Anda di halaman 1dari 3

Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Nama : Rizky Luthfiandari

Nim : C93218103

Prodi : HPI- 6B

Mata Kuliah : Victimology dan Penology

Dosen Pengampu : Marli Candra, L.LB (Hons)., MCL.

ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004

TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu tindak pidana yang di atur di dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekesan Dalam Rumah Tangga,
yang memiliki total 10 Bab dan 56 Pasal. Pembuatan Undang-Undang ini sebagai salah satu
upaya untuk mencegah, memberantas serta melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga

Kekerasan dalam rumah tangga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004,dalam


Pasal 1 memiliki pengertian yaitu, setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah
tangga yaitu suami, istri, anak, dan orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan
darah, perkawinan atau persusuan yang menetap dalam rumah tangga.

Dalam banyak kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, sering kali terjadi
yang menjadi korbannya adalah wanita dan anak-anak. Kekerasan yang dimaksud dalam Pasal 5
hingga pasal 9 yaitu, kekerasan fisik yang mengakibatkan rasa sakit atau luka berat, kekerasan
psikis yang mengakibatkan ketakutan atau penderitaan psikis seseorang, kekerasan seksual atau
pemaksaan hubungan seksual dalam lingkup rumah tangga untuk tujuan komersial atau tertentu,
dan penelantaran rumah tangga. Korban kekerasan dalam rumah tangga tentunya akan
mengalami trauma yang sangat hebat. Seperti halnya ketakutan, trauma yang berkepanjangan,
hilangnya rasa percaya diri, dan yang lebih miris tidak memiliki keberanian untuk kembali dalam
kehidupan masyarakat normal.

Maka disinilah peran pemerintah seharusnya hadir untuk melindungi para korban
kekerasan dalam rumah tangga.Dan semua itu dijawab melalui peraturan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, terdapat berbagai upaya
untuk melindungi korban. Bahkan dalam Undang-Undang ini memiliki bab tersendiri untuk
mengatur perlindungan dan hak-hak yang di berikan kepada korban. Yakni, dalam Bab VI
mengenai Perlindungan terdapat 23 Pasal yakni Pasal 16 sampai Pasal 38.

Dalam Bab VI tersebut, perlindungan korban dilakukan 1x 24 jam terhitung sejak


diketahuinya kekerasan dalam rumah tangga dan kepolisian waib segera memberikan
perlindungan sementara yang di berikan paling lama 7 hari. Pihak kepolisian juga dapat
bekerjasama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan pembimbing
rohani dalam melindungi korban juga memberi fasilitas seperti memeriksa kesehatan, melakukan
visum, dan konseling guna menguatkan serta meberikan rasa aman sampai korban benar-benar
merasa aman saat tiba di rumah atau tempat tinggal alternatif milik Pemerintah daerah setempat.
Serta polisi melakukan penyelidikan terkait laporan benar atau tidaknya kekerasan dalam rumah
tangga itu terjadi. Dan dalam tahap penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang
korban di damping oleh advokat agar korban mendapat keadilan seadil-adilnya.

Surat penetapan untuk melindungi korban wajib dilekuarkan ketua pengadilan dalam
tenggang waktu 7 hari sejak diterimanya permohonan.Permohonan perintah perlindungan
disampaikan secara tertulis atau lisan.Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling
lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan sebelum 7 hari berakhir
masa berlakunya. Untuk memberikan perlindungsn kepada korban, kepolisian dapat menangkap
pelaku yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1x 24 jam dengan bukti permulaan
yang cukup karena telah melanggar perlindungan. Dan dalam jangka waktu 3x 24 jam pelaku
diperintahkan menghadap pengadilan guna dilakukan pemeriksaan. Apabila pelaku tidak
mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut, pengadilan dapat menahan pelaku palin lama 30
hari.

Pemulihan korban diatur dalam Bab VII Pasal 39 sampai dengan Pasal 43 untuk
memperoleh pelayanan dari tenaga kesehatan untuk memeriksa korban, pekerja sosial untuk
memberikan konseling, relawan pendamping dan pembimbing rohani yang mempunyai tugas
tersendiri sesuai dengan standar profesinya untuk melindungi korban dan memberikan rasa
aman.

Selanjutnya, pada Bab terakhir, Bab VII tentang Ketentuan Pidana yaitu pada pasal 44
menjelaskan setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp.15.000.000. Apabila korban jatuh
sakit atau luka bera, dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak
Rp.30.000.000 lalu, apabila mengakibatkan matinya korban, dipidana penjara paling lama 15
tahun atau denda paling banyak Rp.45.000.000.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, pengaturannya sudah cukup meliputi


segala aspek yang diperlukan dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga . Baik itu
perihal tujuan, larangan kekerasan dalam rumah tangga, perlindungan, hak dan pemulihan
psikologi dan kesehatan bagi korban serta ketentuan pidana sehingga tidak terjadi lagi kekerasan
dala rumah tangga di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai