lintir Abw Sufyan
(Ummu Wabilah) ra:
Hijrah dan Ketabahannya Membuahkan
Galasan Mulaae
ejarah Islam sarat dengan catatan tentang teladanteladan agung
dari generasi AsSalafushShaalih. Jika kita mengingatnya, maka hati
terasa sejuk, dan jika kita paparkan riwayat hidupnya maka semakin besar
kerinduan kepadanya.
Ketika sedang menuntaskan penulisan buku tentang sahabatsahabat
lelaki Rasulullah saw., ada perasaan asing yang menyelinap dalam hati
saya. Kini, ketika saya sedang merampungkan buku tentang sahabat-
sahabat wanita Rasulullah saw. saya merasakannya kembali. Saat kita
menuturkan perjalanan hidup generasi salaf yang shalih itu, lalu
membandingkannya dengan Kondisi umat kita saat ini, maka kita akan
mendapati kesenjangan yang sangat lebar dan perbedaan yang sangat
besar antara kondisi mereka dan kondisi kita.
Kali ini, kita akan menemui seorang sahabat wanita agung Yang ikut
hijrah ke Habasyah demi menyelamatkan agamanya dan merasakan
vhid, Ketika suaminya murtad di negeri asing itu ia
menerimanya dengan sabar dan ikhlas. fa bercerai dengan suaminya yang
telah berbeda agama itu dan tetap mempertahankan agamanya dengan
teguh, walaupun harus hidup di tengah negeri yang asing dan tanpa
Keluarga, Ia benarbenar menyenditi di negeri it tetapi hatinya tetap
mmerasakgn kehangatan hubungan denges Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga
dapat melupakan keterasingan dan kesepiannya.
Keteguhan dan kesabaran itulah yang mengantarkan anugerah Allah
yang tidak terhingga, karena tidak lama kemudian, Rasulullah saw.
mengirim seorang utusan uncuke Jan menikahinya. Padahal,
kenikmatan t
meminang
‘Ramla binti Abu Sufyan ra,’ 299ia masih berada di negeri Habasyah, sehingga ia menjadi Umma,
Mukminin sekaligus istri manusia paling agung sepanjang masa
Begitulah nasih tamu kita kali ini. Ia meninggalkan sesuatu kareng
Allah, maka Allah menggantikannya dengan yang lebih baik.
Kali ini, kita akan menjumpai ibunda kita tercinta, Ummu Habibah
siapkan hati kita untuk menyelami riwayat hidupnya yang
align
ra. Mati pe
harus semerbak.
Perkenatan Stughat
Nama lengkapnya adalah Ramlah binti Abu Sufyan bin Harb. Dengan
demikian, ia masih terhitung sepupu Nabi saw,, sehingga tidak ada seorang
pun dari istriistri beliau yang lebih dekat garis keturunannya dengan beliau,
Tidak ada pula yang lebih banyak menerima mahar darinya, dan dialah
satu-satunya istri beliau yang dinikahi di tempat yang terpisah. Rasulullah
saw, melangsungkan akad nikah dengannya ketika ia masih berada di
Habasyah, s
Habasyah, An-Najasyi, sebanyak 400 Dinar, ditambah dengan
a
hingga wajar jika yang memberi maharnya adalah Raja
perlengkapan-perlengkapan lainnya.
Tula Kehendak Juhaume
Allah swt. tahu siapa yang pantas menjadi hamba-Nya dan siapa yang
tidak pantas menjadi hamba-Nya. Menjadi hamba Allah merupakan suatu
kenikmatan yang sangat besar dan tidak ada yang lebih besar darinya.
Meskipun tamu agung kita kali ini, Ummu Habibah, adalah putri
Abu Sufyan yang pada masa itu masih menjadi tokoh musyrik dan
menghabiskan waktu sekian lama dalam kemusyrikannya, tetapi Allah
swt. menciptakan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya dan Dia-
lah yang memilih, Allah swt. telah memilih Ummu Habibah tidak hanya
sebagai seorang wanita beriman, melainkan juga sebagai ibunda orang:
orang beriman (Ummul Mukminin).
Abu Sufyan adalah seorang tokoh besar Quraisy. la sama sekali tidak
pernah membayangkan bahwa suatu saat ada orang yang akan menyalahi
kehendaknya atau keluar dari otoritasnya. Akan tetapi, justru putrinya,
Siyar A‘laam An-Nubalaa’, Ad
ahabi, vol. 2 hlm. 218-219
300 Sirah ShahabivahRamlah, yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Habibah, telah
dibukakan pintu hatinya terhadap Islam, sehingga ia menerima ajakan
dakwah kebenaran sejak fase pertama dan menyerahkan diri seutuhnya
an keyakinan nenek moyangnya
dan mengenyahkan berhala yang selama ini disembah oleh mereka.
kepada Allah swt, sekaligus meningeal
Dengan segala kekuatan dan kapasitasnya, Abu Sufyan berusaha keras
untuk mengembalikan putri dan menantunya kepada keyakinan nenek
moyang Quraisy, tapi ia selalu gagal. Karena, jika keimanan sudah
menyentuh dasar hati yang paling dalam, maka tidak ada kekuatan di
dunia ini, walaupun mereka berseckongkol, yang dapat mencerabutnya
dari dalam hati itu. Keimanan itu telah menancap dengan kokoh dan
akarnya menghunjam ke dasarnya.
Wiprah he Wabaryal
Ketika Quraisy sadar bahwa Abu Sufyan tidak mampu mengembalikan
putri dan menancunya kepada agama bethala yang dlianut oleh nenek
dan mereka melihat ia mulai tidak dapat mengendalikan
tas sikap ‘keras kepala’ anaknya itu, maka orangorang
mukmin itu dan menekannya
moyang Quraisy,
emosi dan marah
Quraisy mulai berani menindas pasangan
dari segala arah.
Tntimidasi Quraisy ini tidak hanya dirasakan oleh’ mereka berdua,
tetapi oleh seluruh kaum muslimin yang memiliki posisi lemah
(rnustadh‘afeun). Kaum musyrik Quraisy telah bertekad bulatbulat bahwa
mereka akan berusaha seoptimal mungkin untuk memusuhi Islam dan
mengintimidasi setiap orang yang memeluknya dengan berbagai macam.
bentuk kekerasan dan isolasi.
Sejak Rasulullah saw. menyatakan dakwah secara terbuka dan
g kesesatan agama dan keyakinan.
menyatakan terang-terangan tentany
n-temurun dari nenek moyang
yang dianut oleh Quraisy secara curt
mercka, seluruh kaum kafir Quraisy merasa tersinggung dan marah besar.
puluh tahun mereka mencap kaum muslimin sebagai
Selama lebih se}
mereka pijak seakan-akan
pendosa dan pemberontak. Bumi yan,
berguncang hebat dan di tanah suci yang
kehormatan mereka dinodai secara semena-men’- Keberadaan kaum
dan menyimpan malapetaka. Mental
tenang itu. Darah, harta dan
muslimin selalu terancam bahaya
Ramlah binti Abu Sufyan ra, 301kaum muslimin mereka nodai semena-¢mena secara turun temurun dari
nenek moyang. Semua kekerasan ini disertai dens
tatan mental kaum muslimin,>
gan lontaran cemoohan
dan ejekan yang bertujuan mengikis keku
Rasulullah saw. sangat mengkhawatirkan keselamatan dan keagamaan
para sahabarnya terusik, sehingga beliau mengizinkan mereka untuk hijrah
ke Habasyah. Maka, para sahabat pun mulai pergi ke Habasyah. Ummu
Habibah dan suaminya kala itu berada di barisan pertama orangorang
yang hijrah ke negeri itu untuk menyelamatkan keyakinan mereka dari
intimidasi orang-orang Quraisy.
