang akan dibuat dan

dikembangkan adalah: a) padanan alat, yaitu alat yang dibuat dengan mengacu

pada contoh alat yang sudah ada di laboratorium fisika, b) prototipe, yaitu alat

yang sebelumnya tidak ada, atau dapat juga merupakan pengembangan dari alat

yang sudah ada (Depdiknas, 2004: 8). Dalam pembelajaran pun, alat praktik fisika

berbasis lingkungan ini dapat membantu proses belajar mengajar di kelas maupun

di luar kelas. Pada akhirnya, kreatifitas siswa yang merupakan suatu aktivitas

yang membantu anak mencapai perkembangan baik fisik, intelektual, sosial,

moral dan emosional (Holubova, 2005:18; Wijayanti, 2006: 19).

Depdiknas (2004) menyatakan bahwa alat praktik fisika berbasis

lingkungan sangat perlu dikembangkan karena:

1) membantu dalam pembelajaran fisika sehingga penyampaian konsep lebih

bermakna,

2) alat praktik fisika yang dimiliki sekolah tidak lengkap,

3) alat bantu standar/pabrikasi yang ada di sekolah tidak mencukupi,

4) alat bantu standar/pabrikasi yang ada rusak atau tidak dapat digunakan,

5) sekolah tidak/belum memiliki alat bantu standar/pabrikasi, dan


24

6) sejalan dengan tuntutan kurikulum/silabus/tujuan desain dan pembuatan alat

bertujuan untuk: a) meningkatkan motivasi siswa dalam belajar, b)

meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajarinya, dan c)

menyadarkan adanya keterkaitan konsep dengan kehidupan sehari-hari.

Penggunaan alat praktik fisika berbasis lingkungan sangat menguntungkan

sekolah dan siswa mampu menciptakan suasan belajar yang interaktif. Guru

dengan alat praktik fisika hasil buatannya akan selalu mendapat perhatian lebih

dari siswa. Apalagi jika alat tersebut baru dan tidak pernah mereka jumpai di

laboratorium akan dapat memancing rasa ingin tahu siswa untuk mengetahui

kegunaan alat tersebut. Materi fisika yang sangat dekat dengan kehidupan

manusia akan menggugah siswa untuk selalu bertanya menganai apa dan mengapa

alat praktik itu dibuat. Sedikit tidaknya akan memancing rasa penasaran siswa

untuk mencoba membuat alat yang serupa di rumah mereka masing-masing.

Sebagai seorang fasilitator dan mediator guru hendaknya selalu berusaha agar

siswa tersebut mengembangkan pengetahuannya untuk mengungkapkan rahasia

alam. Rasa ingin tahu siswa tentang alat yang dibuat guru dari bahan yang berasal

dari lingkungan ini akan menjadi jembatan penghubung bagi siswa dan guru

untuk bersama-sama belajar mengenai konsep fisika (Pujani, 2002).

Dalam pembelajaran KTSP disarankan agar selama proses pembelajaran

menggunakan beberapa metode (Yamin, 2005). Diantaranya adalah metode

demonstrasi dan eksperimen. Metode ini dapat menumbuhkan motivasi siswa

dengan latihan /praktik yang dilaksanakndan juga dapat menghindari kesalahan-

kesalahan yang timbul akibat metode ceramah dari guru atau membaca dari buku.

Selain itu siswa juga dapat memperoleh pengalaman-pengalaman praktik yang


25

dapat dikembangkan pada lingkungan sosial. Metode lain yang dianjurkan adalah

metode studi mandiri. Metode ini dimaksudkan agar siswa melakukan tugas

penelitian atau praktik sendiri tanpa bimbingan atau pengajaran khusus. Tentunya

dalam metode ini siswa diberikan intruksi terlebih dahulu agar siswa lebih terarah.

Manfaatnya adalah siswa dapat menyalurkan minatnya tanpa campur tangan orang

lain. Metode yang lain adalag metode proyek dan produk dimana siswa diminta

untuk melakukan pengamatan atau pembuatan alat dari bahan-bahan di sekitar

lingkungan siswa. Tujuannya adalah memberikan daya analisis bagi masing-

masing siswa. Semua metode tersebut dapat dituangkan dalam pembelajaran yang

menggunakan media berbasis lingkungan. Media ini mampu memberikan siswa

untuk melakukan demonstrasi, eksperimen, studi mandiri, proyek dan produk.

Melihat realita sikap masyarakat sehari-hari dan kaitan erat antara mata

pelajaran fisika pada khususnya dengan sikap positif terhadap lingkungan hidup,

maka perlu penyempurnaan proses belajar mengajar fisika di sekolah. Tujuannya

adalah agar siswa berdaya dalam menanamkan sikap positif dalam dirinya

terhadap lingkungan (Sholahuddin, 2003). Sikap siswa yang peduli akan

lingkungan dapat menumbuh kembangkan kreatifitas siswa itu sendiri. Untuk itu,

alat praktik fisika berbasis lingkungan ini harus memenuhi syarat, yaitu

mencerminkan ciri khas dunia siswa, memenuhi kaedah pembelajaran, mampu

secara keseluruhan dibuat oleh siswa, mampu secara keseluruhan dipakai oleh

siswa, relatif akrab dengan keseharian siswa itu sendiri (Wijayanti, 2006). Dengan

demikian tujuan kurikulum dapat tercapai dengan mampu memberdayakan siswa-

siswa memiliki kecakapan hidup (life skill), mampu hidup mandiri berdikari,
26

berpandangan hidup ke massa depan, dan memiliki pemikiran optimistik (Yamin,

2005).

Ketika siswa melakukan pengamatan sendiri dengan kebebasan yang

tinggi, siswa tesebut akan dapat mengembangkan ide-ide mereka dalam rangka

menjawab pertanyaan atas penguasaan suatu konsep tertentu (Santyasa, 2005a).

siswa lebih banyak belajar di luar sekolah sehingga memungkinkan siswa untuk

melakukan eksperimen sendiri baik di rumah maupun di lingkungan sekitar

mereka (Holubova, 2005; Popov, 2006). Eksperimen itu tentu tidak akan berjalan

mulus tanpa ada panduan yang baik untuk perubahan konsep siswa. Melakukan

percobaan sendiri dengan demikrasi pendidikan dapat memberikan ruang gerak

bagi siswa untuk selalu mencari tahu fenomena tertentu dalam rangka penguasaan

materi pelajaran. Bahkan siswa yang mau dan mampu membuat alat percobaan

sederhana berbasis lingkungan dapat membantu proses perubahan miskonsepsi

siswa. Kemampuan siswa dalam melakukan perubahan ini tentunya sangat

bergantung pada keinginan siswa yang tinggi dan sarana yang memadai. Peranan

orang tua dalam keikut sertaannya menyediakan sarana dan prasarana yang

mendukung akan sangat membantu proses pembelajaran siswa.

