Sekuen Stratigrafi Sub-Cekungan Palembang Selatan Berdasarkan Data Pemboran Pada Sumur "SSB", Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan
Sekuen Stratigrafi Sub-Cekungan Palembang Selatan Berdasarkan Data Pemboran Pada Sumur "SSB", Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan
net/publication/335339544
CITATIONS READS
0 665
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Muhammad Virgiawan Agustin on 23 August 2019.
1,2
Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Jalan Grafika No.2, Yogyakarta
3,4
PT.Pertamina EP, Menara Standard Chartered Lt.16 Jalan Prof.Dr.Satrio, DKI Jakarta
*corresponding author: m.virgiawan.a@mail.ugm.ac.id
ABSTRAK
Daerah Penelitian merupakan wilayah kerja PT. Pertamina EP yang berada pada Sub-Cekungan
Palembang Selatan, Cekungan Sumatera Selatan. Penelitian ini difokuskan untuk membahas sekuen
stratigrafi pada Sub-Cekungan Palembang Selatan menggunakan data pemboran pada sumur “SSB”,
dimana terdiri dari Formasi Talang Akar, Baturaja, Gumai dan Air Benakat. Dalam Penelitian ini, data
yang digunakan adalah cutting, well log, dan paleobatimetri berdasarkan foraminifera bentonik. Hasil
dari analisis dan korelasi data tersebut adalah litologi, sekuen stratigrafi, dan hubungan antara
paleobatimetri dan sedimentasi. Dari analisis data tersebut didapatkan bahwa pada Sub-Cekungan
Palembang Selatan berkembang empat (4) sekuen. Sekuen 1 terdiri dari tiga system tract, antara lain
Lowstand system tract, Transgressive system tract, dan Highstand system tract. Pada sekuen 2 dan 3,
terdiri dari Transgressive system tract, dan Highstand system tract yang masing-masing dibatasi oleh
maximum flooding surface. Sedangkan sekuen 4 hanya terdiri dari satu system tract, yaitu
transgressive system tract. Pada bagian atas dari sekuen 4 teridentifikasi adanya penurunan suplai
sedimen yang ditandai dengan berkembangnya pola transgresif saat paleobatimetri mendangkal.
Kata kunci : Sekuen Stratigrafi, Litologi, Paleobatimetri, Sub-Cekungan Palembang Selatan
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sub-Cekungan Palembang Selatan ialah bagian dari Cekungan Sumatera
Selatan. Cekungan ini merupakan cekungan belakang busur (Back-arc Basin)
berumur Tersier dan merupakan cekungan yang produktif menghasilkan hidrokarbon
(Barber et.al, 2005). Menurut de Coster (1974), Cekungan Sumatera Selatan
merupakan hasil dari satu megacycle yang terdiri dari fase transgresi dan fase regresi.
Meskipun sudah banyak penelitian yang dilakukan pada Cekungan Sumatera
Selatan, namun penelitian lebih sering dilakukan Sub-Cekungan Jambi, bukan pada
Sub-Cekungan Palembang Selatan yang relatif masih jarang. Penelitian ini akan
difokuskan pada sekuen stratigrafi dan dinamika sedimentasi dari daerah penelitian.
Aplikasi konsep sekuen stratigrafi akan sangat membantu untuk eksplorasi
hidrokarbon karena sekuen stratigrafi merupakan metode yang dapat digunakan
untuk korelasi antar sumur satu dengan sumur yang lain. Namun, karena hanya
menggunakan satu sumur, pada penelitian ini tidak dilakukan korelasi, melainkan
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
difokuskan pada analisis pengisian cekungan oleh sedimen sebagai hasil interaksi
antara perubahan muka air laut, tektonik, dan suplai sedimen.
Berdasarkan De Coster (1974) dan Daly et al., (1989) tatanan tektonik pada
Cekungan Sumatra Selatan dipengaruhi oleh 4 fase tektonik utama, antara lain:
a) Orogenic Tectonic pada Kala Mesozoik Tengah menyebabkan
b) Fase Tektonik Kala Kapur Akhir – Awal Tersier,
c) Fase Tektonik Quiscence Kala Awal Tersier – Miosen,
d) Fase tektonik kompresif (tektonik inversi) Kala Miosen Tengah – Pleistosen.
2. METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan berupa kombinasi analisis sekuen stratigrafi
dengan data umur dan paleobatimetri. Pengambilan data diawali dengan melakukan
deskripsi cutting pada kedalaman 30m hingga 1688m dengan interval sampel per 2m.
Kemudian, dilakukan pengambilan sampel seberat 50 gram pada cutting dengan interval
pengambilan sampel sekitar 20 meter.
Data hasil deskripsi cutting kemudian dikorelasi dengan data well log untuk
menghasilkan data litologi dan stratigrafi sumur. Selanjutnya, dilakukan analisis sekuen
stratigrafi dengan melakukan penarikan pola sedimentasi dan pengelompokan system tract.
Kemudian, pada batas atas dan bawah setiap pola system tract, dilakukan analisis
paleontologi dengan menggunakan metode ayakan pada sampel sebanyak 50 gram.
Analisis paleontologi dilakukan pada fosil foraminifera plangtonik dan bentonik. Dengan
dilakukan analisis paleontologi, diharapkan dapat diketahui umur dari litologi tersebut,
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
serta dapat dilakukan analisis penyebab terbentuknya pola sedimentasi tersebut, apakah
akibat perubahan muka air laut, tektonik, maupun perubahan suplai sedimen.
3. DATA
3.1. Data Stratigrafi Sumur
Pada penelitian ini, digunakan data cutting dan well log dalam penentuan
litologi. Dilakukan deskripsi cutting, kemudian data hasil deskripsi tersebut di
koreksi dengan data well log untuk menghasilkan data stratigrafi sumur. Data
stratigrafi sumur dapat dilihat pada Gambar 3.
Formasi Baturaja
Formasi ini secara umum didominasi oleh litologi berupa shale dan
batugamping. Pada bagian atas dari Formasi ini dijumpai beberapa sisipan batulanau.
Pada daerah ini, Formasi Baturaja memiliki ketebalan 94 meter.
Berdasarkan analisis paleontologi, Formasi ini berumur Miosen Awal atau N4
– N5 dengan paleobatimetri Batial Atas. Apabila dibandingkan dengan publikasi
yang ada, Formasi Baturaja pada daerah ini memiliki perbedaan, yaitu sangat
dominannya batuan karbonat berukuran halus dan tidak dijumpainya batugamping
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Hal ini cenderung logis, karena pada bagian bawah sekuen ini terdapat
beberapa sampel yang barrent. Kemungkinan, pada interval tersebut batuan
terbentuk pada lingkungan darat – transisi yang merupakan fase awal dari syn-rift.
Hal tersebut didukung bahwa pada interval tersebut juga merupakan pola LST.
Pada bagian atas dari sekuen ini, berkembang pola HST yang menghasilkan
Formasi Baturaja. Diperkirakan pola ini bukan disebabkan oleh tektonik, melainkan
oleh penurunan muka air laut. Hal tersebut didukung dengan pola mendangkal yang
ditunjukkan oleh kurva eustasi menurut Haq et.al (1987). Cenderung berkurangnya
pengaruh aktivitas tektonik ekstensi menunjukkan bahwa HST pada sekuen ini
sudah bukan bagian dari fase syn-rift, melainkan sudah pada fase post-rift. Hal ini
juga sesuai dengan litologi yang dihasilkan, yaitu dominan endapan marine berupa
dominasi batugamping.
Sekuen 2
Sekuen 2 teridentifikasi pada kedalaman 978 m – 646 m, yang menghasilkan
Formasi Gumai bagian bawah. Sekuen ini terdiri dari TST (Transgressive System
Tract), dan HST (Highstand System Tract). Pada sekuen ini, Maximum Flooding
Surface (MFS) yang membatasi TST dan HST teridentifikasi pada kedalaman 844 m.
Berdasarkan analisis umur, sekuen 2 terjadi pada umur N5 hingga N6 (Miosen
Awal). Pada sekuen ini, TST dan HST berkorelasi dengan paleobatimetri yang
masing-masing mendalam dan mendangkal, sehingga pola tersebut terjadi akibat
perubahan paleobatimetri. Apabila dikorelasi dengan kurva eustasi menurut Haq et.al.
