Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 STATUS GIZI

2.1.1 Definisi

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang


dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat gizi untuk mempertahankan
kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal organ tubuh serta untuk menghasilkan
suatu energi untuk beraktifitas (Supariasa, 2012).
Gizi merupakan unsur yang yang sangat penting bagi pembentukan tubuh
manusia yang berkualitas, maka dipelajari tentang cara pemberian makanan pada
bayi dan anak dimana golongan ini merupakan generasi yang akan mengisi masa
depan. Makanan bayi sejak di dalam kandungan sampai lahir, tumbuh dan
berkembang secara normal memerlukan pemenuhan kebutuhan akan pangan dan
zat-zat gizi. Ketidakcukupan zat gizi yang diperlukan akan menimbulkan
gangguan fisiologis dan metabolisme tubuh bayi dan anak (Adriani dan
Wirjatmadi, 2014).

2.1.2 Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi terdiri dari penilaian secara langsung dan penilaian
secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung terbagi menjadi empat
penilaian, yaitu : antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan penilaian
status gizi secara tidak langsung terbagi menjadi tiga, yaitu : survei konsumsi
makanan, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa, 2012).

5
6

A. Penilaian status gizi secara langsung :


1. Antropometri
Secara umum antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari
sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter (Supariasa, 2012). Penilaian Status Gizi Anak ber-
dasarkan indeks adalah sebagai mana terdapat pada tabel dibawah ini :
Kategori Status Ambang Batas
Indeks
Gizi (Z-score)
Berat Badan Menurut Umur Gizi Buruk < -3 SD
(BB/U) Gizi Kurang -3 SD s/d < -2 SD
Gizi Baik -2 SD s/d 2 SD
Anak Umur 0-60 bulan Gizi Lebih > 2 SD

Panjang Badan Menurut Sangat pendek < -3 SD


Umur (PB/U) atau Pendek -3 SD s/d < -2 SD
Tinggi Badan Menurut Umur Normal -2 SD s/d 2 SD
(TB/U) Tinggi > 2 SD

Anak Umur 0-60 bulan


Berat Badan Menurut Sangat kurus < -3 SD
Panjang Badan (BB/PB) Kurus -3 SD s/d < -2 SD
Atau Normal -2 SD s/d 2 SD
Berat Badan Menurut Tinggi
Badan (BB/TB) Gemuk > 2 SD
Anak Umur 0-60 bulan
Sangat kurus < -3 SD
Indeks Massa Tubuh Menurut Kurus -3 SD s/d < -2 SD
Umur(IMT/U) Normal -2 SD s/d 2 SD
Anak Umur 0-60 bulan
Gemuk > 2 SD
Tabel 1.1 Sumber : Kemenkes RI , 2010

Beberapa Indikator antropometri yang digunakan yaitu:


a) Indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Berat Badan adalah suatu
parameter yang memberikan gambaran massa tubuh yang sangat sensitif
terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya terserang penyakit

6
7

infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang


di konsumsi (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
b) Indikator Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) memberikan indikasi
masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang
berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh
atau pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang
mengakibatkan anak menjadi pendek (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
c) Indikator Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) memberikan
indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang
terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat), misalnya terjadi wabah
penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak
menjadi kurus (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Menurut Hartriyanti dan
Triyanti (2007), indikator BB/TB merupakan indikator status gizi saat ini
(Current Nutrition Status), indikator ini dapat digunakan untuk mengetahui
proporsi badan (gemuk, normal, kurus).
d) Indikator menurut Indeks Massa Tubuh Menurut Umur(IMT/U) dapat
digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah kurus dan gemuk
pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif
pada saat dewasa (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
2. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status
gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi
yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada
jaringan epitel (supervisial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan
mukosa oral atau organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti
kelenjar tiroid.

3. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang
diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.

7
8

Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa
jaringan tubuh seperti otot dan hati.
4. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan
dan jaringan.

B. Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga
(Supariasa, 2012), yaitu:
1. Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penilaian status gizi secara
tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
Survei konsumsi makanan terbagi atas dua, yaitu :
a) Metode kuantitatif adalah metode survei konsumsi makanan untuk
mengetahui jumlah konsumsi bahan makanan sehingga dapat dihitung
konsumsi zat gizi seperti recall 24 jam.
b) Metode kualitatif adalah metode survei konsumsi makanan untuk
mengetahui data frekuensi konsumsi bahan makanan atau makanan jadi
dan menggali informasi mengenai pola konsumsi bahan makanan
individu.
2. Statistik vital, pengukuran status gizi dengan menganalisis data beberapa
statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan
dan kematian akibat penyebab tertentu data lainnya yang berhubungan
dengan gizi.
3. Faktor ekologi mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah
ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan
budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan
ekologi, seperti : iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.
2.2 INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA)

2.2.1 Pengertian ISPA

8
9

Menurut WHO Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di definisikan


sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh agen infeksius
yang ditularkan dari manusia kemanusia. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu
dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari (WHO, 2007).
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyebab terpenting
morbiditas dan mortalitas pada anak. Yang dimaksud infeksi saluran pernapasan
adalah mulai dari infeksi saluran atas dan adneksanya hingga parenkim paru.
Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung hingga 14 hari (Wantania et al,
2010).
ISPA adalah infeksi saluran pernafasan akut akibat masuknya
kuman/mikroorganisme ke dalam tubuh yang berlangsung selama 14 hari dengan
keluhan batuk disertai pilek, sesak nafas dengan atau tanpa demam. ISPA
dibedakan menjadi dua yaitu saluran pernafasan atas seperti rhinitis, fharingitis
dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis, bronchitis,
bronchiolitis dan pneumonia (Rahmayatul, F., 2013)

2.2.2 Etiologi

Penyebab ISPA dapat berupa bakteri maupun virus. Bakteri penyebabnya


antara lain dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus,
Bordotella dan Korinebakterium.Virus penyebabnya antara lain golongan
Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, dan
Herpervirus. Sekitar 90-95 % penyakit ISPA disebabkan oleh virus. Penyakit

9
10

ISPA khususnya pneumonia masih merupakan penyakit utama penyebab


kesakitan dan kematian balita. Keadaan ini berkaitan erat dengan berbagai kondisi
yang melatarbelakanginya seperti malnutrisi juga kondisi lingkungan baik polusi
di dalam rumah berupa asap maupun debu (Rahmayatul, F., 2013).

2.2.3 Klasifikasi

Menurut Hartono & Rahmawati (2012) adapun klasifikasi penyakit ISPA


pada balita sebagai berikut:
1. Untuk kelompok umur 2 bulan sampai <5 tahun klasifikasi dibagi atas yaitu:
a. Pneumonia berat, jika batuk disertai sesak nafas yaitu adanya tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas.
b. Pneumonia, batuk dengan tanda-tanda tidak ada tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam, namun disertai nafas cepat (50kali atau
lebih/menit untuk umur 2 bulan sampai <1 tahun, dan 40 kali atau
lebih/menit) untuk umur 12 bulan sampai <5 tahun).
c. Bukan Pneumonia, batuk pilek biasa dan tidak ditemukan tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat.
2. Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas yaitu:
a. Pneumonia berat, bila batuk disertai nafas cepat (60 kali atau lebih
/menit) dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang kuat.
b. Bukan Pneumonia, bila batuk pilek tidak disertai nafas cepat
(<60kali/menit) dan tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam.

2.2.4 Tanda dan gejala

Gejala ISPA dibagi menjadi 3, yaitu :


1. Gejala ISPA ringan
Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu
atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
11

a. Batuk
b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan seperti pada
waktu berbicara atau menangis
c. Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C

2. Gejala ISPA sedang


Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala
ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a. Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur
Kelompok umur <2 bulan : 60 kali pe rmenit atau lebih
Kelompok umur 2 - <12 bulan : 50 kali per menit atau lebih
Kelompok umur 12 bulan - <5 tahun : 40 kali per menit atau lebih
b. Suhu tubuh lebih dari 39° C
c. Tenggorokan berwarna merah
d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f. Pernapasan berbunyi seperti mengorok/mendengkur

3. Gejala ISPA berat


Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-
gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut :
a. Bibir atau kulit membiru
b. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
c. Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
d. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernapas
e. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
f. Tenggorokan berwarna merah
(Depkes RI, 2013)
12

2.2.5 Patofisiologi

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus


dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan
menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran pernafasan bergerak ke
atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tanggapan refleks spasmus
oleh laring. Jika refleks tersebut gagal virus akan merusak lapisan epitel dan
lapisan mukosa saluran pernafasan (Atirah, 2014).
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder
bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadinya kerusakan mekanisme
mukosiliaris yang merupakan mekanisme pada saluran pernafasan terhadap
infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada
saluran pernafasan atas seperti Streptococcus Pneumonia, haemophylus, infulenza,
dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut. Infeksi sekunder
bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat
saluran pernafasan sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang
produktif (Atirah, 2014).
Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya faktor-faktor seperti
kedinginan dan maltnutrisi. Virus yang menyerang saluran pernafasan atas dapat
menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan
kejang, demam, dan juga menyebar ke saluran pernafasan bawah. Dampak infeksi
sekunder bakteri pun menyerang saluran pernafasan bawah, sehingga bakteri-
bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah
terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan
pneumonia bakteri (Atirah, 2014).

2.2.6 Faktor Resiko


Faktor risiko adalah faktor atau keadaan yang mengakibatkan seorang
anak rentan menjadi sakit atau sakitnya menjadi berat. Berbagai faktor risiko yang
meningkatkan kejadian, beratnya penyakit dan kematian karena pneumonia
(Kartasasmita, 2010).
13

Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA terbagi atas dua
kelompok besar yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik
meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir rendah, status
imunisasi, pemberian ASI, dan pemberian vitamin A . Faktor ekstrinsik meliputi
kepadatan tempat tinggal, kondisi fisik rumah, kebiasaan merokok (Milo, S.,
2015).

Faktor – faktor yang berperan pada kejadian ISPA adalah sebagai berikut :
1) Faktor intrinsik
a. Usia
Anak balita, khususnya batita rentan terkena penyakit ISPA karena sistem
imunitas anak masih lemah (belum sempurna) sehingga lebih beresiko terkena
pajanan penyakit. Selain itu, tingginya risiko ISPA pada anak yang berusia <36
bulan kemungkinan disebabkan karena pada usia tersebut anak lebih banyak
melakukan aktivitas di dalam rumah sehingga rentan terpajan faktor lingkungan,
seperti anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat nyamuk bakar di dalam
rumah, dan juga sumber infeksi yang berasal dari keluarga (Tandipayuk, A.D.,
2015).
b. Jenis Kelamin
Anak dengan jenis kelamin laki-laki lebih sering terkena ISPA dari pada
anak perempuan, kemungkinan karena aktivitas anak laki-laki lebih banyak dari
anak perempuan, sehingga peluang untuk terpapar oleh bahan pencemar dalam
ruangan maupun luar ruangan akan lebih besar (Tandipayuk, A.D., 2015).
c. Status Gizi
Salah satu faktor yang dapat menimbulkan terjadinya ISPA pada balita
adalah status gizi, dimana status gizi yang kurang merupakan hal yang
memudahkan proses terganggunya sistem hormonal dan pertahanan tubuh pada
balita. Pada kasus gizi kurang, individu akan lebih rentan terhadap infeksi akibat
menurunnya kekebalan tubuh terhadap invasi patogen. Kekurangan gizi dapat
terjadi dari tingkat ringan sampai dengan tingkat berat dan terjadi secara perlahan-
lahan dalam waktu yang cukup lama. Balita yang kurang gizi mempunyai risiko
14

meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang mempunyai status gizi yang baik
(Hadiana, S.Y., 2013).
d. BBLR
Balita dengan BBLR rentan terkena ISPA disebabkan karena bayi BBLR
memiliki pertahanan tubuh yang belum sempurna yang menyebabkan daya tahan
tubuh yang rendah. Selain itu, bayi BBLR memiliki pusat pengaturan pernapasan
belum sempurna, surfaktan paru-paru masih kurang, otot pernapasan dan tulang
iga lemah sehingga bayi dengan BBLR rentan mengalami infeksi paru-paru dan
gagal pernapasan (Tandipayuk, A.D., 2015).
e. Status Imunisasi
Imunisasi melindungi anak terhadap beberapa Penyakit yang Dapat Dicegah
dengan Imunisasi (PD3I). Anak yang telah diberi imunisasi akan terlindungi dari
berbagai penyakit berbahaya yang dapat menimbulkan kecacatan atau kematian.
Pemberian imunisasi campak dapat mencegah kejadian penyakit ISPA pada balita
yang merupakan penyebab utama kematian balita dari penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi. Balita yang mendapatkan imunisasi lengkap apabila
terkena ISPA diharapkan penyakitnya tidak akan berkembang menjadi lebih berat
(Tandipayuk, A.D., 2015).
f. Pemberian ASI
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan terbaik untuk bayi yang
mengandung sel darah putih, protein dan zat kekebalan yang cocok untuk bayi.
ASI membantu pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal serta
melindungi terhadap penyakit (Tandipayuk, A.D., 2015). ASI bukan hanya
merupakan sumber nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai sumber zat
antimikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja
secara sinergis membentuk sistem biologis. ASI dapat memberikan imunisasi
pasif melalui penyampaian antibodi dan sel-sel imunokompeten ke permukaan
saluran pernafasan atas (Ita, K., 2010).
g. Pemberian suplemen vitamin A
Vitamin adalah zat yang sangat penting bagi tubuh manusia untuk
pertumbuhan dan perkembangan. Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang
15

dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk
oleh tubuh (Kurratun, A., 2015).
Pemberian vitamin A pada balita sangat berperan untuk masa
pertumbuhannya, daya tahan tubuh dan kesehatan terutama pada penglihatan,
reproduksi, sekresi mukus dan untuk mempertahankan sel epitel yang mengalami
diferensiasi (Ita, K., 2010).
Defisiensi vitamin A merupakan salah satu faktor yang mem-pengaruhi
kejadian ISPA pada balita terutama terhadap pneumonia. Kekurangan vitamin A
akan menyebabkan keratinisasi mukosa saluran pernapasan dan penurunan fungsi
cilia serta sekresi mukus pada sel epitel saluran pernapasan sehingga akan
menyebabkan tubuh terkena infeksi (Kurratun, A., 2015).

2) Faktor Lingkungan
a. Rumah
Rumah merupakan stuktur fisik, dimana orang menggunakannya untuk
tempat berlindung yang dilengkapi dengan fasilitas dan pela-yanan yang
diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani, rohani dan
keadaan sosialnya yang baik untuk keluarga dan individu (Ita, K., 2010).
Pencahayaan alami adalah penerangan rumah secara alami oleh sinar
matahari melalui jendela, lubang angin dan pintu dari arah timur di pagi hari dan
barat di sore hari. Pencahayaan alami sangat penting dalam menerangi rumah
untuk mengurangi kelembaban. Rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk
cahaya matahari dari arah barat dan timur sekurang-kurangnya 15%-20% dari luas
lantai yang terdapat didalam rumah. Selain berguna untuk pencahayaan, sinar ini
juga mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk atau serangga lainnya
dan membunuh kuman penyebab penyakit tertentu (Suryani, I., et al 2015).
Ventilasi adalah saluran udara untuk proses pergantian udara segar ke dalam
dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup. Dengan adanya
ventilasi yang baik maka udara segar dapat dengan mudah masuk ke dalam
rumah. Rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan akan
mempengaruhi kesehatan penghuni rumah. Hal ini disebabkan karena proses
16

pertukaran aliran udara dari luar ke dalam rumah tidak lancar sehingga bakteri
penyebab ISPA yang ada di rumah tidak dapat keluar (Suryani, I., et al 2015).
Jendela rumah berfungsi sebagai ventilasi, merupakan tempat keluar
masuknya udara. Selain itu jendela juga berfungsi untuk tempat masuknya cahaya
matahari. Ventilasi sangat mempengaruhi kualitas udara dalam rumah. Namun hal
ini tidak akan berfungsi dengan baik apabila ventilasi tersebut berupa jendela
namun tidak pernah dibuka. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
didapatkan bahwa kejadian ISPA pada balita lebih tinggi pada rumah dengan
jendela yang jarang dan tidak pernah dibuka (91.7%) dibandingkan dengan
jendela yang selalu dibuka (57.1%) (Suryani, I., et al 2015).
Salah satu faktor penyebab ISPA juga yaitu keadaan lingkungan fisik dan
pemeliharaan lingkungan rumah. Pemeliharaan lingkungan rumah dengan cara
menjaga kebersihan di dalam rumah, mengatur pertukaran udara dalam rumah,
menjaga kebersihan lingkungan luar rumah dan mengusahakan sinar matahari
masuk ke dalam rumah di siang hari, supaya pertahanan udara di dalam rumah
tetap bersih sehingga dapat mencegah kuman dan termasuk menghindari
kepadatan penghuni karena dianggap risiko meningkatnya terjadinya ISPA
(Suryani, I., et al 2015).
b. Kepadatan Hunian
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh
bagi penghuninya. Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya
oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama
ISPA akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lainnya. Pada penelitian
ini balita yang menderita ISPA sebagian besar memiliki kepadatan tempat tinggal
yang kurang, namun masih ada sebagian kecil responden masuk ke dalam kategori
cukup dan baik dalam kepadatan tempat tinggal (Hayati, S., 2014).
Kepadatan hunian ruang tidur balita yang tidak memenuhi syarat akan
menghalangi proses pertukaran udara bersih sehingga ke-butuhan udara bersih
tidak terpenuhi dan mengakibatkan terjadinya penyakit ISPA, hal ini diperberat
apabila salah satu anggota keluarga yang tidur bersama balita menderita penyakit
17

ISPA, sehingga menularkan mikroorganisme penyebab ISPA kepada balita


melalui udara yang dihirup oleh balita pada saat tidur (Ita, K., 2010).
c. Kebiasaan merokok
Badan Lingkungan Hidup Amerika (EPA /Environmental Protection
Agency) mencatat tidak kurang dari 300.000 anak berusia 1-5 tahun menderita
bronkhitis dan pneumonia karena turut meng-hisap asap rokok yang dihembuskan
orang disekitarnya terutama ayah dan ibunya.Populasi yang sangat rentan
terhadap asap rokok adalah anak-anak karena mereka menghirup udara lebih
sering dari pada orang dewasa. Organ anak-anak masih lemah sehingga rentan
terhadap gangguan dan masalah sehingga jika terkena dampak buruk maka
perkembangan organnya tidak sesuai dengan semestinya (Suryani, I., et al 2015).
Asap rokok dari penghuni rumah yang tinggal satu atap dengan balita
merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius serta akan
menambah risiko kesakitan pada balita. Paparan yang terus-menerus akan
menimbulkan gangguan per-napasan terutama memperberat timbulnya ISPA.
Semakin banyak rokok yang dihisap oleh keluarga maka semakin besar
memberikan risiko terhadap kejadian ISPA (Suryani, I., et al 2015).
Pada keluarga yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai
kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari keluarga
yang tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa episode ISPA
meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok. Pada anak-anak yang memiliki
anggota keluarga yang merokok sehingga menjadi perokok pasif, paparan asap
rokok tersebut terbukti sangat berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan
atas maupun bawah, seperti flu, otitis media, bronchitis, pneumonia, dan infeksi
bakteri yang berat lainnya. Paparan kronis asap rokok dapat mengakibatkan
perubahan kuantitas dan komposisi lapisan mukosa saluran napas, menyebabkan
gangguan pembersihan mukosa siliar pathogen dan perubahan pada kondisi
hidrasi mukosa, sehingga terjadi peningkatan kolonisasi bakteri pathogen dalam
lumen saluran pernapasan (Ita, K., 2010).
18

2.2.7 Penatalaksanaan
A. Golongan umur dibawah 2 bulan,tatalaksananya yaitu :
1. Pneumonia Berat
a) Rujuk segera ke rumah sakit
b) Beri 1 dosis antibiotik
c) Obati demam, jika ada
d) Obati wheezing, jika ada
e) Anjurkan ibunya untuk tetap memberikan ASI
2. Bukan pneumonia
a) Nasihati ibu untuk perawatan di rumah/ menjaga bayi tetap hangat
b) Memberi ASI lebih sering
c) Membersihkan lubang hidung jika mengganggu pemberian ASI
d) Anjurkan ibu untuk kembali kontrol jika : Pernapasan menjadi cepat atau
sukar, kesulitan minum ASI, sakitnya bertambah parah
B. Golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun.
1. Pneumonia berat
a) Rujuk segera ke rumah sakit
b) Beri satu dosis antibiotik
c) Obati demam, jika ada
d) Obati wheezing jika ada
2. Pneumonia
a) Nasihati ibunya untuk tindakan perawatan di rumah
b) Beri antibiotik selama tiga hari
c) Anjurkan ibu untuk kontrol lebih cepat bila keadaan anak memburuk
d) Obati demam, jika ada
e) Obati wheezing jika ada
3. Batuk Bukan pneumonia
a) Bila batuk > 3 minggu , rujuk
b) Nasihati ibunya untuk tindakan perawatan di rumah
c) Obati demam, jika ada
d) Obati wheezing jika ada
19

Penatalaksanaan non medikamentosa diantaranya adalah bed rest atau


istirahat total, kompres air hangat untuk menurunkan demam, diet gizi seimbang,
perbanyak minum air putih, dan hindari udara dingin, debu, dan polusi
(Widoyono, 2011).
Penatalaksanaan medikamentosa yaitu dengan pemberian obat simptomatis
seperti : Paracetamol, CTM, efedrin/pseudoefedrin, pred-nisone, ambroxol, GG,
Dextromethorphan. Untuk menurunkan panas, batuk, pilek, dan inflamasi yang
terjadi pada saluran pernafasan atas. Antibiotik biasanya juga diberikan mengingat
faktor lingkungan dan faktor pejamu yang mungkin kurang baik. Antibiotik yang
umumnya digunakan yaitu amoxicillin, penicillin, atau ampisilin (Widoyono,
2011).

2.2.8 Pencegahan

Pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:


2. Menjaga Keadaan gizi agar tetap baik
a. Memberikan bayi makanan padat sesuai dengan umur
b. Pada bayi dan anak , makanan harus mengandung gizi cukup yaitu
mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral.
3. Imunisasi Lengkap
Memberikan Imunisasi sangat di perlukan baik pada anak–anak maupun
orang dewasa. imunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh kita supaya
tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh virus atau
bakteri.
4. Menjaga Kebersihan Perorangan dan Lingkungan
a. Tubuh anak di jaga agar tetap bersih
b. Lingkungan hidup agar tetap bersih dan sehat
c. Aliran udara dalam rumah harus cukup baik
d. Asap tidak boleh berkumpul dalam rumah
e. Orang dewasa tidak boleh merokok di dekat anak
20

4. Mencegah anak berhubungan langsung dengan anak penderita ISPA.


Jika orang dewasa menderita ISPA dalam keluarga hendaknya memakai
penutup hidung dan mulut untuk mencegah penularan pada anak – anak dalam
keluarga tersebut.
5. Pengobatan segera
a. Anak yang menderita ISPA harus diobati segera dan dirawat dengan baik
untuk mencegah penyakit menjadi bertambah buruk.
b. Memeriksakan anak secara teratur ke puskesmas. (Intan, 2014) .

2.3 Kerangka Konsep

Pneumonia Berat
ISPA Klasifikasi Pneumonia

Bukan Pneumonia

Gangguan Metabolisme, Gangguan Penyerapan,


dan Penurunan Selera Makan

Status Gizi

Lebih Baik Kurang Buruk

Keterangan :
: Variabel diteliti
: Variabel tidak diteliti

2.4 Hipotesis

H0 : Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
Ruang Rawat Inap RSU Anutapura Palu

H1 : Ada hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Ruang Rawat
Inap RSU Anutapura Palu

Anda mungkin juga menyukai