Sebagai contoh pemanfaatan baterai bekas sebagai elektroda konduktansi

sederhana (Kuswandi et al., 2002: 35) dapat diterapkan dalam pembelajaran fisika

untuk mengetahui konduktansi berbagai macam larutan/campuran yang ada dalam

kehidupan sehari-hari. Batang karbon dalam baterai bekas dipilih sebagai

elektroda alat karena batang karbon bersifat inert dan tidak mempengaruhi larutan

dibandingkan dengan memakai elektroda logam. Dalam pembelajaran secara tidak

langsung guru akan memancing siswa untuk membuat alat yang serupa di rumah
27

mereka masing-masing. Prosedur pembuatan dan percobaannya yang telah

disiapkan oleh guru diberikan kepada siswa. Secara otomatis akan mengumpulkan

bahan dan perlengkapan yang diperlukan. Ketika siswa melakukan hal ini, dengan

sendirinya siswa akan mengenal lingkungannya dan berusaha memanfaatkan

barang yang tidak berguna menjadi barang yang mampu membantunya dalam

memahami konsep fisika. Misalnya ketika siswa membuka baterai untuk mencari

batang karbonnya maka siswa akan mengetahui pula komponen penyusun baterai

tersebut. Kemudian ketika merangkai bahan menjadi alat konduktansi sederhana

maka siswa akan mengenal konsep rangkaian listrik. Pada saat percobaan alat

yang telah dibuat dengan menguji beberapa cairan maka siswa akan mengetahui

bahwa hanya larutan yang mengandung ionsaja yang mampu mengalirkan arus

listrik. Sebagai contoh, siswa membandingkan konduktansi air keruh dengan

bensin maka siswa akan mengetahui bahwa air yang tidak murni dapat

mengalirkan arus listrik. Sedangkan bensin murni tidak sama sekali karena bukan

merupakan larutan elektrolit.pada saat ini secara tidak langsung siswa akan belajar

mengenai lingkungannya sediri dan mampu mengaplikasikan beberapa konsep

kelistrikan ke dalam aktivitasnya.Konsep kelistrikan yang ada dalam kegiatan

tersebut adalah komponen-komponen penyusun baterai, rangkaian listrik terbuka

dan tertutup, konduktansi, arus listrik sumber arus listrik. Dengan demikian

pembelajaran kontruktivisme dapat terjadi karena siswa belajar sendiri untuk

mengkonstruksikan pengetahuannya dengan menemukan sendiri pengetahuan

tersebut dari pengalaman langsung yang mereka alami (Koes, 2003; Santyasa,

2005a; Suparno, 2005).


28

Pengunaan alat praktik fisika berbasis lingkungan ini dapat melakukan

semua itu karena mudah dibuat dan tidak terlalu beresiko. Memanipulasi alat

praktik fisika sederhana tidak akan menimbulkan resiko yang besar. Kemungkinan

kerusakan alat tidak akan mengeluarkan biaya yang tinggi dalam perbaikannya.

Hal ini disebabkan karena alat-alat tersebut terbuat dari bahan-bahan yang ada di

sekitar lingkungan siswa.pengalaman siswa di luar rumah mengenai femomena

alam atau kejadian tertentu dapat dipakai sebagai media penbelajaran. Popov

(2006) menyatakan bahwa pembelajaran tentang fenomena fisika dan banyaknya

ruang lingkungan objek dapat dibantu mengadakan kontak badan dengan

lingkungan yang dapat melengkapi fasilitas untuk memahami ilmu fisika.

Selain bermanfaat bagi siswa secara langsung, pengunaan alat praktik

fisika berbasis lingkungan juga dapat meberikan motivasi bagi guru. Seorang

pengajar khususnya guru fisika juga dituntut berkreasi membuat sarana prasarana

pendidikan dalam mendukung kegiatan pembelajaran di kelas. Salah satunya

dengan memanfaatkan bahan-bahan dari lingkungan sebagai alat praktik pelajaran

dan media pengajaran. Selain mudah dicari, bahan yang dipergunakan sebagai alat

praktik fisika sederhana yang mendukung pembelajaran tergolong bahan-bahan

yang murah meriah. Guru yang kreatif dan mau memanfaatkan lingkungannya

sebagai bahan ajar di kelas, sedikit tidaknya akan ditiru oleh siswa dan bahkan

oleh guru lainnya.

Guru yang bersemangat dalam mengembangkan diri dalam menerapkan

pembelajaran inovatif tentunya juga akan memotivasi siswa dalam belajar.

Dengan alat praktik fisika berbasis lingkungan tentunya guru dapat menunjukkan

kepada siswa contoh-contoh konkret sehari-hari di dalam masyarakat sehingga


29

minat siswa untuk belajar semakin berkembang (Sutjiono, 2005). Misalkan,

seorang siswa bertanya mengenai alat yang dibuat oleh guru dan siswa tersebut

ingin membuatnya, maka fasilitator guru tersebut akan memberikan langkah kerja

pembuatan alat tersebut. Sebagai contoh, alat yang akan menjelaskan konsep suhu

benda dipengaruhi oleh warna permukaan benda tersebut. Bahan yang diperlukan

adalah empat buah kaleng, empat warna (putih, hitam, merah, dan hijau) cat, air

panas, empat termometer dan pengukur waktu. Langkah pembuatannya sangat

sederhana yaitu dengan mengecat seluruh permuakaan keempat kaleng bekas

tersebut dengan warna yang berbeda. Selanjutnya kaleng putih dan hitam

diletakkan di bawah terik matahari dan diukur suhunya setelah beberapa saat.

Kemudian pada tempat teduh, keempat kaleng diisi air dan diukur suhunya. Dari

kedua kegiatan tersebut maka siswa akan memperoleh data kaleng mana yang

suhunya paling tinggi atau paling rendah (Holubova, 2005).

Proyek siswa harus dimulai dengan rasa ingin tahu dan keinginan

mempelajari suatu yang baru. Kemudian dilanjutkan dengan suatu tujuan dan

sebuah kebulatan tekad untuk memecahkan masalah yang telah dipilih. Bahkan

seandainya proyek siswa tidak berjalan tepat seperti yang diinginkan, tampaknya

penyelidikan ilmiah siswa akan berakhir dengan beberapa penemuan yang

menarik. Hal tersebut dengan jelas mendukung pengembangan alat praktik fisika

berbasis lingkungan ini karena selain dapat menggugah sikap ilmiah siswa. Selain

itu pengembangan alat ini juga dapat membangun pengetahuan siswa itu sendiri

(Trianto, 2007). Jika siswa tersebut gagal dengan percobaannya sendiri, bukan

berarti tidak ada pengetahuan baru yang diperoleh oleh siswa tersebut. Bahkan

dengan kreatifitas dan rasa ingin tahu yang besar siswa tersebut akan mencari
30

jawabannya kemana-mana (Slameto, 2003). Interaksi antara guru dan siswa yang

telah tercipta layaknya orang tua dengan anaknya akan sangat membantu siswa

untuk memecahkan masalah mereka sendiri. Guru tersebut juga harus selalu

terbuka bagi siswanya untuk membantu anak didiknya dalam pengembangan diri

mereka.

Depdiknas (2004) menyatakan bahwa alat praktik fisika berbasis

lingkungan memberi keuntungan bagi sekolah dalam hal: a) menganalisis potensi

lingkungan sekolah dan lingkungan siswa yang dapat digunakan dalam

pembuatan alat praktik fisika berbasis lingkungan sebagai sumber belajar

disekolah, b) menentukan alternatif alat praktik fisika berbasis lingkungan yang

dibuat sendiri dengan menggunakan berbagai sumber daya di sekitar sebagai

potensi lingkungan sekolah, c) membuat alat praktik fisika berbasis lingkungan

berdasarkan sumber daya yang ada di sekitar sekolah sebagai sumber belajar

dalam pembelajaran fisika, dan d) memberdayakan alat praktik fisika berbasis

lingkungan dalam pembelajaran sebagai upaya meragamkan sumber belajar agar

siswa dapat belajar dan senang melakukan praktik fisika.

Selain manfaat tersebut, alat praktik fisika berbasis lingkungan sangat

perlu untuk dikembangkan lebih jauh karena memiliki fungsi dan peranan yang

penting bagi sekolah dan siswa khususnya. Fungsi dan peranan itu adalah sebagai

berikut.