Mereka Membuat Tien Daya Tapt lah Memperdaya
Mereka
Ketika orang-orang Quraisy melihat para sahabat Rasulullah saw.
hidup dengan tenang dan nyaman di negeri Habasyah, mereka melakukan
rapat besar dan menghasilkan keputusan mengirim dua delegasi yang andal
ke Habasyah. Misi delegasi tersebut adalah memohon kepada An-Najasyi
agar mengekstradisi kaum muslimin yang hijrah ke negerinya, sehingga
mereka dapat dengan leluasa mengintimidasi mereka lagi, dan
mengeluarkan mereka dari tempat perlindungannya. Untuk menjalankan
misi ini, mereka mengutus Abdullah bin Abu Rabi‘ah dan ‘Amr bin Al
‘Ash bin Wa’il, dan membekali mereka dengan hadiah yang sangat besar
untuk An-Najasyi dan petinggi-petinggi negaranya.**
Setibanya di Habasyah, mereka berdua menghadap An-Najasyi seraya
berkata, “Wahai Baginda Raja, sesungguhnya ada sekelompok orang dari
bangsa kami yang datang dan berlindung di negerimu ini. Mereka adalah
anakanak muda yang belum banyak makan asam garam. Mereka telah
meninggalkan agama kaumnya senditi, tapi tidak juga memeluk agamamu,
melainkan menganut agama baru yang tidak kami kenal dan anda pun
tidak akan mengenalnya. Kami diutus oleh pembesar-pembesar kaum
mereka yang merupakan orang tua-orang tua, paman-paman dan
keluarga-keluarga mereka sendiri untuk memohon agar engkau
mengekstradisi orang-orang itu dan mengembalikannya kepada mereka.
2 Fighus Siirah, ALGhazali, hlm. 120,
4 AsSiirah AnNabawiyyah, Ibnu Hisyam, vol. 1 hlm, 275.
302 Sirah ShahabiyahOrangorang yang mengutus kami itu jelas lebih tinggi derajatnya dari
mereka dan lebih mengerti tentang hakikat persoalan (keyakinan agama)
yang selama ini mereka mencibir dan mengecamnya.”
Ummu Salamah ra. yang meriwayatkan kisah ini berkata, “Ada satu
hat yang sangat dihindari sekaligus ditakutkan oleh Abdullah bin Abu
Rabi’ah dan “Amr bin Al- Ash, yakni An-Najasyi mengkonfrontasi
eterangan mereka dan mau mendengar pandangan kaum muslimin. Saat
mendengar keterangan tersebut, para petinggi An-Najasyi (setelah
sebelumnya disogok oleh * Amr bin AL Ash dan Abdullah, penj.) berkata,
“Wahai Baginda Raja, mereka berdua benar. Para pembesar kaumnya tentu
lebih tinggi derajatnya dari mereka dan lebih mengerti dengan persoalan
(agama) yang selama ini mereka mencibirnya, maka serahkan orangorang
itu kepada mereka berdua untuk dibawa pulang ke negeri asalnya.”
Mendengar hal ini, An-Najasyi marah besar. Ia berkata, “Demi Allah,
tidak bisa. Jika begini caranya, aku tidak akan menyerahkan mereka
kepada kedua orang ini. Aku tidak akan membiarkan teraniaya orang:
orang yang memohon perlindungan dariku, datang ke negeriku, dan
memilihku daripada orang lain, sampai aku bertanya kepada mereka
tentang kebenaran keterangan yang disampaikan oleh kedua delegasi ini.
Jika benar seperti yang disampaikannya tadi, maka aku akan
mengembalikan mereka kepada kaumnya. Tapi jika tidak, maka aku akan
tetap mempertahankan mereka dan melindungi mereka sebaik mungkin
selama mereka masih berada di negeriku.”
Oleh sebab itu, An-Najasyi memanggil seluruh sahabat Rasulullah
saw. untuk menghadapnya. Setelah pegawai An-Najasyi perihal undangan
tersebut, para sahabat Rasulullah saw. berkumpul sejenak. Mereka berkata,
“Apa yang akan kita katakan kepada An-Najasyi?” Sahabat yang lain
menjawab, “Demi Allah, kita akan mengatakan sesuai dengan ajaran dan
perintah yang kita terima dari Rasulullah saw., apa pun risiko yang harus
kita tanggung.”
Ketika kaum muslimin tiba di hadapan An-Najasyi, ternyata ia juga
Mengundang pendeta-pendetanya (pemuka agama Nasrani), bahkan
mereka telah membuka mushaf-mushaf kitab suci mereka di sekeliling
AnNajasyi. An-Najasyi membuka pertanyaan, “Agama apakah yang
kalian anut dan menjadi penyebab kalian meninggalkan agama kaum
Ramlah binti Abu Sufyan ra. 303kalian sendiri, tapi tidak juga memeluk agamaku, bahkan tidak pula apn,
apa pun yang dikenal saat ini?”
Mendengar pertanyaan ini, Ja‘far bin Abu Thalib ra. yang tela)
diangkat sebagai juru bicara kaum muslimin menjawab dengan tenany
Ia berkata, “Wahai Baginda Raja, dulu, kami adalah sebagian dari kaum
yang bergelimang dengan kebodohan (jahiliah). Kami menyembah,
berhala, mengonsumsi bangkai, mengerjakan perbuatan-perbuatan kej,
mudah memutuskan ikatan kekeluargaan (silaturahmi), dan menyakiti
tetangga, serta orang yang kuat di antara kami ‘memakan’ yang lemah,
Kami tetap seperti itu hingga suatu ketika Allah mengutus seorang rasul
yang berasal dari kaum kami sendiri. Kami sangat mengenal garis
keturunannya yang terhormat, mengakui kejujuran, amanah, dan
keluhuran jati dirinya.
Dia mengajak kami agar mengesakan Allah dan menyembah-Nya,
meninggalkan sesembahan selain-Nya yang selama ini disembah oleh kami
dan nenek moyang kami, seperti batu dan berhala. Dia menyuruh kami
agar berkata jujur, menyampaikan amanah, senantiasa menyambung
ikatan kekeluargaan (silaturahmi), berbuat baik kepada tetangga,
meninggalkan perkara-perkara yang haram, dan tidak menumpahkan
darah semena-mena. Dia juga melarang kami mengerjakan perbuatan-
perbuatan keji, berkata dusta, ‘memakan’ harta anak yatim, dan menuduh
selingkuh kepada wanita-wanita yang shalih. Selain itu, dia menyuruh
kami agar menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya
dengan apa pun juga, menyuruh kami melakukan shalat, zakat dan puasa-
(Ummu Salamah ra. menyatakan bahwa Ja‘ far menyebut beberapa hal
lain yang merupakan ajaran Islam).
Maka, kami pun percaya dan beriman kepadanya, serta mengikuti
ajaran-ajarannya yang berasal dari Allah swt. Kami menyembah Allah
semata dan tidak mempersekutukannya dengan apa pun, mengharamkan
segala sesuatu yang dia haramkan kepada kami, dan menghalalkan segal@
sesuatu yang dia halalkan untuk kami.
Inilah yang membuat kaum kami memusuhi kami. Mereka menyiks*
kami dan menekan kami karena menganut agama itu. Mereka memaks#
Kami agar kembali kepada agama mereka; menyembah berhala dan tidak
menyembah Allah Ta'ala, menghalalkan segala sesuatu yang kami halalka"
304 Sirah Shahabiyahjjahult, patabal semuanys adalah perkara yang buruk
Karena mereka terus menekan, menganiaya dan mengintimidasi kami,
eres menghalangi kami untuk-melaksanakan keyakinan agama kami, maka
ami rela meninggalkan negeri kami sendiri dan hijrah ke negerimu int. Kami
gan
‘cla siapa pun dan lebih suka mendapat perlinduny
lebih memilihmu dar
dyamu. Untuk itu, harapan terbesar kami adalah, kami tidak: mendapat
‘eflakuuan yang zalim sekama berada di dekarmu, wahai Baginda Raja.”
au hafal sebagian (wahyu) yang
An Najasyi berkata, “Apakah eng!
Gijarkan oleh Nabimu itu yang berasal dari Allah?” Ja’ far menjawab,
nttt.” An-Najasyi berkata lagi, "Kala begitu, coba bacakan (wahyu)
i surah Maryam.”
* Maka Ja‘ far membacakan ayatayat pertama da
Ummu Salamah berkata, “Demi Allah, ketika mendengar ayatayat
itu.
ita, AnNajasyi: menangis tersedusedu hingga janggumnya basah dengan
cucuran air mata. Begitu pula pendeta-pendetanya. Mereka menangis
rersedtrsedu hingga mushafmushaf mereka basah dengan deraian air mata.
Lalu, AnNajasyi berkata, ‘Sesungguhnya (ayarayat) ini dan (ayarayan)
lah kalian
sang diturunkan kepada Isa berasal dari sumber yang sama. Per
berdua (Amr bin AF’ Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ ah). Demi Allah,
sku tidak akan menyerankan mereka kepada kalian dan siapa pun tidak
boleh menyakiti mereka.”
An-Najasyi menyatakan secara terbuka keimanannya kepada Allah
‘Aza wa Jalla. Semen
ah bersama rajanya yang telah menjadi seorang muslim
ara kaum muslimin hidup dengan aman dan tenang
di negeri Habasy:
dan adil, dan memiliki keteguhan iman yang telah menyentuh lubuk
hatinya yang paling dalam.
Ada Kemudahan dalam Setiap Kesusahan
Ummu Habibah ra. mengira bahwa ia akan
Sejak peristiwa itu,
nemulai kehidupan yang bahagia dan nyaman, Ia tidak pernah mengira
alan mendapat ujian yang sangat berat dan pabit. Suaminya yang bernama
Ubaidullah, murtad dari Islam dan memeluk agama Nasrani.
So
Svaikh ALATbani menyaraka
7 ‘sah ini diriwayatkan oleh Tn
213 yang berasal dari kitab AsSurah AnNabauiyah, karya Tbnu Hisyan
1740, dati jalan periwavaran Ibn |
dalam takhrij buku Fights Sirah, karya Muhammad Al
shag dalam kitab AlMagkaasi, vol, 1 lm, 211+
dan Ahmad no.
jchag dengan sanad yang shaheih
Ramah binti Abu Sufvan ra, 305
ba aeUmmu Habibah ra. merasakan keterasingan dalam segala sig
kehidupannya. la duduk termenung memikirkan perjalanan hidupny,
yang kini harus dia lalui seorang diri di negeri Habasyah. Ia tidak dapat
kembali ke Makkah karena ayahnya masih musyrik, tapi juga tidak bisy
bertahan selamanya di negeri asing itu.
Di saat kesedihan menyelimuti hatinya dan ia teras memikitkan
perjalanan hidupnya, tibatiba titik terang kebahagiaan menyeruak dan
memberi kehangatan kembali kepadanya, karena membawa kabar gembira
paling indah di seluruh alam raya. Tahukah Anda, apakah bentuk kabar
gembira itu?
Kabar gembira itu lebih betharga daripada pundi-pundi kekayaan
yang tersimpan di perut bumi dan gelimang materi yang menghiasinya.
Seorang pelayan wanita An-Najasyi menemui Ummu Habibah ra. dan
menyampaikan kabar gembira bahwa Rasulullah saw. telah meminang-
nya. Ummu Habibah ra. tidak dapat menyembunyikan keba-
hagiaannya, sehingga air mata pun bercucuran di pipinya. la menangis
sembari tersenyum karena merasa bahagia yang tiada tara. la memuji
Allah ‘Azza wa Jalla atas anugerah nikmat yang telah dilimpahkan
kepadanya.
An-Najasyi segera menyambut dan memimpin langsung pernikahan
tersebut sebagai wakil dari Rasulullah saw., karena Rasulullah saw. telah
mengirimkan surat kepada raja Habasyah itu untuk mewakili pernikahan
beliau dengan Ummu Habibah ra.
Seluruh sahabat Rasulullah saw. yang saat itu tinggal di Habasyah
berkumpul untuk menyaksikan pernikahan yang penuh berkah itu.
Peristiwa itu merupakan sebuah kejutan yang tidak terbayang oleh sahabat
mana pun. Ummu Habibah ra, menerima mahar (mas kawin) pernikahan
sebanyak 4000 ditham, bahkan tidak hanya itu, An-Najasyi menangeuné
biaya dan perbekalannya.
‘Ummu Habibah ra. menuturkan bahwa awalnya ia menikah deng0”
“Ubaidullah, lalu (setelah berpisah) Rasulullah saw. menikahinya saat i?
masih berada di negeri Habasyah. Raja An-Najasyi sendiri yan#
menikahkannya. la menerima mahar sebesar 4000 dirham. An-Naissti
306 Sirah Shahabiyahsngirimkannya bersama S
— ya bersama Syurahbil bin Hasanah dan menanggung
celuruh perbekalannya.'
i Suamé Paling Agung
Soe Habibah ra. yang belum lama ini didera kebingw
perjalanan hidupnya, kini telah kembali ke Makkah dengan menyandang
in rentang
predikat sebagai ibunda orangorang beriman (Ummul Mukminin)
sekaligus istri dari manusia paling agung sepanjang masa.
Sejak saat itu, Ummul Mukminin Ummu Habibah ra. meneguk
langsung air keimanan dari sumbernya yang paling jernih, Kitabullah
dan Sunnah Rasulullah saw. la melewati hari-hari yang paling indah
dalam hidupnya dengan penuh kebahagiaan dan kesenangan, karena
telah menjadi ibunda bagi seluruh orang mukmin dan teman hidup
Rasulullah saw.
Ibnu Abbas ra. mengomentari firman Allah sw.,
“sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dart kam
hai Ahlul Bait.” (AbAhzab: 33) Ayat ini curun berkenaan dengan
istri-istri Nabi saw. secara khusus.*”
1 seorang sami yang paling agung di seluruh jagat
naga Ummu Habibah ra. merasakan bersamany kehidupan
na tidak, ia selalu berdekatan dengan
Jajaran dari setiap petunjuk, sifat dan
Nabi saw. adalat
raya ini, sehii
imani yang sangat tinggi. Bagaima’
sumber cahaya dan mengambil pel
akhlaknya yang baik dan lembut.
ALoyalitas bepada Agama
ahwa ketika Abu Sufyan datang ke
k menyerbu kota
Catatan Emas Ketequhan
‘Az-Zuhti meriwayatkan bi
Madinah, setelah Rasulullah saw.
Makkah, untuk membicarakan kembali p
(eencatan senjata) yang telah disepakati sebelumnya,
memutuskan henda
erihal perjanjian damai
tetapi Rasulullah
2» Diriwayarkan oleh Abu Dawud ne. 2107, dan Nasa’ vol 6 him 119, AbArna’uth berkara,
jay Samad siwayat int shaith.”
AL Asnatuth menyarakan babsea sanad
Fae ae kur oleh AlHafch Tbow Kas
wwayat ini hasan. [a rerdapat dalam tafsr Thaw Abi
i, vol. 3 him. 483.
Ramah binti Abu Sufvan ra. 307saw. menolak. Merasa gagal, Abu Sufyan pergi dan masuk ke rumah
putrinya, Ummu Habibah ra. Ketika Abu Sufyan hendak duduk di atag
alas yang biasa digunakan oleh Rasulullah saw., Ummu Habibah ra. segera
mengambil dan melipatnya.
Melihat hal itu, Abu Sufyan berkata, “Putriku, apakah engkau tidak
suka kepadaku karena ingin duduk di atas alas ini, atau engkau tidak
suka alas ini diduduki olehku?” Ummu Habibah ra. menjawab, “Aku tidak
suka alas ini diduduki olehmu, karena ia milik Nabi saw., sedangkan
engkau adalah seorang yang najis dan musyrik.” Abu Sufyan berkata lirih,
“Putriku, banyak yang tidak beres denganmu setelah jauh dariku."3
Perpirahan yang Menyayat Wate
Hari-hari terus berlalu hingga tibalah saat yang paling menyedihkan,
yakni Rasulullah saw. wafat. Ummu Habibah ra. merasa hatinya begitu
pedih dan hancur karena kepergian Nabi saw. yang merupakan rasul,
suami dan kekasihnya. Namun demikian, ia tetap teguh dengan prinsip
hidupnya sebagai seorang ahli ibadah yang rajin berpuasa dan shalat
malam.
Ummu Habibah ra. diberi umur panjang hingga masa pemerintahan
saudara kandungnya, Mu‘awiyah bin Abu Sufyan. Imam Adz-Dzahabi
berkata, “Ummu Habibah ra. senantiasa dihormati dan disegani oleh setiap
orang, terutama pada masa pemerintahan saudara kandungnya
(Mu‘awiyah)... juga karena dekatnya hubungan Mu‘awiyah dengannya,
sehingga ada yang menyebut Mu‘awiyah dengan julukan ‘Khaalul
Mukminiin’ (paman orang-orang mukmin).”™
Saatuya Berpisah
‘Auf bin Al-Harits menyatakan bahwa ia mendengar ‘Aisyah 12.
berkata, “Menjelang wafatnya, Ummu Habibah memanggilku seray
berkata, ‘Di antara kita pernah ada satu-dua hal yang biasa terjadi antara
sesama istri yang dimadu. Aku memohon semoga Allah mengampuni
segala kesalahanku dan kesalahanmu berkenaan dengan hal itu.’ Akt
38 ALlshaabah, vol. 8 him. 142,
dan Thabagaat Ibnu Sa‘ad, v 100.
ow Soar Ala Ar Nadel’ ibaqaat Ibnu Saad, vol. 8 him. 99-100.
-Dzahabi, vol. 2 him. 222.
308 Sirah Shahabiyahpalas, “Semog
mpembalas, ‘Semoga Allah mengampuni segala kesalahanmu dalam hal
itu dan semoga menghalalkan semuanya,’ Ummu Habibah berkata lagi,
-aku merasa sangat bahagia, semoga Allah memberimu kebahagiaan pula.
Ummu Habibah juga memanggil Ummu Salamah dan mengatakan hal
yang sama.”
Ummu Habibah ra. meninggal dunia pada tahun 44 Hijriah, di masa
pemerintahan saudara kandungnya, Mu'awiyah ra.
Begitulah perjalanan ruhiyah kita bersama ibunda kita bersama, Ummu
Habibah ra. yang telah mengharumkan dunia dengan semerbak riwayat
hidupnya yang indah. Semoga Allah swt, meridhainya dan membuatnya
ridha, serta menjadikan surga Firdaus sebagai tempat persinggahan
terakhirnya.
*° Diriwayarkan oleh Inu Sa‘ad, vol 8 hlm. 100, dan Hakim, vol. 4 hlm, 22-23
Ramah binti Abu Sufvan ra. 309