Anda di halaman 1dari 21

Bab II

Telaah Pustaka

A. Manajemen Strategi dalam Bidang Pendidikan

Menurut Miller (1998), manajemen strategi harus


dipahami sebagai suatu disiplin dan suatu metode berpikir
yang sebaiknya dimiliki oleh setiap karyawan organisasi. Ciri
utama manajemen strategi adalah mengintegrasikan berbagai
fungsi dalam organisasi, berkiblat pada tujuan organisasi
secara menyeluruh, mempertimbangkan kepentingan berbagai
stakeholder, berkaitan dengan horizon waktu yang beragam,
dan berurusan dengan efisiensi dan efektivitas. Sedangkan
pengertian manajemen strategi adalah suatu proses yang
mengkombinasikan tiga aktivitas, yaitu analisis strategi,
formulasi strategi, dan implementasi strategi. Sejalan dengan
Miller, David (2011) memberikan definisi mengenai
manajemen strategi yang merupakan seni dan ilmu untuk
memformulasikan, mengimplementasikan dan mengevaluasi
keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi
untuk mencapai tujuannya. Dia juga menambahkan ada lima
manfaat manajemen ini, yaitu melatih setiap orang dan
organisasi untuk berpikir secara antisipatif dan proaktif,
mendorong terjadinya komunikasi yang sangat dibutuhkan
dalam organisasi, mendorong lahirnya komitmen manajerial,
melahirkan pemberdayaan staf dan yang terakhir,
menunjukkan kinerja finansial yang lebih baik. Dari uraian
diatas, kita tahu bahwa manajemen strategi pada hakekatnya
terdiri dari tiga macam proses manajemen, yaitu pembuatan
strategi (yang diawali dengan analisis strategi), penerapan
strategi dan evaluasi atau kontrol terhadap strategi.

12
Dalam dunia pendidikan, manajemen strategi sangat
dibutuhkan untuk keberlangsungan usahanya. Pendidikan
yang baik harus dilaksanakan secara terarah dan sistematis
sesuai tujuan yang telah direncanakan (Akdon, 2006). Untuk
itulah dibutuhkan manajemen strategi. Akdon menambahkan:

Perencanaan pendidikan memiliki posisi yang cukup


strategis dalam keseluruhan proses pendidikan. Perencanaan
pendidikan akan dapat memberikan kejelasan arah usaha
dalam proses pendidikan. Dengan kejelasan arah ini, usaha
pendidikan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Dengan demikian, salah satu indikator keberhasilan proses
pendidikan terletak pada kualitas perencanaan pendidikan
yang menyeluruh.

Di sisi lain, Umar (2013) mengkombinasikan model


manajemen strategi dari Hunger dan Wheelen (2002) dengan
model manajemen strategi milik David (2007). Model tersebut
tersaji sebagai berikut:
ENVIRONMENTAL FORMULASI IMPLEMENTASI EVALUASI
SCANNING STRATEGI STRATEGI DAN
KONTROL
Eksternal dan Misi Program Kinerja
internal
Tujuan Budget dan
prosedur kerja
Strategi dan
kebijakan

feedback

Sumber : Umar, 2013

Gambar 2.1 Model Manajemen Strategi


Sebelum merumuskan sebuah strategi, lembaga
pendidikan hendaknya melakukan analisis lingkungan
terlebih dahulu. Faktor eksternal dan internalpun perlu
diketahui. Faktor internal bagi sebuah lembaga pendidikan
adalah kekuatan dan kelemahan serta nilai-nilai pribadi yang
dimiliki. Faktor eksternal bagi lembaga pendidikan adalah

13
peluang dan ancaman industri di bidang pendidikan serta
harapan masyarakat luas (Porter, 1980).

Setelah melakukan analisis lingkungan, lembaga


pendidikan dapat mulai merumuskan strategi dengan mulai
menentukan misi, tujuan dan strategi. Strategi sendiri
merupakan cara suatu organisasi/lembaga pendidikan untuk
memenuhi misi dan tujuannya (Lee dan Lee, 2012). Strategi
yang telah dibuat kemudian diimplementasikan dengan cara
membuat program beserta anggaran dan prosedur kerjanya.
Tujuan utama implementasi strategi adalah rasionalitas
tujuan dan sumber daya, yaitu merupakan tindakan
menerapkan strategi yang telah disusun kedalam berbagai
alokasi sumber daya secara optimal (Akdon, 2006).

