Ringkasan Penyakit Autoimun
Ringkasan Penyakit Autoimun
Faktor Genetik
Orang-orang tertentu secara genetik rentan untuk mengembangkan
penyakit autoimun. Kerentanan ini dikaitkan dengan beberapa gen ditambah
faktor risiko lainnya. Genetik individu tertentu cenderung tidak selalu
mengembangkan penyakit autoimun.
Tiga gen utama yang diduga dalam penyakit autoimun.
Imunoglobulin
T-sel reseptor
Kompleks histokompatibilitas utama (MHC).
Dua yang pertama, yang terlibat dalam pengakuan antigen, secara inheren
rentan terhadap variabel dan rekombinasi. Variasi ini memungkinkan sistem
kekebalan tubuh untuk menanggapi berbagai sangat luas penjajah, tetapi juga
dapat menimbulkan limfosit dalam swa-reaktivitas. Para ilmuwan seperti H.
McDevitt, G. Nepom, J. Bell dan J. Todd juga telah menyediakan bukti kuat yang
menunjukkan bahwa MHC kelas II tertentu allotypes berkorelasi sangat
Yang paling menonjol dan konsisten adalah hubungan antara HLA B27
dan ankylosing spondylitis . Korelasi ini mungkin ada di antara polimorfisme
dalam MHC kelas II promotor dan penyakit autoimun.
Kontribusi dari gen luar kompleks MHC tetap menjadi subjek penelitian,
pada hewan model penyakit (studi ekstensif Linda Wicker genetik diabetes pada
tikus NOD), dan pada pasien (analisis keterkaitan Brian Kotzin dari kerentanan
terhadap SLE ).
Baru-baru ini PTPN22 telah dikaitkan dengan penyakit autoimun multiple
termasuk Tipe I diabetes, rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosis,
tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, penyakit Addison, Miastenia Gravis,
vitiligo, sklerosis sistemik juvenil idiopatik arthritis, dan arthritis psoriatis.
Jenis Kelamin
Klasifikasi
autoimun dapat dibagi menjadi gangguan autoimun sistemik dan organ-spesifik
atau lokal, tergantung pada Clinico-patologis fitur utama dari masing-masing
penyakit.
Acute
disseminated
Accepted
encephalomyelitis
(ADEM)
multiple
Autoimmune
progesterone Accepted
dermatitis
Autoimmune
anti gpIIb-
thrombocytopeni Accepted
IIIa or 1b-IX
c purpura
Autoimmune [11]
Accepted
urticaria
Autoimmune
Accepted HLAB-27?
uveitis
Balo disease/Balo
concentric
sclerosis
immune-mediated
systemic vasculitis;
linkage to HLA-B51
(HLA-B27); very
different
Behçet’s disease manifestations with
ulcers as common
symptom; also
called Morbus
Adamandiades-
Behçet
Berger’s disease IgA (elevated
in 50% of
patients),
IgA (in
mesangial
deposits on
kidney
biopsy)
Bickerstaff’s Anti-GQ1b similar to Guillain-
encephalitis 2/3 patients Barré syndrome
overlaps both
Blau syndrome sarcoidosis and
granuloma annulare
IgG
autoantibodi
es targeting
the type
Bullous XVII
pemphigoid collagen
component
of
hemidesmos
omes
Cancer
Castleman’s Over expression of
disease IL-6
Anti-tissue
transglutami HLA-DQ8 and
Celiac disease Accepted IV
nase DQ2.5
antibodies
Chagas disease Suspected
Anti-
Chronic ganglioside
inflammatory antibodies:a similar to Guillain-
demyelinating nti-GM1, Barré syndrome
polyneuropathy anti-GD1a,
anti-GQ1b
Chronic
LPIN2,
recurrent
D18S60,similar to
multifocal
Majeed syndrome
osteomyelitis
Chronic
obstructive
Suspected
pulmonary
disease
Churg-Strauss
p-ANCA
syndrome
Cicatricial anti-BP-1,
precipitates C3
pemphigoid anti BP-2
Cogan syndrome
idiopathic or
Cold agglutinin secondary to
Accepted II IgM
disease leukemia or
infection
Complement
component 2
deficiency
Contact
III
dermatitis
aka Temporal
Cranial arteritis arteritis; involves
giant cells
Anti-
centromere
CREST
antibodies
syndrome
Anti-nuclear
antibodies
Crohns Disease Accepted IV Innate immunity;
(one of two types Th17; Th1;
of idiopathic ATG16L1;
inflammatory
bowel disease CARD15;XBP1;
“IBD”)
cortisol
Cushing’s
binding
Syndrome
globulin?
Cutaneous
leukocytoclastic neutrophils
angiitis
Dego’s disease Vasculopathy
Dercum’s disease Suspected Lipoid tissue.
IgA; anti-
epidermal
Dermatitis
transglutami
herpetiformis
nase
antibodies
histidine-
B- and T-cell
tRNA anti-
perivascular
signal_recog
Dermatomyositis Accepted inflammatory
nition_pepti
infiltrate on muscle
de Anti-Mi-2
biopsy
Anti-Jo1.[21]
Diabetes mellitus Accepted IV Glutamic
type 1 acid
decarboxylas
e antibodies
(GADA),
islet cell
antibodies
(ICA), and
insulinoma-
associated
autoantibodi
es (IA-2),
anti-insulin
antibodies
anti-nuclear
antibodies,
anti-
Diffuse cutaneous centromere COL1A2 and TGF-
systemic sclerosis and anti- β1
scl70/anti-
topoisomeras
e antibodies
myocardial
neo-antigens
Dressler’s
formed as a
syndrome
result of the
MI
Drug-induced
anti-histone
lupus
Discoid lupus IL-2 and IFN-
III
erythematosus gamma>
LEKTI, SPINK5,
filaggrin.,Brain-
derived
Eczema
neurotrophic factor
(BDNF) and
Substance P.[26]
Endometriosis Suspected
Enthesitis-related MMP3[29] TRLR2,
.
arthritis TLR4,[30] ERAP1[31]
Eosinophilic
Accepted
fasciitis
Eosinophilic IL-3, IL-5, GM-
IgE
gastroenteritis CSF, eotaxin
Epidermolysis
COL7A1
bullosa acquisita
Erythema
nodosum
ABO, Rh,
Erthroblastosis mother’s immune
II Kell
fetalis system attacks fetus
antibodies
Essential mixed
cryoglobulinemia
Evan’s syndrome
ACVR1
Fibrodysplasia
Lymphocytes
ossificans
express increased
progressiva
BMP4
Fibrosing
aveolitis aka SFTPA1, SFTPA2,
Idiopathic_pulmo TERT, and TERC.[32]
nary_fibrosis
serum
antiparietal
Gastritis
and anti-IF
antibodies
Gastrointestinal
Accepted
pemphigoid
Giant cell macrophage giant
arteritis cells
Glomerulonephri Sometimes IgA see Buerger’s
tis Disease for IgA;
Membranous
glomerulonephritis
for IgG;
Membranoproliferat
ive/mesangiocapillar
y GN (Complement
activation);
Goodpasture’s
syndrome;
Wegener’s
granulomatosis
Anti-
Basement
Goodpasture’s Membrane
Accepted II
syndrome Collagen
Type IV
Protein
thyroid
autoantibodi
es (TSHR-
Ab) that
Graves’ disease Accepted II
activate the
TSH-
receptor
(TSHR)
Guillain-Barré Anti-
Accepted IV
syndrome (GBS) ganglioside
Hashimoto’s alpha-
Accepted IV
encephalopathy enolase[33]
Hashimoto’s Accepted IV antibodies HLADR5, CTLA-4
thyroiditis against
thyroid
peroxidase
and/or
thyroglobuli
n
immunoglob
ulin A (IgA)
Henoch-
and
Schonlein
complement
purpura
component 3
(C3)
IgG and C3
Herpes misdirected
gestationis aka antibodies
Gestational intended to
Pemphigoid protect the
placenta
Hidradenitis
Suspected
suppurativa
IGHM, IGLL1,
Hypogammaglob
CD79A, BLNK,
ulinemia
LRRC8A, CD79B
Idiopathic
Inflammatory a variant of multiple
Demyelinating sclerosis
Diseases
Idiopathic
SFTPA1, SFTPA2,
pulmonary
TERT, and TERC.[32]
fibrosis
Idiopathic
thrombocytopeni
glycoproteins IIb-
c purpura (See
Accepted II IIIa or Ib-IX,
Autoimmune
immunoglobulin G
thrombocytopeni
c purpura)
IgA nephropathy III? IgA
produced
from
marrow
rather than
MALT
similar to
polymyositis but
Inclusion body
does not respond to
myositis
steroid therapy-
activated T8 cells
Chronic
anti-
inflammatory similar to Guillain–
ganglioside
demyelinating Barré syndrome
antibodies
polyneuropathy
Interstitial
Suspected Mast cells
cystitis
Juvenile
idiopathic inconsistent
arthritis aka ANA
Juvenile Rheumatoid
rheumatoid _factor
arthritis
Kawasaki’s
Suspected ITPKC HLA-B51
Disease
Lambert-Eaton voltage- HLA-DR3-B8
myasthenic gated
syndrome calcium
channels; Q-
type_calcium
_channel,
synaptogagm
in,
muscarinic
acetylcholine
receptor M1
Leukocytoclastic
vasculitis