1) Fungsi alat praktik fisika berbasis lingkungan (APFBLing):

a) sebagai pengganti atau tiruan benda sebenarnya,

b) membantu guru dalam proses belajar mengajar, dan

c) memberi motivasi kepada siswa untuk lebih giat belajar dan kreatif.
31

2) Peranan alat praktik fisika berbasis lingkungan (APFBLing):

a) siswa lebih mudah memahami konsep yang dipelajari dengan bantuan alat

praktik,

b) siswa dapat memanfaatkan/menerapkan pengetahuan dan keterampilan

sains-teknologi,

c) keterampilan siswa bertambah dan lebih aktif belajar,

d) daya kreativitas siswa bertambah,

e) hubungan antara guru dan siswa lebih erat,

f) biaya pengadaan alat relatif murah dan waktu pengadaan dapat diatur

sesuai dengan kebutuhan, dan

g) jumlah alat di sekolah bertambah.

Sebagai seorang pionir dalam dunia pendidikan, guru haruslah menjadi

teladan yang dapat ditiru oleh siswanya. Tentunya hal-hal yang bermanfaat yang

harus dilakukan oleh guru. Memanfaatkan sarana belajar dari lingkungan

merupakan salah satu langkah awal menjadi guru teladan. Kaitannya dalam

konsep konstruktivisme khususnya teori belajar bermakna David Ausubel

(Trianto, 2007) yang menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses

mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam

struktur kognitif seseorang. Dalam hal ini peta konsep merupakan indikator yang

dapat mengukur kemampuan siswa dalam menerima dan memahami dan konsep

yang diperoleh selama pembelajaran. Peta konsep merupakan rangkaian konsep

yang dapat dibangun oleh seseorang sesuai dengan kemampuan orang tersebut

dalam mengaitkan konsep yang satu dengan yang lainnya. Peta konsep tidak

hanya dapat dijabarkan dalam suatu bentuk tulisan saja. Kemampuan siswa dalam
32

mengaitkan konsep fisika dengan apliksinya merupakan contoh nyata yang dapat

diterapkan secara langsung.

Ketika siswa melakukan percobaan dengan alat praktik fisika berbasis

lingkungan tentunya siswa tersebut telah mampu mengkaitkan beberapa konsep.

Misalnya siswa melakukan percobaan sederhana dengan mengenai gaya lorentz

dengan alat praktik yang terbuat dari magnet bekas loudspeker, kawat kecil,

baterai, dan penjepit pakaian. Pada saat melakukan percobaan, pemahaman siswa

mengenai konsep kemagnetan akan berkembang. Seperti pengetahuan bahwa

magnet bila dipotong-potong akan tetap memiliki kutub utara dan selatan karena

magnet pada alat percobaan menggunakan pecahan magnet bekas loudspeker.

Kemudian siswa mengerti bahwa kawat yang penampangnya kecil memiliki

resistansi besar. Dengan menggunakan resistasi yang besar maka dapat

menghindari terjadinya arus pendek yang merugikan sumber arus listrik. Penjepit

rambut yang terbuat dari plastik merupakan bahan isolator yang tidak dapat

menghantarkan arus listrik. Interaksi antara arus listrik dan medan magnet dapat

menimbulkan gaya lorentz. Dengan melakukan percobaan lebih lanjut, siswa akan

memperoleh informasi langsung bahwa gaya lorentz timbul ketika arah medan

magnet, dan arus listrik saling tegak lurus. Dengan demikian siswa telah mampu

berpikir secara ilmiah dan mampu memberikan pengetahuan yang aplikatif.

2.5 Alat Praktik Fisika Berbasis Laboratorium.

Laboratorium adalah suatu tempat dimana guru, siswa dan peneliti

melakukan percobaan. Di dalam laboratorium terdapat berbagai macam peralatan

yang menunjang eksperimen yang akan dilakukan oleh peneliti. Pentingnya

praktek di laboratorium harus ditunjang juga dengan alat praktek yang memadai.
33

Peralatan laboratorium, adalah segala bentuk kelengkapan laboratorium yang

dapat menunjang segala aktivitas pengguna laboratorium itu sendiri (Depdiknas,

2004). Dengan sistem belajar kontrukstivisme, hasil praktek laboratorium bisa

membangun pola pikir pada saat siswa belajar di sekolah. Pola pikir itu bukan

hanya mereka dapatkan saat belajar di sekolah saja, tapi juga di masyarakat.

Contohnya, seperti praktikum. Saat melakukan tugas praktek, siswa harus sesuai

dengan prosedur tertentu.

Keberadaan alat praktik IPA tersimpan rapi di dalam almari dan jarang

digunakan dalam pembelajaran. Hal tersebut mengindikasikan bahwa

pembelajaran IPA dilakukan secara tidak utuh. Depdiknas (2004:1) mengatakan

bahwa sejumlah SMA yang sangat besar dan tersebar mulai dari Nanggroe Aceh

Darussalam (NAD) sampai dengan Papua, belum semua SMA memiliki

Laboratorium yang lengap sesuai dengan standar yang ditetapkan. Penelitian

Indrawati (2007: 123) menyatakan bahwa potensi sarana laboratorium fisika di

SMA untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran fisika masih belum

mencukupi. Selain itu pemanfaatan laboratorium dalam mendukung pembelajaran

juga masih kurang. Walaupun sekolah dalam kondisi yang minimal, dalam artian

belum memenuhi standar pelayanan minimal, pendidikan hendaknya terus

diselenggarakan. Dengan demikian, sekolah yang laboratorium IPAnya masih

belum lengkap dapat meningkatkan laboratoriumnya dengan cara

mengembangkan alternatif alat praktik IPA sederhana agar pembelajaran berjalan

mulus.

Alat pabrikasi yang berada dalam laboratorium IPA pada umumnya masih

banyak yang belum bisa dioperasikan sepenuhnya oleh para guru. Hal ini
34

disebabkan karena alat-alat tersebut masih menggunakan petunjuka dalam bahasa

asing (Depdiknas, 2004). Guru dengan segala keterbatasannya sangat riskan

dengan hal ini karena walaupun dengan penguasaan materi yang baik tetapi bila

alat laboratorium tersebt tidak dapat dioperasikan hanya karena masalah bahasa

maka bukan berarti pembelajaran harus dihentikan. Keberadaan peralatan

Peralatan laboratorium yang merupakan keluaran produsen dan memiliki

harga yang tinggi sangat sulit untuk memotivasi siswa dalam mengembangkan

kreatifitasnya. Ketakutan siswa dan juga peraturan laboratorium yang ketat akan

menyebabkan siswa tersebut semakin tertekan dalam belajar. Keadaan ini tentu

akan menyimpang dari tujuan pembelajaran yang sebenarnya. Menurut Brooks

dan Brooks (dalam Pannen, et al., 2001: 27) menyatakan bahwa seorang guru

akan: a) membebaskan siswa dari ikatan kurikulum dan memperbolehkan siswa

fokus pada ide-ide yang menyeluruh, b) memberi wewenang kepada siswa untuk

mengikuti minatnya, mencari keterkaitan, mereformulasi ide, dan mencapai

kesimpulan yang unik, c) berbagai informasi dengan siswa tentang komplektisitas

kehidupan yang di dalamnya terdapat berbagai perspektif dan kebenaran

merupakan interpretasi orang per orang, dan d) mengakui bahwa belajar dan

proses penilaian terhadap belajar merupakan hal yang tidak mudah untuk dikelola

karena banyak hal yang tidak kasat mata, tetapi lebih kepada rasionalitas individu.

Fasilitas juga sering dijadikan penyebab bergesernya paradigma

pengajaran fisika. Harus kita sadari bahwa memang umunya sarana laboratorium

hanya dijumpai di sekolah-sekolah yang mempunyai anggaran cukup besar atau

paling dak memadai. Ini artinya sebagian besar sekolah di kota-kota dan bahkan

hampir seluruh sekolah daerah yang jauh dari kota besar akan kesulitan
35

melengkapi kegiatan melengkap perlengkapan yang mendukung kegiatan belajar

mengajarnya dengan eksperimen yang mendukung penjelasan teori yang

disampaikan di kelas. Jika tidak dilengkapi dengan pengamatan, pembelajaran

fisika tidak beranjak dari hal yang sifatnya hanya dapat dibayangkan saja (Basar,

2004). Kurangnya sarana pendukung pembelajaran IPA juga berpengaruh pada

hasil pembelajaran itu sendiri. Lazarowictz dan Tamir (dalam Sihole &

Situmorang, 2006) menyatakan dalam pandangan kontruktivisme metode

praktikum adalah suatu cara mengajar yang memberikan kesempatan kepada

siswa untuk menemukan sendiri suatu fakta yang diperlukan atau ingin diketahui.

Metode ini menekankan pada kegiatan yang harus dialami sendiri, dicari dan

ditemukan sendiri data dan pemecahannya. Ditambah lagi tidak hanya percaya

atau mengandalkan keterangan guru ataupun penjelasan yang diuraikan dalam

suatu buku pelajaran. Dengan demikian laboatorium merupakan sarana

pendukung utama dalam pembelajaran fisika yang baik.

Supryono (dalam Simamora, 2006) menyatakan bahwa tujuan kegiatan

laboratorium dalam pelajaran sains meliputi hal-hal sebagai berikut.

1) Membangkitkan dan memlihara daya tarik, sikap, kepuasan, keterbukaan dan

rasa ingin tahu terhadap sains.

2) Mengembangkan cara berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah.

3) Meningkatkan cara berpikir kritis dan metode ilmiah.

4) Mengembangkan pemahaman konsep dan kemampuan intelektual.

5) Mengembangkan kemampuan berpraktikum.

Dari uraian tersebut maka dapat dikatakan laboratorium merupakan tulang

punggung pembelajaran IPA. Hal senada juga diungkapkan oleh Van de Berg
36

(dalam Indrawati, 2007: 111) menyatakan bahwa sarana seperti perlatatan

demonstrasi, eksperimen, atau peralatan laboratorium yang lain diperlukan dalam

menunjang pembelajaran fisika. Demikian pula dengan pendapatnya Trowbridge

dan Bybee (dalam Indrawati, 2007: 111) menyatakan kegiatan laboratorium

(eksperimen) dalam pembelajaran fisika membutuhkan waktu dan peralatan yang

cukup banyak, tetapi kegiatan laboratorium dapat melibatkan setiap siswa dalam

melaksanakan kegiatan fisika atau kegiatan ilmiah.

Sesuai dengan hakekat sains yang memiliki dimensi produk dan proses

yang dituangkan dalam keterampilan-keterampilan dasar. Keterampilan ini

meliputi observasi, klarifikasi, pengukuran, mengajukan pertanyaan, merumuskan

hipotesis, merencanakan percobaan, menginterpretasi, dan berkomunikasi (Pujani,

2002: 9). Semua ini tentunya memerlukan sarana prasarana yang memadai dalam

hal ini adalah laboratorium. Lawson (dalam Retug dan Subagia, 2003)

menyatakan beberapa masalah yang menyebabkan guru tidak mengunakan model

inkuiri dalam pembelajaran sains, antara lain model pembelajaran tersebut

memerlukan banyak waktu dan energi, fasilitas pendukung seperti laboratorium

kurang mencukupi. Keadaan ini jelas membawa dampak yang tidak baik dalam

mencapai tujuan pembelajaran sains.

Menurunnya minat siswa dalam belajar fisika banyak disebabkan karena

metode mengajar guru yang monoton. Cukup banyak guru fisika yang mengajar

hanya dengan berbicara dan menulis di papan tulis. Mereka sangat jarang

melakukan eksperimen, berdiskusi dengan siswa. Metode mengajar dengan

analogi yang tidak tepat, demonstrasi yang sempit, praktikum dengan alat yang

monoton merupakan pembelajaran yang kurang menarik bagi siswa. Apalagi


37

penggunaan peralatan laboratorium dimana siswa telah mengenal alat praktik

seperti itu sebelumnya. Penggunaan peralatan laboratorium sebagai alat

pembelajaran kurang memberikan contoh yang menantang sehingga minat siswa

untuk belajar fisika semakin menurun (Sujtiono, 2005; Suparno, 2005). Dalam hal

ini siswa akan merasa bosan dengan adanya alat yang tidak kontekstual. Peralatan

yang mereka gunakan dalam praktikum hanya bisa dijumpai di laboratorium saja.

Apalagi keadaan laboratorium sekolah secara secara umum tidak lengkap

(Indrawati, 2007). Hal ini semakin mempersempit ruang gerak siswa dalam

belajar. Peralatan yang kontekstual adalah alat peraga yang bisa digunakan oleh

siswa dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian siswa merasa apa yang

dilakukannya di sekolah berguna bagi kehidupannya.

Alat praktik fisika berbasis laboratorium kurang mampu memberikan

rangsangan bagi siswa untuk mengembangkan rasa ingin tahunya (Sujtiono,

2005). Sebab rasa ingin tahu siswa merupakan modal awal bagi seseorang untuk

dapat menambah dan mengkontruksikan pengetahuannya. Alat-alat laboratorium

merupakan peralatan yang sudah dikemas sedemikian rupa sehingga tidak dapat

diketahui secara mendetail oleh penggunanya. Dalam artian alat tersebut hanya

diketahui secara pasti oleh ahli atau teknisi saja. Tentunya kejadian seperti itu

tidak akan merangsang siswa untuk mengetahui lebih banyak tentang rahasia

fisika yang terdapat di dalamnya. Padahal semua alat percobaan fisika

menggunakan konsep-konsep yang dapat memberikan pengetahuan lebih bagi

siswa. Siswa hanya tahu akan mengunakannya dan hanya terbatas disekolah saja.

Dengan demikian waktu belajar siswa akan semakin singkat.

2.6 Remidiasi Miskonsepsi.


38

Konsepsi prapembelajaran atau skema kognitif adalah konsepsi awal siswa

yang dipakai pegangan bagi guru dalam pembelajaran selanjutnya. Konsepsi awal

ini dibedakan menjadi pra konsepsi dan miskonsepsi. Jika dilihat dari sumber

datangnya konsepsi awal siswa ini maka prakonsepsi bersumber pada

pengalaman-pengalaman nyata yang dialami langsung oleh siswa sedangkan

miskonsepsi adalah salah paham yang disebabkan oleh pembelajaran sebelumnya

(Santyasa, 2005a: 19; Suparno, 2005: 34-35). Anak telah mengembangkan

gagasan tentang gejala-gejala alam sebelum mereka diajar di sekolah. Pemikiran

siswa yang menganggap semua benda seperti manusia dimana konsep ilmiah

dicampur dengan keadaan manusia sehari-hari. Hal tersebut dapat menimbulkan

miskonsepsi yang juga dibarengi dengan adanya intuisi yang salah dan juga

kemampuan siswa dalam melakukan penalaran terhadap suatu konsep.

Miskonsepsi siswa juga bisa disebabkan oleg guru itu sendiri. Guru yang

mengalami miskonsepsi tentunya dapat mempengaruhi perkembangan kognitif

siswa itu sendiri. Demikian pula dengan sumber belajar yang menggunakan buku

teks. Hal ini disebabkan karena bahasa dalam buku tersebut sulit dipahami dan

bahkan banyak buku teks itu sendiri yang salah dalam mengungkapkan suatu

konsep. Beberapa alat praktik fisika seperti media kartun juga dapat menyebabkan

miskonsepsi. Siswa sangat tertarik dengan gambar-gambar dalam kartun tersebut

namun bila konsep fisikanya keliru maka miskonsepsipun kembali terjadi

(Suparno, 2005).

Dalam arti luas, prakonsepsi atau pengetahuan awal diartikan sebagai

konsepsi yang dimiliki oleh siswa sebelum proses pembelajaran, meskipun

mereka sudah pernah mendapat pelajaran tersebut pada jenjang pendidikan


39

sebelumnya.Sedangkan miskonsepsi adalah konsepsi yang bertentangan dengan

konsepsi ilmiah (Sadia et al., 2004: 13). Senada dengan hal tersebut Suparno

(2005) menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan pengertian yang tidak akurat

akan konsep, penggunaan konsep yang salah, kekacauan konsep yang berbeda,

dan hubungan hirarkis konsep-konsep yang tidak benar. Miskonsepsi muncul

ketika siswa hanya menggunakan pola pikir intuitif tanpa berpikir ilmiah. Ketika

dihadapkan pada ujian sekolah, siswa menggunakan konsep ilmiah dalam

menghadapi permasalahan. Namun ketika dihadapkan pada kenyataan sehari-hari,

mereka kembali mengunakan miskonsepsinya dalam menganalisis permasalahan.

Pada dasarnya miskonspsi sama dengan konsep alternatif. Dalam

pandangan filsafat kontruktivisme, konsep altenatif lebih cocok digunakan dalam

mengungkapkan kesalahan siswa karena penjelasan siswa dikontruksikan

berdasarkan pengalamannya. Selain itu istilah ini juga memberikan penghargaan

intelektual kepada siswa yang memiliki gagasan tersebut dan kadang kala konsep

alternatif dapat menjelaskan beberapa porsoalan yang sedang dihadapi siswa

dalam kehidupannya. Namun, sekarang ini banyak peneliti masih menggunakan

istilah miskonsepsi. Hal ini disebabkan oleh alasan bahwa istilah tersebut

mempunyai makna bagi orang awam dan istilah tersebut mudah dimengerti oleh

guru dan orang awam. Dalam dunia pendidikan, istilah miskonsepsi sidah menjadi

istilah yang mempunyai arti khusus dan dikenal secara modial (Suparno, 2005).

Berikut disajikan beberapa contoh miskonsepsi dalam pelajaran fisika.

1) Semangkuk air yang dipanaskan suhunya tidak tetap ketika mendidih. Siswa

yang mengalami miskonsepsi beranggapan bahwa suhu air seharusnya akan

terus naik karena dipanasi terus menerus. Hal ini masuk akal karena siswa
40

mengambil kesimpulan ketika memanaskan air dari suhu kamar sampai

mendidih suhunya akan naik terus ketika air tersebut dipanaskan terus-

menerus. Sewaktu siswa melakukan eksperimen mendapati bahwa suhu air

pada saat mendidih tetap. Beberapa dari mereka kemudian mengubah letak api

dan tungkunya dengan harapan suhu air akan meningkat. Padahal menurut

teori, suhu air pada saat mendidih suhunya akan tetap 1000C pada tekanan 1

atmosfer sampai semua air menguap, baru kemudian akan naik lagi suhunya.

2) Bila sebuah magnet batang dipotong-potong maka satu bagian akan menjadi

kutub utara dan satunya lagi menjadi kutub selatan. Hal ini masuk akal karena

siswa memandang magnet batang tersebut terbagi menjadi dua, yaitu kutub

utara dan kutub selatan. Jadi, ketika magnet tersebut dipotong-potong maka

sebagian menjadi kutub utara saja dan yang satunya menjadi kutub selatan

saja. Namun menurut teori ilmiah bahwa potongan tersebut akan menjadi

magnet batang pula yang memiliki kutub utara dan selatan.

Dari penjelasan dan contoh miskonsepsi tersebut dapat ditarik suatu

kesimpulan mengenai miskonsepsi. Miskonsepsi adalah konsepsi siswa yang tidak

sesuai dengan konsepsi ilmiah namun logis (Suparno, 2005). Logis disini diartikn

sebagai pemikiran siswa yang mengertikan konsep hanya dari satu sudut pandang.

Padahal konsepsi ilmiah merupakan konsepsi yang mampu menghubungkan

hirarkis konsep-konsep dengan benar. Pada contoh kedua di atas tampak bahwa

pemikiran siswa pada suatu konsep benar adanya jika dipandang dari satu sisi.

Namun ketika pemikiran seperi itu kurang tepat. Siswa yang mengalami

miskonsepsi mempunyai alasan tertentu dalam berpendapat. Artinya secara intuitif

pemikirn siswa tersebut benar dan logis. Namun ketika pandangan tersebut
41

dimasukkan ke dalam kajian teoritik maka konsepsi siswa yang seperti itu salah.

Dengan demikian kita dapat membedakan orang yang mengalami miskonsepsi

atau yang memang benar-benar salah konsep. Salah konsep artinya pemikiran

yang benar-benar tidak tahu atau tidak mengerti akan suatu konsep. Sebab

jawaban siswa yang mengalami salah konsep tidak akan memiliki alasan yang

jelas secara intuitif.

Penyebab adanya miskonsepsi siswa adalah guru menjelaskan konsep,

prinsip, atau teori ilmiah, dan kemudian memberi contoh penyelesaian soal

(Darliana, 2006). Suparno (2005) juga menyatakan bahwa miskonsepsi bersumber

dari siswa, guru, buku, konteks dan metode pembelajaran. Dalam filsafat

kontruktifisme menyatakan bahwa miskonsepsi timbul karena adanya

pengkontruksian pengetahuan oleh siswa yang tidak utuh karena kemampuan

yang terbatas atau pengkontruksian pengetahuan yang bercampur dengan

gagasan-gagasan yang lain. Tahap perkembangan kognitif siswa mulai dari tahap

sensorimotor sampai tahap abstrak akan sangat memerlukan waktu dalam proses

pengontruksian pengetahuan yang telah diperolehnya secara benar. Namun dengan

semakin mereka berkembang, mereka akan dapat memperbaiki konsepnya.

Miskonsepsi dapat disebabkan oleh siswa yang memiliki prakonsepsi yang

salah diperoleh baik dari orang tua, teman, ataupun jenjang pendidikan

sebelumnya. Kadang pula siswa memiliki pemikiran asosiatif yang

mengasosiasikan istilah sehari-hari dengan istilah ilmiah. Selain itu siswa yang

mengalami miskonsepsi masih memiliki pikiran humanistik, reasosing yang tidak

lengkap, dan intuisi yang salah. Kemampuan dan minat belajar siswa yang rendah

dapat pula menyebabkan miskonsepsi. Siswa yang berkemampuan tinggi tentunya


42

memiliki minat belajar yang tinggi pula. Siswa seperti ini lebih sedikit mengalami

miskonsepsi. Namun bila siswa tersebut memiliki minat belajar yang rendah

tentunya dapat menimbulkan miskonsepsi pula. Minat yang rendah tentunya akan

membuat siswa akan kurang memperhatikan penjelasan dari guru. Kemudian

mereka akan malas untuk memperbaiki atau mencari konsep yang benar untuk

memperbaiki konsepnya yang salah. Banyak guru dalam mengajar selalu

mengedepankan rumusan matematik daripada konsep fisikanya. Demikian pula

pengunaan kata-kata, diagram, atau grafik pada buku sulit dipahami oleh siswa.

Kemudian mengenai penafsiran fenomena alam berbeda-beda setiap individu. Hal

yang paling riskan adalah metode pembelajaran yang masih mengunakan metode

seramah (Suparno, 2005).

Sumber-sumber datangnya miskonsepsi adalah dari siswa, guru, metode

mengajar dan bahan ajar. Dari dalam siswa sendiri miskonsepsi timbul karena

minat siswa untuk belajar sangat kurang. Minat yang kurang ini disebabkan oleh

karena kemampuan siswa dan dari guru itu sendiri. Guru mengajar dengan cara

yang monoton dan cenderung tidak melakukan komunikasi dengan siswa dapat

membuat siswa cepat bosan. Kebosanan siswa akan belajar bisa memberikan

pemicu bagi timbulnya miskonsepsi. Demikian pula kemalasan siswa untuk

mencari pembenaran atas pengetahuan yang telah dikontruksikannya akan

semakin bertambah. Bahan ajar dan metode yang tidak variatif tentunya dapat

memberikan dampak psikologis yang kurang menguntungkan. Misalnya guru

dalam pelajaran fisika selalu dengan metode ceramah dan melakukan eksperimen

dengan peralatan laboratorium saja. Pembelajaran yang bervariatif dapat

menggugah rasa ingin tahu siswa. Peralatan laboratorium dinilai kurang


43

memberikan pengalaman yang menantang dan hanya dapat digunakan di sekolah

saja sehingga siswa akan semakin bosan dengan cara dan bahan ajar yang

monoton.

1.7 Hasil Penelitian yang Relevan

Alat praktik fisika sangat berperan dalam pencapaian tujuan pembelajaran,

fungsi laboratorium yang menurun karena kurang lengkap dan tidak mampu

menggugah rasa ingin tahu siswa dapat digantikan dengan penggunaan alat

praktik fisika berbasis lingkungan sebagai alat praktikum alternatif. Selain untuk

memacu siswa dalam hal fisika, media berbasis lingkungan juga dapat

mengarahkan siswa untuk peduli dengan lingkungan. Kemudian miskonsepsi

yang terjadi dalam pembelajaran fisika masih banyak terjadi. Konflik kognitif

yang terjadi pada siswa merupakan saat yang tepat untuk melakukan remidiasi

miskonsepsi pada siswa. (Indrawati, 2007; Kim et al., 2005; Kuswandi et al.,

2002; Muller et al., 2007; Pujani, 2002; Retug dan Subagia, 2003; Sadia et al.,

2004; Wijayanti, 2006).

Indrawati (2007) meneliti potensi laboratorium fisika SMA dalam

mendukung pelaksanaan pendidikan yang memperoleh hasil bahwa peranan

laboratorium kurang mencukupi untuk mendukung pembelajaran fisika. Secara

umum kondisi laboratorium fisika untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan

pembelajaran SMA masih kurang. Dengan pula untuk pemanfaatan laboratorium

juga rendah.

Kim et al. (2005) menggunakan model simulasi unrealistic (model AS)

yang dapat mempengaruhi konflik teori siswa dan perubahan konseptual. Hasilnya

adalah konflik kognitif siswa terjadi ketika diberikan simulasi tetapi miskonsepsi
44

siswa tidak tertanggulangi secara penuh karena siswa masih ragu dengan simulasi

tersebut. Keraguan siswa ini timbul karena banyaknya variabel yang dimanipulasi.

Kuswandi et al. (2002) memanfaatkan baterai bekas sebagai elektroda alat

konduktansi sederhana sebagai alat indikator dalam titrasi asam basa dan juga

dipakai untuk mengenali larutan elektrolit. Hasilnya sangat efektif dan alat

tersebut mampu memberikan respon yang mendekati harga sesungguhnya dari

konduktansi larutan yang diuji.

Muller et al (2007) menyatakan bahwa upaya yang paling baik dalam

mengatasi miskonsepsi siswa adalah dengan cara dialog yang memungkinkan

siswa untuk berdialog dua arah dan juga adanya konsepsi alternatif sebagai

jawaban jawaban miskonsepsi siswa. Muller et al. menggunakan video sebagai

media pembelajaran dimana siswa diberikan tes terlebih dahulu dan kemudian

diberikan tayangan video sains dan selanjutnya diberikan yang sama pula.

Pujani (2002) mengembangkan alat percobaan sederhana buatan guru

sebagai suplemen LKS berwawasan pendekatan STM dapat meningkatkan

kualitas hasil belajar siswa. Selain itu perangkat tersebut dapat meningkatkan

aktivitas belajar siswa dan juga meningkatkan respon siswa dalam menggunakan

alat-alat percobaan sederhana.

Retug dan Subagia (2003) mengembangkan Perangkat Percobaan Kimia

Sederhana (PPKS) yang dipakai dalam pembelajaran kimia berbasis eksperimen

menunjukkan hasil penelitian yang signifikan dalam pencapaian hasil belajar

siswa. PPKS yang digunakan bertujuan untuk menanggulangi sarana

pembelajaran kimia di sekolah yang kurang memadai.


45

Sadia et al. (2004) meneliti miskonsepsi pada siswa SMA. Hasil

penelitiannya menunjukkan model pembelajaran learning cycle dan model konflik

kognitif dapat memperbaiki miskonsepsi siswa SMA serta memiliki keunggulan

komparatif dalam pencapaian hasil belajar. Sadia et al. juga menyarankan agar pra

konsepsi dan variasi miskonsepsinya beserta penyebabnya perlu dieksplorasi dan

diidentifikasi secara cermat dan selanjutnya digunakan untuk merancang dan

malakukan pembelajaran.

Wijayanti (2006) memanfaatkan kertas kardus bekas sebagai alat

permainan edukatif untuk meningkatkan kreatifitas siswa. Hasilnya adalah

kreatifitas siswa semakin meningkat, sikap produktif dan keberanian anak tampil

di muka umum semakin meningkat serta ketertarikan orang tua untuk terlibat

dalam aktifitas tersebut.

2.8 Kerangka Berpikir

1) Komparasi Strategi Pembelajaran Perubahan Konseptual Strategi dan

Pembelajaran Langsung terhadap Remidiasi Miskonsepsi Siswa

Metode pembelajaran konvensional merupakan metode pembelajaran yang

dilakukan sehari-hari di sekolah yang tidak memperhatikan pengetahuan awal

siswa. Salah satu pembelajaran konvensional adalah strategi pembelajaran

langsung. Strategi pembelajaran langsung merupakan strategi pembelajaran yang

tidak memperhatikan pengetahuan awal siswa dimana informasi disampaikan

langsung oleh guru sebagai sumber pengetahuan bagi siswa. Strategi ini

menggunakan metode demonstrasi langsung tanpa penggalian pengetahuan awal

siswa yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa penjelasan terkait. Selanjutnya


46

siswa diberikan latihan terbimbing dengan tujuan nantinya siswa mampu

melakukan latihan mandiri.

Strategi pembelajaran perubahan konseptual yang memeperhatikan

pengetahuan awal siswa. Sesuai dengan konsep kontuktivisme, pengetahuan siswa

dibangun oleh siswa itu sendiri dalam rangka memperbaiki dan/atau menambah

pengetahuan siswa dalam struktur kognitif siswa itu sendiri. Pengetahuan yang

diperoleh oleh siswa dengan caranya sendiri dan dikontruksikan sendiri dalam

struktur kognitifnya. Pengetahuan awal siswa tidak selamanya sesuai dengan

konsepsi ilmiah. Pengetahuan siswa tersusun atas dasar proses asimilasi dan

akomodasi. Pengkontruksian pengetahuan akan terjadi apabila proses asimilasi

dan akomodasi berjalan seimbang atau equilibrium. Untuk mencapai proses ini

diperlukan strategi perubahan konseptual yang dilaksanakan dengan konflik

kognitif. Dalam pembelajaran konflik kognitif, guru terlebih dahulu menggali

pengetahuan awal siswa secara eksplisit. Selanjutnya membahas dan

mengevaluasi gagasan awal siswa untuk materi yang diajarkan. Kemudian

menciptakan konflik kognitif untuk pengetahuan awal siswa. Konflik kognitif

dapat dilakukan dengan metode demonstasi, analogi, konfrontatif, dan contoh

tandingan. Apabila alat praktik yang ada mencukupi seluruh kelas maka strategi

konflik kognitif dapat dilakukan dengan metode eksperimen. Selanjutnya guru

menyemangati dan mengarahkan siswa untuk merestrukturisasi konsepsnya

sendiri sehingga menjadi konsepsi ilmiah.

Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, dapat diduga bahwa strategi

pembelajaran perubahan konseptual memberikan dampak yang berbeda dalam

meremiidiasi miskonsepsi siswa dibandingkan dengan strategi pembelajaran


47

langsung. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang menghargai gagasan

siswa. Dapat dikatakan pula, penggalian pengetahuan awal siswa merupakan

langkah penting dalam merestrukturisasi pengetahuan dalam struktur kognitif

siswa. Ketika proses asimilasi dan akomodasi mengalami ketidak seimbangan

maka terjadi disequilibrium. Equilibrium akan tercapai dengan baik apabila

dalam pemberlajaran selalu memperhatikan pengetahuan awal siswa. Ketika

pengetahuan awal siswa mengalami miskonsepsi maka diperlukan suatu strategi

perubahan konseptual. Strategi ini mampu menjembatani siswa dengan

pengetahuan yang sesuai dengan konsepsi ilmiah sehingga pengkontruksian

pengetahuan akan berjalan dengan baik. Proses belajar akan berhasil apabila

pebelajar mengalami secara langsung proses sains itu sendiri. Strategi konflik

kognitif yang dapat dilakukan dengan metode demonstrasi, analogi, konfrontatif,

dan contoh tandingan dan bahkan eksperimen dengan sarana yang memadai. Saat

siswa mengalami langsung proses sains tersebut maka dapat dipastikan

miskonsepsi yang terjadi dalam diri siswa dapat diminimalisasi. Pemahaman

konsep siswa semakin kokoh seiring dengan frekuensi pengalaman langsung yang

dialami oleh siswa dalam rangka mengkontruksikan sendiri pengetahuan tersebut.

Di samping itu pula pembelajaran tidak terkesan sebagai pembelajaran teacher

centered tetapi mengarah pada pembelajaran student centered. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa strategi pembelajaran perubahan konseptual lebih baik

daripada strategi pembelajaran langsung dalam meremidiasi siswa.

2) Komparasi Alat Praktik Fisika Berbasis Lingkungan dan Alat Praktik

Fisika Berbasis Laboratorium terhadap Remidiasi Miskonsepsi Siswa


48

Alat praktik fisika berbasis laboratorium merupakan segala alat praktik

yang tersedia di laboratorium dimana media tersebut merupakan hasil pabrikasi

suatu produsen. Alat praktik ini hanya dapat diperoleh dan dipakai di sekolah oleh

siswa. Dalam penggunaanya, alat praktik fisika berbasis laboratorium selalu

mengacu pada petunjuk dari produsen tersebut untuk menghindari kerusakan

akibat kesalahan penggunaan. Jadi, dalam penggunaan peralatan yang ada di

laboratorium harus hati-hati karena harus memenuhi suatu aturan tertentu. Aturan

ini akan mempersempit derajat kebebasan belajar siswa. Di samping itu, alat

praktik yang ada di laboratorium memiliki resiko yang cukup besar. Ketika alat

tersebut rusak diperlukan biaya lebih untuk memperbaikinya. Kadang pula banyak

perlatan laboratorium yang mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki

karena berbagai faktor.

Alat praktik fisika berbasis lingkungan merupakan alat praktik fisika

inovatif yang pembuatannya dapat dilakukan oleh guru dan siswa dimana

bahannya dapt diambil dari lingkungan. Alat praktik fisika ini tidak hanya dapat

dipakai di sekolah saja tetapi juga dapat dipakai di rumah oleh siswa. Hal ini

disebabkan karena alat praktik ini dirancang agar dapat dibuat oleh siswa dengan

bahan dan peralatan yang mudah diperoleh. Bahan dan peralatan yang digunakan

relatif murah karena sebagian besar menggunakan bahan dari barang bekas.

Awalnya guru memberikan contoh alat yang nantinya dipakai sebagai alat

praktikum di sekolah dalam kelompok. Kemudian guru mendorong siswa untuk

membuat alat serupa di rumah. Tujuannya adalah agar siswa dapat belajar lebih

banyak di rumah. Disamping itu, alat praktik fisika berbasis lingkungan

diharapkan mampu menggugah rasa ingin tahu siswa sehingga minat siswa untuk
49

belajar menjadi meningkat. Dari segi resiko kerusakan alat juga sangat kecil

karena alat tersebut merupakan alat yang berasal dari lingkungan sehingga tidak

memerlukan biaya yang besar untuk memperbaikinya. Media ini dirancang agar

dapat memfasilitasi siswa dalam rangka membangun pengetahuannya sendiri

sesuai dengan konsep kontrukstivisme. Banyak hal yang dapat dipelajari oleh

siswa mulai dari pembuatan hingga penggunaan alat tersebut.

Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, dapat diduga bahwa alat praktik

fisika berbasis lingkungan dan alat praktik fisika berbasis laboratorium

memberikan dampak yang berbeda dalam meremidiasi miskonsepsi siswa.

Pembelajaran akan memberikan hasil yang lebih baik jika siswa diberikan sarana

dan prasarana berupa alat praktik dalam proses sainsnya. Namun jika alat praktik

fisika yang dipakai hanya bersifat sementara dalam hal waktu pemakaian dan juga

kebebasan penggunaan maka hasil yang diberikan tidak akan maksimal. Ketika

siswa dapat belajar lebih banyak tentunya penyerapan pengetahuan itu sendiri

akan berlangsung lebih baik. Waktu belajar di sekolah lebih sedikit dibandingkan

dengan waktu belajar di rumah. Belajar di rumah dengan fasilitas yang memadai

dalam hal alat praktik fisika itu sendiri maka pengkontruksian pengetahuan akan

terjadi. Pembelajaran fisika merupakan pembelajaran yang bersifat nyata. Artinya

setiap konsep yang ada dapat diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari.

Alat praktik fisika berbasis lingkungan dapat dipakai di sekolah dan di rumah. Hal

ini disebabkan karena media ini dapat pula dibuat oleh siswa. Di samping itu ,

biaya produksi media berbasis lingkungan relatif murah karena bahan dan

peralatannya bersumber dari lingkungan siswa. Kreatifitas dan minat siswa belajar

juga akan meningkat. Alat praktik fisika berbasis lingkungan akan memberikan
50

kesan bahwa pembelajaran tidak terkesan monoton. Semakin sering siswa belajar

maka miskonsepsiyang dialami juga akan semakin sedikit. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa alat praktik fisika berbasis lingkungan lebih baik daripada

berbasis laboratorium dalam remidiasi miskonsepsi siswa.

3) Interaksi antara Strategi Pembelajaran dan Alat Praktik Fisika terhadap

Remidiasi Miskonsepsi Siswa

Strategi pembelajaran langsung merupakan strategi pembelajaran yang

kurang memperhatikan pengetahuan awal siswa. Walaupun dalam penerapannya

telah memanfaatkan media penbelajaran dalam demontrasinya tetapi pengetahuan

siswa tidak dapat berkembang. Hal ini disebabkan karena guru berperan sebagai

sumber dari pengetahuan. Siswa hanya dapat memperhatikan dan mengsimilasi

apa yang dikatakan oleh guru. Pembelajaran seperti ini cenderung bersifat teacher

centered. Penggunaan alat praktik fisika dalam demontrasi dimaksudkan agar

siswa dapat melihat suatu fenomena yang beerkaitan dengan materi. Latihan

terbimbing yang diberikan dengan tujuan agar siswa mampu melakukan latihan

mandiri tidak akan memberikan hasil yang baik dalam meremidiasi miskonsepsi

siswa. Guru akan mengetahui miskonsepsi yang dialami oleh siswa ketika

gagasan awal siswa diketahui dan dievaluasi. Pembelajaran dengan menggunakan

alat praktik fisika akan memberikan hasil yang lebih baik. Namun bila

pengetahuan awal siswa tidak diperhatikan maka siswa cenderung akan

mengalami miskonsepsi dan hanya mampu meniru apa yang dilakukan oleh guru

tanpa bisa mengembangkannya.


51

Strategi pembelajaran konseptual merupakan strategi pembelajaran yang

memperhatikan miskonsepsi siswa guna meremidiasi miskonsepsi. Strategi ini

dilaksanakan dengan mengimplementasikan konflik kognitif dalam pembelajaran.

Sedangkan konflik kognitif dilaksanakan dengan menerapkan strategi

demontrasi., analogi, konfrontatif dan contoh tandingan. Keempat strategi tersebut

ternyata cukup efektif dalam meremidiasi miskonsepsi siswa. Strategi ini bila

dikembangkan akan mengarah pada pelaksanaan eksperimen. Dalam

pelaksanaannya eksperimen terkesan sebagai pembelajaran yang sukar dan mahal

karena memerlukan peralatan dari laboratorium. Peralatan di laboratorium

merupakan peralatan keluaran produsen yang mahal. Pengoperasiannya juga rumit

sehingga eksperimen terkesan menyeramkan. Namun bila dikaji lebih lanjut dari

konsep perubahan konseptual, eksperimen yang melibatkan strategi demontrasi,

analogi, konfrontatif dan contoh tandingan, eksperimen tersebut tidak perlu

mehal, sukar dan menakutkan. Tentunya alat praktik yang akan digunakan dalam

melakukan eksperimen haruslah alat praktik yang mudah dibuat dan murah biaya

prodiksinya. Manfaat lain dari strategi pembelajaran perubahan konseptual dengan

konflik kognitif adalah dapat dengan efektif dalam meremidiasi miskonsepsi

siswa.

Alat praktik fisika berbasis laboratorium merupakan segala alat praktik

yang tersimpan dalam laboratorium. Alat praktik ini merupakan produk suatu

produsen yang diadakan di sekolah dengan biaya tertentu. Perawatan dan

penggunaannya memerlukan keterampilan yang lebih dan harus memahami

karakteristik masing-masing alat. Keberadan laboratorium di sekolah-sekolah di

Indonesia sangatlah memprihatinkan. Sebab tidak semua sekolah memiliki


52

laboratorium IPA yang lengkap. Ditambah lagi keadaan SDM kita yang rendah.

Hal ini dapat kita lihat ketika ada alat laboratorium rusak karena tidak pernah

digunakan. Penyebabnya adalah peraturan laboratorium bersifat kaku dan

petunjuk pemakaian masih dalam bahasa Inggris yang sulit dimengerti.

Memandang hal tersebut dapat dipastikan penbelajaran tidak akan berjalan dengan

baik. Apalagi strategi pembelajaran yang diterapkan masih merupakan strategi

pembelajaran konvensional. Kadang untuk melakukan demontrasi saja tidak bisa

karena ketiadaan alat di laboratorium. Hal inilah yang menyebabkan pembelajaran

dengan eksperimen terkesan sebagai pembelajaran sukar dan mahal.

Alat praktik fisika berbasis lingkungan merupakan segala alat praktik yang

dapat dibuat oleh guru dan siswa dimana bahan dan peralatannya bersumber dari

lingkungan sekitar guru dan siswa. Alat praktik ini tergolong alat praktik yang

murah meriah karena dirancang agar dapat dibuat oleh siswa sendiri tanpa

mengeluarkan biaya yang banyak. Namun demikian tetap dapat memberikan

fungsi yang maksimal dalam proses sains ketika pembelajaran dengan konsep

kontruktivisme dilaksanakan. Dengan adanya alat praktik fisika berbasis

laboratorium siswa memperoleh waktu belajar lebih banyak. Keleluasan siswa

dalam belajar juga terjamin. Karena alat praktik ini murah dan mudah dibuat maka

resiko kerusakan juga kecil. Siswa akan lebih berani dalam memanipulasi alat

sehinga proses sains dan ide-ide mereka akan lebih berkembang. Adanya alat

praktik fisika berbasis lingkungan tidak akan memberikan kesan mahal dan sukar

dalam pembelajaran eksperimen. Syaratnya adalah pelajar mau mengembangkan

ide kreatif mereka. Pembelajaran dengan strategi konflik, kognitif dengan

demonstrasi, analogi, konfrontatif maupun contoh tandingan dan bahkan


53

eksperimen dapat dilakukan dengan mudah. Dengan demikian remidiasi

miskonsepsi siswa dapat terwujud sekaligus dapat mengembangkan kreatifitas

siswa dalam berkarya.

Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, dapat diduga bahwa ada interaksi

antara strategi dan alat praktik fisika dalam remidiasi miskonsepsi siswa. Strategi

pembelajaran perubahan konsep yang menghargai pengetahuan awal siswa

kemudian diterapkan melalui strategi konflik kognitif. Dalam strategi konflik

kognitif dilaksanakan melalui demonstrasi, analogi, konfrontatif dan contoh

tandingan memerlukan suatu alat praktik fisika. Jika dilihat dari kondisi

labolatorium IPA sekolah saat ini, strategi konflik kognitif agak sulit untuk

diterapkan. Ditambah lagi pembelajaran dengan menggunakan alat praktik fisika

berbasis laboratorium sudah sering dijumpai oleh siswa dan hanya dapat

digunakan di sekolah saja sehingga pembelajaran terkesan monoton. Akibatnya

minat siswa akan menurun dan kecenderungan untuk terjadinya miskonsepsi

semakin besar. Dengan melakukan variasi strategi pembelajaran dengan

menerapkan perubahan konseptual dan difasilitasi dengan alat praktik fisika

berbasis lingkungan dapat meningkatkan minat siswa untuk belajar. Ketika minat

siswa semakin besar untuk belajar maka semakin besar pula kreatifitasnya. Hal ini

mendorong siswa untuk lebih maju dalam mencari dan merekonstruksikan

pengetahuannya sesuai konsepsi ilmiah. Sedangkan strategi pembelajaran

langsung dapat pula difasilitasi dengan alat praktik fisika berbasis lingkungan

namun hasilnya tidak memuaskan karena pengetahuan awal siswa tidak

diperhatikan. Pembelajaran seperti ini tetap terkesan sebagai pembelajaran yang

berpusat pada guru tanpa memperhatikan proses sains itu sendiri. Dengan
54

demikian dapat dikatakan bahwa terdapat interaksi antara strategi dan alat praktik

fisika dalam remidiasi miskonsepsi siswa khususnya antara strategi perubahan

konseptual dengan alat praktik fisika berbasis lingkungan.

2.9 HIPOTESIS

Berdasarkan kajian pustaka, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian

sebagai berikut.

1) Terdapat perbedaan remidiasi miskonsepsi antara siswa yang belajar dengan

strategi pembelajaran langsung dibandingkan dengan strategi pembelajaran

perubahan konseptual.

2) Terdapat perbedaan remidiasi miskonpeksi antara siswa yang belajar dengan

alat praktik fisika berbasis labolatorium dibandingkan dengan alat praktik

fisika berbasis lingkungan.

3) Terdapat pengaruh interaktif antara strategi pembelajaran (langsung dan

perubahan konseptual) dan alat praktik fisika (berbasis laboratorium dan

berbasis lingkungan) terhadap remidiasi miskonsepsi siswa.

Anda mungkin juga menyukai