(1987), terjadi kenaikan muka air laut yang diikuti penurunan muka air laut pada
waktu pembentukan sekuen ini. Sehingga kemungkinan perubahan paleobatimetri
tersebut dipengaruhi oleh perubahan eustasi.
Sekuen 3
Sekuen 3 teridentifikasi pada kedalaman 646 m – 204 m, yang menghasilkan
Formasi Gumai bagian tengah. Sekuen ini terdiri dari TST (Transgressive System
Tract), dan HST (Highstand System Tract).
Pada sekuen ini, Maximum Flooding Surface (MFS) yang membatasi TST dan
HST teridentifikasi pada kedalaman 440 m. Hal ini sesuai dengan data paleobatimetri
yang mencapai kedalaman Batial Tengah pada sampel tersebut. Selain itu juga
kandungan sedimen berbutir halus yang melimpah pada sampel tersebut memang
menunjukkan bahwa pada umur tersebut pengendapan terjadi pada lingkungan yang
sangat dalam.
Berdasarkan analisis umur, sekuen 3 terjadi pada umur N6 hingga N7 (Miosen
Awal). Sama seperti sekuen 2, pada sekuen ini juga TST dan HST berkorelasi
dengan paleobatimetri yang masing-masing mendalam dan mendangkal, sehingga
pola tersebut terjadi akibat perubahan paleobatimetri.
Apabila dikorelasi dengan kurva eustasi menurut Haq et.al. (1987),
mendalamnya paleobatimetri pada fase TST berkorelasi dengan kenaikan muka air
laut, sehingga dapat disimpulkan bahwa paleobatimetri yang mendalam merupakan
pengaruh dari kenaikan muka air laut. Sedangkan pendangkalan paleobatimetri pada
waktu pembentukan fase HST pada sekuen ini di interpretasikan merupakan
pengaruh dari tektonik. Karena pada kurva eustasi Haq et.al. (1987) pola eustasi
justru cenderung naik. Sehingga di interpretasikan bahwa terjadi uplift selama
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
pembentukan fase HST pada sekuen ini, dan hal tersebut menunjukkan bahwa bagian
atas sekuen ini merupakan fase inversi dari Sub-Cekungan Palembang Selatan.
Sekuen 4
Sekuen 4 teridentifikasi pada kedalaman 204 m – 60 m, yang menghasilkan
Formasi Gumai bagian atas dan Formasi Air Benakat. Sekuen ini hanya terdiri dari
TST (Transgressive System Tract).
Berdasarkan analisis umur, sekuen 3 terjadi pada umur N8 (akhir Miosen
Awal). Apabila dibandingkan dengan pola paleobatimetri, TST pada sekuen ini
cenderung terbentuk pada kondisi paleobatimetri yang mendangkal. Sehingga di
interpretasikan bahwa suplai sedimen pada waktu pembentukan sekuen ini
cenderung sedikit, sehingga menghasilkan pola yang menghalus ke atas meskipun
lingkungan semakin dangkal.
Apabila dikorelasi dengan kurva eustasi menurut Haq et.al. (1987), muka air
laut cenderung stagnan pada waktu pembentukan sekuen ini. Sehingga kemungkinan
perubahan paleobatimetri yang cenderung mendangkal adalah pengaruh dari tektonik
uplift.
5. KESIMPULAN
Sub-Cekungan Palembang Selatan pada daerah penelitian tersusun oleh Formasi
Talang, Baturaja, Gumai, dan Air Benakat, yang memiliki litologi penyusun yang
berbeda-beda. Berdasarkan analisis sekuen stratigrafi, Sub-Cekungan Palembang Selatan
memiliki 4 sekuen pengendapan, dimana ini Sekuen 1 terdiri dari LST (Lowstand System
Tract), TST (Transgressive System Tract), dan HST (Highstand System Tract), Sekuen 2
dan 3 terdiri dari TST (Transgressive System Tract), dan HST (Highstand System Tract),
serta Sekuen 4 terdiri dari TST (Transgressive System Tract).