Lichen planus
Lichen sclerosus
Linear IgA
disease (LAD)
VCP, ATXN2,
Lou Gehrig’s
OPTN, FIG4,
disease (Also
TARDBP, ANG,
Amyotrophic
VAPB, FUS, SETX,
lateral sclerosis)
ALS2, SOD1
ANA and
SMA, LKM-
1 , LKM-2 or
LKM-3;
antibodies
Lupoid hepatitis
against
aka
soluble liver
Autoimmune_hep
antigen[37][38]
atitis
(anti-SLA,
anti-LP) no
autoantibodi
es detected
(~20%)
Lupus Accepted III Anti-nuclear
erythematosus antibodies[39]
anti-Ro.[40]
Also, they
are often
present in
Sjögren’s
syndrome.[41]
[42]
TOLERANSI DIRI
Autoimunitas dan toleransi diri
Toleransi timus
Perkembangan sel T di timus mempunyai peranan penting dalam eliminasi
sel T yang dapat mengenali peptida pada protein diri. Dengan proses positive
selection, sel akan bertahan melalui ikatan dengan molekul MHC. Ikatan ini akan
menginduksi sinyal yang mencegah sel mati. Reseptor sel T yang gagal berikatan
dengan molekul MHC di timus akan mati melalui apoptosis. Sel T yang bertahan
dari proses ini akan berikatan dengan molekul MHC dan kompleks peptida diri
yang ada di timus dengan afinitas yang berbeda-beda. Sel T yang mempunyai
afinitas yang rendah akan bertahan dan berpotensial untuk mengikat MHC dan
peptida asing dengan afinitas tinggi serta dapat menginisiasi respons imun
protektif nantinya. Namun sel T yang berikatan dengan MHC dan peptida diri di
timus dengan afinitas tinggi mempunyai potensial untuk pengenalan dengan
antigen diri di tubuh, dengan konsekuensi induksi autoimunitas. Sel-sel dengan
afinitas tinggi tersebut dieliminasi melalui proses negative selection
Proses-proses diatas disebut edukasi timus. Alasan gagalnya toleransi
timus adalah banyaknya peptida diri yang tidak diekspresikan dengan kadar yang
cukup di timus untuk menginduksi negative selection. Sebagian besar peptida
yang berikatan dengan MHC di timus berasal baik dari protein intraseluler atau
terikat membran yang ada dimana-mana, ataupun protein yang ada di cairan
ekstraseluler, sehingga toleransi timus tidak diinduksi terhadap protein spesifik
jaringan.
Toleransi perifer
Terdapat beberapa mekanisme terjadinya toleransi perifer yang merupakan
kontrol lini kedua dalam mengatur sel autoreaktif
Ignorance
Proses immunological ignorance terjadi karena keberadaan antigen
terasing di organ avaskular, seperti humor viterus pada mata. Antigen tersebut
secara efektif tidak “terlihat” oleh sistem imun. Apabila antigen tersebut lolos dari
organ tersebut, maka toleransi perifer aktif akan berkembang. Proses ini terjadi
karena sel T CD4+ hanya mengenali angtigen yang dipresentasikan melalui
molekul MHC II. Dengan distribusi yang terbatas dari molekul tersebut, maka
sebagian besar molekul spesifik organ tidak akan dipresentasikan dengan kadar
yang cukup untuk menginduksi aktivasi sel T
Supresi
Mekanisme toleransi perifer termasuk supresi aktif dari sel T autoreaktif
melalui penghambatan populasi sel T yang dapat mengenali antigen yang sama
(sel T supresor)
Toleransi sel B
Toleransi sel B bekerja pada sistem perifer. Produksi antibodi autoreaktif
dibatasi terutama oleh kurangnya sel T yang membantu dalam antigen diri. Sel B
baru akan terus dibentuk secara kontinu dari prekursor sumsum tulang dan banyak
diantaranya bersifat autoreaktif. Adanya proses hipermutasi somatik gen
imunoglobulin pada sel B matur di pusat germinal nodus limfe juga dapat
menghasilkan autoantibodi. Apabila sel B baru atau hipermutasi sel B berikatan
dengan antigen yang sesuai, namun tidak terdapat bantuan sel T, maka sel B akan
mengalami apoptosis atau anergi.
Etiologi
Interaksi antara genetik dan faktor lingkungan penting dalam penyebab penyakit
autoimun.
a. Faktor genetik
Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan
autoimun yang bersifat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota
keluarga dibandingkan penyakit yang nyata. Peran genetik dalam penyakit
autoimun hampir selalu melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula
hanya melibatkan gen tunggal. Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan
defek pada apoptosis atau kerusakan anergi dan sesuai dengan mekanisme
toleransi perifer dan kerusakannya. Hubungan antara gen dengan
autoimunitas juga melibatkan varian atau alel dari MHC.
b. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan
penyebab antara lain hormon, infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi
ultraviolet.
c. Hormon
Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih
sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar
penyakit autoimun mempunyai puncak usia onset dalam masa reproduktif,
dengan beberapa bukti klinis dan eksperimental menyebutkan estrogen
sebagai faktor pencetus. Mekanisme yang mendasarinya belum jelas,
namun bukti menunjukkan estrogen dapat menstimulasi beberapa respons
imun. Contohnya insidens penyakit LES pada wanita pasca pubertas 9 kali
lebih tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan tentang hal ini tetapi studi
klinis dan eksperimental pada manusia dan hewan percobaan
memperlihatkan bahwa kecenderungan tersebut lebih ditentukan oleh
hormon sel wanita daripada gen kromosom X. Hewan betina, atau jantan
yang dikastrasi, memperlihatkan kadar imunoglobulin dan respons imun
spesifik yang lebih tinggi daripada jantan normal. Stimulasi estrogen
kronik mempunyai peran penting terhadap prevalensi LES pada wanita.
Walaupun jumlah estrogen pada penderita tersebut normal, aktivitas
estradiol dapat meningkat akibat kelainan pola metabolisme hormon
wanita. Pada wanita penderita LES terdapat peninggian komponen 16α-
hidroksil dari 16α-hidroksiestron dan estriol serum dibandingkan dengan
orang normal. Hormon hipofisis prolaktin juga mempunyai aksi
imunostimulan terutama terhadap sel T.
d. Infeksi
Hubungan infeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada mekanisme
molecular mimicry, namun juga terdapat kemungkinan lain. Infeksi pada
target organ mempunyai peran penting dalam up-regulation molekul ko-
stimulan yang bersifat lokal dan juga induksi perubahan pola pemecahan
antigen dan presentasi, sehingga terjadi autoimunitas tanpa adanya
molecular mimicry. Namun, sebaliknya, autoimun lebih jarang terjadi pada
area dengan angka kejadian infeksi yang tinggi. Mekanisme proteksi
autoimun oleh infeksi ini masih belum jelas.
Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi yang
terjadi secara horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun
dengan berbagai jalan, antara lain karena aktivasi poliklonal limfosit,
pelepasan organel subselular setelah destruksi sel, fenomena asosiasi
pengenalan akibat insersi antigen virus pada membran sel yang
meningkatkan reaksi terhadap komponen antigen diri, serta gangguan
fungsi sel Ts akibat infeksi virus. Virus yang paling sering dikaitkan
sebagai pencetus autoimunitas adalah EBV, selain miksovirus, virus
hepatitis, CMV , virus coxsackie, retrovirus, dan lain-lain.
e. Obat
Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping idiosinkrasi yang
dapat mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat
penting untuk membedakan respons imunologi dari obat (hipersensitivitas
obat), baik berasal dari bentuk asli maupun kompleks dengan molekul
pejamu, dengan proses autoimun asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi
hipersensitivitas biasanya reversibel setelah penghentian obat sedangkan
proses autoimun dapat berkembang progresif dan memerlukan pengobatan
imunosupresif.
Patogenesis
Berbagai teori telah diajukan oleh para peneliti tentang patogenesis
autoimunitas tetapi tampaknya masing-masing mempunyai kebenaran dan
kelemahan sendiri.
Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik, misalnya
terdapat klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap berbagai stimuli, atau
kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh mitogen endogen atau eksogen yang
disebut aktivator poliklonal. Sel B dapat bereaksi dengan autoantigen melalui
berbagai reseptornya yang mempunyai aviditas rendah sampai tinggi, sementara
sel T tetap toleran. Aktivator poliklonal yang terdiri dari produk bakteri,
virus, atau komponen virus, parasit, atau substansi lainnya dapat langsung
merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibodi (lihat Gambar 15-3).
Hal ini dapat terlihat dengan terdeteksinya faktor rheumatoid dan antinuklear,
antilimfosit, antieritrosit, serta anti-otot polos setelah infeksi parasit, bakteri, atau
virus. Selain itu terbukti pula bahwa lipopolisakarida bakteri dapat menginduksi
limfosit tikus untuk memproduksi berbagai autoantibodi seperti anti DNA,
antiglobulin γ ,antitimosit, dan antieritrosit.
Makrofag mempunyai fungsi penting untuk memproses dan
mempresentasikan antigen pada limfosit, serta memproduksi berbagai sitokin
untuk aktivasi limfosit. Fungsi penting lainnya adalah sebagai fagosit untuk
mengeliminasi berbagai substansi imunologik yang tidak diinginkan, misalnya
kompleks imun. Pada penderita penyakit autoimun diduga bahwa eliminasi
kompleks imun tidak berfungsi dengan baik karena jumlah reseptor Fc dan CR1
(C3b, imun adherens) pada makrofag berkurang, tetapi hasil penelitian tentang
fungsi makrofag pada penyakit autoimun masih belum konsisten.
Autoimunitas dapat juga terjadi karena defek pembentukan toleransi yang
telah dibuktikan pada hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B, atau
keduanya. Gangguan toleransi ini hanya terjadi untuk antigen tertentu saja.
Sampai sejauh ini masih belum dapat diambil kesimpulan komprehensif dari
penelitian tentang peran defek toleransi tersebut.
Cara terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan mikro
atau virus terhadap autoimunitas adalah uji transfer autoimunitas dengan jaringan
atau ekstrak jaringan hewan percobaan yang mempunyai predisposisi genetik
autoimun ke resipien tanpa defek tersebut. Dengan cara ini maka terlihat bahwa
defek sel stem, terutama prekursor sel B, lebih berperan untuk timbulnya
autoimunitas daripada sel B matang.
Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari sel T.
Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B aktif dan
yang memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini disebabkan oleh
defek sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor proliferasi, diferensiasi,
dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau respons sel B yang tidak normal
terhadap faktor-faktor tersebut. Akibatnya akan terjadi hipergamaglobulinemia,
produksi autoantibodi, alih imunoglobulin menjadi autoantibodi subkelas
patologik, dan akhirnya penyakit autoimun sistemik.
Para penulis sepakat bahwa peran faktor genetik terhadap angka kejadian,
awitan, dan perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen yang bertanggung
jawab terhadap predisposisi autoimun ini bukanlah lokus tunggal, dan
dihubungkan dengan gen yang menentukan respons imun terhadap antigen, yaitu
gen MHC dan gen imunoglobulin. Hal ini terlihat dari adanya hubungan antara
suatu antigen HLA dengan penyakit tertentu yang dinyatakan dengan risiko
relatif.
Sel B dan sel T serta produknya dapat mengekspresikan determinan idiotip
atau anti-idiotip yang ikut berfungsi sebagai regulator sistem imun. Antibodi anti-
idiotipik dapat menekan atau merangsang respons imun. Pada umumnya
autoantibodi anti-idiotipik akan menekan respons imun terhadap idiotip. Seperti
halnya antibodi biasa, autoantibodi merupakan produk respons imun terhadap
antigen/autoantigen, atau terhadap Ab2 (anti-idiotip) yang menyerupai antigen.
Oleh karena itu dapat diduga bahwa autoimunitas dapat terjadi akibat defek
regulasi sistem imun yang menyebabkan penekanan atau rangsangan produksi
antibodi anti-idiopatik (lihat Gambar 15-4). Defek tersebut dapat menyebabkan
produksi autoantibodi atau stimulasi Ab1 (idiotip) yang tidak terkontrol walaupun
tidak ada antigen lagi. Diduga bahwa defek ini berhubungan erat dengan sirkuit
sel B-Th-Ts dan idiotip serta anti-idiotipnya.
Tidak satu pun dari teori tersebut dapat memberikan penjelasan tunggal
yang memuaskan, sehingga disimpulkan bahwa semua faktor tersebut berperan
pada patogenesis autoimunitas.
Mekanisme rusaknya toleransi
Mengatasi toleransi perifer
Kemiripan molekul
Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme
juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi rendah dan
tanpa akses ke antigen-presenting cells dapat bereaksi silang dengan peptida
mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini mengakibatkan ekspansi
populasi sel T yang responsif yang dapat mengenali peptida diri, apabila kondisi
lokal (seperti kerusakan jaringan) menyebabkan presentasi peptida tersebut dan
akses sel T ke jaringan tersebut .
Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang terlibat
Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut pada
presentasi peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan menghasilkan
percepatan kerusakan jaringan lokal. Proses domino ini disebut epitope spreading.
Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive) memerlukan ko-
stimulasi melalui CD28 unutk dapat berperan dalam respons imun. Namun, sel T
yang sebelumnya sudah teraktivasi dapat diinduksi untuk proliferasi dan produksi
sitokin melalui variasi sinyal ko-stimulasi yang lebih luas, dicetuskan oleh
molekul adesi yang diekspresikan di sel tersebut. Oleh karena itu, sel autoreaktif
yang telah teraktivasi sebelumnya tidak hanya resirkulasi secara bebas di jaringan
yang terinflamasi (karena adanya peningkatan ekspresi molekul adesi) namun juga
lebih mudah mengaktivasi setelah sampai di jaringan yang mengandung peptida
diri/kompleks MHC yang sesuai. Hal ini menandakan sekali barier toleransi rusak,
respons autoimun akan lebih mudah bertahan dan menyebabkan proses patogenik
autoreaktif yang lama pula.
Mekanisme kerusakan jaringan
DIAGNOSIS
Penyakit Antibodi
Tiroditis Hashimoto Tiroid
Miksedema primer Tiroid
Tirotoksikosis Tiroid
Anemia pernisiosa Lambung
Atrofi adrenal idiopatik Adrenal
Miastenia gravis Otot, reseptor asetilkolin
Pemvigus vulgaris dan pemfigoid Kulit
Anemia hemolitik autoimun Eritrosit (uji Coombs)
Sindrom Sjogren Sel duktus salivarius
Sirosis biliar orimer Mitokondria
Hepatitis kronik aktif Anti Sm, mitokondria
Artritis reumatoid Antiglobulin
LES Antinuklear, DNA, sel LE
Skleroderma Nukleolus
Penyakit jaringan ikat lain Nukleolus
PENGOBATAN
Dua prinsip strategi pengobatan autoimun antara lain supresi respons imun atau
mengganti fungsi organ yang rusak. Penggantian fungsi merupakan metode
pengobatan yang sering digunakan pada autoimun endokrinologi pada gagal organ
yang ireversibel, contohnya pada hipotirodisme. Namun apabila kebutuhan
hormon yang defisit tidak dapat diatasi melalui terapi pengganti, maka dapat
timbul masalah metabolik. Supresi autoimun sebelum kerusakan organ ireversibel
menjadi pilihan yang lebih menarik, namun sangat sulit dalam deteksi dini. Pada
kasus autoimun seperti SLE, artritis reumatoid dan penyakit ginjal autoimun,
terapi imunosupresi menjadi sarana yang dapat mencegah disabilitas berat dan
kematian. Pengobatan penyakit autoimun meliputi kontrol metabolik, obat anti-
inflamasi, imunosupresan, dan kontrol imunologis.
Kontrol metabolik
Obat anti-inflamasi
Imunosupresan
Kontrol imunologis
Pada saat ini kontrol imunologis terhadap penyakit autoimun masih sangat
terbatas pemakaiannya untuk riset terutama pada hewan percobaan. Tindakan
yang cukup sering dilakukan adalah transfusi tukar plasma untuk mengurangi
kompleks imun, yang dilaporkan bermanfaat sementara untuk LES tetapi cukup
baik untuk sindrom Goodpasture. Iradiasi kelenjar limfe total masih terus
dieksplorasi dan diamati hasilnya. Pada saatnya kelak diharapkan akan dapat
dilakukan koreksi terhadap defek sel stem atau timus dengan transplantasi
sumsum tulang, sel stem atau timus, atau dengan hormon timus. Selain itu
pemberian faktor timus diharapkan akan dapat menjaga kontrol sel Ts terhadap
autoimunitas.
Percobaan pada hewan telah berhasil untuk melakukan switching-off sel B yang
terlihat dengan menurunnya anti-DNA. Demikian pula pemberian beberapa
antibodi monoklonal seperti anti-kelas II dan antiT4 memperlihatkan perbaikan
klinis LES dan artritis reumatoid pada hewan percobaan.
REFERENCES RECOMMENDED