ISSN : 0854-7108
Kajian Psikologis Kebermaknaan Hidup
Sumanto
Perubahan dunia sekitar, baik yang mendapat respon dari „normative
bersifat konstruktif maupun destruktif, theorists“ (Metz, 2002). Debats (1995)
menjadi bagian yang tak terpisahkan berpendapat bahwa kebermaknaan
dengan kehidupan manusia. Setiap merupakan persoalan penting dalam
terjadi perubahan lingkungan, manusia eksistensi manusia, terlebih lagi dalam
harus mengambil keputusan intrinsik‐ masyarakat modern sehingga akhir‐
pribadi sebagai konsekuensi interaksi akhir ini menurut Reker, Wong, and Fry
manusia dengan dunia sekitarnya. mulai mendapat perhatian dalam
Kegagalan manusia dalam menemukan psikologi kontemporer (Harries, 2003).
orientasi intrinsik di tengah berbagai Meskipun kebermaknaan hidup penting
kemungkinan yang tak terhitung untuk dibahas, akan tetapi oleh karena
banyaknya berpotensi menimbulkan masih sedikitnya penelitian di bidang
kecemasan yang menjadi salah satu tersebut, prediksi‐prediksi sebagian
ancaman terhadap kebermaknaan hidup besar harus dilakukan secara teoritis
manusia. Sebaliknya, keberhasilan mene‐ (Harries, 2004).
mukan orientasi dan membuat kepu‐ Menurut Myers (2003), psikologi
tusan prbadi dalam mengatasi krisis sebenarnya dapat berperan membantu
mendatangkan pengalaman‐pengalaman menemukan jawaban atas pertanyaan
emosi positif yang merupakan salah satu faktor‐faktor yang menyebabkan orang
unsur penting dalam kebermaknaan berbahagia di tengah pelbagai
hidup. Yang menjadi masalah bagi setiap perubahan. Meskipun hal tersebut dapat
orang adalah bagaimana cara dilakukan, selama hampir satu abad,
memperoleh kebermaknaan hidup di pertanyaan tentang aspek yang menda‐
tengah lajunya percepatan perubahan tangkan dan meningkatkan kebahagiaan
akibat modernisasi seperti sekarang ini. hampir tidak pernah dijawab,
Kebutuhan akan kebermaknaan pertanyaan lebih banyak difokuskan
sangat mendesak bagi masyarakat pada aspek negatif dari kehidupan
modern, tetapi nampaknya kurang manusia. Perhatian psikolog terhadap
115
116 Sumanto
depresi spiritual dan sikap skeptis mesin dan teknologi. Ia meramalkan
terhadap agama yang melanda masya‐ bahwa manusia akan sarat dengan
rakat luas. Beberapa tahun kemudian, penyamarataan sehingga akan memus‐
Rollo May (1953) mengamati kenyataan nahkan keunikan manusia sebagai
yang tak dapat disangkal bahwa pribadi dan akan menyebabkan timbul‐
manusia hidup dalam abad kecemasan, nya frustasi. Menurut Kirkegaard,
dalam pergolakan standar dan nilai, dan manusia massa membuat individu
dalam ancaman keamanan hidup yang terasing dari dirinya sendiri, mengalami
serius (Wulf, 1999 hal 1). aliensi diri, dan tidak mengalami
Bahaya yang dihadapi manusia pada eksistensinya yang sejati. Eksistensi bagi
abad mesin dan teknologi sudah manusia adalah tugas pribadi sehingga
disampaikan oleh beberapa tokoh harus disertai tanggung jawab; tidak
eksistensialis sejak awal abad 19. Mereka sekedar berada dalam massa eksistensi
juga memiliki berbagai pandangan yang tidak memungkinkan individu
tentang kebermaknaan hidup untuk memilih dan mengambil keputusan serta
menyongsong kedatangan abad modern. bertindak atas tanggung jawab pribadi
Menurut tokoh eksistensialisme (hal. 31). Tokoh eksistensial lain yang
Denmark, Kierkegaard (1813‐1855), hidup sudah menyadari bahaya dampak
bukanlah sekedar sesuatu sebagaimana perubahan akibat modernisasi jauh‐jauh
kita fikirkan, melainkan sebagaimana hari sebelum hal itu menjadi kenyataan
kita hayati (Fuad Hassan, 1992 h.24). antara lain adalah Nietzsche (1844‐1900),
Makin mendalam penghayatan sese‐ Nicholas Alexandrovitch Berdyaev
orang terhadap perihal kehidupan, (1874‐1948), Karl Jaspers (1910‐1969), dan
makin bermaknalah kehidupannya. Jean‐Paul Sartre, tokoh eksistensial
Menurut pendapatnya, penghayatan Perancis yang lahir pada awal abad 20
eksistensial adalah kedekatan dengan (Hassan, 1992)
Tuhan; makin seseorang mendekati Pada dewasa ini terbukti bahwa
kesempurnaan, makin ia membutuhkan modernisasi telah menggeser budaya
Tuhan. tradisional menuju budaya modern yang
Dalam karyanya yang berjudul „The materialistis. Ekploitasi sumber daya
Present Age“ (hal 8) Kierkegaard sudah alam dengan memanfaatkan teknologi
mengingatkan akan adanya bahaya yang canggih menghasilkan kekayaan materi
akan dihadapi manusia akibat muncul‐ yang tidak merata. Akibat kerakusan
nya zaman yang penuh penyamarataan. manusia, baik yang berkelimpahan mau‐
Dengan wawasan yang tajam ia sudah pun yang kekurangan saling bersaing
mengingatkan akan terjadinya masalah sehingga tidak dapat menikmati kesejah‐
yang akan dihadapi manusia pada abad teraan seperti yang diharapkan. Tepat
seperti yang diramalkan Nietzsche pada
Victor Frankl adalah tokoh yang Dunia II. Dalam penyiksaan dan
mula‐mula mendalami kebermaknaan‐ penderitaan tersebut Frankl merasakan
hidup. Secara khusus dalam karir betapa pentingnya kebermaknaan hidup
profesinya, Frankl memfokuskan (Earnshaw, 2004). Dikatakan bahwa
minatnya pada peran kebermaknaan‐ meskipun hubungan antara kesejah‐
hidup dalam psikopatologi dan terapi. teraan dan kebermaknaan‐hidup
Frankl, psikiater asal Wina, pertama kali didukung beberapa penelitian (Debats,
menggunakan istilah logoterapi pada 1990; King & Napa, 1998) perlu disadari
tahun 1920 an. Kemudian menggunakan bahwa kebermaknaan‐hidup dapat
analisis eksistensial sebagai sinonimnya. muncul tanpa kesejahteraan. Seperti
Frankl (Yalom, 1980), lalu menyebut yang digambarkan Frakl (Earnshaw,
pendekatannya, baik dalam konteks 2004) bahwa menderita; hidup dalam
teoritis maupun terapiutis, dengan penyiksaan sebagai tawanan bukan
logoterapi.(logos dalam bahasa Yunani halangan untuk memiliki kebermak‐
artinya makna). Logoterapi berbicara naan‐hidup.
tentang arti eksistensi manusia dan Menurut Frankl, kebermaknaan‐
kebutuhan manusia akan makna dan hidup adalah salah satu prinsip dari
juga teknik‐teknik terapiutis khusus tiga‐prinsip logoterapi yaitu kebebasan
untuk menemukan makna dalam berkeinginan, kebebasan akan keber‐
kehidupan (Schiltz, 1991). maknaan, dan kebermaknaan‐hidup
Kebermaknaan‐hidup merupakan (Koesworo, 1992). Menurut Frankl,
tema sentral teori kepribadian‐eksisten‐ manusia tak bebas kondisi‐kondisi
sial dari Victor Frankl (Earnshaw, 2004). biologis, psikologis, dan sosiologis;
Frankl percaya bahwa kesehatan kondisi yang benar‐benar mengubah
seseorang terutama didukung oleh manusia, namun manusia memiliki
semangat untuk menemukan kebermak‐ reaksi dan mengambil sikap dalam
naan‐hidup dan tujuan eksistensi menangani kondisi‐kondisi tersebut.
pribadinya. Frankl berpendapat bahwa Manusia tak hanya mampu mengambil
idealisme setiap orang adalah ingin sikap terhadap dunia namun juga
menemukan inti dari kebermaknaan‐ sanggup dan bebas mengambil sikap
hidup meskipun dalam kenyataannya untuk mengambil jarak terhadap
hidup membawa manusia dalam dirinya, manusia dapat keluar dari
berbagai penderitaan dan bahkan ruang biologis dan psikologisnya dan
kematian. Dari sumber tersebut masuk ke ruang noologis atau ruang
dikatakan bahwa Frankl melaporkan spiritual. Dimensi inilah yang
pengalamannya pribadinya sebagai menyebabkan manusia hadir sebagai
tawanan, yang mengalami penyiksaan dalam fenomena yang berbeda dengan
luar biasa oleh tentara Nazi pada Perang machluk ciptaan Tuhan yang lain.
Dalam ruang noologis ini terletak individu oleh karena suatu kepribadian
kebebasan berkeinginan yang merupakan yang sehat mengandung tingkat
ciri unik dari keberadaan dan tegangan tertentu antara apa yang telah
pengalaman manusia. Frankl juga dicapai atau diselesaikan dengan apa
berpendapat bahwa manusia dalam yang harus dicapai atau diselesaikan.
berperilaku tidak melulu didorong dan Dengan adanya tegangan ini individu
terdorong untuk mengurangi yang sehat selalu memperjuangkan
ketegangan agar memperoleh tujuan yang memberikan kebermak‐
keseimbangan melainkan mengarahkan naan‐hidup. Dengan perjuangan yang
dirinya sendiri menuju tujuan tertentu terus‐menerus ini menghasilkan
yang layak bagi dirinya, yakni kehidupan yang penuh semangat dan
kebermaknaan‐hidup (keinginan akan gembira. Tanpa adanya kebermaknaan‐
kebermaknaan‐hidup). Kebermaknaan‐ hidup, manusia tidak memiliki alasan
hidup muncul ketika seseorang memulai untuk meneruskan kehidupan.
pematangan spiritual (sejak masa Kebermaknaan‐hidup adalah kualitas
pubertas). penghayatan individu terhadap seberapa
Kebermaknaan‐hidup juga bersifat besar dirinya dapat mengembangkan
personal dan unik sebab individu bebas dan mengaktualisasikan potensi‐potensi
menentukan pilihan caranya sendiri serta kapasitas yang dimilikinya dan
dalam menemukan dan meniciptakan terhadap seberapa jauh dirinya telah
kebermaknaan‐hidup. Menciptakan mencapai tujuan‐tujuan hidupnya,
kebermaknaan‐hidup menjadi tanggung dalam rangka memberi makna kepada
jawab individu dan tidak dapat kehidupannya.
dipercayakan kepada orang lain sebab Frankl (Koesworo, 1987) berpen‐
dia sendiri yang merasakan/mengalami dapat bahwa manusia secara hakiki
kebermaknaan‐kehidupannya. Keber‐ mampu menemukan kebermaknaan‐
maknaan‐hidup berbeda dari orang ke hidup melalui transendensi‐diri.
orang lain, dan bahkan dari momen ke Pendapat tersebut sejalan dengan
momen yang lain. Meskipun demikian, Paloutzian (1981) yang mengemukakan
manusia memiliki kemampuan untuk bahwa perasaan keagamaan yang
menemukan kebermaknaan‐hidup matang akan membantu individu
dalam kondisi apapun bahkan ketika memuaskan “keinginan akan makna”
harus menghadapi situasi yang sungguh dengan mengambil ajaran agama yang
tak menyenangkan. Pencarian keber‐ diterapkan dalam seluruh aspek
maknaan‐hidup merupakan tugas yang kehidupannya.
menyebabkan adanya peningkatan Teori Abraham Maslow. Berbeda
tegangan batin yang merupakan dengan Frankl, Maslow berpendapat
prasyarat bagi kesehatan psikologis
PENGALAMAN
kehidupan sehari‐
hari dan yang
akan datang
KUALITAS
PENGALAMAN KARAKTER
keragaman KESEMPATAN
KEBERMAKNAAN HIDUP
intensitas, ketakutan,
Memperjuangkan nilai kebermaknaan hidup
stabilitas, kebencian,
(pengalaman transendens, kepastian memiliki
frekuensi cinta
hidup menyenangkan sesudah kematian sehingga
ada penerimaan terhadap kematian)
Memiliki tujuan hidup
Merasa terpenuhi tujuan hidupnya atau sedang
dalam proses terpenuhi
Merasakan POREE
Gambar 1. Konsep baru berdasarkan ciri khas universal dan POREE
Diponegoro, M. (2004). Peran Nilai Hassan, F. (1976). Berkenalan dengan
Ajaran Islam terhadapKesejahteraan Eksistensialisme. Jakarta: PT Dunia
Subyektif Remaja Islam. Yogyakarta: Pustaka Jaya.
Fakultas Psikologi UGM, Disertasi. Hogan, J. and Briggs. (1997). Handbook of
Duriez, B., Soenens, B., and Beyers W. Personality Psichology.
(2004). Personality, Identity Styles, and Hurlock, E. B. (1997). Psikologi Perkem‐
Religiosity An integartive study among bangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
late adolescents in Flanders (Belgium). Rentang Kehidupan (Terj. Iswidayanti
Department of Psychology, KU Soedjarwo dan Sijabat). Jakarta:
Leuven, Belgium. Erlangga.
Earnshaw, E.L. (2004). Religious Oreien‐ Jalaludin. (2001). Psikologi Agama.
tation and Meaning in Life: An Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Exploratory Study. MWSC Dept of
Johnson, D.P. (1986). Teori Sosiologi (terj
Psychology Central Methodist
Robert M. Z. Lawung). Jakarta:
College.
Gramedia.
Emmons, R.A. and Paloutzian, R.F.
Jundi, A. (1991). Islam Agama Dunia(Terj
(2003). The Psychology of Religion. doi:
Kathir Suhardi). Solo: Pustaka Mantiq,
10.1146/annrev.psych
1991.
54.101601.145054
Kartono, K. (2000). Hygiene Mental.
Frankl, V.E. (1964). Man’s Searching for
Bandung: Mandar Maju.
Meaning An Introduction to
Logotherapy. London: Hoddder and Kennedy, J.E. and Kanthamani, H.
Stoughton Ltd. (1995). Emperical Support for a Model
of Well Being,Meaning in Life, Impor‐
Halama, P. (2000). Dimensions of Life
tance of Religion, and Transcendent
Meaning as Factors of Coping. Studia
Experiences. Unpublished Manuscipt.
Psychologia: Journal Article, Vol 42
meaning in life\Meaning in Life;
Halonen, J.S. and Santrock, J.W. (1999). References.pdf http://
Psychology Context & Applications. dissertations.ub.rug.nl/FILES/facultie
Boston: third edition, McGraw‐Hill s/ppsw/1996/d.l.h.m.debats
College. referenc.pdf .
Harris, P.R. and Lightsey, Jr.,O.R. (2005). Kennedy, J.E, Kanthamani, dan Palmer,
Constructive Thinking as Mediator J. (1994). Psychic and Spiritual
of the Relationship Between Extra‐ Experiences, Health, Well‐Being and
version, Neuroticism, and Subjective Meaning in Life. Junla Parapsychology,
Well‐Being. Memphis: European vol. 58, Desember, 1994.
Journal of Personality 19: 409‐426.
Koesworo, E. (1987). Psikologi Eksis‐
tensial: Suatu Pengantar. Bandung:
Eresco Langle, Alfried. (2005). The Myers, David G. (2000). Funds, Friends,
Search for Meaning in Life. and Faith of Happy People. American
Existential Analysis 16.1: January Psychologist, 55, 56‐67.
2005. Myers, David. G. (2003). Social
Leath, Colin. (1999). The Experience of Psychology. Boston: McGraw‐Hill.
Meaning in Life from Psichological Paloutzian, R.F. (1981). Purpose in Life
Perspective. University of Washing‐ and Value Changes Following
ton: 10 Januari 1999. Internet Conversion. Journal of Personality and
http://purl.oclc.org/net/cleath/writing Social Psychology 41 (6), 1153‐160.
meaning htm.
Paloutzian, R.F. (1996). Invitation to the
Luh Ketut Suryani. (2005). Reiki Ling Chi: Psychology of Religion. Boston: Allyn
Media Komunikasi Eksklusif Medi‐ and Bacon.
tasi untuk Kesehatan dan Keba‐
Prager, E. (1997). Sources of Personal
hagiaan. Edisi 02 tahun 2005.
Meaning in Life. Journal of Women
Lin, Annie. (2001). Exploring Sources of &Aging. Vol 9(3).
Life Meaning Among Chinese. Tesis
Scannell, D.E., Allen, F.C.L., and Burton,
the Faculty of Graduate Studies
J. (2002). Meaning in Life and
Graduate Counceling Psychology Progr,
Positive and Negative Well‐Being.
Trinity Western University, Sept
North American Journal Psychology,
2001.
Vol 4, No 1.
Maddi, S.R. (1967). The Existential
Schiltz, D. (1991). Psikologi Pertumbuhan.
Neurosis. Journal of Abnormal
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Psychology, 72(4), 311‐325.
Seligman, M.E.P. (1998). Building
Metz T. (2002). Recent Work on The
Human Strength: Psychology’s
Meaning of Life. Ethics 112 (July 2002):
Forgotten Mission. APA Monitor, 29,
78‐814.
(1) January.
Musgrave, Catherine F. and Mc Farlane,
Shimmack, U. et al. (2003). Personality
E. (2004). Intrinsic and Extrinsic
and Life Satisfaction: A Facet Level
Religiosity, Spiritual Well‐Being &
Analysis. Ontario: Departement of
Attitudes Toward Spiritual Care.
Psychology, University of Toronto.
Oncology Nursing Forum‐Vol 31, No
6, 2004. Strinzenec, Michal. (2002). Religiocity
and Cognitive Processes. Dialog and
Myers, David G. dan Diener Ed. (1995).
Universalism No 8‐10/2002.
Who is Happy? Psychological Science,
1995, 6, 10‐19. Slauwarjaya, A. dan Huber (1987).
Mengenal Iman Katholik, Jakarta: PD.
Penerbit Obor.