Anda di halaman 1dari 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/335339544

SEKUEN STRATIGRAFI SUB-CEKUNGAN PALEMBANG SELATAN


BERDASARKAN DATA PEMBORAN PADA SUMUR “SSB”, KABUPATEN MUSI
RAWAS, PROVINSI SUMATERA SELATAN

Conference Paper · September 2017

CITATIONS READS

0 665

1 author:

Muhammad Virgiawan Agustin


Universitas Gadjah Mada
4 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Basin Analysis View project

All content following this page was uploaded by Muhammad Virgiawan Agustin on 23 August 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

SEKUEN STRATIGRAFI SUB-CEKUNGAN PALEMBANG SELATAN


BERDASARKAN DATA PEMBORAN PADA SUMUR “SSB”,
KABUPATEN MUSI WARAS, PROVINSI SUMATERA SELATAN

Muhammad Virgiawan Agustin1*


Moch. Indra Novian2
Anton Darmawan3
Triputra Agung4

1,2
Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Jalan Grafika No.2, Yogyakarta
3,4
PT.Pertamina EP, Menara Standard Chartered Lt.16 Jalan Prof.Dr.Satrio, DKI Jakarta
*corresponding author: m.virgiawan.a@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK
Daerah Penelitian merupakan wilayah kerja PT. Pertamina EP yang berada pada Sub-Cekungan
Palembang Selatan, Cekungan Sumatera Selatan. Penelitian ini difokuskan untuk membahas sekuen
stratigrafi pada Sub-Cekungan Palembang Selatan menggunakan data pemboran pada sumur “SSB”,
dimana terdiri dari Formasi Talang Akar, Baturaja, Gumai dan Air Benakat. Dalam Penelitian ini, data
yang digunakan adalah cutting, well log, dan paleobatimetri berdasarkan foraminifera bentonik. Hasil
dari analisis dan korelasi data tersebut adalah litologi, sekuen stratigrafi, dan hubungan antara
paleobatimetri dan sedimentasi. Dari analisis data tersebut didapatkan bahwa pada Sub-Cekungan
Palembang Selatan berkembang empat (4) sekuen. Sekuen 1 terdiri dari tiga system tract, antara lain
Lowstand system tract, Transgressive system tract, dan Highstand system tract. Pada sekuen 2 dan 3,
terdiri dari Transgressive system tract, dan Highstand system tract yang masing-masing dibatasi oleh
maximum flooding surface. Sedangkan sekuen 4 hanya terdiri dari satu system tract, yaitu
transgressive system tract. Pada bagian atas dari sekuen 4 teridentifikasi adanya penurunan suplai
sedimen yang ditandai dengan berkembangnya pola transgresif saat paleobatimetri mendangkal.
Kata kunci : Sekuen Stratigrafi, Litologi, Paleobatimetri, Sub-Cekungan Palembang Selatan

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sub-Cekungan Palembang Selatan ialah bagian dari Cekungan Sumatera
Selatan. Cekungan ini merupakan cekungan belakang busur (Back-arc Basin)
berumur Tersier dan merupakan cekungan yang produktif menghasilkan hidrokarbon
(Barber et.al, 2005). Menurut de Coster (1974), Cekungan Sumatera Selatan
merupakan hasil dari satu megacycle yang terdiri dari fase transgresi dan fase regresi.
Meskipun sudah banyak penelitian yang dilakukan pada Cekungan Sumatera
Selatan, namun penelitian lebih sering dilakukan Sub-Cekungan Jambi, bukan pada
Sub-Cekungan Palembang Selatan yang relatif masih jarang. Penelitian ini akan
difokuskan pada sekuen stratigrafi dan dinamika sedimentasi dari daerah penelitian.
Aplikasi konsep sekuen stratigrafi akan sangat membantu untuk eksplorasi
hidrokarbon karena sekuen stratigrafi merupakan metode yang dapat digunakan
untuk korelasi antar sumur satu dengan sumur yang lain. Namun, karena hanya
menggunakan satu sumur, pada penelitian ini tidak dilakukan korelasi, melainkan
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

difokuskan pada analisis pengisian cekungan oleh sedimen sebagai hasil interaksi
antara perubahan muka air laut, tektonik, dan suplai sedimen.

