Anda di halaman 1dari 7

ABDURRAUF SINGKEL

Ulama Santun dari Serambi Mekkah


“There is an interesting difference in personality between „Abdu „l-
Ra‟ûf and al-Rânîrî. Al-Rânîrî was a fiery polemist; he hurled
anathemas at the Wujûdiyya, calling them arch-heretics without the
least idea of Sufism had their books burnt and their followers
executed. „Abdu „l-Ra‟ûf, on the other hand was a man of remarkable
tolerance and piety…” (A.H. Johns, 1955)

Harus diakui, Aceh —kendati hingga tulisan ini dibuat, sebagian masyarakatnya sedang
“ngambek” atas berbagai ketidakadilan yang dideritanya— sejak awal telah menjadi
salah satu wilayah Nusantara yang banyak memberikan kontribusi besar terhadap
perkembangan dan kemajuan negeri ini. Tidak berlebihan jika Aceh, meminjam istilah
Amin Rais, disebut memiliki saham besar atas berdirinya Republik ini. Bukan hanya
dalam bidang sosial politik, di mana pada pertengahan abad ke-16, negeri yang
mendapat julukan sebagai “Serambi Mekkah” ini telah menjadi salah satu kerajaan
terpenting di Nusantara yang sangat intens merintis hubungan politik dan diplomatik
dengan dunia internasional, seperti dengan dinasti Utsmani, negara paling kuat di Timur
Tengah dan wilayah Laut Tengah saat itu. Lebih dari itu, Aceh —seperti ditunjukkan
dengan baik oleh Azra (1992)— juga dianggap sebagai wilayah yang paling awal
menjalin hubungan intelektual keagamaan dengan pusat pengetahuan Islam di Timur
Tengah, khususnya Mekkah dan Madinah (baca: Haramayn). Hal ini didukung pula oleh
posisi Aceh saat itu sebagai tempat transit terpenting bagi para jamaah Melayu-
Indonesia dalam perjalanan mereka pergi menuju, dan kembali dari, Haramayn. Tidak
berlebihan kalau Nurcholis Madjid menganggap Aceh, dengan sendirinya, mempunyai
hak sejarah atas bumi pertiwi ini.
Sebagai implikasi dari kiprahnya, Aceh tentu saja telah melahirkan dan
mewariskan banyak hal berharga untuk bangsa ini. Dalam konteks pemikiran
keagamaan Islam misalnya, sejak pertengahan abad ke-16 hingga akhir abad ke-17, di
sana telah dikenal sejumlah ulama besar yang sangat produktif, seperti Syaikh Hamzah
Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, dan Abdurrauf Singkel. Melalui
kepakaran para ulama tersebut telah lahir sejumlah karya berbobot di bidang fikih
(jurisprudence), tafsir (exegesis), hadis (tradition), dan terutama tasawuf (islamic
mysticism). Karya-karya mereka tidak hanya memiliki fungsi sosial, politik, dan
keagamaan pada masanya, tapi di kemudian hari juga sering kali menjadi sumber
rujukan dalam tradisi intelektual keislaman.
Tulisan ini dimaksudkan, antara lain, untuk mengapresiasi khazanah intelektual
Islam hasil pemikiran salah seorang ulama terkemuka Aceh, Abdurrauf Singkel, yang
sedikit banyak turut menentukan arah perjalanan bangsa ini, khususnya dalam bidang
pemikiran keagamaan. Ada beberapa pertanyaan penting yang dapat dikemukakan
berkaitan dengannya; siapa dan tokoh macam apa sesungguhnya Abdurrauf Singkel?
Bagaimana kiprahnya dalam bidang sosial politik kegamaan di Aceh? Di mana kita
dapat menempatkan pemikirannya dalam konteks sosial masyarakat Aceh saat itu? Dan
sumbangsih macam apa yang telah dipersembahkannya untuk masyarakat Melayu-
Indonesia?
2 Abdurrauf Singkel

Abdurrauf Singkel: Mutiara dari Aceh


Sekedar menyegarkan kembali ingatan kita, Abdurrauf Singkel adalah salah seorang
ulama besar Aceh yang menurut D.A. Rinkes (1909) lahir pada 1615, dan berkarir di
Aceh sejak pertengahan hingga akhir abad ke-17. Kematangannya sebagai seorang
ulama dicapai terutama setelah selama 19 tahun di Mekkah dan Madinah, Abdurrauf
mempelajari apa yang disebutnya sebagai ilmu lahir, seperti tafsir, fikih, hadis, dan
bidang-bidang ilmu eksoteris lainnya, kemudian menggabungkannya dengan ilmu-ilmu
esoteris, seperti tasawuf dan kalam, yang disebutnya sebagai ilmu batin. Penguasaan
terhadap dua bidang ilmu —yang dalam beberapa kasus sering saling berhadapan,
khususnya antara fikih dan tasawuf— ini, jelas sangat mempengaruhi sikap keilmuan
Abdurrauf kelak, yang lebih menekankan perpaduan antara praktek-praktek tasawuf dan
kewajiban-kewajiban syariah. Hal ini kemudian memunculkan sikap kompromistis
dalam menghadapi ketegangan akibat pertentangan antara keduanya. Bahkan lebih jauh
lagi, seperti akan kita lihat, membentuk watak Abdurrauf yang sangat toleran terhadap
berbagai persoalan atau konflik yang dihadapinya.
Selama berada di Haramayn, Abdurrauf berhasil membangun jaringan keilmuan
yang sangat luas dengan tokoh-tokoh ulama penting, yang berpusat pada guru
utamanya, Ahmad al-Qusyasyi (w. 1660) dan Ibrahim al-Kurani (1614-1690).
Dibanding dengan ulama Jawi lainnya yang pernah belajar di Haramayn, semisal
Nuruddin ar-Raniri, atau Muhammad Yusuf al-Makasari, mata rantai hubungan
Abdurrauf dengan inti jaringan ulama di Haramayn ini jauh lebih kuat, langsung dan
kokoh, sehingga pada gilirannya mempermudah Abdurrauf dalam mengembangkan
Islam dan gagasan-gagasan keagamaannya sendiri (baca: tarekat syatariyyah) di tanah
Melayu, khususnya di wilayah Aceh. Saling silang jaringan keilmuan Abdurrauf dengan
para ulama di pusat pengetahuan Islam ini tentu saja sangat membanggakan kaum
Muslim Melayu-Indonesia yang berada di suatu wilayah pinggiran dunia Muslim,
karena salah seorang alimnya mampu "bersaing" dan bersanding dengan para tokoh
ulama terkemuka di Haramayn.

Peran Sosial Politik Keagamaan


Untuk mengetahui sejauh mana peranan Abdurrauf Singkel dalam wacana sosial politik
keagamaan di Aceh, kita dapat menelusurinya dari masa awal kepulangan Abdurrauf
setelah menuntut ilmu di Haramayn. Seperti diketahui, sepulangnya dari Arabia pada
1661, pandangan-pandangan keagamaan Abdurrauf yang “menyejukkan”, dengan serta
merta mampu memikat hati kalangan istana Aceh. Sultanah Safiyatuddin yang tengah
berkuasa segera menjadikan Abdurrauf sebagai patron keilmuannya.
Pola hubungan penguasa dengan tokoh intelektual keagamaan di Aceh, sejak awal
memang menarik, karena “hubungan mesra” itu —seperti diisyaratkan A. Hasjmy
(1977)— telah mendarah daging, menjadi bagian dari filsafat hidup dan filsafat politik.
Di satu pihak, ulama memainkan peranan sebagai pemegang kekuasaan hukum
(yudikatif), dan Sultan atau Sultanah, di pihak lain, sebagai pemegang kekuasaan politik
(eksekutif). Pola hubungan istana-ulama semacam inilah yang menjadikan penyebaran
Islam pada masa-masa awal, khususnya di Aceh, menjadi fenomena istana; Istana
kerajaan menjadi pusat pengembangan intelektual Islam atas perlindungan resmi para
Sultan atau Sultanah.
Karir keilmuan Abdurrauf Singkel pada masa-masa berikutnya, oleh karenanya,
tidak dapat dipisahkan dari dukungan kuat kalangan istana. Antara 1661 hingga 1690-
Ulama Santun dari Serambi Mekkah 3

an, Abdurrauf bahkan dipercaya oleh Sultanah untuk memegang jabatan Qadhi Malik
Al-‘Adil. Setidaknya menurut A. Hasjmy (1975), jabatan ini dalam struktur kerajaan
Aceh saat itu merupakan posisi terpenting kedua setelah kepala negara sendiri yang
bergelar Sultan Imam ‘Adil. Mungkin agak sulit jika kita mencoba menganalogikan
jabatan ini dengan struktur kenegaraan kita sekarang, karena selain sebagai “wakil
Presiden”, Qadhi Malik Al-‘Adil adalah juga semacam ketua Mahkamah Agung. Yang
jelas, dengan jabatan ini, Abdurrauf memiliki wilayah pengaruh yang relatif luas,
khususnya dalam masalah-masalah keagamaan, dan bahkan lebih dari itu, dapat turut
menentukan arah kebijakan politik kenegaraan.
Abdurrauf boleh dibilang the right man in the right time. Sebab saat ia tiba di
Aceh, penguasa istana tengah dihadapkan pada berbagai konflik keagamaan yang tentu
saja sangat membutuhkan figur kompromistis semacam dirinya. Salah satu konflik
keagamaan yang terekam baik oleh sejarah, dan —jangan lupa!— meletus beberapa
tahun sebelum Abdurrauf berangkat ke tanah Arab, adalah pertentangan sengit antara
para penganut doktrin wujûdiyyah di satu pihak, dengan ulama ortodoks yang
menuduhnya sebagai sesat di pihak lain. Dalam kasus Aceh, kelompok pertama
direpresentasikan oleh murid-murid Syaikh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
Sumatrani, sedangkan kelompok kedua dimotori oleh Nuruddin ar-Raniri. Seperti kita
maklumi, dalam konflik tersebut ar-Raniri dengan sengit menuduh para pengikut
wujûdiyyah sebagai sesat (heretical), menyimpang (heterodox), bahkan mempercayai
banyak Tuhan (politeis), dan oleh sebab itu mereka patut diganjar hukuman mati jika
tidak mau “insaf” dan bertaubat. Betapa hebatnya konflik itu, ujung-ujungnya
mengakibatkan pembakaran karya-karya masterpiece Syaikh Hamzah Fansuri tentang
wujûdiyyah, khazanah keilmuan yang sangat berharga, disusul pengejaran dan
pembunuhan terhadap para pengikutnya. Peristiwa “tragis” ini niscaya diketahui dengan
baik oleh Abdurrauf, dan karenanya telah menjadi semacam “PR” baginya selama
“rihlah ilmiah” di tanah Arab.
Kehadiran Abdurrauf di Aceh, tak pelak lagi memberikan harapan baru bagi
kalangan istana untuk keluar dari situasi yang diliputi persengketaan antardua kelompok
tersebut. Dan upaya kerasnya menjadi penengah —yang diimplementasikan melalui
berbagai tulisannya— merupakan kontribusi besar yang tak bakal dilupakan sejarah
dalam hal kebijakan politik keagamaan di Aceh. Abdurrauf, yang sebetulnya turut
mempropagandakan ajaran wahdatul wujud, mencoba menjaga jarak dengan ekstrimitas
yang dianggap —terutama oleh ar-Raniri— terlalu menonjol pada ajaran-ajaran
wujûdiyyah Syaikh Hamzah Fansuri. Oleh sebab itu, dalam hampir semua karya-
karyanya, baik yang ditulis dalam bahasa Arab, seperti Tanbih al-Masyi, atau bahasa
Melayu seperti Daqa’iq al-Huruf, dalam bentuk prosa maupun puisi, terdapat semacam
reinterpretasi terhadap ajaran tersebut, selain juga diiringi dengan sikap hati-hati dalam
menjelaskannya. Simak saja, misalnya, kutipan puisi Abdurrauf dalam salah satu
karyanya, Syair Ma’rifah ketika menjelaskan makna Man ‘Arafa Nafsahu Fa qad
‘Arafa Rabbahu (barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya), sebagai
berikut:
“Jika tuan menuntut ilmu,
ketahui dahulu keadaanmu,
Man ‘arafa nafsahu kenal dirimu,
Fa-qad ‘arafa Rabbahu kenal Tuhanmu.
Kenal dirimu muhadas semata,
Kenal Tuhanmu kadim Zat-Nya,
4 Abdurrauf Singkel

Tiada bersamaan itu keduanya,


Tiada semisal seumpamanya”

Untuk merasakan “kehati-hatian” Abdurrauf dalam Syair di atas, bandingkan


misalnya dengan puisi yang ditulis oleh Syaikh Hamzah Fansuri ketika menjelaskan
makna ungkapan —yang di kalangan para sufi disebut sebagai hadis— itu:
“Sabda Rasul Allah: Man ‘arafa nafsahu,
Bahwasanya mengenal akan Rabbahu,
Jika sungguh engkau ‘abdahu,
Jangan kau cari illa Wajhahu,
Wajah Allah itulah yang asal kata,
Pada wujudmu lengkap sekalian rata…”
Atau dalam puisinya yang lain:
“Tuhan kita itu tiada bermakan
Zahirnya nyata dengan rupa insan,
Man ‘arafa nafsahu suatu burhan,
Fa-qad ‘arafa Rabbahu terlalu bayan”

Dengan membandingkan kedua gaya puisi di atas, tidak bisa lain kita merasakan
betapa Abdurrauf lebih menegaskan tentang sifat kekekalan (kadim) Tuhan di satu
pihak, dan sifat kamakhlukan (muhadas) manusia di pihak lain, yang menyebabkan
adanya perbedaan mutlak di antara keduanya. Sedangkan Syaikh Hamzah Fansuri
terlihat lebih “lantang” menyatakan Tuhan sebagai: Pada wujudmu lengkap sekalian
rata… dan Zahirnya nyata dengan rupa insan, meskipun ia tidak sama sekali
mengabaikan sisi transendensi-Nya dengan menyatakan: Tuhan kita itu tiada bermakan.
Dalam konteks Aceh saat itu, di mana ekstrimitas tasawuf sedang dipersoalkan —
meskipun bisa jadi hal itu lebih diakibatkan oleh ketidakmengertian yang sungguh-
sungguh atas ajaran-ajarannya yang memang pelik—, gaya Abdurrauf ini menjadi
semacam “rem pengendali” dan cerminan dari sikap hati-hatinya.
Betapa pun demikian, dengan menganggap gaya penafsiran Abdurrauf sebagai
“hati-hati”, kita tidak bisa begitu saja menilai gaya Syaikh Hamzah Fansuri sebagai
sebaliknya, karena penilaian sebuah karya harus didudukkan dalam konteksnya masing-
masing. Syaikh Hamzah Fansuri, yang memang merupakan pendukung terkemuka
penafsiran mistiko-filosofis wahdatul wujud dari tasawuf, saat menulis karya-karyanya
berada pada masa di mana Islam mistik, terutama dari aliran wujûdiyyah, berjaya bukan
hanya di Aceh, tetapi juga di banyak bagian wilayah Nusantara. Bahkan dalam skala
global, periode Syaikh Hamzah Fansuri (paruh kedua abad ke-16) ditandai oleh
menghangatnya pertentangan kaum ortodoks dengan heterodoks, seperti yang terjadi di
Moghul, India. Sementara Abdurrauf Singkel, justru memulai karir intelektual dan
menulis karya-karyanya setelah penentangan terhadap doktrin wujûdiyyah tersebut
merajalela dan bahkan di Aceh cenderung mengakibatkan situasi chaos. Apalagi,
kapasitas Abdurrauf saat itu sebagai ulama istana yang berkepentingan menjaga
stabilitas negara. Karuan saja situasi tersebut mengkondisikannya menjadi seorang yang
kompromistis, santun, bijak, hati-hati, dan dapat mengakomodasi pihak-pihak yang
bertikai.
Sikap hati-hati Abdurrauf tidak hanya tampak dalam upayanya mengurangi kesan
ekstrim ajaran tasawuf, tindakan yang tentunya dibidikkan kepada para pengikut ajaran
wujûdiyyah. Ia juga mengimbau, terutama kepada Nuruddin ar-Raniri, untuk tidak
Ulama Santun dari Serambi Mekkah 5

sembarangan menuduh orang lain —termasuk mereka yang menganut ajaran


wujûdiyyah— sebagai sesat dan kafir. Yang menarik, meskipun dapat dipastikan bahwa
Abdurrauf bermaksud mengkritik, baik atas ekstrimitas para pengikut ajaran wujûdiyyah
Syaikh Hamzah Fansuri maupun sikap radikal Nuruddin ar-Raniri, ternyata dalam
hampir semua karangannya, tidak ditemukan satu ungkapan pun yang menyebut nama-
nama mereka secara ekspilit. Abdurrauf selalu menggunakan kata-kata yang samar dan
bersifat umum. Memang, atas hal ini tidak tertutup kemungkinan munculnya pandangan
bahwa Abdurrauf Singkel adalah sosok ulama yang “malu-malu”, tidak berani bersikap
tegas. Tetapi dalam konteks Aceh saat itu, sikap tersebut kiranya lebih tepat dianggap
sebagai wujud “sopan santun” dan toleransi Abdurrauf yang sangat tinggi, seperti
diisyaratkan oleh A.H. Johns dalam kutipan di awal tulisan ini.
Sikap santun Abdurrauf atas ar-Raniri sendiri sepertinya merupakan rangkaian
dari ajarannya yang sarat muatan moral. Dalam sebuah karyanya yang berbahasa Arab,
Tanbih al-Masyi, dikemukakan bagaimana misalnya seorang mukmin harus membantu
sesamanya, tidak saling mencaci maki, tidak saling mengutuk dan menghujat, tidak
menganiaya dan menelantarkannya, tidak melanggar hak-haknya, dan tidak mudah
menyebutnya sebagai kafir. Sungguh, Abdurrauf merujuk tauladan Nabi Saw. sebagai
wa innahu la ‘alâ khuluqin ‘azîm.

Rekonsiliasi Tasawuf dan Syariat


Dalam perkembangannya, tasawuf kerap kali dipersepsikan atau bahkan dipraktekkan
sebagai ajaran dengan ciri serta kandungan ekstatik dan metafisik belaka, sehingga yang
muncul dari praktek tasawuf hanyalah pencapaian kepuasan spiritual yang bersifat
individual, tanpa harus bersentuhan dengan masyarakat. Kesan ini sama sekali tidak
muncul dalam tasawuf yang diajarkan Abdurrauf Singkel. Ajaran mistisnya penuh
dengan dalil-dalil ortodoksi Islam, dan pada bagian-bagian tertentu menekankan serta
memperbarui faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan
mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf populer yang dianggap menyimpang
(unorthodox sufism). Abdurrauf “rajin” mengurangi secara substansial ciri-ciri ekstatik
yang berlebih-lebihan (extravagant) dari ajaran tasawuf, serta menekankan kepatuhan
pada syariat, kendati pada saat yang sama ia juga tetap mempertahankan kaitan-kaitan
doktrinalnya dengan, misalnya, Ibnu Arabi. Tidak heran jika ajaran tasawuf yang
dikembangkan Abdurrauf segera menawan perhatian Sultanah penguasa Aceh secara
emosional, spiritual dan intelektual.
Dengan model keilmuan yang dikembangkannya, seluruh tulisan Abdurrauf
menunjukkan bahwa perhatian utamanya adalah rekonsiliasi antara tasawuf dan syariat,
atau dalam istilahnya sendiri, antara ilmu batin dan ilmu lahir. Kecenderungan ini juga
terlihat dari “kemauan” Abdurrauf menulis sebuah karya penting di bidang fikih
(syariat), yaitu Mir’at at-Tullab. Berbeda dengan, misalnya, kitab fikih Shirat al-
Mustaqim karya Nuruddin ar-Raniri, karya “pesanan” Sultanah Safiyatuddin yang
rampung pada 1663 ini, tidak hanya membahas topik-topik ibadah mahdhah belaka,
melainkan juga menyentuh persoalan-persoalan sosial, politik, ekonomi dan aspek
keagamaan lainnya. Kitab ini, antara lain, menyertakan pembahasan tentang kriteria
atau syarat-syarat calon hakim (secara lebih luas, penguasa), meskipun dalam
penjelasannya, Abdurrauf sedikit banyak dapat “dituduh” mengkompromikan integritas
intelektualnya, lantaran ia tidak berusaha menerjemahkan kata dzakar (laki-laki) sebagai
salah satu syarat menjadi penguasa, hanya karena saat itu pemerintahan dipegang oleh
seorang perempuan. Padahal, pertanyaan mengenai boleh tidaknya seorang perempuan
6 Abdurrauf Singkel

menjadi penguasa, di kalangan orang Aceh telah lama tak terpecahkan. “Tuduhan” ini
tentu saja akan sedikit terbantahkan jika menyimak kebiasaan Abdurrauf —seperti
halnya ulama Melayu lain, termasuk Syaikh Hamzah Fansuri dan ar-Raniri— memakai
kata-kata asli bahasa Arab dalam setiap ungkapannya. Dalam Mir’at at-Tullab,
misalnya, Abdurrauf tetap menggunakan kata sikkin (pisau), muhtaj (perlu), mubarak
(diberkati), mursal (yang diutus), dll. tanpa menerjemahkannya ke dalam bahasa
Melayu.
Memang, sepanjang karirnya Abdurrauf “berdampingan” dengan empat penguasa
perempuan: Sultanah Safiyatuddin, Sultanah Nurul „Alam Naqiyatuddin, Sultanah
Zakiyatuddin, dan Sultanah Kamalatuddin. Tapi terlalu terburu-buru kalau penerimaan
Abdurrauf atas kepemimpinan perempuan ini dikaitkan dengan integritas intelektualnya.
Benar, apa pun alasannya, literatur fikih Islam, tak terkecuali Mir’at at-Tullab, lebih
memandang perempuan sebagai, meminjam istilah Simone de Beauvoir, secondary
creation. Yang tidak boleh dilupakan, Abdurrauf adalah juga seorang sufi. Berbeda
dengan perspektif fikih, tasawuf —seperti diulas tuntas oleh Sachiko Murata (1992)—
lebih memandang laki-laki dan perempuan, atau maskulitas dan feminitas, pada tataran
yang sama, dengan sisi positif dan negatifnya yang saling melengkapi. Dengan
pendekatan ini, tidak terlalu sulit memahami “hubungan mesra” Abdurrauf dengan
penguasa perempuan, patron keilmuannya, selama empat periode, terlebih lagi jika
dikaitkan dengan sikap toleran Abdurrauf, wataknya yang paling mencolok.
Terlepas dari itu semua, dalam konteks Melayu-Indonesia, Mir’at at-Tullab
merupakan kitab fiqh mu’amalat pertama yang berusaha menunjukkan kepada kaum
Muslim Melayu, bahwa doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah saja, tapi
mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Meskipun kini tidak lagi digunakan, di
masa lampau karya ini beredar luas, bahkan pada pertengahan abad ke-19, menjadi
salah satu acuan utama hukum Islam di Maquidanao, Filipina. Untuk seorang tokoh sufi
yang turut mempropagandakan ajaran wahdatul wujud, kecenderungan kuat terhadap
persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan ini memberikan “kredit poin” tersendiri. Ini
menepis anggapan bahwa mempelajari nilai-nilai spiritual tasawuf berarti mengarahkan
diri pada penyatuan mistis dengan Tuhan belaka, tanpa menghiraukan carut marut
kehidupan di dunia fana.

“Belajar” dari Masa Lalu


Inilah sekelumit pengalaman dari khazanah keilmuan Islam di Tanah Rencong. Kita
percaya, tidak setiap khazanah masa lalu lebih baik dari apa yang ada sekarang, tapi
kita pun yakin, tidak sedikit nilai berharga dari sana yang dapat menjadi sumber
inspirasi masa kini dan masa depan yang lebih baik. Bisa jadi, yang paling bijak adalah
—seperti sering dikutip oleh Nurcholis Madjid— al-muhâfazah ‘alâ al-qadîm ash-
shâlih, wa al-akhzu bi al-jadîd al-ashlah. Ya, sembari menggali nilai-nilai baru yang
lebih baik, kita tidak harus melupakan nilai-nilai berharga dari masa lalu.
Akhirnya, "pengalaman" Abdurrauf adalah salah satu di antara sekian khazanah
masa lalu kita. Tidak mustahil jika beberapa "mutiara" yang tercecer darinya dapat
dimanfaatkan saat kita memasuki dan merambah dunia baru; milenium ketiga, saat kita
kembali berhadapan dengan berbagai persoalan: konflik dan kekerasan yang berlatar
belakang keagamaan, kekeliruan mengolah perbedaan, serta berbagai persoalan moral.
Memang banyak cara untuk menemukan solusinya, siapa tahu salah satunya melalui
refleksi atas nilai-nilai budaya masa lalu kita. Apalagi, wacana keilmuan semisal
tasawuf yang ditawarkan Abdurrauf, kerap kali menawarkan "air" di saat dahaga.
Ulama Santun dari Serambi Mekkah 7

Tanpa bermaksud "mengkultuskan" khazanah masa lalu, tidak berlebihan kiranya


jika imbauan, ajakan, atau seruan untuk menengok dan merefleksikan kembali nilai-
nilai luhur budaya kita, harus semakin dipedulikan. Imbauan, yang oleh Abdul Hadi
W.M. (1999) dirumuskan kembali sebagai Kembali ke Akar Kembali ke Sumber ini
terutama seiring dengan semakin dirasakan meruyaknya nilai-nilai destruktif yang
berkembang dan berpotensi merusak tatanan moral bangsa ini.

Oman Fathurahman, Mahasiswa Program


Doktor Program Studi Ilmu Susastra, Universitas
Indonesia; Editor Jurnal Internasional Studia
Islamika; Staf Pengajar IAIN Syahid Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai