TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Penilaian status gizi terdiri dari penilaian secara langsung dan penilaian
secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung terbagi menjadi empat
penilaian, yaitu : antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan penilaian
status gizi secara tidak langsung terbagi menjadi tiga, yaitu : survei konsumsi
makanan, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa, 2012).
5
6
6
7
3. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang
diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.
7
8
Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa
jaringan tubuh seperti otot dan hati.
4. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan
dan jaringan.
B. Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga
(Supariasa, 2012), yaitu:
1. Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penilaian status gizi secara
tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
Survei konsumsi makanan terbagi atas dua, yaitu :
a) Metode kuantitatif adalah metode survei konsumsi makanan untuk
mengetahui jumlah konsumsi bahan makanan sehingga dapat dihitung
konsumsi zat gizi seperti recall 24 jam.
b) Metode kualitatif adalah metode survei konsumsi makanan untuk
mengetahui data frekuensi konsumsi bahan makanan atau makanan jadi
dan menggali informasi mengenai pola konsumsi bahan makanan
individu.
2. Statistik vital, pengukuran status gizi dengan menganalisis data beberapa
statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan
dan kematian akibat penyebab tertentu data lainnya yang berhubungan
dengan gizi.
3. Faktor ekologi mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah
ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan
budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan
ekologi, seperti : iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.
2.2 INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA)
8
9
2.2.2 Etiologi
9
10
2.2.3 Klasifikasi
a. Batuk
b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan seperti pada
waktu berbicara atau menangis
c. Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C
2.2.5 Patofisiologi
Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA terbagi atas dua
kelompok besar yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik
meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir rendah, status
imunisasi, pemberian ASI, dan pemberian vitamin A . Faktor ekstrinsik meliputi
kepadatan tempat tinggal, kondisi fisik rumah, kebiasaan merokok (Milo, S.,
2015).
Faktor – faktor yang berperan pada kejadian ISPA adalah sebagai berikut :
1) Faktor intrinsik
a. Usia
Anak balita, khususnya batita rentan terkena penyakit ISPA karena sistem
imunitas anak masih lemah (belum sempurna) sehingga lebih beresiko terkena
pajanan penyakit. Selain itu, tingginya risiko ISPA pada anak yang berusia <36
bulan kemungkinan disebabkan karena pada usia tersebut anak lebih banyak
melakukan aktivitas di dalam rumah sehingga rentan terpajan faktor lingkungan,
seperti anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat nyamuk bakar di dalam
rumah, dan juga sumber infeksi yang berasal dari keluarga (Tandipayuk, A.D.,
2015).
b. Jenis Kelamin
Anak dengan jenis kelamin laki-laki lebih sering terkena ISPA dari pada
anak perempuan, kemungkinan karena aktivitas anak laki-laki lebih banyak dari
anak perempuan, sehingga peluang untuk terpapar oleh bahan pencemar dalam
ruangan maupun luar ruangan akan lebih besar (Tandipayuk, A.D., 2015).
c. Status Gizi
Salah satu faktor yang dapat menimbulkan terjadinya ISPA pada balita
adalah status gizi, dimana status gizi yang kurang merupakan hal yang
memudahkan proses terganggunya sistem hormonal dan pertahanan tubuh pada
balita. Pada kasus gizi kurang, individu akan lebih rentan terhadap infeksi akibat
menurunnya kekebalan tubuh terhadap invasi patogen. Kekurangan gizi dapat
terjadi dari tingkat ringan sampai dengan tingkat berat dan terjadi secara perlahan-
lahan dalam waktu yang cukup lama. Balita yang kurang gizi mempunyai risiko
14
meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang mempunyai status gizi yang baik
(Hadiana, S.Y., 2013).
d. BBLR
Balita dengan BBLR rentan terkena ISPA disebabkan karena bayi BBLR
memiliki pertahanan tubuh yang belum sempurna yang menyebabkan daya tahan
tubuh yang rendah. Selain itu, bayi BBLR memiliki pusat pengaturan pernapasan
belum sempurna, surfaktan paru-paru masih kurang, otot pernapasan dan tulang
iga lemah sehingga bayi dengan BBLR rentan mengalami infeksi paru-paru dan
gagal pernapasan (Tandipayuk, A.D., 2015).
e. Status Imunisasi
Imunisasi melindungi anak terhadap beberapa Penyakit yang Dapat Dicegah
dengan Imunisasi (PD3I). Anak yang telah diberi imunisasi akan terlindungi dari
berbagai penyakit berbahaya yang dapat menimbulkan kecacatan atau kematian.
Pemberian imunisasi campak dapat mencegah kejadian penyakit ISPA pada balita
yang merupakan penyebab utama kematian balita dari penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi. Balita yang mendapatkan imunisasi lengkap apabila
terkena ISPA diharapkan penyakitnya tidak akan berkembang menjadi lebih berat
(Tandipayuk, A.D., 2015).
f. Pemberian ASI
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan terbaik untuk bayi yang
mengandung sel darah putih, protein dan zat kekebalan yang cocok untuk bayi.
ASI membantu pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal serta
melindungi terhadap penyakit (Tandipayuk, A.D., 2015). ASI bukan hanya
merupakan sumber nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai sumber zat
antimikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja
secara sinergis membentuk sistem biologis. ASI dapat memberikan imunisasi
pasif melalui penyampaian antibodi dan sel-sel imunokompeten ke permukaan
saluran pernafasan atas (Ita, K., 2010).
g. Pemberian suplemen vitamin A
Vitamin adalah zat yang sangat penting bagi tubuh manusia untuk
pertumbuhan dan perkembangan. Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang
15
dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk
oleh tubuh (Kurratun, A., 2015).
Pemberian vitamin A pada balita sangat berperan untuk masa
pertumbuhannya, daya tahan tubuh dan kesehatan terutama pada penglihatan,
reproduksi, sekresi mukus dan untuk mempertahankan sel epitel yang mengalami
diferensiasi (Ita, K., 2010).
Defisiensi vitamin A merupakan salah satu faktor yang mem-pengaruhi
kejadian ISPA pada balita terutama terhadap pneumonia. Kekurangan vitamin A
akan menyebabkan keratinisasi mukosa saluran pernapasan dan penurunan fungsi
cilia serta sekresi mukus pada sel epitel saluran pernapasan sehingga akan
menyebabkan tubuh terkena infeksi (Kurratun, A., 2015).
2) Faktor Lingkungan
a. Rumah
Rumah merupakan stuktur fisik, dimana orang menggunakannya untuk
tempat berlindung yang dilengkapi dengan fasilitas dan pela-yanan yang
diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani, rohani dan
keadaan sosialnya yang baik untuk keluarga dan individu (Ita, K., 2010).
Pencahayaan alami adalah penerangan rumah secara alami oleh sinar
matahari melalui jendela, lubang angin dan pintu dari arah timur di pagi hari dan
barat di sore hari. Pencahayaan alami sangat penting dalam menerangi rumah
untuk mengurangi kelembaban. Rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk
cahaya matahari dari arah barat dan timur sekurang-kurangnya 15%-20% dari luas
lantai yang terdapat didalam rumah. Selain berguna untuk pencahayaan, sinar ini
juga mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk atau serangga lainnya
dan membunuh kuman penyebab penyakit tertentu (Suryani, I., et al 2015).
Ventilasi adalah saluran udara untuk proses pergantian udara segar ke dalam
dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup. Dengan adanya
ventilasi yang baik maka udara segar dapat dengan mudah masuk ke dalam
rumah. Rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan akan
mempengaruhi kesehatan penghuni rumah. Hal ini disebabkan karena proses
16
pertukaran aliran udara dari luar ke dalam rumah tidak lancar sehingga bakteri
penyebab ISPA yang ada di rumah tidak dapat keluar (Suryani, I., et al 2015).
Jendela rumah berfungsi sebagai ventilasi, merupakan tempat keluar
masuknya udara. Selain itu jendela juga berfungsi untuk tempat masuknya cahaya
matahari. Ventilasi sangat mempengaruhi kualitas udara dalam rumah. Namun hal
ini tidak akan berfungsi dengan baik apabila ventilasi tersebut berupa jendela
namun tidak pernah dibuka. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
didapatkan bahwa kejadian ISPA pada balita lebih tinggi pada rumah dengan
jendela yang jarang dan tidak pernah dibuka (91.7%) dibandingkan dengan
jendela yang selalu dibuka (57.1%) (Suryani, I., et al 2015).
Salah satu faktor penyebab ISPA juga yaitu keadaan lingkungan fisik dan
pemeliharaan lingkungan rumah. Pemeliharaan lingkungan rumah dengan cara
menjaga kebersihan di dalam rumah, mengatur pertukaran udara dalam rumah,
menjaga kebersihan lingkungan luar rumah dan mengusahakan sinar matahari
masuk ke dalam rumah di siang hari, supaya pertahanan udara di dalam rumah
tetap bersih sehingga dapat mencegah kuman dan termasuk menghindari
kepadatan penghuni karena dianggap risiko meningkatnya terjadinya ISPA
(Suryani, I., et al 2015).
b. Kepadatan Hunian
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh
bagi penghuninya. Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya
oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama
ISPA akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lainnya. Pada penelitian
ini balita yang menderita ISPA sebagian besar memiliki kepadatan tempat tinggal
yang kurang, namun masih ada sebagian kecil responden masuk ke dalam kategori
cukup dan baik dalam kepadatan tempat tinggal (Hayati, S., 2014).
Kepadatan hunian ruang tidur balita yang tidak memenuhi syarat akan
menghalangi proses pertukaran udara bersih sehingga ke-butuhan udara bersih
tidak terpenuhi dan mengakibatkan terjadinya penyakit ISPA, hal ini diperberat
apabila salah satu anggota keluarga yang tidur bersama balita menderita penyakit
17
2.2.7 Penatalaksanaan
A. Golongan umur dibawah 2 bulan,tatalaksananya yaitu :
1. Pneumonia Berat
a) Rujuk segera ke rumah sakit
b) Beri 1 dosis antibiotik
c) Obati demam, jika ada
d) Obati wheezing, jika ada
e) Anjurkan ibunya untuk tetap memberikan ASI
2. Bukan pneumonia
a) Nasihati ibu untuk perawatan di rumah/ menjaga bayi tetap hangat
b) Memberi ASI lebih sering
c) Membersihkan lubang hidung jika mengganggu pemberian ASI
d) Anjurkan ibu untuk kembali kontrol jika : Pernapasan menjadi cepat atau
sukar, kesulitan minum ASI, sakitnya bertambah parah
B. Golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun.
1. Pneumonia berat
a) Rujuk segera ke rumah sakit
b) Beri satu dosis antibiotik
c) Obati demam, jika ada
d) Obati wheezing jika ada
2. Pneumonia
a) Nasihati ibunya untuk tindakan perawatan di rumah
b) Beri antibiotik selama tiga hari
c) Anjurkan ibu untuk kontrol lebih cepat bila keadaan anak memburuk
d) Obati demam, jika ada
e) Obati wheezing jika ada
3. Batuk Bukan pneumonia
a) Bila batuk > 3 minggu , rujuk
b) Nasihati ibunya untuk tindakan perawatan di rumah
c) Obati demam, jika ada
d) Obati wheezing jika ada
19
2.2.8 Pencegahan
Pneumonia Berat
ISPA Klasifikasi Pneumonia
Bukan Pneumonia
Status Gizi
Keterangan :
: Variabel diteliti
: Variabel tidak diteliti
2.4 Hipotesis
H0 : Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di
Ruang Rawat Inap RSU Anutapura Palu
H1 : Ada hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Ruang Rawat
Inap RSU Anutapura Palu