Anda di halaman 1dari 16

Pagar dan Saiful Akhyar Lubis: Faham Takfiri Menurut Ulama Sunni Indonesia Pasca Kelesuan ISIS di Suriah

FAHAM TAKFIRI MENURUT ULAMA SUNNI


INDONESIA PASCA KELESUAN ISIS DI SURIAH
(Aspek-aspek Pengkafiran dan Militansi Perjuangan)

Pagar dan Saiful Akhyar Lubis


Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Abstrak kekalahan telak ISIS di Suriah (2015) memaksa mereka memperluas pengaruhnya ke berbagai
negara, termasuk Asean dan Indonesia sebagai daerah yang ditandai warna coklat sangat muda (akan
menjadi target operasi selanjutnya). Pada negara-negara mayoritas muslim, digunakan strategi takfiri.
Artinya, pelaku masiat adalah kafir, termasuk penguasa yang tidak menerapkan syari‘at Islam sebagai
dasar Negara, sementara, pejuang-pejuang mereka disebut sebagai pasukan jihad. Ekspansi mereka
ke Indonesia, akan menjadi sangat menarik, karena Indonesia berpenduduk mayoritas muslim, panatis,
tapi dihuni oleh Ulama Sunni yang anti terhadap faham takfiri versi ISIS. Tulisan terdahulu, di antaranya;
Muhammed Yunis, “Politik Pengkafiran dan Petaka Kaum Beriman” (Buku), hanya membahas “kafir”
dalam tataran teoretik dan hubungannya dengan konsep iman, kemudian dipergunakan oleh politisi
untuk menjatuhkan lawannya, dan lain-lain. Kajian masuknya faham takfiri ke Indonesia dan kaitannya
dengan respon Ulama Sunni sebagai pembawa Islam kedamaian, menjadikan kajian ini memiliki nilai
kebaruan orisinil. Masalah utama dalam penelitian ini adalah, bagaimana respon Ulama Sunni Indo-
nesia terhadap paham takfiri pasca kelesuan ISIS di Suriah yang berkembang akhir-akhir ini dalam
kaitannya dengan aspek-aspek pengkafiran dan militansi perjuangan? Teori yang dipergunakan untuk
membedah tulisan ini adalah teori; Islam rahmatan lil‘alamin”, “Kekafiran”, dan “Penghalalan Darah”.
Penelitian menemukan bahwa pasca kelesuan ISIS di Suriah, Faham takfiri telah dibawa masuk secara
massif ke Indonesia, termasuk central pengkajian dan kegiatan ulama Suni, seperti; Ormas Islam,
pesantren, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pembawa faham takfiri tidak mampu menembus brikade
pertahaman Ulama Sunni, kecuali sedikit sekali dari kelompok awam. Diperkirakan, faham takfiri
tidak akan bisa berkembang di Indonesia sampai puluhan tahun ke depan, karena bangsa Indonesia
telah nyaman dengan karakter faham sunni yang dianut selama ini, sejak berabad-abad yang silam.1

Kata kunci: Takfiri, Dosa Besar, Islam Rahmatan Lil‘alamin.

Pendahuluan
Sikap mengkafirkan terhadap seorang muslim (takfiri) adalah cara yang sangat dahsyat untuk
menciptakan kerusuhan (fitnah) di tengh masyarakat. Terlihat jelas dengan fitnah al-kubra yang
telah menggetarkan panggung sejarah di masa silam, karena menelan korban ribuan nyawa shahabat
dan umat Islam. Hal ini terjadi saat perdamaian, dan upaya tahkim (berhukum dengan al-Qur‘an)
yang dimintakan Kelompok Muawiyah terhadap Kelompok Ali ibn Abi Thalib, karena mereka sudah
terdesak dalam perang melawan kelomok Ali ibn Abi Thalib. Meskipun semula Ali ibn Abi Thalib
ragu dengan permintaan tersebut, tapi akhirnya menerima dengan berbagai pertimbangan. Juru
bicara perdamaian tersebut diwakili oleh Abu Musa dari Kelompok Ali dan Amru ibn al-Ash dari
Kelompok Muawiyah yang berakhir dengan kekalahan Ali karena perdamaian itu penuh dengah

156 3
ANALYTICA ISLAMICA:
Pagar dan Saiful Vol.
Akhyar Lubis: 21 No.
Faham 2 Juli-Desember
Takfiri Menurut Ulama 2019
Sunni Indonesia Pasca Kelesuan ISIS di Suriah

syiyasah tipu muslihat. Saat inilah sebahagian Kelompok Ali ibn Abi Thalib yang sejak semula tidak
setuju dan tidak mau menerima tahkim menjadi marah. Mereka berpendapat bahwa apa yang dilakukan
oleh kedua belah pihak tidak berdasar hukum Allah, lalu mereka menuduh pelaku tahkim itu dan
orang yang sependapat dengannya telah menjadi kafir.2 Kerlompok ini disebutan namanya Khawarij,3
Belakangan mereka mempertegas ajarannya bahwa bukan hanya orang yang tidak berhukum kepada
al-Qur‘an saja yang disebut dengan kafir, tapi orang yang berbuat dosa besar juga disebut kafir.4
Akhirnya memicu meluasnya pembunuhan dan peperangan.
Indikasi pasca kelesuan ISIS di Suriah (2015 – sekarang), paham takfiri ini semakin tumbuh
kemabali dan meluas di dunia Islam. Daerah jangkauan ISIS dipetakan dengan 3 (tiga) zona yang
diwarnai coklat. Coklat tua sebagai daerah yang sudah pernah dikuasai, coklat muda sebagai daerah
yang belum pernah dikuasai tapi sudah dipengaruhi secara massif, coklat sangat muda sebagai
daerah perluasan berikutnya. Dalam hal ini termasuk Indonesia.
Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia menjadi sasaran empuk bagi
pengembangan ISIS selanjutnya. Wahhabi Crisis Center menulis dengan judul; Selamatkan Indone-
sia dari Ideologi Takfiri dan Terorisme,5 dia menggambarkan bahwa paham takfiri sebagai bibit
terorisme telah berovolusi lewat Wahabi Salafi tumbuh menjadi lebih kokoh di Indonesia. Hal ini
dapat diilustrasikan pada gambar berikut;

Paham Sunni adalah aliran keagamaan mayoritas yang dianut oleh umat Islam Indonesia. Berdasarkan
proyeksi data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 2018 mencapai 265 juta jiwa. 87,18 % di antaranya adalah beragama Islam.6 Semua
umat Islam tersebut adalah menganut paham Sunni kecuali sebagian kecil yang muncul belakangan,
akibat pengaruh globalisasi, dan sebagian pelajar-pelajar Indonesia yang pulang studi dari Timur Tengah.
Selama Ulama Sunni kokoh dengan keyakinannya maka Indonesia ini akan tetap aman dari
pengaruh terorisme. Tidak dapat dipungkiri tentang gencarnya serbuan fahan takfiri yang menjadi
bibit terorisme di Indonesia akhir-akhir ini, bukan hanya di kalangan masyarakat awam, termasuk
juga orang terpelajar, seperti lembaga Pendidikan, bahkan masuk ke urat nadi dari paham Sunni itu
sendiri, seperti Pesantren, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Penelitian ini ingin memperlihatkan
tentang Faham Takfiri dalam pemahaman dan respon ulama Sunni Indonesia.
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah; 1). Bagaimana pengertian paham Takfiri yang
berkembang di Indonesia menurut Ulama Sunni?, 2). Bagaimana perkembangan paham Takfiri menurut
ulama Sunni di Indonesia Pasca Kelesuan Isis di Suriah dalam kaitannya dengan aspek-aspek pengkafiran
dan melitansi perjuangan?, 3). Bagaimana Respon Ulama Sunni di Indonesia terhadap paham Takfiri

157 3
Pagar dan Saiful Akhyar Lubis: Faham Takfiri Menurut Ulama Sunni Indonesia Pasca Kelesuan ISIS di Suriah

Pasca Kelesuan ISIS di Suriah yang berkembang akhir-akhir ini dalam kaitannya dengan aspek-aspek
pengkafiran dan militansi perjuangan?. Selanjutnya, yang menjadi tujuan pada penelitian ini adalah
unntuk mengetahui ketiga hal yang menjadi rumusan masalah tersebut di atas.
Penelitian ini memiliki kebaruan dan orisinilitas. Meskipun ada tulisan terdahulu yang berbicara
tentang; “Politik Pengkafiran dan Petaka Kaum Beriman: Sejarah, Politik, dan HAM” (Buku), oleh
Muhammed Yunis, dan Pengantar oleh; Prof. DR. `Abdul Mouthi Bayoumi, Penerbit Pilar Media, Yogyakarta
Cetakan I, September 2006. Buku tersebut hanya membahas “kafir” dalam tataran teoretik dan hubungannya
dengan konsep iman, kemudian dipergunakan oleh politisi untuk menjatuhkan lawannya. Yang lain,
ada buku “Teokrasi Kontemporer: Integrasi Theologi dan Politik Dalam Negara Islam” (Buku), oleh Dr.
Salamuddin dan Candiki Repantu. Resensi oleh M. Agus Maryanto, Mahasiswa Pasca Sarjana Univer-
sitas Negeri Jakarta. Buku ini hanya menjelaskan tentang sistem pemerintahan teokrasi yang mengedepankan
aturan ilahiah (ketuhanan), dan menempatkan orang-orang suci seperti Nabi, Rasul, Khalifah, Imam,
Amir, Wali, dan Ulama sajalah yang berhak menjadi pemimpinnya. Dan lain sebagainya. Sementara
penelitian ini cenderung mengungkap faham takfiri dalam kaitannya dengan melakukan terror, terutama
pada Penguasa, bahkan keinginannya untuk menukar dasar negara.
Landasan teori yang dipergunakan untuk menyelesaikan penelitian ini ada 3 (tiga) macam,
yaitu; 1). “Teori Islam rahmatan lil`alamin”. QS al-Anbiya` ayat 107 (Kami tidak mengutusmu hai
Muhammad, kecuali untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam., 2). Teori “Kekafiran”. Hadis Bukhari,
Muslim, dan yang lainnya, Rasul bersabda; “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai
Dia bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusanNya. … “. 3). Teori
“Penghalalan Darah”. Hadis Rasul yang berbunyi; Tidak halal daerah seorang muslim kecuali karena
tiga hal, yaitu; karena zina muhshan (yang pernah menikah), muslim yang murtad, dan membunuh”.
Metode Penelitian; Jenis penelitian ini adalah kualitatif yang disajikan dalam bentuk Penelitian
Deskriptif. Dengan demikian, penelitian ini hanya akan memaparkan tentang apa saja yang diperoleh
di lapangan lewat fenomena yang muncul sebagai temuan. Lokasi penelitian adalah Indonesia secara
keseluruhan, namun dalam rangka efisiensi ditentukan 4 (empat) propinsi saja sebagai sampel, yaitu;
Sumatera Utara, Aceh, DKI, dan Jawa Barat. Informan Penelitian ini adalah Ulama Sunni yang ada
pada empat Daerah tersebut, dengan jumlah yang tidak ditentukan, tetapi akan dihimpun data semaksimal
mungkin sampai dipahami telah memadai karena telah jenuh (sejalan dengan teori snow ball). Sumber
Data ditentukan; Sumber data primer adalah data lapanagan yang diperoleh dari Ulama Sunni,
sedangkan Sumber Data skunder adalah keseluruhan data yang diperoleh, termasuk dari literatur
kepustakaan. Untuk menganalisis data dipergunakan metode induktif, dedultif, dan komparatif secara
nominatif sesuai kebutuhannya. Teknis analisis data dilakukan dengan cara mengelompokkannya
sesuai kategorisasinya, kemudian digeneralisasi sesuai keragamannya, dan dianalisis sesuai kelayakannya.

Kajian Teoritis
1. Pengertian Takfiri
Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdillah al-Tuwaijiri mengemukakan pengertian Takfiri sebagai
berikut;7
.‫ ھﻮ اﻟﺤﻜﻢ ﻋﻠﻰ اﻹﻧﺴﺎن ﺑﺎﻟﻜﻔﺮ‬:‫اﻟﺘﻜﻔﯿﺮ‬
(Takfiri adalah menuduh (menghukum) seseorang dengan kafir).

Takfiri dimaksud dalam tulisan ini cenderung dipergunakan sebagai alat terhadap klaim
atau tuduhan seorang muslim terhadap muslim lainnya tentang kekafiran. Jika seorang yang

158 3
Pagar dan SaifulISLAMICA:
ANALYTICA Akhyar Lubis:Vol.
Faham Takfiri
21 No. Menurut Ulama Sunni
2 Juli-Desember 2019Indonesia Pasca Kelesuan ISIS di Suriah

merasa dirinya masih sebagai penganut agama Islam tapi telah dikaim atau dituduh orang lain
sebagai seorang kafir maka sikap orang yang mengklaim atau menuduh tersebut dinyatakan
dengan sikap Takfiri. Tuduhan tersebut berbeda adanya dengan kenyataan sesungguhnya dalam
keyakinan orang yang dituduh.
Prilaku takfiri ini bisa mengakibatkan pembunuhan, bahkan peperangan. Hal ini sejalan
dengan hadis Rasul yang mengatakan 8

‫ْﺲ ﺑِﻐَْﻴ ِﺮ َﺣ ﱟﻖ ﻓَـ ُﻘﺘِ َﻞ ﺑِ ِﻪ‬


ٍ ‫ أ َْو ﻗَـﺘ ِْﻞ ﻧَـﻔ‬, ‫ْﻼٍم‬
َ ‫ أ َْو ا ْرﺗِﺪَا ٍد ﺑَـ ْﻌ َﺪ إِﺳ‬, ‫ ِزﻧًﺎ ﺑَـ ْﻌ َﺪ إِ ْﺣﺼَﺎ ٍن‬, ‫ث‬
ٍ ‫َﺤ ﱡﻞ َد ُم ا ْﻣ ِﺮ ٍئ ُﻣ ْﺴﻠ ٍِﻢ إ ﱠِﻻ ﺑِِﺈ ْﺣﺪَى ﺛ ََﻼ‬
ِ ‫َﻻ ﻳ‬
(Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena tiga hal, yaitu; zina muhshan, murtad
sesudah Islam, atau membunuh tanpa hak, maka dia harus dibunuh).
2. Larangan Takfiri
Takfiri adalah prilaku tercela yang yang tidak pantas untuk dilakukan. Kekafiran adalah stikma
paling buruk bagi orang yang tidak benar menyandang status tersebut, karena segala konsekwensi
kekafiran itu diarahkan kepadanya, misalnya; kekal di neraka, terhalang mendapat waris, putus
ukhuwah islamaiyah, tidak boleh menikah, dan sebagainya. Karenanya, jangan menganggap sepele
dan mudah mengkafirkan orang lain.
Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdillah al-Tuwaijiri mengatakan;9
.
‫ أو ﯾﺰﻧﻲ‬،‫ ﻓﻠﯿﺲ ﻟﮫ أن ﯾﻜﺬب ﻋﻠﯿﮫ‬،‫ أو زﻧﻰ ﺑﺄھﻠﮫ‬،‫ ﻓﻤﻦ ﻛﺬب ﻋﻠﻰ أﺣﺪ‬،‫وﻣﻦ َﻛﻔﱠﺮَﻧﺎ ﻓﻼ ﻧﻜﻔﺮه‬
.‫ﺑﺄھﻠﮫ؛ ﻷن اﻟﻜﺬب واﻟﺰﻧﺎ ﺣﺮام ﻟﺤﻖ ﷲ‬
.
(Takfiri adalah hak Allah, maka kita tidak boleh mengkafirkan seorang manusia pun, kecuali
Allah dan Rasulnya yang telah mengkafirkannya. Dan jika ada orang yang mengkafirkan
kita maka kita jangan membalas dengan mengkafirkannya. Maka jika seseorang menuduhkan
kebohongan terhadap orang lain, atau menuduh berzina dengan keluarganya, maka kita
tidak boleh membalasnya dengan menuduh dia pembohong, atau telah berzina dengan
keluarganya, karena sesungguhnya menuduh kebohongan dan zina itu adalah haram hukumnya,
karena hal itu adalah hak Allah. Demikian juga sikap Takfiri adalah hak Allah, maka jangan
kita mengkafirkan orang lain selain dari yang sudah dikafirkan oleh Allah dan Rasulnya).
Hal ini sejalan dengan firman Allah pada QS an-Nisa‘ ayat 92 – 94, yang berbunyi sebagai
berikut; “Dan tidaklah pantas bagi seorang yang beriman untuk membunuh orang beriman lainnya,
melainkan karena tersalah. Dan siapa saja yang telah membunuh seorang yang beriman dengan cara
tersalah, maka hendaklah dia memerdekakan seorang budak yang beriman, dan juga membayar denda
(diyat) yang diberikan kepada keluarga terbunuh, kecuali jika keluarga terbunuh tersebut bersedekah
kepadanya. Maka jika si terbunuh adalah dari golongan musuhimu, namun dia sudah beriman, maka
hukumannya memerdekakan budak yang beriman. Dan jika dia itu adalah dari golongan orang kafir
yang sudah terlebih dahulu memiliki perjanjian damai dengan kamu, maka mestilah dia membayar
denda (diyat) yang diberikan kepada keluarga korban, dan juga memerdekakan seorang budak yang
beriman. Maka barang siapa yang tidak mampu mendapatkan hal tersebut, maka mestilah dia berpuasa
dua bulan secara berturut, hal itu sebagai cara memperoleh pertaubatan kepadanya dari Allah. Dan
Allah itu adalah Maha Mengetahui lagi pula Maha Bijaksana”.

3
159
Pagar dan Saiful Akhyar Lubis: Faham Takfiri Menurut Ulama Sunni Indonesia Pasca Kelesuan ISIS di Suriah

“Dan siapa saja orang yang membunuh seorang yang beriman dengan cara sengaja, maka balasannya
adalah neraka Jahannam, orang tersebut kekal di dalamnya, dan Allah marah terhadapnya, dan juga
Allah melaknatnya, dan Allah itu telah mempersiapkan azab yang pedih baginya”.
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu berangkat perang di jalan Allah (melawan orang
kafir) maka perjelaslah (tabayun) oleh kamu, dan janganlah kamu ucapkan terhadap orang yang
megucapkan salam “assalamu `alaikum” kepadamu; “Kamu bukan orang beriman”, lalu kamu
membunuh mereka, dengan maksud untuk mendapatkan materi dunia, maka sesungguhnya di sisi
Allah ada harta benda yang jumlahnya sangat banyak. Begitulah keadaan kalian dahulu kala,
maka Allah menganugerahkan nikmat-Nya kepada kamu, maka perjelaslah oleh kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui dengan segala apa yang kamu kerjakan”.
Ayat ini mempermaklumkan kepada kita supaya jangan tasahul (menganggap mudah) mengkafirkan.
Pengkafiran itu akan berakibat munculnya konsekwensi lain yang jumlahnya banyak dan akibatnya
fatal, karena berkenaan dengan harga diri, harta dan nyawa manusia. Kita hanya bisa menilai
manusia dari lahiriyahnya saja, dan ketentuan harus husnuzzon (sangka baik) terhadap mereka.
Inilah jalan Allah yang diberi petunjuk dan memberi keselamatan bagi manusia.
Menurut Mujahid dan yang lainnya, sebab turunnya ayat ini adalah sebagai berikut; Khitab
ayat ini turun kepada ‘Iyasy ibn Abi Rabi’ah saudara seibu dari Abu Jahal. Ibu mereka adalah
Asma binti Makhramah. Ayat ini turun karena ‘Iyasy membunuh al-Harits ibn Yazid al-Ghamidi,
yaitu seorang laki-laki yang penah menyiksa dia bersama-sama dengan saudaranya sendiri, yaitu
Abu Jahal, karena ‘Iyasy masuk Islam. ‘Iyasy pura-pura tenang dan menyembunyikan kemarahan
kepada al-Harits . Belakangan al-Harits sudah masuk Islam, kemudian dia berhijrah, sementara
‘Iyasy tidak mengetahuinya. Sewaktu fathu Makkah (penaklukan kota Mekkah), dia melihat al-
Harits, dan menyangka kalau al-Harits tersebut masih seorang kafir, lalu ‘Iyasy pun menyerangnya
dan membunuhnya. Dengan hal ini maka Allah menurunkan ayat ini.10
3. Macam-macam Takfiri
Takfiri itu ada 3 (tiga) macam, sebagai berikut;11
1). Takfiri Umum
Takfiri dalam bentuk ini adalah mengkafirkan manusia secara keseluruhan, tanpa kecuali apakah
dia orang alim (ulama), orang bodoh (tidak terpelajar), ahli tafsir, atau bukan ahli tafsir, orang
yang mampu mengedepankan hujjah, atau yang tidak mampu menegakkan hujjah. Takfiri
dalam bentuk ini adalah dosa paling besar (akbar al-kaba‘ir). Hal ini dilakukan oleh orang
egois yang menganggap hanya kelompoknya yang benar, yang lain semua salah (kafir).
2). Takfiri Sifat
Takfiri bentuk kedua ini bisa muncul dari ucapan ilmuan (ahl al-Ilm) yang mengatakan, misalnya;
Siapa yang mencaci Allah dan Rasulnya maka dia kafir, siapa yang mendustakan hari berbangkit
maka dia kafir, siapa yang meninggalkan shalat maka dia kafir, siapa yang menjadikan perantara
di antara dia dengan Allah Swt. maka hal itu akan mendorong dia menjadi kafir. Maka prilaku
ini adalah Takfiri terhadap sesuatu yang ada di dalam ajaran agama (al-millah). Takfiri dalam
bentuk ini adalah Takfiri terhadap sesuatu yang disyari‘atkan, karenanya, orang yang dituduhkan
dengan prilaku ini tidaklah dapat dikatakan kafir kecuali dijumpai padanya syarat-syarat kekafiran,
dan terhindar dari padanya penghalang kekafiran tersebut. Sesungguhnya tidaklah otomatis
adanya prilaku kekafiran mengantarkan pelakunya menjadi kafir.
3). Takfiri Khusus
Takfiri bentuk ini adalah sikap menuduh seseorang telah menjadi kafir karena dia telah melakukan
sesuatu yang membuatnya keluar dari Islam.12

3
160
Pagar dan SaifulISLAMICA:
ANALYTICA Akhyar Lubis:Vol.
Faham Takfiri
21 No. Menurut Ulama Sunni
2 Juli-Desember 2019Indonesia Pasca Kelesuan ISIS di Suriah

Syarat-syarat Takfiri tersebut ada 2 (dua) macam, yaitu;


a. Ada dalil yang dapat diterapkan terhadap prilaku seseorang yang dinyatakan bahwa pelakunya
adalah sebagai kafir.
b. Ada kesesuaian hukum terhadap prilaku yang dinyatakan sebagai kafir dengan indikasi bahwa
dia tahu terhadap apa yang dilakukannya, ada kesengajaan untuk melakukan, dan dia bebas
melakukannya (tidak terpaksa).

Sebaliknya, jika dijumpai padanya penghalang untuk dapat dinyatakan kafir, seperti; orang bodoh,
atau tersalah, atau terpaksa, atau melakukana ta‘wil al-muktabar maka dianya tidak dapat dinyatakan
sebagai kafir. Dengan demikian maka tidak boleh menuduh seseorang dengan kekafiran kecuali setelah
nyata hujjah yang dapat ditegakkan kepadanya dan sangat jelas kekafiran yang dilakukannya.13
4. Konsekwensi Kekafiran
Ada 2 (dua) macam kansekwensi kekafiran, yaitu; Pertama balasan di dunia dan, Kedua, balasan
di akhirat. Tulisan ini hanya membahas konsekwensi kafir semasa masih di dunia saja, sementara
untuk konsekwensi di akhirat tidak dibahas sama sekali.
Wizarat al-Auqaf wa al-Syu‘un al-Islamiyah menukil; Konsekwensi yang diterima oleh orang
kafir selama masih hidup di dunia dibedakan antara mereka yang memiliki perjanjian damai (kafir
mu‘ahad) dengan yang tidak ada perjanjian sama sekali (kafir harbi). Terhadap orang kafir yang
tidak ada perjanjian damai, boleh membunuh mereka yang berusaha memerangi orang Islam, dengan
alasan boleh membunuh setiap kafir yang statusnya memerangi orang Islam.
Dalam notasi disebutkan bahwa kafir dalam bentuk ini adalah kafir harbi (dalam peperangan).
Adanya kebolehan membunuh orang kafir dalam bentuk ini karena umat Islam dalam keadaan
terdesak, artinya jika kita membiarkan mereka bertindak secara bebas maka kitalah yang akan
mereka bunuh, dalam hal ini posisi umat Islam dalam keadaan sulit, jadi dari pada kita akan mereka
bunuh, maka kita harus membunuh mereka terlebih dahulu. Menjaga jiwa dan harga diri juga adalah
suatu kewajiban yang harus dipertahankan walau sampai ke tingkat memusnahkan musuh.
Pastilah kebolehan membunuh di sini setelah terlebih dahulu terlihat ada bukti konkrit atau
indikasi kuat bahwa mereka akan membunuh kita. Hal ini tidak dilakukan dengan dugaan semata,
tetapi harus dengan alasan yang dapat dipertanggung-jawabkan. Jelas dalam hal ini, sikap umat
Islam adalah bukan aksi tapi reaksi, atau bukan opensif tapi defensive. Dalam rangka menjaga
keselamatan umat Islam dari siasat dan pengintaian musuh maka membunuh tersebut dapat dilakukan.
Membunuh dalam peperangan itu tetap ada etikanya. Ali ibn Nayib al-Syuhud mengataakan,
Sepakat ulama berpendapat bahwa tidak boleh membunuh perempuan dan anak-anak, orang yang
tak tahu malu (gila), khunsya musykil (banci). Demikian juga menurut Jumhur ulama, tidak boleh
membunuh orang yang sudah tua.
Hanabilah memberi penjelasan bahwa petani yang tidak ikut berperang maka tidak pantas
untuk dibunuh, karena hal ini sejalan dengaan apa yang diriwayatkan oleh Umar Ra., bahwa Rasul
bersabda; “Takutlah kamu kepada Allah tentang petani yang tidak bisa kamu kelompokkan bahwa
mereka termasuk dalam peperangan”. Hal ini sejalan dengan ungkapan al-Auza`i yang mengatakan
tidak boleh membunuh pembajak tanah jika diketahui bahwa mereka tidak termasuk kelompok yang
ikut berperang. Adapun dalam keadaan damai (terhadap kafir mu`ahad) maka jiwa dan harta
mereka harus dipelihara meskipun dia tetap dalam kekafirannya, untuk kategori ini terdapat tiga
macam peristilahan kafir, yaitu; kafir zimmi (yang hidup damai dalam pemerintahan Islam), kafir
musta`man (yang diberi keamanan), dan kafir hudnah (yang sedang dalam gencatan senjata).14

161 3
Pagar dan Saiful Akhyar Lubis: Faham Takfiri Menurut Ulama Sunni Indonesia Pasca Kelesuan ISIS di Suriah

Temuan Penelitian
1. Kafir
Kafir didefinisikan dengan orang yang melawan/menantang dan menolak kebenaran yang datang
dari Allah Swt. yang disampaikan lewat risalah RasulNya. Takfir adalah memvonis status kafir terhadap
seseorang yang menurut dia bahwa dirinya adalah seorang muslim. Pengkafiran ini dilakukan oleh
seorang atau kelompok terhadap orang lain (muslim) dengan cara mengeluarkannya dari keislamannya,
sehingga dia dinyatakan sebagai kafir.15
Untuk hal ini MUI Pusat memberikan beberapa aturan sebagai berikutt, pertama; Penyebab
orang dapat dikafirkan ada 3 (tiga) macam, sebagai berikut;
a) Akidah atau keyakinan yang menyimpang, yaitu orang tersebut tidak meyakini rukun iman
yang enam atau mengingkari ajaran Islam yang qath‘i.
b) Ucapan, yaitu orang tersebut mengucapkan kalimat kekafiran, atau menolak akidah Islam,
atau menista Islam baik akidah maupun syari‘ah.
c) Perbuatan, yaitu semua perbuatan yang secara nyata-nyata sebagai perbuatan kafir yang
tidak diperbolehkan dalam Islam.

Kedua; Syarat-syarat Pengkafiran ada 6 (enam), sebagai berikut;


a) Adanya ucapan atau perilaku yang mengantarkan orang tersebut menjadi kafir, dan ini dilakukan
oleh seorang yang dewasa (mukallaf).
b) Ucapan atau perbuatan tersebut benar telah dilakukan. Dalam hal ini, perbuatan dilakukan
oleh yang bersangkutan tidak pada situasi terpaksa.
c) Ucapan atau Perbuatan tersebut dilakukan di atas kesadaran, bukan di atas ketidak stabilan
emosi dan pikiran.
d) Telah sampai dakwah Islam kepadanya, bukan orang muallaf bodoh yang terisolir yang belum
memahami Islam karena dakwah tidak sampai kepadanya.
e) Bukan karena menafsir atau mentakwil nas dalam rangka menemukan kebenaran.
f) Pengkafiran hanya dapat dilakukan berdasarkan syari‘at, bukan opini dan hawa nafsu.

Ketiga; Prosedur Pengkafiran ada 4 (empat) macam, sebagai berikut;


a) Harus sudah dilakukan terlebih dahulu verifikasi dan validasi terhadap penyebab dan persyaratan
pengkafiran
b) Harus dilakukan secara hati-hati.
c) Sedapat mungkin tidak melakukan pengkafiran individual.
d) Vonis pengkaafiran ini hanya dapat dilakukan oleh komunitas ulama yang kompeten karena
telah memahami penyebab dan syarat-syarat pengkafiran.16
2. Perkembangan Faham Takfiri
Seiring berkembanyanya pengaruh ISIS di Indonesia maka paham takfiri pun turut digandeng
dalam ekspansi perjuangganya. Berita New York City mengemukakan; Digempur habis-habisan di
daerah Timur Tengah, sebaliknya justeru pengaruh ISIS melebar hampir 3 (tiga) kali lipat dibanding
sebelumnya. Semula di tahun 2014 ISIS hanya terbatas di 7 (tujuh) negara, belakangan bertambah
menjadi 13 negara. Kemudian pada tahun 2015 sampai sekarang (berita tahun 2016), pengaruh
ISIS sudah merayap pada 18 (delapan belas) negara, termasuk Indonesia. Perkembangan ini digambarkan
pada tiga warna, yaitu; 1). Warna coklat tua, adalah Daerah yang menjadi pusat kekuasaan ISIS,
yaitu, Suriah dan Irak. 2). Warna coklat muda, adalah Negara yang menjadi cabang kekuasaan
ISIS, yaitu, Libya, Semenanjung Sinai, Nigeria, Yaman, Arab Saudi, Afghanistan, Pakistan dan

162 3
Pagar dan SaifulISLAMICA:
ANALYTICA Akhyar Lubis:Vol.
Faham Takfiri
21 No. Menurut Ulama Sunni
2 Juli-Desember 2019Indonesia Pasca Kelesuan ISIS di Suriah

Kaukasus., 3). Warna coklat sangat muda, adalah Negara yang direncanakan akan menjadi target
operasi selanjutnya, yaitu, Mesir, Mali, Filipina, Somalia, Bangladesh, dan Indonesia (khusus Indo-
nesia diwarnai pada Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah).

Strategi ISIS untuk membalas kekalahan mereka di Raqqa adalah dengan cara mendorong
simpatisan dan agen-agen mereka untuk gencar melakukan serangan internasional seperti di Libya,
Mesir, Yaman, Afghanistan, Inggris, Nigeria, Indonesia hingga Filipina.
Sebagai contoh, di Jakarta, saat Petugas gabungan kepolisian waktu itu meringkus seorang
pria dengan identitas GOH (19) yang diduga kuat sebagai pelaku pemasangan atribut ISIS dan
menyampaikan ancaman teror kepada anggota Polri dan TNI di Polsek Kebayoran Lama Jakarta
Selatan. Setelah sebelumnya seorang simpatisan ISIS ditembak mati karena menusuk dua anggota
Brimob. Demikian juga dengan Mapolda Sumut Medan sempat diserang simpatisan ISIS yang menyebabkan
seroang anggota polisi meninggal dunia. Detasemen Khusus 88 Antiteror menggeledah rumah salah
satu pelaku berinisial SP. Di sana ditemukan gambar pemimpin ISIS, Abu Bakr Al Baghdadi.17
Hampir semua pendukung ISIS yang ada di Indonesia adalah berpaham kepada salafi jihadi.
Kelompok ini memiliki 5 (lima) prinsip dasar sebagai berikut;
a. Jihad, kegiatan ini dipahami sebagai puncak Islam.
b. Takfir, hal ini perlu dilakukan dalam rangka mempertegas posisi kelompok dan anggota mereka.
c. Al wala’ wal baro’. Hal ini bermakna kedekatan mereka kepada kaum muslimin dengan cara
mencintai, membantu dan menolong mereka. Kemudian memutus hubungan atau ikatan hati
dengan orang kafir.
d. Tauhid, yang merupakan konsep utama di gerakansalafi-jihadi.
e. Kelima, hakimiyyah. Hal ini berarti, bahwa kedaulatan sistem politik dan aturan kehidupan
bernegara hanyalah kepunyaan Allah.18

Ilustrasi faham Takfiri di Indonesia;

163 3
Pagar dan Saiful Akhyar Lubis: Faham Takfiri Menurut Ulama Sunni Indonesia Pasca Kelesuan ISIS di Suriah

Paham Takfiri mulai menggeliat di Indonesia setelah tahun 2000-an. Secara ideologis bisa saja
paham ini telah ada sebelumnya, namun masih tertidur dalam dekapan Orde Baru yang cenderung
keras dan represif, paling tidak paham ini berupa bibit/ cikal bakal dan potensi yang siap berkembang
di saat musim hujan tiba, ternyata Era Reformasi dengan karakter yang bertolak belakang dengan
Orde Baru ini lewat ciri khasnya yang sangat perduli terhadap; demokratisasi, transparansi, egaliti,
human right, dan jender menjadi lahan yang akomodatif dan adaptative terhadap tunbuh dan berkembangnya
paham ini. Tegasnya paham ini tumbuh dan berkembang sejalan dengan menguatnya implementasi
karakter reformasi diterapkan.
Perkembangan paham Takfiri ini tumbiuh dan berkembang sejalan dengan bergeloranya reformasi
di berbagai bidang di Indonesia. Suasana otoritarian, kejumudan dan keterbelengguan yang ada pada
masa Orde Baru seolah saving tenaga terhadap potensi munculnya kebebasan yang luar biasa saat
mengayuh eforia reformasi yang dilaksanakan. Boleh jadi terkejut badan menerima suasana yang ada,
atau kebablasan dalam merambah arah reformasi yang tidak begitu jelas tujuan yang dilalui meskipun
telah lebih 20 tahun reformasi itu dilakukan. Demikianlah halnya dengan faham Takfiri ini semakin
menunjukkan identitasnya di era reformasi ini.
Ahmad Zuhri Rangkuti (Dosen Islahiyah Binjai) mengatakan bahwa konsep Takfiri yang berkembang
di Indonesia ini sebagai bagian dari warna ISIS. Konsep Takfiri menurut ISIS tersebut menjadi khas,
karena sewaktu mereka mengkafirkan orang muslim, mereka menyamakan hukumnya dengan hukum
riddah (murtad), jadi hukum riddah harus diterapkan bagi orang tersebut, yaitu hukum bunuh (qatl),
atau diperkosa perempuannya, atau dirampok, misalnya dengan cara diambil rumahnya seperti yang
terjadi di Suriah.
Jelas bahwa baju yang dipakai ISIS ini adalah baju Khawarij yang dulu pernah ada dan sangat
bertentangan dengan ajaran Islam. Hal yang sangat mencolok dalam pendapat mereka ini adalah
berkenaan dengan pelaku dosa besar (al-kaba‘ir) adalah kafir, orang seperti ini telah keluar dari Islam
(riddah), dan berlakulah kepadanya sanksi status keberagamaan yang dimilikinya sekarang ini.
Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam. Sesuai beberapa dalil, di antaranya QS. Al-Nisa‘ ayat
116, yang berbunyi; “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni orang yang mensekutukannya, tapi mengampuni
dosa selainnya terhadap orang-orang yang dikehendakinya. Siapa saja orang yang mensekutukan
Allah maka sesungguhnya dia telah berada dalam kesesatan yang nyata.”
Faham Takfiri yang berkembang di Indonsia ini secara nyata-nyata ada kaitannya dengan ISIS,
kata Ahmad Zuhri Rangkuti. Ada sebuah pengalaman saya di tahun 2016, waktu itu saya ikut konferensi
internasional Seminar di Lombok, seorang Doctor dari Saudi yang tampil sebagai nara sumber
bercerita, ketika dia berada di Perancis, dia bertemu di kamar mandi hotel dengan seorang laki-laki
yang masih sangat muda, yakni berumur di bawah 20 tahun, dia bertanya; kamu dari mana?, dijawab;
dari Saudi, lalu dikatakan; Lho sama, saya juga dari Saudi, lalu cerita berlanjut atas isme dan
kesamaan asal usul ini dengan pertanyaan, kamu mau ke mana?, dan sebagainya. Ternyata, Doktor
yang Nara Sumber Seminar ini memahami bahwa anak muda ini adalah seorang yang sudah terpengaruh
dengan ISIS tersebut dan siap melakukan missinya. Walaupun Saudi ini memiliki kemampuan yang
sangat memadai secara finansial, tetapi mereka rupaya berhasil menyiapkan anak-anak muda Saudi
yang minim ilmu agamanya untuk dicuci otaknya, dan dibai‘at untuk menjalankan tugas suci (menurut
mereka) tersebut. Untuk hal ini ada pihak yang membayar, berkenan dan ada pihak yang siap menjadi
pelaku terror yang menurut mereka jihad fi sabilillah.
Faham Takfiri yang berkembang di Indonesia ini sangat militant. Militansi ini telah mengkikis
kasih sayang dari hati mereka, bukan hanya dia rela mengorbankan dirinya sendiri, bahkan keluarganya
pun turut dikorbankannya, misalnya isteri dan anaknya seperti terlihat pada peristiwa meledaknya

164 3
Pagar dan Saiful Akhyar Lubis: Faham Takfiri Menurut Ulama Sunni Indonesia Pasca Kelesuan ISIS di Suriah
ANALYTICA ISLAMICA: Vol. 21 No. 2 Juli-Desember 2019

bom di Surabanya. Dalam rangka tujuan suci yang ingin mereka perjuangkan tidak ada alasan yang
dapat dijadikan penghalang untuk mengurungkan niat mereka.19
3. Sebab-sebab Berkembangnya Faham takfiri
Ada banyak aspek yang bisa memperlancar perkembangan Faham takfiri tersebut di Indonesia
ini, di antaranya;
Pertama, Pembiaran. Ahmad Zuhri Rangkuti mengatakan; Hal yang janggal terasa ada selama
ini sejalan tumbuh dan berkembangnya paham Takfiri di Indonesia adalah adanya kesan bahwa
faham Takfiri ini dibiarkan, dalam teori sosiologi dikenal namanya dengan teori konflik, di mana
konflik itu minimal dibiarkan, atau mungkin juga dipelihara atau diciptakan, karena ada pihak tertentu
yang ingin mengambil keuntungan dari suasana itu, baik sebagai subjek yang secara langsung mendesain
realitas tersebut atau pun pihak musuh itu sendiri. Dengan ini faham Takfiri ini bisa berkembang
menjadi semakin besar.20
Kedua, Aspek reformasi. Reformasi yang diperjuangkan dengan sangat mahal tersebut ternyata
memiliki dampak negative. Munculnya kebebasan berfikir dan berekspressi, bahkan keyakinan keagamaan
baru semacam faham Takfiri mendapat tempat di Indonesia. Tidak ada larangan bagi setiap orang
untuk memiliki keyakinan keagamaan tertentu selama hal itu menjadi konsumsi pribadi, dan tidak
mengganggu kepentingan orang lain. Tidak heran kalau di Indonesia sekarang ini banyak aliran
keagamaan yang bermunculan dan menunjukkan eksistensinya, misalnya; kelompok Salafi, Wahabi,
Syi‘i, Hizbit Tahrir (kelompok ini telah dibubarkan), dan tidak terkecuali faham Takfiri, dan masih
banyak lagi yang lainnya.
Ketiga, Panatisme agama tanpa ilmu. Masih banyaknya komunitas muslim awam yang
mengedepankan panatisme daripada iltelektualitas. Perluasan faham Takfiri ini menjadi lebih
mudah direspon oleh orang yang mengedepankan panatisme daripada keilmuan, dan ini mirip
latar-belakangnya dengan orang yang membawanya. Di antara ciri tokoh pembawa faham ini
adalah orang-orang awam dalam bidang pengkajian keagamaan, bahkan pernah dipandang
sebagai pelaku kemaksiatan dalam perjalanan hidupnya, lalu mereka mencari jalan hidup pendekatan
diri kepada Tuhan dengan melakukan apa saja untuk menebus dosa dan kesalahannya, dan
bertaubat, maka orang-orang yang bisa mereka pengaruhi pun adalah terdiri dari penyandang
identitas yang mirip dengan mereka. Mereka berpikir bahwa ini adalah jalan pintas untuk menjadi
orang terbaik dalam komunitas orang beragama.
Keempat, Suasana politik. Tingginya suhu politik bangsa, termasuk dampak Pilkada Pemilihan
Kepala Daerah), Pilpres (Pemilihan Presiden), Pileg (Pemilihan Legislatif), Tarik menarik kepengtingan
antar partai, nuansa perebutan kekuasaan antara legislative dan eksekutif, semaraknya penegakan
hukum oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), bahkan munculnya sikap polarisasi dalam
mengantisipasi dan mengatasi terorisme dengan mempedomani Hak Azasi Manusia dan Demokratisasi
yang berimplikasi kepada sifat pro dan kontra turut memicu membuka peluang bagi paham ini
untuk turut memperkeruh suasana dengan cara menunggangi kekisruhan suasana tersebut.
4. Respon Kelompok Sunni Terhadap Faham Takfiri di Indonesia
Ulama sunni bereaksi keras dengan indikasi munculnya Faham takfiri di Indonesia ini. Hal ini
dapat dilihat sebagai berikut;
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, lewat evan tahunan pertemuan (Ijtima‘ Ulama) Komisi
Fatwa se-Indonesia yang ke V Tahun 2015, dibidangi oleh Komisi A tentang Masalah Strategis Kebangsaan
(Masail Asasiyah Wathaniyah), telah melahirkan Fatwa tentang Kriteria Pengkafiran yang menyimpulkan;
1). Kriteria Pengkafiran tidak boleh dilakukan oleh oknum atau pihak tertentu, tetapi hanya dapat
dilakukan oleh lembaga formil yang dilegitimasi dan disahkan oleh Negara bersama umat

165 3
Pagar dan Saiful Akhyar Lubis: Faham Takfiri Menurut Ulama Sunni Indonesia Pasca Kelesuan ISIS di Suriah

atau lewat MUI pusat sebagai perwakilan umat Islam Indonesia. Hal ini pun hanya dapat
dilakukan melalui persyaratan tertentu, lewat prosedur yang ketat.
2). Fatwa individual, atau fatwa komunitas yang tidak jelas statusnya, atau Lembaga yang tidak
jelas eksistensinya atau tidak kredibel, atau Lembaga yang tidak memperoleh pengakuan dari
Pemerintah dan umat secara umum tidak dapat melahirkan Fatwa tentang Kriteria Pengkafiran,
demikian juga dengan Fatwa Pengkafiran itu sendiri.

Sampai saat ini MUI adalah satu-satunya Lembaga yang dipahami dilegitimasi oleh Pemerintah
dan merupakan representasi dari umat Islam secara umum. Hal ini terlihat dari sejarah pendirian
MUI itu sendiri. Sejak awal Presiden Soeharto adalah sebagai pihak yang turut menyarankan supaya
Lembaga MUI itu didirikan sebagaimana terlihat dari pidato arahannya pada pembukaan Lokakarya
Nasional Juru Dakwah Muslim Indonesia, pada tahun 1974. Beliau mengatakan tentang perlunya
suatu Badan Nasional Ulama untuk mewakili umat Islam secara keseluruhan, dengan 2 (dua) alasan;
1). Keinginan Pemerintah supaya umat Islam bersatu, dan 2). Kesadaran tentang persoalan bangsa
yang tidak dapat diselesaikan tanpa keikutsertaan para ulama. Demikian juga MUI sebagai representasi
dari umat terlihat pada tanda tangan piagam pendirian MUI untuk pertama kalinya oleh 51 orang
ulama, yang terdiri dari; 26 orang ketua-ketua Tingkat Propinsi Majelis Ulama Daerah se-Indonesia,
kemudian 10 orang ulama yang mewakili organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam tingkat pusat,
ditambah 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam AD, AU, AL, dan Polri, serta ada pula 11 orang
ulama yang hadir atas nama pribadi.21 Akhirnya, secara resmi berdirilah MUI itu pada tanggal,
17 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta. Dengan demikian
maka sampai saat ini MUI lah Lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan fatwa tentang Kriteria
Pengkafiran tersebut, dan Pengkafiran tersebut secara langsung.
Latarbelakanag lahirnya fatwa ini adalah karena adanya kecenderungan masyarakat yang meremehkan
persoalan “pengkafiran”. Ada indikasi bahwa seseorang dapat dengan mudahnya mengkafirkan
orang atau golongan lain. Idealnya, umat Islam harus aman dari kegiatan pengkafiran liar, menganggap
enteng soal pengkafiran atau secara sembarangan mengkafirkan pihak lainnya, dan harus mengambil
langkah pilihan yang lebih moderat untuk lebih mampu bertoleransi dengan pihak lain. Dengan
langkah ini diharapkan akan ada keteraturan berfatwa terutama menyangkut persoalan-persoalan
yang teramat penting.
Kondisi lapangan sejalan dengan fatwa tersebut, yaitu semua Ulama Sunni berpendapat bahwa
m e n g k a f takfiri) ini tidak diperbolehkan. Dalam Islam kita disuruh supaya husn al-
i r k a n o r a n g l a i n (

zhan (sangka baik) kepada semua orang, walaupun ada orang salah, maka kita tidak boleh menuduhnya
pelaku perbuatan negative, mungkin dia lupa, atau salah, atau kita yang salah melihat, mendengar,
memahami, dan menyimpulkan. Demikian juga dengan kekafiran, sebagai stikma terbesar dalam
kajian agama tentu tidak boleh dengan mudah menuduh orang lain bahwa dia telah kafir. Islam
sangat menentang prilaku takfiri ini, dan ini terlihat dari isyarat hadis Rasul yang berbunyi; “Siapa
yang mengkafirkan orang lain maka sesungguhnya dialah yang kafir”. Dengan demikian, haram
hukumnya mengkafirkan orang lain. (Data diperoleh dari MUI pusat, PWNU Jawa Barat, MUI Sumatera
Utara, MUI Kota Lhokseumawe, MUI Aceh Utara, Pimpinan Pesantren dan Dayah, serta para ulama).
Sampai saat ini tidak ada orang atau pihak yang dinyatakan kafir lewat Fatwa MUI Pusat
tersebut. Fatwa pengkafiran seseorang atau komutas muslim dinyatakan belum pernah dikeluarkan
oleh MUI Pusat, karena tidak ditemukan data tentang hal tersebut. Dengan demikian maka tidak ada
muslim secara perorangan atau kelompok yang dapat dinyatakan sebagai kafir di Indonesia ini
sama sekali. Sekaligus tidak ada orang yang dapat dihalalkan darahnya atau akibat lain dari pengkafiran
secara umum di Indonesia ini.

166 3
Pagar dan Saiful Akhyar Lubis: Faham Takfiri Menurut Ulama Sunni Indonesia Pasca Kelesuan ISIS di Suriah
ANALYTICA ISLAMICA: Vol. 21 No. 2 Juli-Desember 2019

Meskipun terhadap pelaku dosa besar, pengkafiran tetap tidak diperbolehkan. Boleh jadi ada
orang berzina, atau mencuri, atau yang lainnya, kita hanya bisa sebatas membimbing dan memberi
nasehat kepadanya, atau kita laporkan dia kepada pihak yang berwajib untuk menanganinya, karena
negara kita adalah negara hukum. Kalau ada orang bersalah seperti itu, maka hal itu bukan urusan
kita, hal itu adalah urusan dia dengan Tuhan, kita harus mengapresiasi bahwa semua orang yang
sudah mengucap dua kalimah syahadah maka dia adalah saudara kita, kita harus melindungi jiwanya,
hartanya, dan keluarganya, dia adalah seorang Islam. Dengan demikian kita harus toleransi dengan
semua orang Islam, termasuk orang Islam yang berdosa.
Pengkafiran liar ini lebih banyak ditujukan kepada Pemerintah. Pihak Pemerintah terkadang
dituding thagut karena tidak menjalankan peraturan perundang undangan berdasarkan Alqur‘an
dan al-Hadis. Pihak kepolisian sering dijadikan sasaran terror kekerasan termasuk bom, karena
dipahami sebagai pihak yang paling kuat menopang kebijakan Pemerintah sehingga berlangsung
Pemerintahan thagut tersebut. Dengan demikian Pemerintah senantiasa menjadi sasaran gerilya
penyerangan sewaktu-waktu yang tidak pasti kapan dan di mana, dan bagaimana terjadinya.
Sejak dari awal berdirinya Rebublik Indonesia ini, bibit stikma pengkafiran dan thagut terhadap
Pemerintah ini memiliki potensi untuk lahir, karena Indonesia ini didirikan tidak dalam bentuk Negara
Islam. Hal ini terlihat dari sejarah pemberontakan yang dilakukan oleh Darul Islam/ Tentera Islam
Indonesia (DI/ TII) di Jawa Barat pada tahun 1949. Kemudian sampai ke Jawa Tengah, Aceh, dan
Sulawesi Selatan. Beruntung gerakan ini dapat ditumpas habis pada tahun 1962. Ketidak-puasan
di hati anak bangsa sampai saat ini bisa saja masih tersisa, baik yang disalurkan lewat sistem
negara secara formil atau pun yang berjalan secara liar. Dengan demikian kritikan-kritikan tajam
terhadap Pemerintah masih saja dimungkinkan untuk muncul.
Ustad Abdul Muttalib Daulay dari Sumatera Utara, dan Iip Zulkipli Yahya dari Jawa Barat
sangat berkeyakinan bahwa pihak yang paling bertanggung jawab terindikasi terlibat Faham Takfiri
ini adalah kelompok Wahabi Salafi.22 Awalnya ideologi keyakinan mereka ini berasal dari kajian
tauhid, semula mereka mengkafirkan kelompok Sunni dari segi ibadah, atau adat kita yang sering
berziarah kubur, bersalaman, dan baca yasin, semua ini dihukumi bid‘ah. Dengan sikap pembid‘ahan
ini maka digunakanlah hadis Rasul yang berbunyi; “Kullu bi‘ah dolalah wa kullu dhalalah fi al-nar”
(setiap bid‘ah sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka). Terakhir stikma ini dipertegas
bahwa kekafiran itu memang tempatnya di neraka. Dengan demikian simbol kata “bid‘ah” tersebut
berubah menjadi “kafir”.
Dalam bentuk yang sederhana, tampaknya sebagian kecil dari politisi Indonesia terindikasi
sebagai penganut Wahabi Salafi atau paling tidak terpengaruh dengan paham Wahabi Salafi ini.
Munculnya istilah Hizbullah (Partai Allah) yang dipertentangkaan dengan Hizbus Syaithan (Partai
Setan) dari lidah politisi juga merupakan indikasi ke arah itu. Kalau diberi kebebasan untuk membangun
logika secara lebih memadai dan panjang lebar, kemudian diambil kesimpulan, maka Politisi itu bisa
sampai kepada terminologi kata Islam dan kafir. Dengan logika seperti ini terlihat ada perjuangan
dengan menggunakan lebel agama untuk dapat mengambil kesimpulan secara keras menarik simpatik
umat dan telak dapat mengalahkan pihak lain.
Paling tidak, kehadiran politisi seperti ini dalam kancah perpolitikan Indonesia membuka peluang
bagi mereka untuk membongkar pasang dasar negara. Empat kali amandemen terhadap UUD 1945,
ternyata telah membawa perubahan besar bagi bangsa ini, bahkan ide menghidupkan kembali Piagam
Jakarta, atau paling tidak meninjau kemabali pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan menjalankan
ajaran agama dan keyakinan masing-masing sempat muncul, yang tujuannya adalah dalam raangka
mendirikan Negara Islam. Dengan demikian secara jelas terlihat tentang gagasan besar kelompok

3
167
Pagar dan Saiful Akhyar Lubis: Faham Takfiri Menurut Ulama Sunni Indonesia Pasca Kelesuan ISIS di Suriah

orang yang rela mempertaruhkan teoleransi dan komitmen bersama pendirian bangsa oleh dan
atas nama seluruh rakyat Indonesia ini masih tetap saja menjadi gagasan segelintir orang.
Setelah pembubaran Hizbut Tahrir dengan ide besarnya mendirikan negara khilafah, masih
tetap ada keinginan orang tertentu untuk membubarkan Wahabi Salafi ini. Informan ini mengatakan;
Pemerintah harus bersikap tegas, dengan cara Pemerintah segera meminta fatwa kepada MUI, dan
MUI juga harus segera berfatwa untuk mengharamkan prilaku kelompok Takfiri ini, dan mengeluarkan
rekomendasi pembubaran Wahabai Salafi ini, demikian juga dengan Syi‘ah. Organisasi Islam, seperti
Muhammadiyah, NU dan Alwasliyah, serta yang lainnya harus menopang fatwa dan kebijakan ini.
Dengan demikian, kelompok kecil yang melawan arus besar Faham Sunni di Indonesia dan berpotensi
menimbulkan konflik harus dibubarkan dalam masa yang lebih dini.

Kesimpulan
Ulama Sunni menentang keras kehadiran paham takfiri di Indonesia ini. Faham takfiri yang
diketahui tumbuh menjadi lebih subur di Indonesia karena dipersiapkan secara baik, disamai
secara terencana, dan dipupuk sesuai kebutuhannya pasca kelesuan ISIS di Suriah, ternyata mendapat
tantangan keras dari Ulama Sunni Indonesia yang pada umumnya dianut oleh anak bangsa. Tidak
heran kalau pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan, pertaraungan kedua faham ini masih
terus berlangsung sampai sekarang ini. Indikasi yang terlihat bahwa Faham Sunni yang cenderung
defensive, masih kokoh dengan pertahanannya, sementara Faham Takfiri ini masih saja terus
mencari celah dan kesempatan untuk bisa mengalahkan, paling tidak menyingkirkan untuk bisa
lebih leluas mengayuh langkah dan menancapkan pengaruhnya di Indonesia ini. Tidak dapat
diprediksi tentang keunggulan Faham Takfiri dalam pertarungan ini, kecuali dengan cara terselubung
dan massif dalam strategi perjuangannya.
Endnotes:
1
Penelitian ini didanai oleh DIPA UIN-SU tahun 2018
2
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Beirut-Libanon: 1969, Dar al-Kitab al-Arabi, Cet. Ke-10), hlm.256.,
juga, Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, (Mesir: tt., Juz.1, Dar al-Fikri al-‘Arabi), hlm. 65.
3
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, (Kairo: 1964 M., Juz.2, Maktabah al-Nahdhah al-
Mishriyah, Cet. Ke-7), hlm. 3.
4
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: 1986 M. , Penerbit Universitas Indonesia, Cet. Ke-
5), hlm. 6-7., Juga, Al-Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, (Mesir: 1387 H./1967 M., Juz.1, Musthafa
al-Bab al-Halabi), hlm. 114-115.
5
Wahhabi Crisis Center, Jaringan Wahhabi Takfiri Nasional, Jaaringan Wahhabi takfiri Internasional,
http://wahhabicrisiscenter.blogspot.co.id/2014/01/, di dawn load pada Hari Senin, 11September 2017.
6
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/05/18/2018-jumlah-penduduk-indonesia-mencapai-
265-juta-jiwa
7
Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdillah al-Tuwaijiri, Mausu‘ah al-Fiqh al-Islami, (Ttp.,: 1340
H./ 2009 M., Bait al-Afkar wa al-Dauliyah, Cet. Ke-1, Juz.4), hlm.514.
8
Dalam beberapa hadis dinyatakan dengan kata “murtad setelah sebelumnya dia beragama
Islam”, dan dalam redaksi lain menggunakan kalimat “memisahkan diri dari jamaah”, Shuhaib
Abdul Jabbar, Al-Jami`u al-Shahih li al-Sunan wa al-Masanid, (Tp., 2014, Juz.5), hlm. 270., Juga
lihat, Sunan al-Nasa`i al-Kubra, (Beirut: 1411 H./1991 M., Cet. Ke-1, Dar al-Kutrub al-Ilmiah, Juz.2),
hlm. 292., dan lain-lain.
9
Al-Tuaijizi, Mausu‘ah al-Fiqh al-Islami, (Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1430 H./ 2009 M., Cet. Ke-
5, Juz.4), hlm. 541.
10
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‘an al-‘Azim, (T.tp.:1420 H./ 1999 M., Dar Thoybah li al-Nasyar wa
al-Tauzi‘, Juz.2), hlm.373.
11
Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdillah al-Tuwaijiri, ibid.
12
Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdillah al-Tuwaijiri, ibid.

3
168
Pagar dan Saiful Akhyar Lubis: Faham Takfiri Menurut Ulama Sunni Indonesia Pasca Kelesuan ISIS di Suriah
ANALYTICA ISLAMICA: Vol. 21 No. 2 Juli-Desember 2019
13
Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdillah al-Tuwaijiri, ibid.
14
Ali ibn Nayib al-Syuhud, Al-Khulashoh fi Ahkam Ahl al-Zimmah Jam‘u wa ‘Idad, (Ttp., Tp.,
Juz.2), hlm. 146.
15
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Komisi A Masalah Strategis Kebangsaan
(Masail Asasiyah Wathaniyah) Tentang Kriteria Pengkafiran (Dhawabit at-Takfir), diselenggarakan
di Pondok Pesantren at-Tauhidiyah Tegal Jawa Tengah dari tanggal 7 s/d 10 Juni 2015, Jakarta:
2015, DP MUI, Cet.ke-1, hlm.21.
16
DP MUI, …., hlm.22-23.
17
http://www.beritasatu.com/dunia/440576-babak-belur-di-raqqa-teror-isis-justru-meluas-secara-
internasional.html
18
Berita Detik News pada, https://news.detik.com/kolom/4035990/memetakan-jejaring-dan-
ideologi-isis-di-indonesia. Didown load pada Hari Senin tanggal 08 Oktober 2018.
19
Hasil wawancara dengan Tengku H. Zulkarnain Juned (Pimpinan Dayah Safinatun Salamah
juga sebagai Ketua Himpunan Ulama Dayah Kota Lhokseumawe) di pondok pesantrennya.
20
Paparan Ahmad Zuhri Rangkuti (Dosen Islahiyah Binjai) dalam Forum Group Discussion
(FGD) yang dilakukan di Gedung Pascasarjana UIN-SU Medan.
21
M. Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia “Sebuah Studi Tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988”, (Jakarta: INIS, 1993), 55-56
22
Ada pandangan lain mangatakan bahwa Syi‘ah juga terindikasi demikian.

3
169
Pagar dan Saiful Akhyar Lubis: Faham Takfiri Menurut Ulama Sunni Indonesia Pasca Kelesuan ISIS di Suriah

Daftar Pustaka

Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Beirut-Libanon: 1969, Dar al-Kitab al-Arabi, Cet. Ke-10), hlm.256.,
juga, Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, (Mesir: tt., Juz.1, Dar al-Fikri al-‘Arabi)
Ali ibn Nayib al-Syuhud, Al-Khulashoh fi Ahkam Ahl al-Zimmah Jam‘u wa ‘Idad, (Ttp., Tp., Juz.2)
Al-Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, (Mesir: 1387 H./1967 M., Juz.1, Musthafa al-Bab al-Halabi)
Al-Tuaijizi, Mausu‘ah al-Fiqh al-Islami, (Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1430 H./ 2009 M., Cet. Ke-5, Juz.4),
Berita Detik News pada, https://news.detik.com/kolom/4035990/memetakan-jejaring-dan-ideologi-isis-
di-indonesia.
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Komisi A Masalah Strategis Kebangsaan (Masail
Asasiyah Wathaniyah) Tentang Kriteria Pengkafiran (Dhawabit at-Takfir), diselenggarakan
di Pondok Pesantren at-Tauhidiyah Tegal Jawa Tengah dari tanggal 7 s/d 10 Juni 2015,
Jakarta: 2015, DP MUI, Cet.ke-1
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: 1986 M. , Penerbit Universitas Indonesia, Cet. Ke-5)
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, (Kairo: 1964 M., Juz.2, Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah,
Cet. Ke-7)
http://www.beritasatu.com/dunia/440576-babak-belur-di-raqqa-teror-isis-justru-meluas-secara-internasional.html
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/05/18/2018-jumlah-penduduk-indonesia-mencapai-
265-juta-jiwa
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‘an al-‘Azim, (T.tp.:1420 H./ 1999 M., Dar Thoybah li al-Nasyar wa al-Tauzi‘,
Juz.2)
M. Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia “Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum
Islam di Indonesia 1975-1988”, (Jakarta: INIS, 1993)
Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdillah al-Tuwaijiri, Mausu‘ah al-Fiqh al-Islami, (Ttp.,: 1340 H./ 2009
M., Bait al-Afkar wa al-Dauliyah, Cet. Ke-1, Juz.4)
Shuhaib Abdul Jabbar, Al-Jami‘u al-Shahih li al-Sunan wa al-Masanid, (Tp., 2014, Juz.5), hlm. 270.,
Juga lihat, Sunan al-Nasa‘i al-Kubra, (Beirut: 1411 H./1991 M., Cet. Ke-1, Dar al-Kutrub
al-Ilmiah, Juz.2)
Wahhabi Crisis Center, Jaringan Wahhabi Takfiri Nasional, Jaringan Wahhabi takfiri Internasional,
http://wahhabicrisiscenter.blogspot.co.id/2014/01/,

3
170

Anda mungkin juga menyukai