Tahapan yang terakhir dalam manajemen strategi


adalah mengevaluasi strategi. Fokus utamanya adalah
pengukuran kinerja dan penciptaan mekanisme umpan balik
yang efektif. Pengukuran kinerja merupakan tahap yang
penting untuk melihat dan mengevaluasi capaian atau hasil
pekerjaan yang telah dilakukan lembaga pendidikan untuk
mencapai tujuan yang menjadi sasaran pekerjaan tersebut.
Tahap selanjutnya adalah analisis dan evaluasi kinerja. Tahap
ini dapat digunakan untuk melihat efisiensi, efektivitas,
ekonomi maupun perbedaan kinerja (gap). Hasilnya lebih
lanjut dapat digunakan sebagai umpan balik untuk
mengetahui pencapaian implementasi perencanaan strategik
(Akdon, 2006).

Salah satu strategi yang dapat digunakan oleh lembaga


pendidikan untuk tetap bertahan atau bahkan unggul dalam
persaingan adalah strategi bersaing. Sebelum menentukan
strategi bersaing yang tepat, seharusnya kondisi persaingan di

14
lingkungan industri dianalisis terlebih dahulu. Hal ini dapat
dilakukan dengan melakukan analisis lima kekuatan
persaingan (five competitive forces) Porter (1980).

B. Strategi Bersaing
Setiap institusi, baik yang bergerak di bidang jasa
maupun non jasa, dalam melakukan kegiatan bisnis,
memerlukan strategi yang mampu menempatkan institusi
dalam posisi terbaik, mampu bersaing serta terus berkembang
dengan mengoptimalkan semua potensi sumber daya yang
dimiliki (Sitepu, 2005). Lee dan Lee (2012) menambahkan
bahwa strategi yang baik menetralisir ancaman,
memanfaatkan peluang, menggunakan kekuatan dan
memperbaiki kelemahan yang dimiliki. Pandangan hirarkis
strategi memvisualisasikan pada tiga level strategi. yaitu
strategi aras korporat, strategi aras divisi (unit usaha
strategik), dan strategi aras fungsional (Supratikno, 2003).
Pertama, strategi aras korporat berhubungan dengan
gambaran keputusan yang sangat luas seperti ruang lingkup
pasar dan level integrasi (Friis, 2011). Kedua, strategi aras
divisi/bisnis berhubungan dengan bagaimana institusi
melakukan bisnisnya dan berkompetisi dalam industri
tertentu (Beard dan Dess, 1981). Sedangkan Supratikno
(2003) berpendapat bahwa strategi aras divisi memusatkan
perhatian pada bagaimana memaksimalkan daya saing suatu
unit usaha. Berbeda pada aras korporasi yang berusaha
mencapai optimalisasi sinergi antar unit usaha, strategi aras
divisi berusaha merealisasikan daya saing yang tinggi. Pada
aras inilah competitive strategy/strategi bersaing berada. Teori
Porter juga berfokus pada aras ini. Yang terakhir, strategi aras
fungsional berhubungan dengan sisi operasional menjalankan

15
institusi serta bagaimana memaksimalkan produktivitas
sumberdaya yang tersedia (Friis, 2011).
Untuk sampai pada aras strategi divisi, biasanya
dilakukan empat langkah, yaitu melakukan analisis industri,
analisis kelompok strategis, analisis pemosisian (positioning),
dan pemilihan konfigurasi aktivitas yang sesuai. Langkah-
langkah ini dilakukan untuk memperoleh strategi bersaing
yang sesuai. Tujuan strategi bersaing untuk suatu unit usaha
dalam sebuah industri, dalam hal ini industri pendidikan,
adalah menemukan posisi dalam industri tersebut dimana
lembaga pendidikan dapat melindungi diri sendiri dengan
sebaik-baiknya terhadap kekuatan tekanan persaingan atau
dapat mempengaruhi tekanan tersebut secara positif (Porter
(2007). Hibbets dkk (2003) menambahkan bahwa strategi
bersaing yang dipilih oleh suatu organisasi mengidentifikasi
cara-cara dimana manajemen bertujuan untuk berhasil
bersaing dalam pasaran produknya dan memberikan nilai
yang terbaik bagi pelanggan. Strategi bersaing berusaha
mengidentifikasi dan mengamankan segmen pasar yang paling
menonjol dalam suatu arena pasar produk. Oleh karena itu,
strategi bersaing menentukan bagaimana suatu unit usaha
pendidikan harus berkompetisi dalam suatu segmen pasar
untuk membangun keunggulan bersaing. Setiap unit usaha
pendidikan harus memiliki strategi bersaing khusus yang bisa
memperkuat karakter usahanya sebagai senjata dalam
persaingan bisnis. Strategi bersaing sangat dibutuhkan dalam
usaha pendidikan mengingat banyaknya bermunculan
sekolah-sekolah baru yang menawarkan berbagai pelayanan
yang tentu saja jika tidak disikapi dengan baik (dengan
menggunakan strategi bersaing yang tepat) membuat lembaga
pendidikan yang ada tidak mampu bertahan bahkan bersaing
dalam industri pendidikan. Sedangkan menurut Porter (1980)

16
strategi bersaing adalah bagaimana menciptakan posisi yang
kuat untuk menghadapi lima kekuatan persaingan. Lima
kekuatan persaingan tersebut akan menentukan kondisi
persaingan dalam industri, termasuk industri pendidikan.