1.2. Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian terletak pada sumur “SSB” merupakan wilayah kerja PT.
Pertamina EP yang termasuk kedalam Sub-Cekungan Palembang Selatan, Cekungan
Sumatera Selatan. Secara administratif, sumur ini terletak pada Kecamatan Muara
Kelingi, Kabupaten Musiwaras, Provinsi Sumatera Selatan. (Gambar 1)

1.3. Geologi Regional


Daerah Penelitian termasuk kedalam Sub-Cekungan Palembang Selatan,
Cekungan Sumatera Selatan. Palunggono (1992) menyebutkan bahwa daerah
Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier
yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian
dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini
pada sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah
timur oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan
Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut Ginger dan Fielding (2005), Stratigrafi regional di Cekungan
Sumatera Selatan tersusun atas Batuan Dasar, Formasi Lahat dan Lemat, Formasi
Talang Akar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai yang terbentuk selama fasi
transgresi, serta Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, dan Formasi Kasai yang
merupakan hasil dari fase regresi (Gambar 2). Pada Penelitian ini akan difokuskan
pada Formasi Talang Akar, Baturaja, Gumai, dan Air Benakat.

Berdasarkan De Coster (1974) dan Daly et al., (1989) tatanan tektonik pada
Cekungan Sumatra Selatan dipengaruhi oleh 4 fase tektonik utama, antara lain:
a) Orogenic Tectonic pada Kala Mesozoik Tengah menyebabkan
b) Fase Tektonik Kala Kapur Akhir – Awal Tersier,
c) Fase Tektonik Quiscence Kala Awal Tersier – Miosen,
d) Fase tektonik kompresif (tektonik inversi) Kala Miosen Tengah – Pleistosen.

2. METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan berupa kombinasi analisis sekuen stratigrafi
dengan data umur dan paleobatimetri. Pengambilan data diawali dengan melakukan
deskripsi cutting pada kedalaman 30m hingga 1688m dengan interval sampel per 2m.
Kemudian, dilakukan pengambilan sampel seberat 50 gram pada cutting dengan interval
pengambilan sampel sekitar 20 meter.
Data hasil deskripsi cutting kemudian dikorelasi dengan data well log untuk
menghasilkan data litologi dan stratigrafi sumur. Selanjutnya, dilakukan analisis sekuen
stratigrafi dengan melakukan penarikan pola sedimentasi dan pengelompokan system tract.
Kemudian, pada batas atas dan bawah setiap pola system tract, dilakukan analisis
paleontologi dengan menggunakan metode ayakan pada sampel sebanyak 50 gram.
Analisis paleontologi dilakukan pada fosil foraminifera plangtonik dan bentonik. Dengan
dilakukan analisis paleontologi, diharapkan dapat diketahui umur dari litologi tersebut,
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

serta dapat dilakukan analisis penyebab terbentuknya pola sedimentasi tersebut, apakah
akibat perubahan muka air laut, tektonik, maupun perubahan suplai sedimen.

3. DATA
3.1. Data Stratigrafi Sumur
Pada penelitian ini, digunakan data cutting dan well log dalam penentuan
litologi. Dilakukan deskripsi cutting, kemudian data hasil deskripsi tersebut di
koreksi dengan data well log untuk menghasilkan data stratigrafi sumur. Data
stratigrafi sumur dapat dilihat pada Gambar 3.

3.2. Data Umur dan Paleobatimetri


Analisis paleontologi dilakukan pada setiap sampel yang berada pada batas
atau didekat batas masing-masing system tract. Analisis paleontologi difokuskan
dalam penentuan umur dan paleobatimetri. Hasil analisis umur dan paleobatimetri
diharapkan dapat membantu dalam interpretasi dinamika sedimentasi. Total sampel
yang dianalisis adalah 16 sampel. Data umur dan paleobatimetri dapat dilihat pada
Tabel 1.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Litologi
Berdasarkan data hasil deskripsi cutting dan well log pada sumur SSB, litologi
dari Formasi penyusun Sub-Cekungan Palembang Selatan adalah sebagai berikut.
Formasi Talang Akar
Formasi ini secara umum tersusun oleh litologi berupa shale, batupasir,
batulanau, batugamping, dan batubara. Pada bagian bawah, didominasi oleh
perselingan shale, batubara, dan batupasir dengan pola agradasi dan semakin keatas
berubah menjadi perselingan batupasir dan shale. Pada bagian atas, di dominasi oleh
perselingan shale, batulanau dan batugamping dengan sisipan batupasir. Pada bagian
atas juga dijumpai beberapa sisipan shale berwarna hitam, yang mengindikasi
pengendapan pada laut dalam.
Pada daerah penelitian, Formasi Talang Akar memiliki ketebalan 612 meter.
Formasi ini berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal atau P22 – N4 dengan
pola paleobatimetri lingkungan darat hingga transisi pada bagian bawah dan semakin
keatas semakin mendalam hingga Batial Atas – Batial Tengah.

Formasi Baturaja
Formasi ini secara umum didominasi oleh litologi berupa shale dan
batugamping. Pada bagian atas dari Formasi ini dijumpai beberapa sisipan batulanau.
Pada daerah ini, Formasi Baturaja memiliki ketebalan 94 meter.
Berdasarkan analisis paleontologi, Formasi ini berumur Miosen Awal atau N4
– N5 dengan paleobatimetri Batial Atas. Apabila dibandingkan dengan publikasi
yang ada, Formasi Baturaja pada daerah ini memiliki perbedaan, yaitu sangat
dominannya batuan karbonat berukuran halus dan tidak dijumpainya batugamping
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

terumbu. Hal ini kemungkinan disebabkan lingkungan pengendapan Formasi


Baturaja pada daerah ini yang sangat dalam, sehingga sedimen yang berukuran lebih
kasar jarang dijumpai.
Formasi Gumai
Formasi ini secara umum didominasi oleh litologi berupa shale shale yang
tebal dengan beberapa lapisan batugamping dan batupasir. Pada bagian bawah,
didominasi oleh perselingan shale dan batugamping dengan sisipan batupasir.
Semakin ke bagian tengah, litologi halus berupa shale dan batulanau menjadi
semakin dominan, yang mengindikasi terjadinya pendalaman cekungan. Kemudian
pada bagian atas, mulai di dominasi pola regresif yang menghasilkan litologi berupa
perselingan shale dan batulanau dengan sisipan batupasir dan batugamping dengan
pola mengkasar keatas.
Formasi Gumai pada daerah ini sangat tebal, yakni memiliki ketebalan hingga
878 meter. Berdasarkan analisis paleontologi, Formasi ini berumur Miosen Awal
bagian tengah hingga bagian akhir atau N5 – N8.
Formasi Air Benakat
Pada daerah penelitian, Formasi ini secara umum hanya memiliki ketebalan 40
meter karena terdapat pada bagian atas dari sumur. Formasi ini tersusun oleh litologi
berupa Batulempung dengan sisipan batupasir. Berdasarkan analisis paleontologi,
Formasi ini berumur akhir Miosen Awal atau N8 dengan paleobatimetri Neritik
Dalam hingga Neritik Tengah.

4.2. Sekuen Stratigrafi dan Dinamika Sedimentasi


Berdasarkan hasil analisis sekuen stratigrafi pada daerah penelitian (Gambar 3),
teridentifikasi 4 buah sekuen pengendapan pada Sub-Cekungan Palembang Selatan.
Korelasi antara sekuen stratigrafi, paleobatimetri, dan umur dapat dilihat pada
Gambar 4. Penjelasan mengenai sekuen tersebut adalah sebagai berikut.
Sekuen 1
Sekuen 1 teridentifikasi pada kedalaman 1688 m – 978 m, yang menghasilkan
Formasi Talang Akar dan Baturaja. Sekuen ini terdiri dari LST (Lowstand System
Tract), TST (Transgressive System Tract), dan HST (Highstand System Tract). Pada
sekuen ini, LST dan TST dibatasi oleh Transgressive Surface (TS) yang
teridentifikasi pada kedalaman 1669 m. Selain itu, Maximum Flooding Surface
(MFS) yang membatasi TST dan HST teridentifikasi pada kedalaman 1072 m yang
merupakan batas Formasi Talang Akar dan Baturaja.
Berdasarkan analisis umur, sekuen 1 terjadi pada umur P22 hingga N5
(Oligosen Akhir – Miosen Awal). Pada sekuen ini, fase transgresi terjadi sangat
panjang dan cenderung sesuai dengan data paleobatimetri yang juga mendalam.
Apabila dikorelasi dengan kurva eustasi menurut Haq et.al. (1987), terjadi kenaikan
muka air laut sebesar 50-100 m pada waktu pembentukan sekuen ini. Namun,
perubahan paleobatimetri yang sangat besar dari transisi hingga batial tengah,
mengindikasi bahwa pendalaman bukan hanya disebabkan oleh perubahan eustasi,
namun juga adanya tektonik subsidence.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Hal ini cenderung logis, karena pada bagian bawah sekuen ini terdapat
beberapa sampel yang barrent. Kemungkinan, pada interval tersebut batuan
terbentuk pada lingkungan darat – transisi yang merupakan fase awal dari syn-rift.
Hal tersebut didukung bahwa pada interval tersebut juga merupakan pola LST.
Pada bagian atas dari sekuen ini, berkembang pola HST yang menghasilkan
Formasi Baturaja. Diperkirakan pola ini bukan disebabkan oleh tektonik, melainkan
oleh penurunan muka air laut. Hal tersebut didukung dengan pola mendangkal yang
ditunjukkan oleh kurva eustasi menurut Haq et.al (1987). Cenderung berkurangnya
pengaruh aktivitas tektonik ekstensi menunjukkan bahwa HST pada sekuen ini
sudah bukan bagian dari fase syn-rift, melainkan sudah pada fase post-rift. Hal ini
juga sesuai dengan litologi yang dihasilkan, yaitu dominan endapan marine berupa
dominasi batugamping.
Sekuen 2
Sekuen 2 teridentifikasi pada kedalaman 978 m – 646 m, yang menghasilkan
Formasi Gumai bagian bawah. Sekuen ini terdiri dari TST (Transgressive System
Tract), dan HST (Highstand System Tract). Pada sekuen ini, Maximum Flooding
Surface (MFS) yang membatasi TST dan HST teridentifikasi pada kedalaman 844 m.
Berdasarkan analisis umur, sekuen 2 terjadi pada umur N5 hingga N6 (Miosen
Awal). Pada sekuen ini, TST dan HST berkorelasi dengan paleobatimetri yang
masing-masing mendalam dan mendangkal, sehingga pola tersebut terjadi akibat
perubahan paleobatimetri. Apabila dikorelasi dengan kurva eustasi menurut Haq et.al.
(1987), terjadi kenaikan muka air laut yang diikuti penurunan muka air laut pada
waktu pembentukan sekuen ini. Sehingga kemungkinan perubahan paleobatimetri
tersebut dipengaruhi oleh perubahan eustasi.
Sekuen 3
Sekuen 3 teridentifikasi pada kedalaman 646 m – 204 m, yang menghasilkan
Formasi Gumai bagian tengah. Sekuen ini terdiri dari TST (Transgressive System
Tract), dan HST (Highstand System Tract).
Pada sekuen ini, Maximum Flooding Surface (MFS) yang membatasi TST dan
HST teridentifikasi pada kedalaman 440 m. Hal ini sesuai dengan data paleobatimetri
yang mencapai kedalaman Batial Tengah pada sampel tersebut. Selain itu juga
kandungan sedimen berbutir halus yang melimpah pada sampel tersebut memang
menunjukkan bahwa pada umur tersebut pengendapan terjadi pada lingkungan yang
sangat dalam.
Berdasarkan analisis umur, sekuen 3 terjadi pada umur N6 hingga N7 (Miosen
Awal). Sama seperti sekuen 2, pada sekuen ini juga TST dan HST berkorelasi
dengan paleobatimetri yang masing-masing mendalam dan mendangkal, sehingga
pola tersebut terjadi akibat perubahan paleobatimetri.
Apabila dikorelasi dengan kurva eustasi menurut Haq et.al. (1987),
mendalamnya paleobatimetri pada fase TST berkorelasi dengan kenaikan muka air
laut, sehingga dapat disimpulkan bahwa paleobatimetri yang mendalam merupakan
pengaruh dari kenaikan muka air laut. Sedangkan pendangkalan paleobatimetri pada
waktu pembentukan fase HST pada sekuen ini di interpretasikan merupakan
pengaruh dari tektonik. Karena pada kurva eustasi Haq et.al. (1987) pola eustasi
justru cenderung naik. Sehingga di interpretasikan bahwa terjadi uplift selama
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

pembentukan fase HST pada sekuen ini, dan hal tersebut menunjukkan bahwa bagian
atas sekuen ini merupakan fase inversi dari Sub-Cekungan Palembang Selatan.
Sekuen 4
Sekuen 4 teridentifikasi pada kedalaman 204 m – 60 m, yang menghasilkan
Formasi Gumai bagian atas dan Formasi Air Benakat. Sekuen ini hanya terdiri dari
TST (Transgressive System Tract).
Berdasarkan analisis umur, sekuen 3 terjadi pada umur N8 (akhir Miosen
Awal). Apabila dibandingkan dengan pola paleobatimetri, TST pada sekuen ini
cenderung terbentuk pada kondisi paleobatimetri yang mendangkal. Sehingga di
interpretasikan bahwa suplai sedimen pada waktu pembentukan sekuen ini
cenderung sedikit, sehingga menghasilkan pola yang menghalus ke atas meskipun
lingkungan semakin dangkal.
Apabila dikorelasi dengan kurva eustasi menurut Haq et.al. (1987), muka air
laut cenderung stagnan pada waktu pembentukan sekuen ini. Sehingga kemungkinan
perubahan paleobatimetri yang cenderung mendangkal adalah pengaruh dari tektonik
uplift.

5. KESIMPULAN
Sub-Cekungan Palembang Selatan pada daerah penelitian tersusun oleh Formasi
Talang, Baturaja, Gumai, dan Air Benakat, yang memiliki litologi penyusun yang
berbeda-beda. Berdasarkan analisis sekuen stratigrafi, Sub-Cekungan Palembang Selatan
memiliki 4 sekuen pengendapan, dimana ini Sekuen 1 terdiri dari LST (Lowstand System
Tract), TST (Transgressive System Tract), dan HST (Highstand System Tract), Sekuen 2
dan 3 terdiri dari TST (Transgressive System Tract), dan HST (Highstand System Tract),
serta Sekuen 4 terdiri dari TST (Transgressive System Tract).
Dengan melakukan korelasi antara sekuen stratigrafi, paleobatimetri, dan eustasi,
diketahui bahwa terjadi subsidence selama pembentukan LST dan TST sekuen 1 yang
menunjukkan bahwa pada waktu tersebut sedang berlangsung fase syn-rift dari Sub-
Cekungan Palembang Selatan. Sedangkan HST pada sekuen 1 sudah memasuki fase post-
rift. Selain itu juga teridentifikasi terjadinya uplift selama pembentukan sekuen 3 dan 4
yang menunjukkan bahwa pada waktu tersebut mulai berlangsung fase inversi dari
cekungan ini. Kemudian juga teridentifikasi adanya penurunan suplai sedimen pada
sekuen 4 yang ditunjukkan dengan terbentuknya TST ketika terjadi pendangkalan
cekungan.

Acknowledgements
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Departemen Teknik Geologi UGM
yang mendukung penelitian ini melalui hibah penelitian dan memberikan kesempatan
untuk mempresentasikan hasil penelitian dalam Seminar Nasional Kebumian ke-10. Selain
itu juga ucapan terima kasih untuk Bapak Anton Darmawan, Bapak Triputra Agung, dan
Bapak M. Rahadian Wicaksono dari PT. Pertamina EP yang telah membantu penulis
selama pengambilan data. Tak lupa, terima kasih juga kepada Bapak Indra Novian, S.T.,
M.Eng. yang telah memberikan arahan selama penelitian.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

DAFTAR PUSTAKA

Allen, P. A., Allen, J.R., 2005, Basin Analysis Principles and Application 2nd edition,
Blackwell Publishing Company, Oxford.
Barber, A.J., Crow, M.J. & Mmsom, J.S. (eds) 2005. Sumatra: Geology, Resources and
Tectonic Evolution. Geological Society, London, Memoirs, pp. 31
Bishop, G.M., 2001, South Sumatra Basin Province, Indonesia: The Lahat/Talang Akar-
Cenozoic Total Petroleum System. USGS Open File Report 99-50-S, 22 p.
Bolli, H., M., Saunder, J. B., dan Nielsen, Pearch K. 1985. Plankton Stratigraphy.
Cambridge University Press.
Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli Geologi
Indonesia, Jakarta.
Ginger, D., Fielding, K., 2005, The Petroleum Systems and Future Potential of The South
Sumatra Basin, Proceedings of the Indonesian Petroleum Association 30th Annual
Convention and Exhibition, Indonesia.
Haq, E., 1987, Trends, Rhythms, and Aberrations in Global Climate 65 Ma to Present,
Science 292.
Hilman, M., 2012, Geomodeling Sekuen Stratigrafi Dan Perkembangan Reservoar
Batupasir Pada Cekungan Sumatra Selatan Berdasarkan Data Seismik Dan Well
Log, Proceedings of Seminar Nasional UNPAD, Bandung, Indonesia.
Firmansyah, Y., Riaviandhi, D., Muhammad, R., 2016, Sikuen Stratigrafi Formasi Talang
Akar Lapangan “DR”, Sub-Cekungan Jambi, Cekungan Sumatera Selatan. Bulletin
of Scientific Contribution, Volume 14, Nomor 3, Desember 2016 : pp. 263 – 268
Pulunggono, A., Haryo, A., and Kosuma, C.G., 1992, Pre-Tertiary and Tertiary fault
systems as a framework of the South Sumatra Basin : A Study of SAR-Maps,
Proceedings of the Indonesian Petroleum Association 21st Annual Convention,
p.338-360, Jakarta, Indonesia.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

LAMPIRAN

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian, berada di Kecamatan Lokasi Muara Kelingi, Kabupaten Musi
Rawas. Pada gambar, diberi simbol bintang. (Peta Administratif Provinsi Sumatera
Selatan, 2013)

Gambar 2. Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan (Ginger and Fielding, 2005). Formasi
yang termasuk dalam penelitian ini diberi tanda kotak merah.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. Stratigrafi Daerah Penelitian Berdasarkan Data Cutting dan Well Log. Pada gambar telah
dilakukan analisis parasequence dan system tract. a) Kedalaman 50-810 m, b) Kedalaman
810-1668 m.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 4. Korelasi antara Sekuen Stratigrafi, Umur, dan Paleobatimetri.


PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 5. Plate Fossil Foraminifera Plangtonik. 1) Globigerina ciperoensis, 2) Catapsydrax


dissimilis, 3) Globigerina opima nana, 4) Tenuitella munda, 5) Globigerina euapertura,
6) Globigerinoides primordius, 7) Catapsydrax stainforthi, 8) Globigerinoides
altiaperturus, 9) Globigerinoides quadrilobatus, 10) Globorotalia obesa,
11) Globoquadrina dehischens, 12) Globigerinoides obliquus, 13) Praeorbulina sicana,
14) Globorotalia mayeri
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 6. Plate Fossil Foraminifera Bentonik. 1) Pyrgo laevis, 2) Procerolagena gracillima,


3) Miliolina rupertiana, 4) Spriroloculina depressa, 5) Lenticulina denticulifera,
6) Nonion fabum, 7) Haynesia germanica, 8) Uvigerina hollicki, 9) Uvigerina
mediterranea, 10) Praeglobobulimina pupoides, 11) Sigmoilina sigmoidea,
12) Amphicoryna scalaris, 13) Melonis affinis, 14) Praeglobobulimina ovata
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
11 – 12 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 1. Data Paleontologi

Foraminifera Plangtonik Foraminifera Bentonik


No.
Sampel Spesies Penciri Umur Spesies Penciri Paleobatimetri

Praeorbulina sicana, Pyrgo laevis, Procerolagena


SSB 70 N8 Neritik Dalam
Globorotalia mayeri gracillima
Globigerinoides obliquus, Miliolina rupertiana,
SSB 100 N8 - N13 Neritik Tengah
Globigerinoides ruber Spriroloculina depressa

Globigerinoides ruber, Biloculinella depressa, Neritik Tengah -


SSB 200 N5 - N13
Globigerinoides immaturus Lenticulina denticulifera Neritik Luar
Globigerinoides obliquus, Uvigerina hollicki, Neritik Luar -
SSB 220 N8 - N13
Globigerinoides ruber Procerolagena gracillima Batial Atas
Catapsydrax stainforthi, Pyrgoella irregularis, Batial Atas - Batial
SSB 440 N5 - N7
Globorotalia obesa Melonis affinis Tengah
Catapsydrax stainforthi, Uvigerina mediterranea,
SSB 630 N5 - N7 Batial Atas
Globigerinoides immaturus Siphotextularia concava
Catapsydrax stainforthi, Bolivina robusta, Lenticulina Neritik Tengah -
SSB 656 N5 - N7
Globigerina eupertura denticulifera Batial Atas
Globigerina euapertura, Lenticulina denticulifera, Batial Atas - Batial
SSB 832 N5 - N7
Globigerinoides quadrilobatus Uvigerina mediterranea Tengah
Catapsydrax dissimilis, Lenticulina denticulifera,
SSB 856 N5 - N6 Batial Tengah
Globigerinoides quadrilobatus Pyrgoella irregularis

Globigerinoides primordius, Nonion fabum,


SSB 962 N5 Batial Atas
Globigerinoides altiaperturus Praeglobobulimina pupoides

Globigerinoides primordius, Melonis affinis, Neritik Tengah –


SSB 984 N5
Globigerinoides altiaperturus Praeglobobulimina ovata Abisal
Tenuitella munda, Praeglobobulimina ovata,
SSB 1072 N4 Batial Tengah
Globoquadrina dehischens Sigmoilina sigmoidea
Globigerina ciperoensis, Amphicoryna scalaris, Pyrgo Transisi - Neritik
SSB 1402 N2 - N3
Globigerina opima nana laevis Tengah
Globigerina opima nana,
SSB 1650 N2 - N3 Haynesia germanica Transisi
Globigerina tripartita
SSB 1676 - - - Darat – Transisi
SSB 1684 - - - Darat – Transisi

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai