DISUSUN OLEH :
NAMA : LIS MULIATI
NIM : 043STYJ20
A. Definisi
Dermatitis atau lebih dikenal sebagai eksim merupakan penyakit kulit yang
mengalami peradangan kerena bermacam sebab dan timbul dalam berbagai jenis,
terutama kulit yang kering, umumnya berupa pembengkakan, memerah, dan gatal pada
kulit (Widhya, 2011).
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons
terhadap pengaruh faktor eksigen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis
berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan
keluhan gatal. Dermatitis cenderung residif dan cenderung kronis. (Djuanda Adhi, 2010).
B. Etiologi
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bahan kimia (contoh:
detergen, asam, basa, oli, semen) fisik (contoh: sinar, suhu), mikroorganisme (bakteri,
jamur); dapat pula dari dalam (endogen), misalnya dermatitis atopic.
Klasifikasi dermatitis (Djuanda Adhi, 2010), yaitu :
1. Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak ialah dermatitis karena kontaktan eksternal, yang
menimbulkan fenomen sensitisasi (alergik) atau toksik (iritan).
a. Dermatitis Kontak Iritan
DKI ialah erupsi yang timbul bila kulit terpajan bahan-bahan yang bersifat
iritan primer melalui jalur kerusakan yang non-imunologis. Bahan iritan antara lain
deterjen, bahan pembersih peralatan rumah tangga, dan sebagainya.
b. Dermatitis Kontak Alergik
DKA ialah respons alergik yang didapat bila berkontak dengan bahan-bahan
yang bersifat sensitizer/allergen. Contoh bahan yang dapat memicu DKA antara
lain adalah beberapa jenis pewangi, pewarna, nikel, obat-obatan, dan sebagainya.
2. Dermatitis Atopik
Dermatitis Atptik (DA) adalah kelainan kulit kronis yang sangat gatal, umum
dijumpai, ditandai oleh kulit yang kering, inflamasi dan eksudasi, yang kambuh-
kambuhan. Dermatitis atopik disebabkan oleh rinitis alergik, asma bronkial, reaksi
abnormal terhadap perubahan suhu (hawa udara panas, dingin) dan ketegangan
(stress), resistensi menurun terhadap infeksi virus dan bakteri, lebih sensitif terhadap
serum dan obat.
3. Neurodermatitis Sirkumskripta = Lichen Simplex Chronicus (LSC)
Istilah LSC diambil dari kata likenifikasi yang berarti penebalan kulit disertai
gambaran relief kulit yang semakin nyata. Penyebabnya belum diketahui secara pasti,
tetapi kelainan sering diawali oleh cetusan gatal yang hebat, misalnya pada inse,,Mct
bite.
4. Dermatitis Numularis
Dermatitis Numularis terlihat sebesar uang logam, terdiri atas eritema, edema,
kadang-kadang ada vesikel, krusta atau papul. Tempat predileksi ialah ekstensor
ekstremitas (terutama tungkai bawah), bahu dan bokong. Penyakit mempunyai
kecendereungan residif.
5. Dermatitis Stasis
Dermatitis Statis atau dermatitis hipostatis merupakan salah satu jenis dermatitis
sirkulatorius. Biasanya dermatitis statis merupakan dermatitis varikosum, sebab kausa
utamanya ialah insufisiensi vena. Di sebabkan oleh semua keadaan yang
menyebabkan statis peredaran darah di tungkai bawah.
6. Dermatitis Autosensititis
Merupakan dermatitis akut yang timbul pada tempat jauh dari fokus inflamasi
lokal, sedangkan penyebabnya tidak berhubungan langsung dengan penyebab fokus
inflamasi tersebut. Manifestasi klinisnya umumnya dalam bentuk erupsi vesikular
akut dan luas, sering berhubungan dengan ekzem kronis ditungkai bawah (dermatitis
statis)ndengan atau tanpa ulkus.
C. Manifestasi Klinis
Menurut (Djuanda Adhi, 2010)
1. Dermatitis kontak
a. Lesi kemerahan yang muncul pada bagian kulit yang terjadi kontak
b. Untuk dermaititis kontak alergi, gejala tidak muncul sebulum 24-48 jam bahkan
sampai 72 jam
c. Utuk dematitis kontak iritan, gejala terbagi menjadi 2 : Akut dan Kronis. saat akut
dapat terjadi perubahan karna kulit menjadi kemerahan, terasa perih bahkan lecet.
saat kronis gejala di mulai dengan kulit yang mengering dan sedikit meradang yang
akhirnya menebal
d. Pada kasuus berat, dapat terjadi bula (vesikel9) pada lesi kemerahan tersebut
e. Kulit tersa gatal bahkan terasa terbakar
f. Dermatitits kontak iriata, gatal dan rasa terbakarnya lebih terasa di bandingan
dengan tipe alergi
2. Dermatitis Autopik
Ada 3 fase klinis Autopik yaitu
a. DA Infantil (2 bulan – 2 tahun)
DA paling sering muncul tahun pertama kehidupan yaitu pad bulan kedua.
Lesi mula-mula tampak di daerah muka (Dahi sampai pipi). Berupa eritema, Papul-
Vesikel pecah karena garukan sehingga lesi menjadi Eksudatif dan akhirnya
terbentuk krusta, Lesi bisa meluas ke kepala, leher, Pergelangan tangan dan
tungkai. bila anak mulai merangkak, Lesi bisa ditemukan di daerah ekstensor
ekstremitas. Sebagian besar penderita sembuh setelah 2 tahun dan sebagian lagi
berlanjut ke fase anak.
b. DA Anak (2-10 tahun)
Dapat merupakan lanjuttan bentuk DA infantil ataupun timbul sendiri
(Denovo). Lokasi lesi dilipatan siku/lutut, bagian fleksor pergelangan tangan,
kelopak mata dan leher. ruam berupa papul likenifikasi, sedikit skuama, erosi,
hiperkeratosis dan mungkin infeksi skunder. Da berat yang lebih 50% permukaan
tubuh dapat mengganggu pertumbuhan.
5. Dermatitis Statis
a. Bercak-bercak berwarna merah dan bersisisik
b. Bintik-bintitk berwarna merah dan bersisik
c. Borok atau bisul pada kulit
d. Kulit yang tipis pada tangan dan kaki
e. Luka (lesi kulit)
f. Pembengkakakn pada tungkai kaki
g. Rasa gatal di sekitar dareah yang terkena
h. Rasa kesemutan pada daerah yang terkena
D. Patofisiologi
Menurut (Djuanda Adhi, 2010)
1. Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak alergik termasuk reaksi tipe IV ialah hipersenitivitas tipe
lambat. Patogenesisnya melalui dua fase yaitu fase indukdi (fase sensitisasi) dan fase
elisitasi.
Fase induksi ialah saat kontak pertama alergen dengan kulit sampai limfosit
mengenal dan memberikan respon, memerlukan 2-3 minggu. Fase elesitasin ialah
saat terjadi pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai timbul
gejala klinis
Pada fase induksi, hapten (proten tak lengkap) berfenetrasi ke dalam kulit dan
berikatan dengan protein barier membentuk anti gen yang lengkap. Anti gen ini
ditangkap dan diproses lebih dahulu oleh magkrofak dan sel Langerhans, kemudian
memacu reaksi limfoisit T yang belum tersensitasi di kulit, sehingga terjadi sensitasi
limposit T, melalui saluran limfe, limfosit yang telah tersensitasi berimigrasi ke darah
parakortikal kelenjar getah bening regional untuk berdiferensiasi dan berfoliferasi
membentuk sel T efektor yang tersensitasi secara spesifik dan sel memori. Kemudian
sel-sel tersebut masuk ke dalam sirkulasi, sebagian kembali ke kulit dan sistem
limfoid, tersebar di seluruh tubuh, menyebabkan keadaan sensetivitas yang sama di
seluruh kulit tubuh.
Pada fase elisitasi, terjadi kontak ulang dengan hapten yang sama atau serupa.
Sel efektor yang telah tersensitisasi mengeluarkan limfokin yang mampu menarik
berbagai sel radang sehingga terjadi gejala klinis.
a. Neurodermatitis
Kelainan terdiri dari eritema, edema, papel, vesikel, bentuk numuler,
dengan diameter bervariasi 5 – 40 mm. Bersifat membasah (oozing), batas relatif
jelas, bila kering membentuk krusta. bagian tubuh.
b. Dermatitis Seiboroika
Merupakan penyakit kronik, residif, dan gatal. Kelainan berupa skuama
kering, basah atau kasar; krusta kekuningan dengan bentuk dan besar bervariasi.
Tempat kulit kepala, alis, daerah nasolabial belakang telinga, lipatan mammae,
presternal, ketiak, umbilikus, lipat bokong, lipat paha dan skrotum. Pada kulit
kepala terdapat skuama kering dikenal sebagai dandruff dan bila basah
disebutpytiriasis steatoides ; disertai kerontokan rambut.
c. Dermatitis Statis
Akibat bendungan, tekanan vena makin meningkat sehingga memanjang
dan melebar. Terlihat berkelok-kelok seperti cacing (varises). Cairan
intravaskuler masuk ke jaringan dan terjadilah edema. Timbul keluhan rasa berat
bila lama berdiri dan rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk. Terjadi
ekstravasasi eritrosit dan timbul purpura. Bercak-bercak semula tampak merah
berubah menjadi hemosiderin. Akibat garukan menimbulkan erosi, skuama. Bila
berlangsung lama, edema diganti jaringan ikat sehingga kulit teraba kaku, warna
kulit lebih hitam.
d. Dermatitis Atopik
Belum diketahui secara pasti. Histamin dianggap sebagai zat penting yang
memberi reaksi dan menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaktis
dan emnekan produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopi
kronis. Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri
tidak menyababkan lesi ekzematosa. Kemungkinan zat tersebut menyebabkan
prutisus dan eritema, mungkin karena gerakan akibat gatal menimbulkan lesi
ekzematosa.
Pada pasien dermatitis atopik kapasitas untuk menghasilkan IgE secara
berlebihan diturunkan secara genetik.
e. Dermatitis Medikamentosa
Faktor lingkungan merupakan factor terpenting. Alergi paling sering
menyerang pada saluran nafas dan saluran pencernaan menyebabkan batuk dan
pilek.
PATHWAY
Menurut (Price A. Sylvia 2012)
E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Price, A, Sylvia.2006)
1. Laboratorium
a. Darah : Hb, leukosit, hitung jenis, trombosit, elektrolit, protein total, albumin,
globulin
b. Urin : pemerikasaan histopatologi
2. Penunjang (pemeriksaan Histopatologi)
Pemeriksaan ini tidak memberi gambaran khas untuk diagnostik karena
gambaran histopatologiknya dapat juga terlihat pada dermatitis oleh sebab lain. Pada
dermatitis akut perubahan pada dermatitis berupa edema interseluler (spongiosis),
terbentuknya vesikel atau bula, dan pada dermis terdapat dilatasi vaskuler disertai
edema dan infiltrasi perivaskuler sel-sel mononuclear. Dermatitis sub akut
menyerupai bentuk akut dengan terdapatnya akantosis dan kadangkadang
parakeratosis. Pada dermatitis kronik akan terlihat akantosis, hiperkeratosis,
parakeratosis, spongiosis ringan, tidak tampak adanya vesikel dan pada dermis
dijumpai infiltrasi perivaskuler, pertambahan kapiler dan fibrosis. Gambaran tersebut
merupakan dermatitis secara umum dan sangat sukar untuk membedakan gambaran
histopatologik antara dermatitis kontak alergik dan dermatitis kontak iritan.
Pemeriksaan ultrastruktur menunjukkan 2-3 jam setelah paparan antigen, seperti
dinitroklorbenzen (DNCB) topikal dan injeksi ferritin intrakutan, tampak sejumlah
besar sel langerhans di epidermis. Saat itu antigen terlihat di membran sel dan di
organella sel Langerhans. Limfosit mendekatinya dan sel Langerhans menunjukkan
aktivitas metabolik. Berikutnya sel langerhans yang membawa antigen akan tampak
didermis dan setelah 4-6 jam tampak rusak dan jumlahnya di epidermis berkurang.
Pada saat yang sama migrasinya ke kelenjar getah bening setempat meningkat.
Namun demikian penelitian terakhir mengenai gambaran histologi, imunositokimia
dan mikroskop elektron dari tahap seluler awal pada pasien yang diinduksi alergen
dan bahan iritan belum berhasil menunjukkan perbedaan dalam pola peradangannya.
F. Komplikasi
1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
2. Infeksi sekunder khususnya oleh Stafilokokus aureus
3. hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi
4. jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif atau ekskoriasi
G. Penatalaksanaan
Menurut (Price, A, Sylvia.2006)
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid mempunyai peranan penting dalam sistem imun. Pemberian
topikal akan menghambat reaksi aferen dan eferen dari dermatitis kontak alergik.
Steroid menghambat aktivasi dan proliferasi spesifik antigen. Ini mungkin disebabkan
karena efek langsung pada sel penyaji antigen dan sel T. Pemberian steroid topikal
pada kulit menyebabkan hilangnya molekul CD1 dan HLA-DR sel Langerhans,
sehingga sel Langerhans kehilangan fungsi penyaji antigennya. Juga menghalangi
pelepasan IL-2 oleh sel T, dengan demikian profilerasi sel T dihambat. Efek
imunomodulator ini meniadakan respon imun yang terjadi dalam proses dermatitis
kontak dengan demikian efek terapetik. Jenis yang dapat diberikan adalah
hidrokortison 2,5 %, halcinonid dan triamsinolon asetonid. Cara pemakaian topikal
dengan menggosok secara lembut. Untuk meningkatan penetrasi obat dan
mempercepat penyembuhan, dapat dilakukan secara tertutup dengan film plastik
selama 6-10 jam setiap hari. Perlu diperhatikan timbulnya efek samping berupa
potensiasi, atrofi kulit dan erupsi akneiformis.
2. Radiasi ultraviolet
Sinar ultraviolet juga mempunyai efek terapetik dalam dermatitis kontak
melalui sistem imun. Paparan ultraviolet di kulit mengakibatkan hilangnya fungsi sel
Langerhans dan menginduksi timbulnya sel panyaji antigen yang berasal dari sumsum
tulang yang dapat mengaktivasi sel T supresor. Paparan ultraviolet di kulit
mengakibatkan hilangnya molekul permukaan sel langehans (CDI dan HLA-DR),
sehingga menghilangkan fungsi penyaji antigennya. Kombinasi 8-methoxy-psoralen
dan UVA (PUVA) dapat menekan reaksi peradangan dan imunitis. Secara imunologis
dan histologis PUVA akan mengurangi ketebalan epidermis, menurunkan jumlah sel
Langerhans di epidermis, sel mast di dermis dan infiltrasi mononuklear. Fase induksi
dan elisitasi dapat diblok oleh UVB. Melalui mekanisme yang diperantarai TNF maka
jumlah HLA- DR + dari sel Langerhans akan sangat berkurang jumlahnya dan sel
Langerhans menjadi tolerogenik. UVB juga merangsang ekspresi ICAM-1 pada
keratinosit dan sel Langerhans.
3. Siklosporin A
Pemberian siklosporin A topikal menghambat elisitasi dari hipersensitivitas
kontak pada marmut percobaan, tapi pada manusia hanya memberikan efek minimal,
mungkin disebabkan oleh kurangnya absorbsi atau inaktivasi dari obat di epidermis
atau dermis.
4. Antibiotika dan antimikotika
Superinfeksi dapat ditimbulkan oleh S. aureus, S. beta dan alfa hemolitikus, E.
koli, Proteus dan Kandida spp. Pada keadaan superinfeksi tersebut dapat diberikan
antibiotika (misalnya gentamisin) dan antimikotika (misalnya clotrimazole) dalam
bentuk topikal.
5. Imunosupresif topical
Obat-obatan baru yang bersifat imunosupresif adalah FK 506 (Tacrolimus) dan
SDZ ASM 981. Tacrolimus bekerja dengan menghambat proliferasi sel T melalui
penurunan sekresi sitokin seperti IL-2 dan IL-4 tanpa merubah responnya terhadap
sitokin eksogen lain. Hal ini akan mengurangi peradangan kulit dengan tidak
menimbulkan atrofi kulit dan efek samping sistemik. SDZ ASM 981 merupakan
derivat askomisin makrolatum yang berefek anti inflamasi yang tinggi. Pada
konsentrasi 0,1% potensinya sebanding dengan kortikosteroid klobetasol-17-
propionat 0,05% dan pada konsentrasi 1% sebanding dengan betametason 17-valerat
0,1%, namun tidak menimbulkan atrofi kulit. Konsentrasi yang diajurkan adalah 1%.
Efek anti peradangan tidak mengganggu respon imun sistemik dan penggunaan secara
topikal sama efektifnya dengan pemakaian secara oral.
6. Antihistamin
Maksud pemberian antihistamin adalah untuk memperoleh efek sedatifnya. Ada
yang berpendapat pada stadium permulaan tidak terdapat pelepasan histamin. Tapi
ada juga yang berpendapat dengan adanya reaksi antigen-antobodi terdapat
pembebasan histamin, serotonin, SRS-A, bradikinin dan asetilkolin.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Menurut ( Widhya. 2011 )
a. Identitas Pasien
b. Keluhan Utama.
Biasanya pasien mengeluh gatal, rambut rontok.
c. Riwayat Kesehatan.
1) Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada pada
keluhan utama dan tindakan apa saja yang dilakukan pasien untuk
menanggulanginya.
2) Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit kulit
lainnya.
3) Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit
kulit lainnya.
4) Riwayat psikososial
Apakah pasien merasakan kecemasan yang berlebihan. Apakah sedang
mengalami stress yang berkepanjangan.
5) Riwayat pemakaian obat
Apakah pasien pernah menggunakan obat-obatan yang dipakai pada kulit, atau
pernahkah pasien tidak tahan (alergi) terhadap sesuatu obat
d. Pola Fungsional
1) Pola persepsi dan penanganan kesehatan
Tanyakan kepada klien pendapatnya mengenai kesehatan dan penyakit.
Apakah pasien langsung mencari pengobatan atau menunggu sampai penyakit
tersebut mengganggu aktivitas pasien.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Tanyakan bagaimana pola dan porsi makan sehari-hari klien ( pagi, siang
dan malam )
Tanyakan bagaimana nafsu makan klien, apakah ada mual muntah,
pantangan atau alergi
Tanyakan apakah klien mengalami gangguan dalam menelan
Tanyakan apakah klien sering mengkonsumsi buah-buahan dan sayur-
sayuran yang mengandung vitamin antioksidant
3) Pola eliminasi
Tanyakan bagaimana pola BAK dan BAB, warna dan karakteristiknya
Berapa kali miksi dalam sehari, karakteristik urin dan defekasi
Adakah masalah dalam proses miksi dan defekasi, adakah penggunaan alat
bantu untuk miksi dan defekasi.
Pola aktivitas/olahraga
Perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan dengan gangguan pada kulit.
Kekuatan Otot :Biasanya klien tidak ada masalah dengan kekuatan ototnya
karena yang terganggu adalah kulitnya
Keluhan Beraktivitas : kaji keluhan klien saat beraktivitas.
5) Pola istirahat/tidur
Kebiasaan : tanyakan lama, kebiasaan dan kualitas tidur pasien
Masalah Pola Tidur : Tanyakan apakah terjadi masalah istirahat/tidur yang
berhubungan dengan gangguan pada kulit
Bagaimana perasaan klien setelah bangun tidur? Apakah merasa segar atau
tidak?
Pola kognitif/persepsi
Kaji status mental klien
Kaji kemampuan berkomunikasi dan kemampuan klien dalam memahami
sesuatu
Kaji tingkat anxietas klien berdasarkan ekspresi wajah, nada bicara klien.
Identifikasi penyebab kecemasan klien
Kaji penglihatan dan pendengaran klien,
Kaji apakah klien mengalami vertigo
Kaji nyeri : Gejalanya yaitu timbul gatal-gatal atau bercak merah pada kulit.
Pola persepsi dan konsep diri
Tanyakan pada klien bagaimana klien menggambarkan dirinya sendiri,
apakah kejadian yang menimpa klien mengubah gambaran dirinya
Tanyakan apa yang menjadi pikiran bagi klien, apakah merasa cemas,
depresi atau takut
Apakah ada hal yang menjadi pikirannya
8) Pola peran hubungan
Tanyakan apa pekerjaan pasien
Tanyakan tentang system pendukung dalam kehidupan klien seperti:
pasangan, teman, dll.
Tanyakan apakah ada masalah keluarga berkenaan dengan perawatan
penyakit klien
9) Pola seksualitas/reproduksi
Tanyakan masalah seksual klien yang berhubungan dengan penyakitnya
Tanyakan kapan klien mulai menopause dan masalah kesehatan terkait
dengan menopause
Tanyakan apakah klien mengalami kesulitan/perubahan dalam pemenuhan
kebutuhan seks
Pola koping-toleransi stress
Tanyakan dan kaji perhatian utama selama dirawat di RS ( financial atau
perawatan diri )
Kaji keadan emosi klien sehari-hari dan bagaimana klien mengatasi
kecemasannya (mekanisme koping klien ). Apakah ada penggunaan obat
untuk penghilang stress atau klien sering berbagi masalahnya dengan orang-
orang terdekat.
11) Pola keyakinan nilai
Tanyakan agama klien dan apakah ada pantangan-pantangan dalam
beragama serta seberapa taat klien menjalankan ajaran agamanya. Orang
yang dekat kepada Tuhannya lebih berfikiran positif.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan jaringan inflamasi
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan spasme oto-otot pernapasan,
kerusakan neurologis
3. Resiko infeksi berhubungan dengan lesi, bercak-bercak merah pada kulit
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perasaan malu terhadap penampakan diri
dan persepsi diri tentang ketidakbersihan.
5. Defisiensi pengetahuan tentang program terapi berhubungan dengan kurangnya
informasi ( NANDA, 2012 )
C. Rencana Keperawatan
Menurut (Mc Closkey, C.J., et all. 2016)
1. Dx 1 : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan jaringan inflamasi
Definisi : Perubahan epidermis dan dermis
Intervensi NIC
a. Pemeliharaan akses dialisis : Memelihara akses pembuluh darah
b. Kewaspadaan lateks : Menurunkan resiko reaksi sistemik terhadap lateks
c. Pemberian obat : Mempersiapkan, memberikan, dan mengevaluasi keefektif dan
obat resep dan obat non resep
d. Manajemen pruritus : Mencegah dan mengobati gatal
2. Dx 2 : Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan spasme oto-otot pernapasan,
kerusakan neurologis
Definisi : Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat
Intervensi NIC
a. Manamen jalan napas : memfasilitasi kepatenan jalan napas
b. Pengisapan jalan napas : mengeluarkan sekret jalan napas dengan cara
memasukkan kateter penghisap ke dalam jalan napas oral atau trakea pasien
c. Manajemen anafilaksis : meningkatkan ventilasi, dan perfusi jaringan yang adekuat
untuk individu yang mengalami reaksi alergi berat
d. Manajemen asma : mengidentifikasi, mengobati, dan mencegah reaksi
inflamasi/kontriksi jalan napas
3. Dx 3 : Resiko infeksi berhubungan dengan lesi, bercak-bercak merah pada kulit
Definisi : Berisiko terhadap invasi organisme pathogen
Intervensi NIC
a. Perawatan sirkulasi: insufisiensi arteri: meningkatkan sirkulasi arteri
b. Skrining kesehatan: Mendeteksi risiko atau masalah kesehatan dengan
memanfaatkan riwayat kesehatan, pemeriksaan kesehatan, dan prosedur lainnya
c. Pengendalian infeksi: meminimalkan penyebaran dan penularan agens infeksius
d. Perlindungan infeksi: mencegah dan mendeteksi dini infeksi pada pasien berisiko
4. Dx. 4 Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perasaan malu terhadap
penampakan diri dan persepsi diri tentang ketidakbersihan
Definisi : Konfusi pada gambaran mental fisik diri seseorang
Intervensi NIC
a. Bimbingan antisipasi: Mempersiapkan pasien terhadap krisis perkembangan atau
krisis situasional
b. Peningkatan citra tubuh: Meningkatkan persepsi sadar dan tak sadar pasien serta
sikap terhadap tubuh pasien
c. Peningkatan koping: membantu pasien untuk beradaptasi dengan persepsi stresor,
perubahan, atau ancaman yang menghambat pemenuhan tuntutan dan peran hidup
5. Dx 5: Defisiensi pengetahuan tentang program terapi berhubungan dengan kurangnya
informasi
Definisi : Tidak ada atau kurang informasi kognitif tentang topik tertentu
Intervensi NIC
a. Perlindungan infeksi: Mencegah dan melakukan deteksi dini infeksi pada pasien
beresiko
b. Penyuluhan individual: Membuat perencanaan, imokementasi, dan evaluasi
program penyuluhan yang dirancang dan untuk memenuhi kebutuhan khusus
pasien
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda , Andhi. (2010). Dermatitis In: Djuanda A, ed Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi
III. Jakarta: FK UI: 126-31.
NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.
Price, A. Sylvia.2006 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 4. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, Suzanne C. (2002). Buku ajar medikal bedah Brunner Suddarth/Brunner Suddarth’s
Texbook of Medical-surgical. Alih Bahasa:Agung Waluyo…..(et.al.). ed 8 Vol 3
Jakarta: EGC.
Price A. Sylvia 2012 ( Patofisiologi Konsep Klinis Proses Perjalanan Penyakit )
edisi 4.Penerbit Buku Kedokteran.
Widhya. (2011). Askep Dermatitis. Diaskes pada tanggal 28 April 2012 pada
http:///D:/LAPORAN%20POROFESI%20NERS%202012/MEDICAL
%20BEDAH/SUMBER%20DERMATITIS/askep-dermatitis.html
Mc Closkey, C.J., et all . 2002. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition
. New Jersey: Upper Saddle River