C. Kondisi Lingkungan Persaingan dalam Industri


Pendidikan
Tujuan akhir strategi bersaing adalah untuk
menanggulangi kekuatan lingkungan demi kepentingan
institusi. Aturan atau lingkungan persaingan yang ada dalam
industri terdiri atas lima kekuatan bersaing (Kuntjoroadi dan
Safitri, 2009). Menurut Porter (1980), ada 5 kekuatan yang
menentukan karakteristik suatu industri, yaitu intensitas
persaingan antar pemain yang ada saat ini, ancaman
masuknya pendatang baru, kekuatan tawar pemasok,
kekuatan tawar pembeli dan ancaman produk pengganti. Friis
(2011) menambahkan bahwa kekuatan-kekuatan ini dapat
berubah sepanjang waktu sebagaimana industri berkembang
dan berbeda tergantung pada kondisi khusus industri.
Kombinasi dari kelima kekuatan ini merupakan apa yang
diperlukan institusi untuk memberi arah bisnisnya sehingga
mampu memperoleh hasil diatas rata-rata (Porter, 1980).
Dalam usaha pendidikan, mengingat tetap adanya sebuah
persaingan, mengetahui lima kekuatan dalam persaingan
usaha pendidikan sangatlah penting. Dengan mengetahui 5
kekuatan ini, lembaga pendidikan akan mampu mengetahui
posisinya dalam persaingan dan akhirnya dapat menentukan
arah usahanya menjadi lebih sistematis, efektif dan efisien.
Lebih lagi, strategi yang disusun berdasarkan kondisi
lingkungan persaingan yang ada akan menciptakan hasil yang
maksimal. Adapun lima kekuatan dalam persaingan industri
dapat dijelaskan pada Gambar 2.2 berikut ini.

17
Threat of New Entrants

New
Entrants
Bargaining power of suppliers Bargaining power of buyers

Industri competitors Buyers


Suppliers Intensity of Rivalry

Substitutes

Threat of Subtitutes
Sumber : Porter, 1980

Gambar 2.2 Lima Kekuatan dalam Persaingan Industri

Persaingan antar Pesaing dalam Industri yang sama. Hal


ini merupakan inti dari persaingan. Institusi atau organisasi
dalam industri yang sama (sekolah musik) akan berlomba-
lomba untuk mencapai posisi yang paling unggul. Faktor yang
akan mempengaruhi adalah jumlah pesaing, kesetaraan
pesaing dan pertumbuhan industri (Herlianto, 2011).
Persaingan yang ketat ditandai dengan adanya persaingan
harga, pemasaran, peningkatan layanan dan pemberian
garansi (Porter, 1980). Beberapa bentuk persaingan,
khususnya persaingan harga, sangat tidak stabil dan sangat
mungkin membuat keadaan industri memburuk dari sudut
pandang profitabilitas (Porter, 1980). Dalam bidang
pendidikan, persaingan harga juga terjadi. Semakin banyak
lembaga pendidikan yang ada, mereka akan berlomba-lomba
untuk menawarkan kualitas, pelayanan, dan harga yang
terbaik bagi pelanggan. Hal ini dapat mengurangi keuntungan
bagi lembaga pendidikan. Dengan memberikan harga yang
murah tentu saja keuntungan finansial akan berkurang. Hal
ini harus diatasi dengan memilih strategi bersaing yang tepat.

Ancaman Pendatang Baru. Pendatang baru pada suatu


industri membawa kapasitas baru, keinginan untuk

18
mendapatkan bagian pasar, serta seringkali juga sumber daya
utama. Akibatnya, harga dapat menjadi turun atau biaya
membengkak yang berarti mengurangi keuntungan. Hal ini
merupakan ancaman besar bagi organisasi yang telah ada
(Porter, 1980). Ancaman pendatang baru ini mengharuskan
sebuah organisasi yang ingin tetap bertahan, bahkan unggul,
untuk bermanuver melalui pemotongan harga, inovasi produk
baru, periklanan, perjanjian kredit ataupun promosi (Faulkner
dan Bowman, 1995). Ancaman pendatang baru bagi lembaga
pendidikan adalah hadirnya sekolah-sekolah/lembaga
pendidikan baru yang menawarkan berbagai pelayanan dan
memiliki kualitas yang unggul pula. Hal ini adalah hal yang
wajar terjadi. Namun, jika ingin tetap bertahan, maka lembaga
pendidikan yang telah ada harus memiliki strategi untuk
bersaing sehingga mampu mempertahankan posisinya atau
bahkan mengungguli pesaingnya. Ancaman pendatang baru
ini akan semakin rendah jika ada hambatan masuk yang
berupa kebutuhan modal yang besar, adanya diferensiasi dan
kebijakan pemerinatah yang mengekang/perijinan yang rumit.

Kekuatan Tawar Menawar Pembeli. Faktor ini penting


karena kunci sukses suatu institusi terletak pada kepuasan
pembeli. Adapun faktor yang mempengaruhinya adalah
pangsa pembeli yang besar, banyaknya produk pengganti, dan
biaya pengalihan produk yang kecil (Herlianto, 2011). Pembeli
bersaing dengan industri dengan cara memaksa harga turun,
tawar-menawar terhadap mutu yang lebih tinggi dan
pelayanan yang lebih baik (Porter, 1980). Dalam bidang
pendidikan, lebih sesuai disebut sebagai pelanggan,
mengharapkan mutu dan pelayanan pendidikan yang terbaik
dengan harga serendah-rendahnya. Hal demikian sangatlah
wajar. Lembaga pendidikan harus mampu menyikapinya

19
dengan bijaksana menggunakan strategi bersaing yang tepat
sehingga para pelanggan tidak akan berpaling ke lembaga
pendidikan pesaingnya. Kekuatan pelanggan ini semakin
besar jika pelanggan terintegrasi, banyak produk pengganti,
tidak ada deferensiasi produk dan informasi yang dimiliki
pelanggan lengkap.

Kekuatan Tawar Menawar Penjual/Pemasok. Hal ini


dipengaruhi oleh jumlah pemasok dan barang atau jasa yang
disediakan oleh pemasok. Semakin sedikit jumlah pemasok,
semakin besar ancamannya (Herlianto, 2011). Dalam dunia
pendidikan, yang termasuk pemasok bisa berupa tenaga
pengajar yang kehadirannya cukup penting dalam proses
pembelajaran.

Ancaman Produk Pengganti. Persaingan tidak hanya


datang dari produk sejenis melainkan dapat pula berasal dari
produk yang tidak sejenis namun dapat memenuhi kebutuhan
yang sama (Solihin, 2012). Dengan kata lain, produk
pengganti/substitusi merupakan barang atau jasa yang dapat
menggantikan produk yang telah ada, dimana produk itu juga
mampu memuaskan kebutuhan pelanggan yang sama.
Kekuatan produk pengganti besar dilihat dari harga yang lebih
terjangkau, kinerja yang lebih unggul dan akses yang lebih
mudah ke produk pengganti tersebut. Produk pengganti yang
perlu diperhatikan adalah (1) yang mempunyai kecenderungan
untuk memiliki harga dan prestasi yang lebih baik, atau (2)
dihasilkan oleh institusi yang berlaba tinggi (Porter, 2007).
Sebagai contoh, institusi Coca Cola yang menghasilkan
minuman berkarbonase sempat mengalami penurunan
penjualan karena munculnya produk air mineral dan
minuman sari buah yang merupakan produk substitusi bagi

20
produk Coca Cola. Contoh lain adalah beberapa produk
komputer yang digantikan oleh produk ponsel.

Porter (2008) menyatakan bahwa dengan memahami


struktur industri dan kondisi persaingan di lingkungannya,
suatu organisasi dapat dengan mudah menentukan strategi
yang efektif sehingga mampu bertahan dan mengungguli
pesaingnya. Selain itu, setelah kekuatan-kekuatan yang
mempengaruhi persaingan dalam industri serta sebab-sebab
utamanya didiagnosis, lembaga pendidikan berada dalam
posisi untuk mengenali kekuatan dan kelemahannya terhadap
persaingan industri (Porter, 1980). Dengan mengetahui
kelemahan dan kekuatan yang dimiliki, sekolah dapat
menentukan strategi bersaing generik yang tepat untuk
bersaing dan mendapatkan keuntungan persaingan. Porter
juga mengenalkan 3 strategi bersaing generik yang terbukti
dapat digunakan untuk memperoleh keuntungan bersaing,
yaitu posisi yang unggul.

Tiga strategi bersaing generik tersebut akan bekerja


secara optimal ketika digunakan untuk menghadapi kekuatan
persaingan yang terkuat dalam suatu industri. Pertama,
Kekuatan pendatang baru dapat diatasi dengan menerapkan
strategi diferensiasi karena diferensiasi menciptakan
hambatan masuk dengan memaksa pendatang baru
mengeluarkan biaya yang besar untuk mengatasi kesetiaan
pelanggan yang ada dan strategi keunggulan biaya karena
ancaman masuk ke dalam industri dapat disingkirkan jika
institusi yang telah ada memilih menetapkan harga di bawah
harga penghalang masuk (Porter, 2007). Kedua, Persaingan
antar institusi dalam industri dapat diatasi dengan
menerapkan strategi fokus (dengan menyediakan bantuan
rancangan bagi pelanggan untuk menjadikan produknya
21
sesuai dengan keinginan pelanggan atau membuat mereka
tergantung pada petunjuk teknis) karena dengan memusatkan
usaha penjualan pada segmen yang paling cepat
pertumbuhannya atau pada daerah pasar dengan biaya tetap
paling rendah maka dampak persaingan industri dapat
dikurangi atau strategi diferensiasi melalui jenis pelayanan
baru, inovasi pemasaran, atau pengubahan produk untuk
mempertahankan kesetiaan pelanggan yang membuat
institusi dapat bertahan dalam persaingan yang ada (Porter,
2007). Ketiga, Porter juga menyatakan bahwa kekuatan
pengganti dapat dihadapi dengan menerapkan strategi
diferensiasi, yaitu dengan meningkatkan mutu produk,
pemasaran, dan kemudahan mendapatkan produk. Porter
memberikan contoh dari perusahaan penyedia satpam yang
mendapatkan ancaman pengganti dari perusahaan pengaman
elektonik. Daripada mati-matian berusaha menyaingi
perusahaan pengaman elektronik, perusahaan yang ada dapat
menawarkan paket yang terdiri atas penjaga keamanan dan
sistem elektronik dan juga meningkatkan layanan satpam
sebagai operator yang cekatan. Keempat, institusi dapat
memperbaiki posisi strategisnya dalam rangka menghadapi
kekuatan pelanggan dengan menyeleksi pelanggan atau
dengan kata lain menggunakan strategi fokus, misalnya
menjual kepada satu segmen pelanggan, karena hal ini
menimbulkan ketergantungan pelanggan pada petunjuk
teknis yang hanya diberikan oleh institusi tersebut. Kelima,
kekuatan pemasok yang bisa berupa tenaga pengajar dapat
dihadapi dengan menerapkan strategi diferensiasi. Loyalitas
pelanggan dan pendapatan yang tinggi karena diferensiasi
dapat digunakan untuk memberikan pelayanan yang baik
kepada tenaga pengajar.

22
D. Strategi Bersaing Generik Porter
Porter (1980) menyatakan bahwa ada 3 generik
competitive strategy yang diyakini dapat digunakan oleh
sebuah institusi untuk mencapai keunggulan
bersaing/competitive advantage. Tiga strategi tersebut adalah
differentiation, low-cost leadership, dan focus.

1. Differentiation

Strategi differentiation menciptakan nilai pelanggan


melalui beberapa cara, yaitu inovasi produk, kualitas dan
teknologi yang paling unggul, gambaran pencitraan yang unik,
pelayanan yang baik yang membedakan sebuah institusi
dengan institusi lain (Hutchinson dkk, 2007). Barney dan
Hesterly (2008) menambahkan bahwa strategi differentiation
adalah strategi bisnis dimana suatu institusi berusaha untuk
mendapatkan keunggulan bersaing dengan cara
meningkatkan nilai produk dan layanan mereka diatas
institusi lain. Sedangkan Kothler (1997) dalam Andika (2008)
menyatakan bahwa strategi differentiation sebagai suatu
proses memberikan dan menambahkan serangkaian
perbedaan yang dianggap penting yang bertujuan agar
pelanggan menganggapnya berbeda dan bersedia membayar
lebih untuk itu. Akan tetapi, strategi ini membutuhkan biaya
lebih untuk mewujudkannya.

Tabel 2.1 Ciri-ciri Strategi Differentiation

Ciri-ciri Strategi differentiation


Basis dari Kemampuan menawarkan sesuatu yang berbeda
keunggulan dari pesaing-pesaingnya
kompetitif
Target strategis Pangsa pasar yang luas
Lini Produk Banyak variasi produk, pilihan produk lebar,
penekanan pilihan pada fitur yang berbeda

23
Ciri-ciri Strategi differentiation
Penekanan Menemukan cara-cara untuk menciptakan nilai
Produksi kepada masyarakat dan mendorong kepada produk
yang berkualitas
Penekanan Membangun fitur-fitur yang dapat membuat
Pemasaran masyarakat bersedia membayar dengan harga yang
tinggi untuk menutupi biaya ekstra dari fitur-fitur
yang berbeda

Mempertahankan Mengkomunikasikan sesuatu yang berbeda dengan


Strategi cara menguntungkan. Menekankan inovasi-inovasi
untuk selalu berada di depan pesaing-pesaing yang
meniru

Sumber : Widhyaestoeti (2012)

Suatu institusi berusaha membuat perbedaan dari segi


produk, citra, dan layanan sehingga dia berbeda dan unik.
Contohnya, jam Rolex berusaha untuk membuat perbedaan
pada jamnya dibanding dengan jam Timex atau Casio, yaitu
dengan cara membuatnya dengan emas murni. Pizza Hut juga
membuat perbedaan pada layanannya, dengan cara melayani
pelanggan dengan lebih ramah misalnya dengan membuat
balon berbentuk untuk anak-anak, dll.
Contoh strategi differentiation dalam bidang pendidikan
adalah Sekolah Taruna Nusantara yang berbeda dengan
sekolah-sekolah lain. Sekolah ini menawarkan kualitas dan
layanan yang sangat berbeda dibandingkan sekolah lain, yaitu
dengan adanya pendidikan asrama, disiplin yang tinggi, dan
pendidikan bergaya militer yang berbeda dari yang lain.
Dengan perbedaan ini, para pelanggan bersedia membayar
lebih untuk masuk ke sekolah tersebut.

2. Low-cost Leadership
Menurut Amelia (2008), strategi ini dicirikan dengan
konsentrasi pada harga jual produk yang murah. Untuk
mendapatkannya bisa dilakukan dengan cara menekan biaya
produksi, promosi, dan riset. Sangat bertolak belakang dengan

24
strategi differentiation yang tidak memusingkan masalah biaya
demi mendapatkan kualitas produk dan layanan yang berbeda
dan unggul, strategi low-cost leadership sangat memikirkan
masalah biaya.
Segala hal dilakukan untuk menghasilkan harga jual
yang lebih rendah dibandingkan para pesaingnya. Dengan
cara demikian, sebuah institusi dengan efektif dapat
melindungi dirinya dari persaingan harga dan melawan
kompetitornya melalui harga untuk mendapatkan pangsa
pasar (Pearce II dan Robinson, 2011).

Tabel 2.2 Ciri-ciri Strategi Low-cost Leadership


Ciri-ciri Strategi Low-cost Leadership
Basis dari keunggulan kompetitif Biaya-biaya lebih rendah bila dibandingkan dengan
pesaing-pesaing
Target strategis Pangsa pasar yang luas
Lini Produk Produk dasar yang baik dengan kualitas yang
diterima dengan produk terbatas
Penekanan Produksi Pencarian menerus untuk pengurangan biaya tanpa
mengurangi kualitas yang diterima dan fitur-fitur
yang penting
Penekanan Pemasaran Mencoba membuat fitur-fitur produk lebih baik yang
ditawarkan dengan harga rendah
Mempertahankan Strategi Harga-harga yang ekonomis. Kuncinya adalah
mengelola biaya-biaya menurun setiap tahun dalam
setiap aspek
Sumber : Widhyaestoeti (2012)

Banyaknya bermunculan sekolah-sekolah dari tingkat


PAUD sampai Perguruan Tinggi juga menimbulkan persaingan
harga, terutama di kalangan Sekolah baru yang belum
memiliki nama. Mereka berlomba-lomba menawarkan harga
serendah-rendahnya untuk menarik minat pelanggan.

3. Focus

Strategi focus, baik yang didasarkan pada low-cost


leadership ataupun differentiation, berusaha untuk menemui
kebutuhan pelanggan dari segmentasi pasar tertentu (Pearce II
dan Robinson, 2008). Segmentasi pasar dilakukan untuk

25
menghindari persaingan (Amelia, 2008). Contoh dari strategi
ini adalah institusi mobil Lamborghini yang membatasi target
pasar mereka, yaitu kalangan menengah keatas.
Tabel 2.3 Ciri-ciri Strategi Focus

Ciri-ciri Strategi Focus


Basis dari keunggulan Biaya rendah dalam melayani
kompetitif kelompok tertentu atau kemampuan
menawarkan sesuatu yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan
selera dari kelompok tersebut
Target strategis Segmen pasar sempit (kelompok
tertentu), dimana kebutuhan dan
preferensi pembeli berbeda dengan
sisa pasar lainnya
Lini Produk Diskostumisasi yang supaya sesuai
dengan kebutuhan khusus dari
segmen pasar
Penekanan Produksi Dibuat khusus untuk segmen tertentu
Penekanan Pemasaran Mengkomunikasikan kemampuan
unik produk untuk memuaskan
kebutuhan khusus dari pembeli
Mempertahankan Strategi Secara penuh melayani pelanggan
dengan lebih baik dari pesaing-
pesaingnya
Sumber : Widhyaestoeti (2012)

Sekolah Internasional Mountain View di Salatiga


merupakan contoh sekolah dengan strategi focus yang
memiliki pelanggan orang asing atau kaum menengah keatas.
Sekolah yang seperti ini memang memiliki pangsa pasar yang
relatif sedikit. Namun, mereka akan melakukan segala cara
untuk dapat memenuhi kebutuhan pelanggan mereka pada
segmen tertentu. Strategi fokus tepat digunakan jika
pelanggan yang ada biasanya berasal dari kalangan menengah
keatas. Pelanggan seperti ini biasanya menginginkan sesuatu
yang berbeda dan istimewa. selanjutnya, ketiga generic
competitive strategy dapat digambarkan pada gambar 3
berikut ini.

26
Uniqueness perceived
Low cost position
by the customer

Industry wide OVERALL COST


DIFFERENTIATION
LEADERSHIP

Particular
segment only FOCUS

Sumber : Porter (1980)

Gambar 2.3 Bagan Generic Competitive Strategy

4. Stuck-in-the-middle (memilih lebih dari satu strategi


generik)
Menurut Porter (1980) sangatlah sulit dan bahkan tidak
mungkin untuk menerapkan atau mengkombinasikan lebih
dari satu strategi. Tiap strategi generik mewakili pendekatan
berbeda yang mendasar untuk menciptakan dan
mempertahankan keunggulan bersaing. Biasanya, sebuah
institusi harus membuat pilihan diantara mereka kalau tidak
mereka akan terjebak ditengah-tengah/stuck in the middle.

Lebih lanjut Porter berpendapat bahwa mencapai


strategi differentiation dan low-cost leadership umumnya tidak
konsisten karena strategi differentiation biasanya
membutuhkan biaya yang tinggi. Pendapat Porter ini
didukung oleh beberapa penelitian yang dilakukan oleh Hall
(1980), White (1986), Phillips dkk (1983), Dess dan Davis
(1984) Hambrick (1983) yang semuanya ada dalam Hill (1988).
Pendapat ini dikuatkan oleh beberapa ahli dalam Barney dan
Hesterly (2008) yang menyatakan bahwa
mengimplementasikan kedua strategi bersaing (differentiation
dan low-cost leadership) secara bersamaan sangat sulit dan
bahkan disebutkan bahwa sebuah institusi atau institusi yang
mengimplementasikan kedua strategi tersebut akan berakhir
dengan kegagalan melakukan keduanya. Hal ini dikarenakan

27
salah satunya adalah orientasi dari kedua strategi yang saling
bertolak belakang. Dalam strategi differentiation, institusi
mengutamakan kualitas dan tidak memperhitungkan harga,
sedangkan low-cost leadership sangat memperhitungkan
harga. Institusi yang berusaha melakukan keduanya dan
gagal disebut “stuck in the middle”, seperti yang digambarkan
di gambar 4 berikut ini.

high

Return on Stuck in the


middle
investment

low high
Market share

Sumber : Porter (2007)

Gambar 2.4 Implementasi Low-cost Leadership dan


Differentiation secara Bersamaan : Stuck in
the Middle
Pendapat ini masih pro dan kontra. Istilah stuck in the
middle milik Porter cenderung berkesan negatif, yaitu dimana
institusi akan berakhir dengan kegagalan dalam
mengaplikasikan lebih dari satu strategi generik tersebut.
Akan tetapi, Baroto dkk (2012) memberi istilah yang lebih
bermakna positif yaitu hybrid strategy (mengkombinasikan
kedua strategi baik diferensiasi maupun low-cost). Telah
terbukti bahwa bisnis yang mengimplementasikan salah satu
atau beberapa strategi bersaing milik Porter (low-cost

28
leadership, differentiation dan focus) mengalami keuntungan
diatas rata-rata dan bahkan memiliki tingkat keuntungan
tertinggi, contohnya adalah Facebook, Macdonalds, dll (Pearce
II dan Robinson, 2011). Beberapa penelitian yang menguatkan
bahwa generik competitive strategy dapat dikombinasikan
(terutama low-cost leadership dan differentiation) adalah Beal
dan Yasai-Ardekani 2000; Philips, Chang, dan Buzzell 1983;
Spanos, Zaralis, dan Lioukas 2004 dalam Bingxin Li dan Juan
Li, 2008.
Dengan kata lain, penerapan generik competitive
strategy yang dikombinasikan maupun tidak telah menjadi
perdebatan. Tidak semua institusi dapat menerapkan
beberapa strategi secara bersamaan, namun dalam kondisi
tertentu, ada juga institusi yang mampu
mengkombinasikannya dan berhasil, bahkan mencapai
keuntungan tertinggi dan keunggulan bersaing yang
berkelanjutan. Jika ingin mengimplementasikan salah satu
maupun kombinasi dari beberapa generik competitive strategy
ini, setiap institusi harus memperhitungkan berbagai faktor
yang dapat menjadi pendukung dan penghambat
keberhasilannya sehingga tetap mampu menghasilkan
keunggulan bersaing yang berkelanjutan.
Menurut Hunger dan Wheelen (2002), keunggulan
bersaing merupakan keunggulan yang dimiliki suatu institusi
dari persaingan diantara institusi-institusi yang ada. Kothler
dan Amstrong (2001) dalam Yeni (2013) menambahkan bahwa
keunggulan bersaing merupakan suatu keunggulan diatas
pesaing yang diperoleh dengan menawarkan nilai lebih kepada
konsumen, baik melalui harga yang lebih rendah atau dengan
menyediakan lebih banyak manfaat yang mendukung
penetapan harga lebih mahal. Menurut Mooney (2007)
menyebutkan “competitive advantage is a capability or resource

29
that is difficult to imitate and valuable in helping the firm
outperform its competitors.”

Ini berarti keunggulan bersaing merupakan kemampuan


atau sumberdaya yang tidak mudah ditiru dan berguna dalam
membantu organisasi untuk lebih unggul dari para
pesaingnya. Sedangkan Porter (2007) berpendapat bahwa
keunggulan bersaing berasal dari banyaknya aktivitas
berlainan yang dilakukan oleh institusi dalam mendesain,
memproduksi, memasarkan, menyerahkan dan mendukung
produknya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sebuah
institusi atau institusi yang memiliki keunggulan bersaing
adalah institusi atau institusi yang memiliki kelebihan diatas
para pesaingnya yang dilakukan melalui berbagai aktivitas
dan dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan.

Adapun indikator keunggulan bersaing adalah sebagai


berikut kepuasan, kesetiaan, pangsa pasar dan kemampuan
menghasilkan laba (Craven, 1996 dalam Istanto, 2010).
Sebuah institusi dikatakan memiliki keunggulan bersaing jika
pelanggan mereka merasa puas dengan produk, jasa, maupun
pelayanan yang diberikan oleh institusi tersebut. Ketika
pelanggan merasa puas, mereka akan setia kepada institusi
tersebut dengan cara tetap menjadi pelanggannya ataupun
merekomendasikan institusi tersebut kepada calon pelanggan
yang lain. Dengan demikian, pangsa pasar dari institusi
tersebut akan meningkat, sehingga laba institusi sudah bisa
dipastikan akan meningkat pula.

Dalam bidang pendidikan, dimana persainganpun tetap


ada, hendaknya lembaga-lembaga pendidikan juga
memperhatikan keuntungan bersaing mereka. Misalnya,
ketika ada persaingan harga, hal itu boleh terjadi, namun

30
lembaga pendidikan tetap memperhatikan kualitas dan
layanan mereka kepada pelanggan.

E. Penelitian Sebelumnya

Beberapa penelitian mengenai lima kekuatan persaingan


milik Porter telah dilakukan. Diantaranya adalah yang
dilakukan oleh Pringle dan Huisman (2011). Penelitian ini
dilakukan dalam bidang pendidikan. Seluruh universitas di
Ontario, Canada diteliti dalam penelitian ini. Dalam penelitian
ini, ditemukan mengenai kondisi persaingan yang ada di
lingkungan industri universitas di seluruh Ontario, yang
terdiri dari persaingan antar universitas, kekuatan pelanggan,
kekuatan pemasok, ancaman pendatang baru dan ancaman
pengganti. Masing-masing kekuatan persaingan ini
dideskripsikan dan dianalisa faktor penyebabnya namun
untuk strategi bersaing yang digunakan oleh tiap universitas
tidak diteliti. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah
dalam penelitian ini selain mendeskripsikan lima kekuatan
yang ada, walaupun tidak diteliti lebih lanjut mengenai faktor
penyebabnya, strategi bersaing yang diterapkan oleh tempat
penelitian (PMC) juga diidentifikasi. Pada akhirnya ditemukan
strategi bersaing yang sesuai berdasarkan lima kekuatan yang
ada. Perbedaan kedua adalah jika pada penelitian oleh Pringle
dan Huisman (2011) diteliti lebih dari satu tempat penelitian,
yaitu seluruh universitas di Ontario. Sedangkan dalam
penelitian ini hanya memilih satu tempat penelitian saja.
Selanjutnya penelitian mengenai strategi bersaing dalam
bidang pendidikan juga pernah dilakukan oleh Jubelina (2013)
yang bertujuan untuk mengidentifikasi strategi bersaing yang
diterapkan di Sekolah Kristen Lentera Ambarawa. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sekolah ini menerapkan

31
strategi diferensiasi untuk bersaing. Perbedaannya dengan
penelitian ini adalah jika pada penelitian Jubelina hanya
diidentifikasi mengenai strategi bersaing yang digunakan oleh
tempat penelitian, lain halnya pada penelitian ini yang juga
mengidentifikasi lima kekuatan persaingan yang dapat
dijadikan dasar dalam menemukan strategi bersaing yang
sesuai berdasarkan kondisi persaingan yang ada sehingga
hasilnya dapat lebih optimal.

32

Anda mungkin juga menyukai