Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH SISTEM BUDAYA

Kamis, 05 Juni 2014

MAKALAH SISTEM SOSIAL


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan
bimbingan-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Salawat dan salam
senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad SAW, semoga beliau, keluarga, para sahabat serta
para pengikutnya mendapat tempat yang layak disisi Allah SWT.
Makalah ini disusun sebagai tugas dari Mata Kuliah SISTEM SOSIAL INDONESIA. Dengan adanya
makalah ini, kami sebagai penyusun mengharapkan semoga apa yang dibahas dalam makalah ini dapat
membantu para pembaca dalam memahami Sistem Sosial Indonesia.
Akhir kata, kami sebagai penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini. Kami juga menyadari bahwa dalam makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
kesempurnaan makalah ini sehingga dalam pembuatan makalah selanjutnya dapat menjadi lebih baik.

Lasusua, 23 Oktober 2013

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Sistem sosial adalah proses belajar mengenali, menganalisis dan mempertimbangkan eksistensi
dan perilaku organisasi dan institusi sosial kemasyarakatan dalam berbagai ranah kehidupan manusia.
Peran manusia di sini lebih dilihat sebagai makhluk sosial dan bagian dari kelompok kepentingan, bukan
sebagai individu. Ketika kita mengamati suatu fenomena sosial, maka sebenarnya kita sedang mencerna
realitas kehidupan yang membawakan kondisi sistem masyarakat tertentu yang sedang bekerja,
berusaha tetap langgeng, dan seringkali berbenturan dengan sistem-sistem lainnya. Sistem ini
mencirikan karakteristik sifat, tata nilai, ukuran, kualitas dan kedudukan relasional di dalam dan antar
sistem. Oleh karenanya, fenomena sosial pada hakikatnya adalah proses dialog, transaksi dan negosiasi
sejumlah sistem sosial pada konteks waktu dan tempat tertentu.
Pertempuran yang terjadi dimasa pra-kemerdekaan ataupun pasca-kemerdekaan, telah memberi
gambaran pada kita apa itu konflik. Peristiwa tersebut merupakan serentetan konflik yang pernah dialami
oleh bangsa Indonesia, sehingga menjadikan 17 Agustus 1945 merupakan lembaran sejarah kehidupan
bangsa Indonesia. Sebelum dan sesudah itu, bangsa indonesia mengalami pertentangan-pertentangan
yang muncul justru dari para tokoh elit sosial-poltik bangsa. Sebelumnya itu, mereka saling membantu
untuk mewujudkan Indonesia merdeka.Mereka tak mengedepankan hasrat ego mereka masing-masing.
Namun setelah itu muncullah peristiwa pemberontakan, yang diawali dengan pemberontakan PKI tahun
1948, DI/TII , PRRI-Permesta, G30 S/PKI,dll. Yang berusaha meruntuhkan kesatuan NKRI.
Keadaan itu memiliki makna bahwa “Bhineka Tunggal Ika“ sesungguhnya hanya teori semata,
belum diterapkan secara nyata oleh bangsa ini. Perkataan itu merupakan cita-cita yang masih perlu
diwujudkan bagi segenap bangsa kita ini. Akan tetapi, konflik-konflik sosial didalam masyarakat
senantiasa memiliki kedudukan dan pola masing-masing. Dikarenakan sumber yang menjadi
penyebabnya pun memiliki jenis yang tidak sama. Hanya melalui pemahaman yang mendalam mengenai
sumber penyebabnya, maka konflik sosial internal bangsa akan dapat kita hindari. Secara psikologis kita
memiliki kecenderungan untuk menekan kenyataan-kenyataan tersebut ke dalam dunia bawah sadar kita,
bukan saja kita mengira bahwa dengan demikian kita akan dapat terhindar dari konflik yang lebih tajam,
namun sesungguhnya kita tidak menyukai kenyataan tersebut. Konflik yang terjadi diantara sesama kita
adalah sesuatu yang menodai jiwa dan semangat gotong-royong yang kita muliakan, sesuatu yang
menodai jiwa dan semangat Bhineka Tunggal Ika yang kita junjung tinggi.
Yang tidak pernah kita sadari adalah, mekanisme psikologis seperti itu akan membawa kita
berlarut-larut kedalam konflik yang berkepanjangan, dan sulit untuk dipecahkan. Sehingga kita akan
kehilangan kepekaan kita terhadap perkembangan-perkembangan yang akan dapat memecahkan konflik.
Sementara kita terpesona dengan anggapan bahwa konflik yang terjadi akan dapat kita atasi dengan
gotong-royong dan semangat Bhineka Tunggal Ika, kita akan terkejut dengan kenyataan bahwa konflik
yang terjadi secara tiba-tiba menjadi dahsyat. Dengan menyadari akan adanya konflik-konflik sosial yang
bersifat laten di dalam masyarakat kita, memungkinkan kita untuk mencari faktor-faktor penyebabnya.
Mata kuliah ini memberikan pemahaman dasar dan umum tentang bagaimana mengurai ke dalam
konsep-konsep dasar bentuk dan isi dari kemajemukan sistem sosial budaya Indonesia. Materi dan ruang
lingkup perkuliahan akan diawali dengan me-review kembali konsep sistem, konsep sistem sosial,
konsep sistem budaya, dilanjutkan dengan realitas struktur majemuk masyarakat Indonesia, aspek
historis yang mempengaruhi terbentuknya sistem sosial dan sistem budaya Indonesia, aneka nilai
orientasi masyarakat Indonesia dan implikasinya pada kehidupan sosial budaya ekonomi dan politik, dan
pendekatan teoritis dalam memahami sistem sosial serta masalah integrasi Nasional.

B.            Rumusan Masalah
a.   Bagaimana sistem sosial di Indonesia ?
b.  Apa implikasinya pada kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik dengan adanya aspek kemajemukan?

C.            Tujuan
Dengan mengikuti kegiatan perkuliahan Sistem Sosial Indonesia, maka diharapkan mahasiswa
mampu menjelaskan mengenai sistem sosial di Indonesia serta mampu memahami implikasinya pada
kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik dengan adanya aspek kemajemukan

.
BAB II
PEMBAHASAN
A.           PENDEKATAN TEORITIS
Sudut pendekatan yang perlu mendapatkan perhatian pertama kali adalah sebuah pendekatan
yang sangat berpengaruh dikalangan para ahli sosiologi selama beberapa puluh tahun terakhir ini.
Pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat , sesungguhnya terintegrasi atas dasar
kesepakatan antar anggota mereka. Ia memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara
fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Oleh karena sifatnya, yang demikian, maka
aliran pemikiran tersebut disebut sebagai Integration approach, order approach, equilibrium approach,
atau dengan lebih populer disebut sebagai structural-functional approach. (Selanjutnya disebut
pendekatan fungsional struktural atau fungsionalisme-struktural). Teori-teori yang mendasarkan diri pada
sudut pendekatan tersebut, biasa dikenal pula sebagai integration theories, order theoris, equilibrium
theories, atau lebih dikenal sebagai teori-teori fungsional struktural.
Pendekatan fungsionalisme struktural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan
para pengikutnya, dapat kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka sebagai berikut :
1.   Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu
sama lain.
2.   Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat
ganda dan timbal balik.
3.    Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem
sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis.
4.   Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga,
akan tetapi di dalam jangka yang panjang keadaan tersebut akan teratasi dengan sendirinya pada
akhirnya, melalui penyesuaian-penyesusaian dan proses institusionalisasi.
5.     Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-
penyesuaian, dan tidak secara revolusioner.
6.      Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam kemungkinan, yaitu
penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut, terhadap perubahan-perubahan yang datang
dari luar (extra systemic change), pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional,
serta penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.
7.      
Faktor paling penting yang memiliki daya menintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di
antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
Dengan cara lain dapat dikatakan, bahwa suatu sistem sosial, pada dasarnya, tidak lain adalah
suatu sistem daripada tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai
individu, yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, melainkan tumbuh dan berkembang di
atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat. Yang paling
penting di antara berbagai standar penilaian umum tersebut, adalah apa yang kita kenal sebagai norma-
norma sosial. Norma-norma sosial itulah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial. Equilibrium dari
suatu sistem sosial terjaga oleh beberapa proses dan mekanisme sosial. Dua macam mekanisme sosial
yang paling penting untuk mengendalikan hasrat masyarakat pada tingkat dan arah yang menuju
terpeliharanya kontinuitas sistem sosial, adalah mekanisme sosialisasi dan pengawasan sosial (social
control).
Parson dan para pengikutnya tidak dapat dikatakan telah berhasil membawa pendekatan
fungsionalisme strukturalketingkat perkembangan yang lebih berpengaruh pada pertumbuhan teori-teori
sosiologi hingga saat ini. David Lockwood mengritik pendapat Parson, kita dapat menyaksikan betapa
pendekatan fungsionalisme struktural terlalu menekan berdasarkan pada peranan unsur normatif dan
tingkah laku sosial, khususnya pada proses-proses dimana keinginan seseorang diatur secara normatif
untuk menjamin kesetabilan sosial.Tata tertib dan konflik adalah dua kenyataan yang melekat bersama-
sama di dalam setiap sistem sosial. Adanya tata tertib sosial bukan berarti akan hilangnya konflik di
masyarakat. Sebaliknya, lahirnya tata tertib sosial justru menggambarkan adanya konflik yang bersifat
potensial di dalam setiap masyarakat.
Anggapan awal bahwa setiap sistem sosial memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas atau
equilibrium di atas konsensus para anggota masyarakat akan nilai-nilai umum tertentu, mengakibatkan
para penganut pendekatan fungsionalisme struktural kemudian menganggap bahwa disfungsi