Dengan melakukan korelasi antara sekuen stratigrafi, paleobatimetri, dan eustasi,
diketahui bahwa terjadi subsidence selama pembentukan LST dan TST sekuen 1 yang
menunjukkan bahwa pada waktu tersebut sedang berlangsung fase syn-rift dari Sub-
Cekungan Palembang Selatan. Sedangkan HST pada sekuen 1 sudah memasuki fase post-
rift. Selain itu juga teridentifikasi terjadinya uplift selama pembentukan sekuen 3 dan 4
yang menunjukkan bahwa pada waktu tersebut mulai berlangsung fase inversi dari
cekungan ini. Kemudian juga teridentifikasi adanya penurunan suplai sedimen pada
sekuen 4 yang ditunjukkan dengan terbentuknya TST ketika terjadi pendangkalan
cekungan.
Acknowledgements
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Departemen Teknik Geologi UGM
yang mendukung penelitian ini melalui hibah penelitian dan memberikan kesempatan
untuk mempresentasikan hasil penelitian dalam Seminar Nasional Kebumian ke-10. Selain
itu juga ucapan terima kasih untuk Bapak Anton Darmawan, Bapak Triputra Agung, dan
Bapak M. Rahadian Wicaksono dari PT. Pertamina EP yang telah membantu penulis
selama pengambilan data. Tak lupa, terima kasih juga kepada Bapak Indra Novian, S.T.,
M.Eng. yang telah memberikan arahan selama penelitian.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
DAFTAR PUSTAKA
Allen, P. A., Allen, J.R., 2005, Basin Analysis Principles and Application 2nd edition,
Blackwell Publishing Company, Oxford.
Barber, A.J., Crow, M.J. & Mmsom, J.S. (eds) 2005. Sumatra: Geology, Resources and
Tectonic Evolution. Geological Society, London, Memoirs, pp. 31
Bishop, G.M., 2001, South Sumatra Basin Province, Indonesia: The Lahat/Talang Akar-
Cenozoic Total Petroleum System. USGS Open File Report 99-50-S, 22 p.
Bolli, H., M., Saunder, J. B., dan Nielsen, Pearch K. 1985. Plankton Stratigraphy.
Cambridge University Press.
Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli Geologi
Indonesia, Jakarta.
Ginger, D., Fielding, K., 2005, The Petroleum Systems and Future Potential of The South
Sumatra Basin, Proceedings of the Indonesian Petroleum Association 30th Annual
Convention and Exhibition, Indonesia.
Haq, E., 1987, Trends, Rhythms, and Aberrations in Global Climate 65 Ma to Present,
Science 292.
Hilman, M., 2012, Geomodeling Sekuen Stratigrafi Dan Perkembangan Reservoar
Batupasir Pada Cekungan Sumatra Selatan Berdasarkan Data Seismik Dan Well
Log, Proceedings of Seminar Nasional UNPAD, Bandung, Indonesia.
Firmansyah, Y., Riaviandhi, D., Muhammad, R., 2016, Sikuen Stratigrafi Formasi Talang
Akar Lapangan “DR”, Sub-Cekungan Jambi, Cekungan Sumatera Selatan. Bulletin
of Scientific Contribution, Volume 14, Nomor 3, Desember 2016 : pp. 263 – 268
Pulunggono, A., Haryo, A., and Kosuma, C.G., 1992, Pre-Tertiary and Tertiary fault
systems as a framework of the South Sumatra Basin : A Study of SAR-Maps,
Proceedings of the Indonesian Petroleum Association 21st Annual Convention,
p.338-360, Jakarta, Indonesia.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
LAMPIRAN
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian, berada di Kecamatan Lokasi Muara Kelingi, Kabupaten Musi
Rawas. Pada gambar, diberi simbol bintang. (Peta Administratif Provinsi Sumatera
Selatan, 2013)
Gambar 2. Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan (Ginger and Fielding, 2005). Formasi
yang termasuk dalam penelitian ini diberi tanda kotak merah.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 3. Stratigrafi Daerah Penelitian Berdasarkan Data Cutting dan Well Log. Pada gambar telah
dilakukan analisis parasequence dan system tract. a) Kedalaman 50-810 m, b) Kedalaman
810-1668 m.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA