Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

OTITIS MEDIA AKUT

Disusun oleh :

Nurfayza Magistrani 170100128

PEMBIMBING:
dr. Aliandri, Sp. THT-KL (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU


KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah berjudul ”Otitis Media Akut”. Makalah ini
disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pendidikan
Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Dalam
proses penyusunan makalah ini, penulis menyampaikan penghargaan dan
terima kasih kepada dr. Aliandri, Sp. THT-KL (K) selaku dosen
pembimbing yang telah membimbing dan membantu penulis selama proses
penyusunan makalah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan penulisan makalah di kemudian hari. Akhir kata, semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan
bagi penulisan ilmiah di masa mendatang.

Medan, 29 April 2021

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal :

Nilai :

Penguji

dr. Aliandri, Sp. THT-KL (K)

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................5
1.1 Latar Belakang............................................................................................5
1.2 Tujuan Penulisan........................................................................................5
1.3 Manfaat Penulisan......................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................6
2.1 Anatomi Telinga.........................................................................................6
2.2 Anatomi Telinga Tengah............................................................................6
2.2.1 Membran Timpani.......................................................................6
2.2.2 Kavum Timpani...........................................................................7
2.2.3 Tuba Eustachius...........................................................................8
2.2.4 Prosessus Mastoideus..................................................................9
2.3 Otitis Media Akut.......................................................................................10
2.3.1 Definisi........................................................................................10
2.3.2 Etiologi........................................................................................10
2.3.3 Patofisiologi.................................................................................11
2.3.4 Gejala Klinis................................................................................13
2.3.5 Terapi...........................................................................................14
2.3.6 Komplikasi...................................................................................15
BAB III KESIMPULAN..................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................17

iii
DAFTAR GAMBAR

2.1 Gambar Anatomi Telinga...........................................................................6

2.2 Gambar Kavum Timpani............................................................................7

2.3 Gambar Tuba Eustachius............................................................................9

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah yang berlangsung
kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2010). Yang dimaksud dengan telinga tengah adalah ruang di
dalam telinga yang terletak antara membran timpani dengan telinga dalam serta berhubungan
dengan nasofaring melalui tuba Eustachius. Perjalanan OMA terdiri atas beberapa aspek yaitu
terjadi secara mendadak, di lanjutkan efusi telinga tengah yang dapat berkembang menjadi pus
oleh karena adanya infeksi mikroorganisme, dan akhirnya muncul tanda inflamasi akut, antara lain
otalgia, iritabilitas, dan demam (WHO, 2008). Otitis Media Akut (OMA) adalah salah satu
komplikasi Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) yang paling sering pada anak. Tetapi baru-
baru ini, pengaruh virus pernapasan juga ditekankan sebagai agen penyebab OMA. Telah
diketahui bahwa anakanak dengan infeksi Respiratory Syncytial Virus (RSV) sering berkomplikasi
menjadi OMA (Dubé et al., 2011).
Faktor usia merupakan salah satu faktor resiko yang cukup berkaitan dengan terjadinya
OMA. Kasus OMA secara umum banyak terjadi pada anak- anak dibandingkan kalangan usia
lainnya. Kondisi demikian terjadi karena faktor anatomis, dimana pada fase perkembangan telinga
tengah saat usia anak-anak, tuba Eustachius memang memiliki posisi yang lebih horizontal dengan
drainase yang minimal dibandingkan dengan usia lebih dewasa. Hal inilah yang membuat
kecenderungan terjadinya OMA pada usia anak-anak lebih besar dan lebih ekstrim dibandingkan
usia dewasa (Donaldson, 2010).

1.2 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai etiologi, patofisiologi, dan pemeriksaan
fisik, dll tentang otitis media akut, serta untuk melengkapi tugas kepaniteraan klinik senior (KKS)
di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik Medan

1.3 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai penambah wawasan mengenai otitis media akut
alergi secara lengkap.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga


Telinga dibagi menjadi 3 bagian: telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam (Gambar
2.1). Telinga luar (bagian dari telinga yang dapat dilihat) berfungsi untuk mengumpulkan dan
meneruskan gelombang suara menuju telinga tengah. Struktur telinga tengah mengumpulkan
gelombang suara dan meneruskannya ke bagian yang sesuai pada telinga dalam, yang memiliki
organ sensoris untuk pendengaran dan keseimbangan (Probst, Gerhard dan Iro, 2017).

Gambar 2.1 Anatomi Telinga

2.2 Anatomi Telinga Tengah


Tengah Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani dengan badan kapsul dari
labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang mengandung rantai tulang
pendengaran.Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani tuba Eustachius dan
prosessus mastoideus (Richard dan Gacek, 2016; Dhingra, 2011).

2.2.1 Membran Timpani


Membran timpani ini terdiri dari stratified squamous epithelium pada permukaan lateral dan
epitel respiratorik pada permukaan medial, dan dua lapisan fibrosa yaitu radial dan longitudinal
diantara kedua lapisan epitel tersebut. Membran timpani dibagi atas dua bagian yaitu:
a. Pars tensa
Bagian perifernya membentuk cincin fibrokartilago yang disebut dengan annulus timpanikus yang
mengisi sulkus timpani. Bagian tengahnya terlihat menonjol pada puncak maleus dan disebut
6
dengan umbo. Reflek cahaya dapat dilihat dari puncak maleus ke arah kuadran anteroinferior.
b. Pars flaksida (membran Shrapnel)
Bagian ini berada pada bagian lateral dari prosesus maleus yaitu diantara plika maleolaris anterior
dan posterior (Dhingra, 2011).

Gambar 2.2 Membran Timpani

2.2.2 Kavum Timpani


Kavum timpani letaknya di dalam tulang temporalis yaitu di antara telinga bagian luar dan
telinga bagian dalam. Secara skematis, kavum timpani diumpamakan sebagai sebuah kotak dengan
6 sisi yaitu bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dan dinding
posterior (Gambar 2), (Dhingra, 2011; Mills, Khariwala dan Weber, 2006; Liston danDuval, 1997;
Austin, 1994).
a. Batas atas (atap), dibentuk oleh lempeng tulang tipis yang disebut tegmen timpani yang
memisahkan kavum timpani dengan fosa kranii media. Daerah ini memanjang ke belakang
membentuk atap aditus ad antrum.
b. Batas bawah (lantai), merupakan lempeng tulang tipis yang memisahkan kavum timpani dengan
bulbus jugularis. Terkadang secara kongenital tidak sempurna dan bulbus jugularis dapat menonjol
ke telinga tengah dan hanya dipisahkan oleh mukosa.
c. Batas anterior, merupakan lempeng tulang tipis yang memisahkan kavum timpani dengan arteri
karotis interna dan memiliki 2 saluran yaitu di bagian bawah mengarah ke tuba Eustachius dan
bagian atas ke arah kanalis muskulus tensor timpani.
d. Batas posterior, berhubungan dengan sel-sel udara mastoid. Antrum mastoid merupakan rongga
berisi udara yang menghubungkan bagian atik dengan kavum timpani melalui adanya aditus.
Mastoid terdiri dari tulang korteks yang di bawahnya terdapat sel-sel udara menyerupai sarang
lebah.
e. Batas medial, berhubungan dengan labirin dimana terdapat penonjolan yang disebut dengan

7
promontorium yang merupakan dasar koklea, oval window yang merupakan basis fiksasi untuk
footplate dari stapes, dan round window yang diselubungi oleh membran timpani sekunder.
Kanalis nervus fasialis terletak di bagian atas oval windowdan tulang penutupnya terkadang secara
kongenital dapat mengalami dehisensi sehingga nervus fasialis menjadi lebih terpapar dan rentan
terhadap infeksi.
f. Batas lateral kavum timpani dibentuk oleh membran timpani dan bagian tulang liang telinga.
Membran timpani merupakan suatu membran tipis yang berbentuk oval seperti kerucut pada ujung
liang telinga. Membran timpani ini terdiri dari stratified squamous epithelium pada permukaan
lateral dan epitel respiratorik pada permukaan medial, dan 2 lapisan fibrosa yaitu radial dan
longitudinal di antara kedua lapisan epitel tersebut. Dalam kavum timpani terdapat tulang-tulang
pendengaran yang berhubungan satu sama lainnya, yang terdiri dari: maleus, inkus, dan stapes
yang menghubungkan membran timpani dengan foramen ovale (Dhingra, 2007; Mills, Khariwala
dan Weber, 2006; Liston dan Duvall, 1997).

2.2.3 Tuba Eustachius


Telinga tengah berhubungan dengan nasofaring (bagian atas dari faring), melalui saluran
auditori, dan dengan mastoid air cell, melalui antrum mastoideum. Saluran auditori juga disebut
sebagai pharyngotimpanic tube atau tuba Eustachius. Tuba eustachius adalah suatu saluran yang
menghubungkan nasofaring dengan telinga tengah, yang bertanggung jawab terhadap proses
pneumatisasi pada telinga tengah dan mastoid serta mempertahankan tekanan yang normal antara
telinga tengah dan atmosfer.
Dengan panjang sekitar 37,5 mm, tuba Eustachius terdiri dari 2 bagian. Bagian yang dekat
dengan penghubung telinga tengah merupakan bagian yang sempit dan dibangun oleh tulang
rawan elastin. Bagian yang dekat dengan pembukaan nasofaring merupakan bagian yang luas dan
berbentuk corong. Saluran auditori berfungsi untuk membuat tekanan daerah telinga tengah dan
bagian nasofaring menjadi sama. Sayangnya, saluran auditori ini memungkinkan mikroorganisme
untuk masuk melalui bagian nasofaring menuju ke telinga tengah. Invasi dari mikroorganisme
dapat menyebabkan infeksi pada telinga tengah yang disebut otitis media (Richard dan Gacek,
2016). Pada anak, tuba Eustachius lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal
dari tuba orang dewasa. Panjang tuba orang dewasa adalah 37,5 mm dan pada anak di bawah 9
bulan adalah 17,5 mm (Djaafar, Helmi dan Restuti, 2007).

8
Gambar 2.3 Tuba Eustachius
Lapisan mukosa pada tuba Eustachius merupakan lanjutan dari mukosa nasofaring dan
telinga tengah, dan khas seperti epitel saluran nafas. Perubahan struktur mukosa ini jelas, dimana
glandula mukosa lebih dominan pada muara di nasofaring dan berubah menjadi campuran sel– sel
goblet, kolumnar dan sel-sel bersilia dekat kavum timpani (Rosenfeld et al, 2016).
Otot-otot yang berhubungan dengan tuba eustakius ada 4 jenis yaitu:
1. Musculus Tensor Veli Palatini, disebut juga dilator tuba. Otot ini melekat pada dinding
tulang skapoid dan sepanjang tepi atas tuba eustakius bagian tulang rawan. Otot ini
dipersarafi oleh Nervus Mandibularis
2. Musculus Levator Veli Palatini, melekat pada permukaan bawah tulang rawan tuba.
3. Musculus Salfingofaringeus, merupakan otot yang tipis, melekat pada bagian inferior
tulang rawan tuba dekat muara tuba eustakius di nasofaring. Otot ini berjalan turun dan
kemudian bergabung dengan M. Palatofaringeus.
4. Musculus Tensor Timpani (Rosenfeld et al, 2016; Dhingra, 2011).

2.2.4 Prosessus Mastoideus


Mastoid terdiri dari tulang korteks dengan gambaran seperti sarang lebah. Tergantung pada
pengembangan sel udara, mastoid dibagi atas tiga tipe yaitu: Pada tipe selluler (well pneumatised)
hampir seluruh prosesus mastoid terisi oleh pneumatisasi, tipe diploik pneumatisasi kurang
berkembang dan pada tipe sklerotik tidak terdapat pneumatisasi sama sekali (Dhingra, 2011).
Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang terletak persis di belakang
epitimpanum. Aditus ad antrum adalah saluran yang menghubungkan antrum dengan epitimpani.
Lempeng dura merupakan bagian tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang sekitarnya
yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis disebut lempeng sinus. Sudut sinodura
dapat ditemukan dengan membuang sebersih-bersihnya sel pneumatisasi mastoid di bagian

9
superior inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus (Helmi, 2005).

10
2.3 OTITIS MEDIA AKUT
2.3.1 Definisi
Otitis media akut adalah infeksi pada telinga tengah yang onsetnya bersifat akut, terdapat
tanda efusi pada telinga tengah dan inflamasi telinga tengah. Otitis media adalah istilah umum
untuk inflamasi pada telinga bagian tengah, dan otitis media diklasifikasikan secara klinis menjadi
otitis media akut dan otitis media dengan efusi, otitis media dengan efusi kronis, otitis media
mukoid, dan otitis media supuratif kronis. Otitis media dapat terjadi akibat terganggunya tuba
eusthacius, dimana paling sering disebabkan oleh infeksi virus pada saluran pernafasan atas dan
diperparah oleh infeksi sekunder oleh bakteri (Shaikh dan Hoberman, 2010; Cunningham dkk.,
2012).

2.3.2 Etiologi

Etiologi otitis media dipengaruhi oleh faktor agen, penjamu, dan lingkungan.
Faktor agen terdiri dari patogen bakterial dan viral. Faktor penjamu termasuk genetik,
usia, defisiensi sistem imun, dan abnormalitas anatomis termasuk disfungsi tuba
eustachius. Sedangkan faktor lingkungan di antaranya adalah paparan asap rokok dan
riwayat mendapatkan ASI eksklusif (Baraibar, 1997; Thomas et al., 2014; Waseem,
Aslam and Wilson, 2015).

1. Faktor Agen
Otitis media dapat disebabkan oleh patogen bakteri maupun virus. Otitis media
efusi dahulu dianggap steril dan tidak disebabkan oleh infeksi bakteri maupun virus.
Namun penelitian terbaru menemukan hubungan antara infeksi bakteri dengan otitis media
efusi, dengan bakteri tersering yang sama dengan otitis media akut.
Patogen Bakterial
Lebih dari 95% kasus otitis media akut bakterial disebabkan oleh Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Bakteri gram negatif
lebih banyak ditemukan pada neonatus usia <6 minggu. Sedangkan, pada otitis media
supuratif kronis, bakteri yang umum ditemui adalah Pseudomonas aeruginosa,
Streptococcus aureus, Corynebacterium sp., dan Klebsiella pneumoniae.
Patogen Viral
Infeksi virus pernapasan, seperti virus influenza, rhinovirus, dan adenovirus,
berhubungan dengan terjadinya otitis media pada pasien anak. Infeksi virus akan
menyebabkan terjadinya disfungsi tuba eustachius dan gangguan pada respon imun inang.

2. Faktor Penjamu
11
Faktor pada inang yang berperan terhadap terjadinya otitis media adalah faktor
genetik, usia, defisiensi sistem imun, abnormalitas anatomis, dan disfungsi tuba eustachius.
Faktor Genetik
Faktor genetik diduga berperan terhadap terjadinya otitis media, walau belum
ditemukan gen spesifik yang berperan.
Faktor Usia
Otitis media biasa terjadi pada anak-anak usia hingga 2 tahun dengan puncaknya
terjadi pada usia 6‒12 bulan, dan berkurang sebanyak 2% saat mencapai usia 8 tahun. Hal
ini disebabkan karena sistem imun yang masih imatur pada anak-anak sehingga sangat
rentan terhadap infeksi. Selain itu, perbedaan anatomi tuba eustachius membuat anak-anak
lebih rentan terkena otitis media dibandingkan dengan orang dewasa. Tuba eustachius anak
memiliki bentuk lebih pendek, lebar dan bersudut lebih datar, sehingga meningkatkan
resiko terjadinya disfungsi tuba dan infeksi.
Faktor Defisiensi Sistem Imun
Defisiensi sistem imun seperti akibat infeksi HIV, diabetes melitus, atau pada
sistem imun yang imatur pada neonatus, akan menyebabkan peningkatan progresivitas
penyakit.
Faktor Abnormalitas Anatomis
Anomali anatomi seperti sumbing, Down Syndrome, dan Treacher Collins
syndrome berhubungan dengan tingginya prevalensi otitis media.

Faktor Disfungsi Tuba Eustachius


Abnormalitas fungsi mukosa tuba eustachius akan meningkatkan risiko terjadinya
otitis media efusi.

3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang berhubungan dengan otitis media di antaranya adalah
riwayat menyusui dan paparan asap rokok. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif selama
3‒6 bulan memiliki tingkat insidensi otitis media yang lebih rendah. Sebaliknya, orang
yang terpapar terhadap asap rokok memiliki risiko otitis media yang lebih tinggi. Selain
itu, balita yang dititipkan di tempat penitipan anak juga memiliki risiko otitis media yang
lebih tinggi karena kontak langsung dengan anak-anak lain (Baraibar, 1997; Thomas et
al., 2014; Waseem, Aslam and Wilson, 2015).

2.3.3 Patogenesis

12
Penyebab dari OMA adalah multifaktoral. Umumnya, dua gejala yang paling jelas
didokumentasikan dalam patogenesis OMA adalah infeksi bakteri pada rongga telinga tengah dan
disfungsi tuba Eustachius. Selain itu, dari bukti-bukti yang berkembang menyebutkan peran dari
infeksi saluran nafas atas yang disebabkan virus merupakan penyebab dari kejadian otitis media.
Dalam kebanyakan kasus, ketiga faktor-faktor ini yang biasanya diawali oleh infeksi saluran
nafas atas yang disebabkan oleh virus menyebabkan tidak berfungsinya tuba Eustachius dan
bertambahnya perlengketan dari bakteri di saluran nafas atas, dengan demikian menyebabkan
perubahan regulasi tekanan telinga tengah dan penurunan tekanan telinga tengah. Telinga tengah
yang rendah tekanan yang ditambah dengan penambahan jumlah mikroorganisme di daerah
pembukaan tuba Eustachius memungkinkan bakteri dan/atau virus memasuki rongga timpani dan
menyebabkan supurasi serta berbagai gejala (Ilechukwu et al, 2014; Lee, 2012).
Bakteri penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik, seperti Streptokokus
hemolitikus, Stafilokokus aureus dan Pneumokokus. Selain itu kadang-kadang ditemukan juga
bakteri Hemofilus influenza, Escherichia coli, Streptokokus hemolitikus, Proteus vulgaris dan
Pseudomonas aeruginosa. Pada anak berusia dibawah 5 tahun, penyebab OMA tersering
merupakan Hemofilus influenza (Djaafar, Helmidan Restuti, 2007).
Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas 5 stadium: (1)
stadium oklusi tuba Eustachius, (2) stadium hiperemis, (3) stadium supurasi, (4) stadium perforasi
dan (5) stadium resolusi. Keadaan ini berdasarkan pada gambaran membran timpani yang diamati
melalui liang telinga luar.
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius Stadium dengan gambaran retraksi membran
timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah yang disebabkan
oleh absorpsi udara. Terkadang membran timpani tampak normal atau berwarna
keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, namun tidak dapat dideteksi. Pada
stadium ini sulit dibedakan antara otitis media serosa yang diakibatkan oleh virus
ataupun oleh alergi (Djaafar, Helmi, Restuti, 2007).
2. Stadium Hiperemis Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar
di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem.
Sekret yang terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sulit
dilihat (Kalu et al, 2011).
3. Stadium Supurasi Stadium ini memperlihatkan terjadinya edema yang hebat pada
mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, serta terbentuknya
eksudat yang purulen di kavum timpani, menyebabkan membran timpani
menonjol ke arah liang telinga luar. Keadaan pasien tampak sangat sakit, nadi dan
suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Bila tekanan nanah

13
di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadi iskemia, akibat tekanan pada
kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis
mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai
daerah yang lebih lembek dan berwarna kekuningan, dimana di daerah ini akan
terjadi ruptur. Dengan melakukan miringitomi (insisi membran timpani), maka
luka insisi akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, maka lubang
tempat ruptur (perforasi) tidak mudah menutup kembali (Djaafar, Helmi dan
Restuti, 2007).
4. Stadium Perforasi Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian
antibiotika atau virulensi kuman yang tinggi, dapat terjadi ruptur membran
timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Anak yang
tadinya gelisah sekarang menjadi lebih tenang, suhu badan turun dan anak
tersebut dapat tertidur dengan pulas. Keadaan inilah yang disebut sebagai otitis
media akut stadium perforasi (Kalu et al, 2011).
5. Stadium Resolusi Membran timpani yang utuh akan menjadi normal kembali
secara perlahan-lahan. Selain itu sekret berkurang dan menjadi kering setelah
terjadinya perforasi. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah,
maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan. OMA berubah menjadi
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) bila perforasi menetap dengan sekret yang
terusmenerus keluar atau hilang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa
(sequele) berupa otitis media serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa
terjadinya perforasi (Djaafar, Helmi dan Restuti, 2007).

2.3.4 Gejala Klinis

Otitis Media Akut biasanya berhubungan dengan infeksi virus pada saluran nafas
atas yang merupakan penyakit paling sering pada masa bayi. Namun, untuk
mendiagnosis bisa menjadi sulit terutama pada bayi; OMA bisa saja asimptomatis dan
alat diagnostik dan penunjang yang dapat dilakukan terhadap anak sangat sedikit. Selain
itu, karena memiliki angka kesembuhan spontan yang tinggi, OMA dapat tidak disadari
sehingga jumlah kasusnya juga dianggap rendah.
Gejala klinik OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada
anak yang sudah dapat berbicara, keluhan utamanya adalah rasa nyeri di dalam telinga di
samping suhu tubuh yang tinggi serta diawali dengan riwayat pilek dan batuk
sebelumnya. Pada anak yang lebih besar, selain terdapat rasa nyeri terdapat pula
gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang dengar. Pada bayi
14
dan anak kecil, gejala khas yang muncul adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,50
C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan susah tidur, tiba-tiba anak menjerit sewaktu
tidur, diare, kejang-kejang dan kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi
ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan
anak tertidur tenang (Hansen, 2015; Munir dan Clarke, 2013 ).

2.3.5 Terapi

Pengobatan dari OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pada oklusi


pengobatan terutama bertujuan membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan
negatif di telinga tengah hilang. Obat yang diberikan meliputi HCl efedrin 0,5% dalam
lautan fisiologis untuk anak <12 tahun atau HCL efedrin 1% dalam larutan fisiologik
untuk yang berumur di atas 12 tahun dan pada orang dewasa. Selain itu sumber infeksi
harus di obati. Antibiotika diberikan apabila penyebab penyakit adalah kuman (Granath,
2017; Djaafar, Helmi dan Restuti, 2007).
Pada stadium presupurasi, terapi yang diberikan berupa antibiotika, obat hidung
tetes dan analgetika. Antibiotik yang dianjurkan adalah golongan penisilin atau
ampisilin. Terapi awal diberikan ialah penisilin intramuskular sehingga tidak terjadi
mastoiditis yang terselubung, gejala sisa dan kekambuhan. Pemberian antibiotika
minimal 7 hari dan pasien yang alergi penisilin dapat diganti eritromisin. Ampisilin
diberikan dosis 50- 100 mg/kg BB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40
mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis atau eritromisin 40 mg/kg BB/hari (Granath, 2017).
Pada stadium supurasi selain pemberian antibiotika, dianjurkan melakukan
miringotomi bila membran masih utuh agar gejala klinisnya cepat hilang dan dapat
terhindar dari ruptur (Kalu et al, 2011). Pada stadium perforasi, pengobatan yang diberi
ialah obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat.
Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam waktu 7-10 hari.
Sedangkan stadium resolusi biasanya sekret tidak ada lagi dan perforasi akan menutup.
Bila resolusi tidak terjadi (sekret terus keluar), maka diberikan antibiotika sampai 3
minggu. Jika terus berlanjut maka menjadi otitis media sub akut dan akan ditata laksana
sesuai otitis media sub akut (Djaafar, Helmi dan Restuti, 2007).
Otitis Media Akut akan menunjukkan gejala baik lokak maupun sistemik dengan onset
yang cepat. Hal ini sebagai penyebab utama penggunaan antibiotik pada anak di berbagai negara.
Amoksisilin diketahui sebagai terapi antibiotik awal yang terbaik; pilihan terapi apabila
amoksisilin gagal (atau pasien dengan riwayat alergi dengan penisiln) masih belum jelas; dapat
dipertimbangkan untuk penggunaan trimethoprim-sulfamethoxazole atau eritromisin-

15
sulfamethoxazole. Dosis amoksisilin yang dianjurkan adalah 80 – 90 mg/kg/hari selama 10 hari
pada anak usia < 2 tahun dan 5 – 7 hari pada anak usia > 2 tahun tanpa faktor risiko. Penelitian
menunjukkan bahwa ibuprofen dan acetaminophen memiliki keefektifan yang sama dalam
mengatasi nyeri dan demam, namun tidak mempengaruhi waktu penyembuhan (DeAntonio et al,
2016; Shviro-Roseman et al, 2014; Worrall, 2007).

16
2.3.6 Komplikasi

Pada OMA, komplikasi yang terjadi dapat berupa gangguan pendengaran yang bersifat
ringan dapat terjadi akibat efusi telinga tengah yang persisten, biasanya konduktif dan bersifat
sementara. Gangguan pendengaran sensorineural dapat juga terjadi sebagai komplikasi dari OMA,
tetapi jarang sekali terjadi. Komplikasi lain adalah mastoiditis, petrositis, labirinitis dan parese
nervus fasialis. Di negara - negara berkembang, infeksi supuratif seperti mastoiditis dan meningitis
tetap menjadi komplikasi yang penting OMA, walaupun angka ini sudah jauh berkurang setelah
adanya era antibiotik. Pada kasus OMA yang telah diberi antibiotik, efusi di telinga tengah dapat
bertahan selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan , hal ini dapat menyebabkan gangguan
pendengaran yang dapat menyebabkan gangguan perkembangan bicara, bahasa dan kognitif anak,
terutama apabila terjadi pada usia anak dibawah 2 tahun ( Djaafar, Helmi, Restuti, 2007).

17
BAB III

KESIMPULAN

Otitis media akut adalah infeksi pada telinga tengah yang onsetnya bersifat akut, terdapat
tanda efusi pada telinga tengah dan inflamasi telinga tengah. Otitis media akut adalah penyakit
yang sebenarnya dapat dicegah sedari dini dengan memahami gejala-gejala klinis dan penyakit
yang menyertai sebelumnya. Pada pasien anak-anak kasus sangat sering ditemukan, namun tingkat
kesembuhannya sangat tinggi bahkan dapat dipantau hanya dengan perhatian khusus (watchful
waiting). Pada pasien dewasa diatas 20 tahun kasus jarang ditemukan namun jika ditemukan
kesembuhannya tidak dapat diperoleh dalam waktu singkat bahkan bisa tidak menutup kembali.
Gejala-gejala yang dianggap ringan sebenarnya dapat menjadi malapetaka jika tidak dapat
ditangani dengan baik.
Pemahaman yang baik tentang otitis media akut merupakan bekal yang sangat dibutuhkan
untuk mampu memahami penatalaksanaan dan edukasi yang tepat pada jenjang berikutnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Baraibar, R. (1997) ‘Incidence and risk factors of acute otitis media in


children’, Clinical Microbiology and Infection, 3, pp. 3S13-3S22.
2. DeAntonio R, Yarzabal JP, Cruz JP, Schmidt JE and Kleijnen J. 2016.
Epidemiology of Otitis Media in Children from Developing Countries : a
Systematic Review. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology 85. 65-74.
3. Dhingra. 2011. Anatomy of Ear. In : Diseases of Ear, Nose and Throat,
Ed. 5th . New Delhi.Reed Elsevier India Private Limited. p. 3 – 15
4. Djaffar ZA, Helmi and Restuti RD. 2007. Kelainan Telinga Tengah.
Dalam. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit
FK UI.
5. Granath A. 2017. Recurrent Acute Otitis Media : What Are the Options for
Treatment and Prevention? . Current Otorhinolaryngology. p. 593 – 100.
6. Hansen MP, Howlett J, Del Mar C, and Hoffmann TC. 2015. Parent’s
Beliefs and Knowledge About the Management of Acute Otitis Media : a
Qualitative Study. BMC Family Practice. 16:82.
7. Helmi. 2005. Otitis Media Supuratif, dalam Anatomi Bedah Regio
Temporal Pengetahuan Dasar Terapi Medik Mastoidektomi timpanoplasti,
Balai Penerbit FK UI. Jakarta. p. 4-27.
8. Liston SL and Duvall AJ. 1997. Embriologi, anatomi dan fisiologi telinga.
Dalam: Adams, G.L, Boeis, L.R. dan Highler, P.A., ed. Boeis buku ajar
penyakit THT. Edisi ke-6. EGC. Jakarta, hlm.27-41.
9. Mills JH, Khariwala SS and Weber PC. 2006. Anatomy and Physiology of
Hearing. In B. J. Bailey, J. T. Johnson, & S. D. Newlands, Head & Neck
Surgery - Otolaryngology, 4th Edition (pp. 1883-1903). Philadeplhia:
Lippincott Williams & Wilkins.
10. Munir N and Clarke R. 2013. Acute Otitis Media. Ear Nose and Throat at
a Glance. Wiley-Blackwell. USA
11. Probst R, Gerhard G and Iro H. 2017. Basic Otorhinolaryngology A Step
By Step Learning Guide.Second Edition. Stuttgart: Georg Thieme Verlag
12. Richard R and Gacek MD. 2016. Anatomy of the Auditory and Vestibular
Systems. In: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head And Neck Surgery.
Eighteenth edition. BC Decker, p. 1-15
13. Rosenfeld RM, Shin JJ, Schwartz SR, Coggins R, Gagnon L, Hackell M,
et al. 2016. Clinical practice guideline : Otitis media with effusion. In R.
M. Rosenfeld, Otolaryngology-Head and Neck Surgery (pp. 95-113).
London: American Academy of Pediatrics
14. Thomas, J. P. et al. (2014) ‘Acute otitis media—a structured approach’,
Deutsches Ärzteblatt International, 111(9), p. 151.

19

Anda mungkin juga menyukai