ketegangan,penyimpangan sosial yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan kemasyarakatan
dalam bentuk tumbuhnya diferensiasi sosial yang semakin kompleks, adalah akibat daripada pengaruh
faktor-faktor yang datng dari luar. Pandapat seperti itu mengesampingkan kenyataan sebagai berikut:
1.   Setiap struktur sosial, di dalam dirinya sendiri, mengandung konfli-konflik dan kontradiksi yang bersifat
internal, yang pada saatnya akan menjadi sumber terjadinya perubahan sosial.
2.    Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar (extra-systemic change) tidak
selalu bersifat adjustive.
3.    Sistem sosial, dalam jangka panjang juga akan mengalami konflik sosial yang bersifat visious circle.
4.    Perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui adaptasi yang lunak, akan tetapi juga dapat
terjadi secara revolusioner.
Oleh karena itu ia mengabaikan kenyataan itu, maka pendekatan fungsionalisme struktural
dipandang oleh para ahli sosioligi sebagai pendekatan yang bersifat reaksioner, dan oleh karenanya
dianggap kurang mampu menganalisis masalah perubahan kemasyarakatan. Pendekatan tersebut
dianggap mengabaikan kenyataan bahwa konflik dan kontradiksi intern dapat merupakan sumber
tejadinya perubahan dalam masyarakat, tetapi sistem sosial terkadang tidak selalu mampu beradaptasi
terhadap perubahan yang datang dari luar.Terkadang sistem sosial memang dapat menyesuaikan
terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar tanpa terjadinya disintegrasi sosial. Namun tidak
jarang, sistem sosial akan menolak perubahan yang datang dari luar, baik secara status quo ataupun
dengan tindakan reaksioner. Keadaan tersebut berimbas akan terjadinya disfungsional pada bagian-
bagian tertentu, yang akan menimbulkan ketegangan sosial. Apabila faktor eksternal tersebut
berpengaruh kuat terhadap bagian-bagian sistem sosial, maka disfungsi dan ketegangan akan tumbuh
secara komulatif serta mengundang terjadinya perubahan sosial yang bersifat revolusioner.
Sementara conflic approach masih dapat kita bedakan, yakni structuralist-Marxist dan structural-
Non-Marxist. Berdasarkan dari fungsionalisme struktural, maka pandangan pendekatan konflik
berpangkal pada anggapan-anggapn dasar sebagai berikut:
1.     Setiap masyarakat selalu berada pada proses perubahan yang tak pernah berujung, bisa dikatakan bahwa
perubahn sosial merupakan gejala yang melekat pada masyarakat.
2.      Konflik merupakan gejala yang identik dengan masyarakat.
3.   Setiap unsur dalam masyarakat, memberikan potensi terjadinya integrasi dan perubahan sosial.
4.      Setiap masyarakat, didominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang lain.
Bentuk pengendalian konflik sosial yang pertama dan paling penting adalah apa yang disebut
konsiliasi (conciliation). Pengendalian tersebut terwujud dalam lembaga yang memungkinkan tumbuhnya
pola diskusi, dan pengambilan keputusan antar pihak yang berlawanan mengenai persoalan yang
dipertentangkan. Dalam hal itu,bermaksud agar lembaga-lembaga tersebut harus memenuhi setidaknya
empat hal, yaitu:
1.     Lembaga tersebut harus bersifat otonom.
2.     Lembaga tersebut harus berifat monopolistis didalam masyarakat.
3.  Peranan lembaga harus mengikat dan memaksa, dapat dikatakan sebagai pengendali sosial.
4.      Lembaga yang bersangkutan harus bersifat demokratis.
Tanpa keempat hal tersebut, konflik akan menjadi semakin bertambah rumit,dan akan semakin sulit
untuk dipecahkan. Namun,hal tersebut dapat diatasi apabila kelompok yang berkonflik memenuhi tiga
macam persyaratan:
1.   Masing-masing kelompok harus menyadari, bahwa mereka terlibat dalam suatu konflik, dan menyadari
perlunya dilaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua.
2.   Penyelesaian konflik tersebut akan mudah dikendalikan apabila kelompok yang berkonflik terorganisir
dengan jelas.
3.  Kelompok yang berkonflik harus mematuhi aturan-aturan tertentu, sehingga memungkinkan hubungan sosial
antar mereka kembali membaik.
Tanpa semua itu, lembaga diskusi macam apapun tidak akan berjalan dengan baik, justru akan
menimbulkan konflik. Cara pengendalian yang efekti adalah dengan mediasi (mediation), dimana kedua
belah pihak sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai penengah, yang akan memberi nasihat tentang
bagaimana seharusnya mereka bertindak. Walaupun nasihat tersebut tidak mengikat kedua belah pihak,
namun cara ini terkadang sering menghasilkan penyelesaian yang cukup efektif. Apabila tidak
berhasil,kita dapat menggunakan cara yang lain. Yaitu dengan perwasitan (arbitration), dalam hal ini
pihak yang bertikai terpaksa harus menerima keputusan dari pihak ketiga. Tetapi meraka berhak untuk
mengajukan usulan, kendati mereka mau-tidak mau harus menerima keputusan pihak ketiga.

B.            STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA


Struktur masyarakat Indonesia dibedakan menjadi dua.Yaitu, secara horisontal yang ditandai oleh
adanya kesatuan sosial berdasarkan atas perbedaan suku bangsa, agama, adat-istiadat, serta
kedaerahan. Secara vertikal, struktur sosial masyarakat indonesia ditandai oleh adanya perbedaan sosial
antara kelas atas dan kelas bawah yang sangat tajam.
Perbedaan suku-bangsa, agama, adat dan kedaerahan, merupakan ciri masyarakat Indonesia
yang bersifat majemuk. Istilah ini diperkenalkan oleh Furnivall sebagai penggambaran masyarakat
Indonesia dimasa Hindia Belanda. Masyarakat majemuk (plural societies), yaitu suatu masyarakat yang
terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaruan satu sama lain yang
berada pada satu kekuasaan politik. Masyarakat Indonesia merupakan tipe masyarakat daerah tropis,
dimana meraka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras.
Dalam kehidupan berpolitik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat
majemuk adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Dalam kehidupan ekonomipun juga
tidak ada kehendak bersama, sehingga disimpulkan tidak adanya permintaan sosial yang dihayati
bersama oleh seluruh elemen masyarakat (common social demand). Menurut Furnivall, setiap
masyarakat politik dari kelompok nomad sampai bangsa yang berdaulat, berangsur-angsur melalui
periode waktu tertentu membentuk peradaban dan kebudayaan sendiri, membentuk kesenian, baik
berupa sastra, seni lukis, maupun musik, serta membentuk berbagai kebiasaan di dalam kehidupan
sehari-hari.

Karakteristik masyarakat majemuk menurut Pierre L. Van den Berghe adalah:


1.   Terjadinya segmentasi kedalam bentuk kelompok yang sering kali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda
satu sama lain.
2.  Memiliki struktur sosial yang terbagi kedalam lembaga yang bersifat non-komplementer.
3.    Kurang berkembangnya konsensus antar anggota terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
4.       Relatif sering terjadi konflik antar anggota kelompok.
5.    Secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi.
6.       Terjadi domonasi politik oleh kelompok satu dengan kelompok yang lain.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pluralitas masyarakat Indonesia. Keadaan
geografis wilayah Indonesian yang terdiri dari 3.000 lebih pulau yang tersebar di daerah equator
sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat, lebih dari 1.000 mil dari utara ke selatan,
merupakan pengaruh besar terjadinya pluralitas suku bangsa Indonesia.
Faktor kedua, yaitu letak Indonesia yang berada diantara samudera Indonesia dan samudera
Pasifik, sangat berpangur akan terjadinya pluralitas agama di dalam masyarakat. Letak indonesia yang
berada ditengah-tengah jalur persimpangan perdagangan dunia, memungkinkan Indonesia menerima
pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui pedagang asing.
Iklim yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama antara daerah di kepulauan
Nusantara ini, merupakan faktor yang menciptakan pluralitas regional di Indonesia. Perbedaan curah
hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang
berbeda di Indonesia, yakni: daerah pertanian sawah (wet rice cultivation) yang terutama banyak dijumpai
di pulau Jawa dan Bali, serta daerah pertanian ladang (shifting cultivation) yang banyak kita jumpai di luar
pulau Jawa. Perbedaan tersebut menyebabakan terjadinya kontras perbedaan antara Jawa dan Luar
Jawa di dalam bidang kependudukan, ekonomi, dab sosial-budaya.
Segala macam perbedaan di atas merupakan dimensi horizontal strutur masyarakat Indonesia. 
Sementara secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia dapat kita lihat dengan semakin
berkembangnya polaritas sosial berdasrkan kekuatan politik dan kekayaan. Dengan semakin
berkembangnya dalam sektor ekonomi modern beserta organanisasi administrasi nasional yang
mengikutinya, maka terjadi pelapisan sosial politis yang sangat kontras antara golongan atas dan
golongan bawah. Ketimpangan tersebut berakar dari zaman Hindia-Belanda, oleh Boeke digambarkan
dengan dual economi.
Dalam sisitem dual economi, dua sektor ekonomi yang berbeda saling berhadapan. Yaitu sekotor
ekonomi modern yang lebih bersifat canggih (sophisticated), banyak berkaitan dengan perdagangan
Internasional, dimana motif mengeruk keuntungan yang semaksimal mungkin. Sektor kedua yaitu sektor
ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional, yang menjaga motif keamanan dan kelanggengan tidak
berminat untuk mengharap keuntungan yang maksimal.Perbedaan tersebut secara integral terjadi dalam
keseluruhan masyarakat Indonesia yang hidup di daerah pedesaan dan perkotaan.

C. STRUKTUR KEPARTIAN SEBAGAI PERWUJUDAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA


Segala macam perbedaan yang terjadi di Indonesia secara analitis dapat dibicarakan secara
sendiri-sendiri, dan dapat menjadi suatu jalinan yang menghasilkan berbagai macam kelompok semu
atau lebih dikenal dengan golongan. Golongan tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan suku, agama,
kelas sosial, tempat tinggal, dan lain-lain. Namun sejak awal abad 20, terutama setelah kemerdekaan
kelompok semu tersebut berubah menjadi kelompok kepentingan. Salah satu kelompok kepentingan
yang sangat khusus sifatnya adalah partai politik. Tetapi pada awalnya mereka lebih menekankan pada
sosial budaya dari pada politik, baru kemudian hari kelompok tersebut mengubah sifatnya kepartai politik.
Sejak merubah sifatnya menjadi partai politik timbullah berbagai macam konflik yang terjadi antar
suku, agama, daerah, stratifikasi sosial, dan lain sebagainya. Kompleksitas itulah yang telah membuka
timbulnya macam berpikir yang ditunjukkan oleh berbagai macam partai paolitik di Indonesia. Herbert
Feith misalnya, melihat konflik di Indonesia sebagai konflik ideologis yang bersumber pada ketegangan
yang terjadi antara pandangan tradisonal dan pandangan modern. Pandangan tradisonal yang
berpedoman pada tradisi Hindu-Jawa dan Islam, sedang pandangan modern yang berkiblat pada barat.

D.     TRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA DAN MASALAH INTEGRASI NASIONAL


Strutur masyarakat Indonesia yang majemuk, melahirkan masyarakat yang bersifat multi-
dimensional yang menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara
horizontal, sementara stratifikasi sosial memberi bentuk integrasi nasional yang bersifat vertikal. Van den
Berghe membagi sifat dasar masyarakat majemuk menjadi beberapa yaitu:
1.    Memiliki sub-kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
2.     Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga non-komplementer.
3.   Kurang berkembangnya konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang besifat dasar.
4.     Sering terjadi konflik.
5.   Secara relatif integrasi terjadi karena paksaan, dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi.
6.      Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok.
Oleh karena sifat yang demikian, maka van den Berghe menyatakan bahwa masyarakat majemuk
tidak dapat digolongkan kedalam salah satu jenis masyarakat menurut analisis Emile Durkheim.
Masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan
yang bersifat segmentasi, tetapi juga tidak dapat digolongkan kedalam masyarakat yang memiliki
diferensiasi dan spesialisasi tinggi.Dalm keadan yang demikian, menggunakan terminologi Emil
Durkheim, maka van den Berghe menyatakan bahwa baik solidaritas mekanis yang diikat oleh kesadaran
kolektif maupun solidaritas organis yang diikat oleh saling ketergantungan di antara bagiab-bagian dari
suatu sistem sosial, tidak mudah dikembangkan atau ditumbuhkan di dalam masyarakat yang bersifat
majemuk.Hal yang demikian juga berarti bahwa pendapat para penganut fungsionalisme struktural masih
harus dipertimbangkan validitasinya untuk menganalisis suatu masyarakat yang bersifat majemuk.
Mengikuti pandangan mereka, suatu sistem sosial selalu terintegrasi di atas landasan dua hal
berikut. Pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara
sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Dari
sudut lain, masyarakat senantiasa terintegrasi karena setiap anggota masyarakat sekaligus menjadi
anggota kesatuan sosial (cross-cutting affiliations). Karena setiap konflik yang terjadi antar kesatuan
sosialakan segera dinetralisir dengan adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari para anggota
masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial.
Keduanya mendasari terjadinya integrasi sosial dalam masyarakat yang bersifat majemuk, karena
tanpa keduanya tidak akan terbentuk suatu masyarakat. Segmentasi dalam bentuk kesatuan sosial yang
terikat dalam primordial edengan su-kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali
menimbulkan konflik antar kelompok sosial. Dalam hal ini ada dua macam tingkatan konflik yang
mungkun terjadi, yaitu:
1.            Konflik ideologis.
Konflik tersebut terwujud di dalam bentuk konflik antar sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan
sosial.
2.            Konflik politis.
Terjadi dalam bentuk pertentengan di dalam pembagian status kekuasan, dan sumber ekonomi yang
terbatas ketersediaannya di dalam masyarakat. Di dalam situasi konflik, maka secara sadar atau tidak
sadar, maka anggota kelompok akan mengabdikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas antar
anggota.
Dengan adanya masyarakat yang majemuk, maka melahirkan keanggotan yang saling
menyilang.Cross-cutting affiliationsyang telah menyebabkan konflik antar golongan tidak terjadi terlalu
tajam. Konflik suku bangsa misalnya, akan segera meredam oleh bertemunya loyalitas agama. Demikian
juga sebaliknya, apabila terjadi konflik agama, daerah, atau lapisan sosial.Karena cross-cutting affiliations
senantiasa menghasilkan cross-cutting liyalities maka pada tingkat tertentu masyarakat Indonesia juga
terintegrasi atas dasar tumbuhnya perbedaan.Bersama dengan tumbuhnya konsensus nasional
mengenai nasionalisme Pancasila yang senantiasa beranggapan secara dinamis dengan mekanisme
pengendalian konflik yeng bersifat coercive, dengan struktur silang-menyilang itulah Indonesia tetap
dapat lestari walau harus menghadapi permasalahan akibat dari kemajemukan masyarakatnya.

BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Pendekatan yang sangat berpengaruh dikalangan para ahli sosiologi yaitu beranggapan bahwa
masyarakat  sesungguhnya terintegrasi atas dasar kesepakatan antar anggota mereka. Ia memandang
masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium.
Oleh karena sifatnya, yang demikian, maka aliran pemikiran tersebut disebut sebagai Integration
approach, order approach, equilibrium approach, atau dengan lebih populer disebut sebagai structural-
functional approach.
Struktur masyarakat Indonesia dibedakan menjadi dua.Yaitu, secara horisontal yang ditandai oleh
adanya kesatuan sosial berdasarkan atas perbedaan suku bangsa, agama, adat-istiadat, serta
kedaerahan. Secara vertikal, struktur sosial masyarakat indonesia ditandai oleh adanya perbedaan sosial
antara kelas atas dan kelas bawah yang sangat tajam. Perbedaan suku-bangsa, agama, adat dan
kedaerahan, merupakan ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Istilah ini diperkenalkan oleh
Furnivall sebagai penggambaran masyarakat Indonesia dimasa Hindia Belanda. Masyarakat majemuk
(plural societies), yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-
sendiri tanpa ada pembaruan satu sama lain yang berada pada satu kekuasaan politik.
Menurut Herbert Feith konflik di Indonesia sebagai konflik ideologis yang bersumber pada
ketegangan yang terjadi antara pandangan tradisonal dan pandangan modern.
Van den Berghe membagi sifat dasar masyarakat majemuk menjadi beberapa yaitu:
1.      Memiliki sub-kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
2.      Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga non-komplementer.
3.    Kurang berkembangnya konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang besifat dasar.
4.       Sering terjadi konflik.
5.    Secara relatif integrasi terjadi karena paksaan, dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi.
6.      Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok lain

B.            Saran
Sebagai penyusun, kami merasa masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Maka
dari itu, kami sebagai penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya mebangun dari para
pembaca yang budiman agar dalam penyusunan makalah berikutnya dapat menjadi lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai