Jurnal Materi Emfisema
Jurnal Materi Emfisema
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian fisioterapi
dada, batuk efektif, dan nebulizer terhadap peningkatan saturasi oksigen dalam darah
pada pasien PPOK di RS Islam Jakarta Cempaka Putih. Desain penelitian ini Quasi
Eksperimen dengan menggunakan metode observasi dengan pendekatan desain One
Group Pre – Post Test. Hasil statistik uji T berpasangan (wilcoxon test) untuk nilai p=
0,001 (p<0,05). Simpulan, ada pengaruh pemberian fisioterapi dada, batuk efektif dan
nebulizer terhadap peningkatan saturasi oksigen dalam darah sebelum dan sesudah
intervensi pada pasien PPOK.
Kata Kunci: Batuk Efektif Fisioterapi Dada, Nebulizer, PPOK, Saturasi Oksigen
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the effect of chest physiotherapy, effective
coughing, and nebulizer on increasing oxygen saturation in blood in COPD patients at
Jakarta Cempaka Putih Islamic Hospital. The design of this research is Quasi
Experiment using observation method with One Group Pre-Post Test design approach.
Statistical results of paired T test (Wilcoxon test) for the value of p = 0.001 (p <0.05).
Conclusion, there is an effect of giving chest physiotherapy, effective cough and
nebulizer to increase oxygen saturation in blood before and after intervention in COPD
patients.
PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran pernapasan yang
disebabkan oleh emfisema dan bronkitis kronis. Menurut American College of Chest
Physicians /American Society (2015) PPOK didefinisikan sebagai kelompok penyakit
paru yang ditandai dengan perlambatan aliran udara yang bersifat menetap (Irianto,
2014). PPOK adalah penyakit yang membentuk satu kesatuan dengan diagnosa
medisnya adalah Bronkhitis, Emifisema paru-paru dan Asma bronchial (Padila, 2012).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan gangguan pernapasan yang
akan semakin sering dijumpai. Angka morbiditas dan mortalitasnya meningkat setiap
waktu. PPOK merupakan penyebab utama morbiditas dan cacat, dan pada tahun 2020
362
2019. Jurnal Keperawatan Silampari 3 (1) 362-371
diperkirakan menjadi penyebab terbesar ketiga kematian di seluruh dunia. Saat fungsi
paru memburuk dan penyakit berkembang maka risiko terjadinya hipoksia juga akan
meningkat. Hipoksia jaringan menjadi kunci terjadinya proses maladaptif dan
komorbid. Kejadian hipoksemia pada pasien PPOK menyebabkan penurunan kualitas
hidup, berkurangnya toleransi terhadap latihan, mengurangi fungsi otot rangka, dan
akhirnya meningkatkan risiko kematian (Kent, 2011).
Suatu kasus obstruksi aliran udara ekspirasi dapat digolongkan sebagai PPOK jika
obstruksi aliran udara tersebut cenderung progresif. Masalah utama yang menyebabkan
terhambatnya arus udara tersebut bisa terletak pada saluran pernapasan (Bronkitis
kronik) maupun pada parenkim paru (Emfisema). Kedua penyakit dapat dimasukkan ke
dalam kelompok PPOK jika keparahan penyakitnya telah berlanjut dan obstruksinya
bersifat progresif (Darmanto,2009).
Pada tahun 2002 jumlah penderita PPOK sedang hingga berat di negara-negara
Asia Pasifik memiliki prevalensi (6,3%). Angka bagi masing-masing negara berkisar
(3,5-6,7%). Negara dengan angkaterkecil adalah Hongkong dan Singapura (6,7%).
Indonesia memiliki angka (5,6%). Pada tahun 2008 menjadi salah satu penyakit dengan
angka mordibitas yang tinggi di Selandia Baru pada tahun 2012 dengan proporsi (14%)
penduduk usia 40 tahun ke atas dan pada yahun berikutnya diperkirakan akan
mengalami kenaikan (WHO, 2013).
World Health Organization (WHO) melaporkan terdapat 600 juta orang
menderita PPOK di dunia dengan 65 juta orang menderita PPOK derajat sedang hingga
berat. Pada tahun 2002 PPOK adalah penyebab utama kematian kelima di dunia dan
diperkirakan menjadi penyebab utama ketiga kematian di seluruh dunia tahun 2030
Lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2005, yang setara dengan
5% dari semua kematian secara global (WHO, 2015).
Berdasarkan hasil pendataan penyakit tidak menular pada 5 (lima) rumah sakit
provinsi di Indonesia (Jawa Timur, Jawa Barat,Sumatra Selatan dan Lampung) pada
tahun 2008, didapatkan PPOK merupakan urutan pertama penyumbang angka kesakitan
(35%), disusul oleh asma bronkial (33%), dan kanker paru (30%) (Riskesdas, 2018).
PPOK merupakan salah satu penyakit umum yang biasa terjadi pada masyarakat.
Dalam perawatan pasien dengan PPOK salah satu terapi yang diberikan antara lain
Fisioterapi dada. Peranan fisioterapi sangat penting dalam mengatasi gejala akibat
penyakit PPOK. Fisioterapi dada merupakan terapi kombinasi memobilitas sekret pada
pulmonari. Tujuan fisioterapi dada yaitu untuk mengeluarkan sekresi, dan reparisasi
ventilasi, dan efektifitas pengunaan otot pernafasan (Fitriananda Dkk, 2017).
Bentuk intervensi lain yang diberikan pada pasien PPOK adalah dengan
memberikan program edukasi dan rehabilitasi latihan pernafasan. Latihan pernafasan ini
terdiri dari latihan dan praktik pernafasan yang dimanfaatkan untuk mencapai ventilasi
yang lebih terkontrol, efisien dan mengurangi kerja pernafasan (Smetlzer et al, 2010).
Menurut Kusumawati (2013) pemberian tindakan rehabilitasi nafas pada penderita
PPOK dapat memperbaiki ventilasi dan memperbaiki kapasitas fungsional pernafasan.
Latihan rehabilitasi nafas yang dilakukan dengan teratur dan berkelanjutan dapat
menurunkan angka eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK. Latihan
pernafasan yang dapat diterapkan pada pasien dengan PPOK salah satunya adalah
pursed lips breathing exercise (PDPI, 2016).
Dalam mengoptimalkan pengobatan PPOK diberikan pendekatan komprehensif
yaitu pencegahan, manajemen medis dan rehabilitasi. Manajemen medis pada fase akut
dan kronis terdiri dari: perawatan pada saat sakit, farmakoterapi, dukungan pemberian
363
2019. Jurnal Keperawatan Silampari 3 (1) 362-371
ventilasi, dalam penggunaan oksigen dengan waktu lamaatau nutrisi dan rehabilitasi
paru (Kara et al, 2006). Edukasi merupakan peran penting bagi seorang perawat.
Teaching didefinisikan merupakan fungsi perawat dalam menolong pasien untuk bisa
mengerti informasi yang berkaitan dengan proses penyakit dan penyembuhannya
sehingga mampu meningkatkan efikasi diri dan kemampuan dalam mengatasi sesak
nafas pada pasien PPOK (Dochterman et al, 2008). Pengobatan dan perawatan PPOK
membutuhkan proses yang lama sehingga pasien perlu pola untuk mengelola penyakit.
Self management PPOK merupakan peran aktif pasien untukpengobatan dan perawatan
penyakit berdasarkan koping yang memadai, kepatuhan pengobatan, perhatian terhadap
teknik pernafasan.
Darah bertugas membawa oksigen ke sel-sel di dalam tubuh agar dapat bekerja
dengan baik. Jika oksigen dalam darah jumlahnya tak mencukupi, atau kurang dari 80
milimeter merkuri (mmHg), maka sel tubuh tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Jika tak segera ditangani, kekurangan oksigen dalam darah dapat
menimbulkan dampak fatal. Mulai dari napas menjadi pendek-pendek, mudah lelah,
sampai menurunnya kinerja jantung dan otak. Efek yang paling mudah terdeteksi jika
kadar oksigen dalam darah tak mencukupi adalah gangguan pada sistem pernapasan.
Menurut situs Livestrong.com, pada situasi normal kita bernapas sebanyak 12 sampai
16 tarikan napas per menit. Jika dalam semenit Sahabat Dream bernapas mencapai 24
tarikan dan ditambah denyut jantung bertambah cepat, serta merasa pusing dan lemah,
berarti kadar oksigen dalam kurang dari yang semestinya (Putri, 2013).
Dari hasil rekam medis RS Islam Jakarta Cempaka Putih ditemukan pasien PPOK
pada triwulan 4 tahun 2018 sebanyak 83 pasien. Berdasarkan hasil penelitian
Purnamasari (2012) mengenai evaluasi cara penggunaan inhaler dan nebulizer pada
pasien apotek Bunda Surakarta, maka dapat disimpulkan bahwa responden dengan
kategori tepat berdasarkan peragaan dalam menggunakan inhaler jenis MDI ialah
sebesar (42,86%) atau 1514 orang responden dari 35 responden dan yang menggunakan
nebulizer sebesar (70,00%) atau 7 orang responden saja dari 10 responden.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan menggunakan metode observasi
dengan pendekatan desain one group pre – post test. Pada penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh fisioterapi dada, batuk efektif, dan nebulizer terhadap peningkatan
saturasi oksigen. Penelitian ini diberikan intervensi fisioterapi dada, batuk efektif, dan
nebulizer.
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien PPOK dari bulan April – Juni 2019
sebanyak 29 orang. Sampelpenelitian adalah pasien PPOK yang dirawat di RS Islam
Jakarta Cempaka Putih dan pengambilan sampel secara purposivesampling, jumlah
sampel dalam penelitian ini sebanyak 29 responden. Penelitian ini dilaksanakan di RS
Islam Jakarta Cempaka Putih pada tanggal 20April sampai dengan 20 Juni 2019.
Proses pengambilan dan pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh
denganlembar observasi untuk mencatat fisioterapi dada, batuk efektif, dan nebulizer,
sedangkan untuk saturasi oksigen menggunakan alat oksimetri dan lembar observasi.
Proses pengumpulan data dilakukan selama 60 hari berturut-turut. Sebelum
dilakukan intervensi terlebih dahuludilakukan pengukuran saturasi oksigen, kemudian
pemberian intervensi. Setelah itu dilakukan pengukuran berulang dengan menggunakan
oksimetri.
364
2019. Jurnal Keperawatan Silampari 3 (1) 362-371
HASIL PENELITIAN
Tabel. 1
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Usia
dan Lama Menderita Penyakit PPOK, n=29
Tabel. 2
Distribusi Responden Berdasarkan Saturasi Oksigen
Sebelum Diberikan Intervensi, n=29
Tabel. 3
Pengaruh Fisioterapi Dada, Batuk Efektif, dan Nebulizer terhadap Peningkatan Saturasi Oksigen
Sebelum dan Sesudah Diberikan Intervensi, n=29
365
2019. Jurnal Keperawatan Silampari 3 (1) 362-371
PEMBAHASAN
Umur
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa rata-rata usia responden yaitu
59 tahunyang mengalami PPOK. Penyebab PPOK menurut Price et al, (2005);
Stellefson et al, (2012) adanya proses penuaan yang menyebabkan penurunan fungsi
paru-paru. Keadaan ini juga menyebabkan berkurangnya elastisitas jaringan paru dan
dinding dada sehingga terjadi penurunan kekuatan kontraksi otot pernapasan dan
menyebabkan kesulitan bernapas. Penyebab lain diantaranya asap rokok, kandungan
asap pada rokok dapat menyebabkan peradangan kronik pada paru-paru. Mediator dapat
merusak struktur di paru-paru. Ketika elastisitas pada saluran pernapasan menurun,
maka ventilasi berkurang, dan akan mengalami kolaps ketika ekspirasi. Hal ini
disebabkan ekspirasi terjadi karena pengempesan paru-paru secara pasif saat inspirasi.
Faktor resiko untuk tekena PPOK meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Sistem kardiorespirasi pada usia diatas 50 tahun akan mengalami penurunan daya tahan.
Penurunan ini terjadi karena pada organ paru, jantung, dan pembuluh darah mulai
menurun fungsinya. Fungsi paru mulai mengalami kemunduran dengan semakin
bertambahnya usia yang disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin
berkurang sehingga sulit bernapas. Akibat dari kerusakan pada jaringan paru akan
terjadi obstruksi bronkus kecil yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase
ekspirasi, dimana udara mudah masuk kedalam alveolus.dan terjadilah penumpukan
udara. Hal tersebut sejalan dengan peneliti sebelumnya Anriany, dkk (2015), sebaran
subjek berdasarkan umur dari 12 sampel didapatkan 7 orang pasien pada umur > 60
tahun (58,3%) yang mengalami PPOK. Dalam penelitian sebelumnya menurut Pradita
Ayu (2015) didapatkan bahwa mayoritas lanjut usia terbanyak adalah 13 orang (54,1%)
yang mengalami penyakit asma. Penyakit asma biasanya juga sering terjadi pada usia
golongan lansia awal, hal ini terjadi karena semakin bertambahnya usia maka akan
terjadi penurunan fungsi organ tubuh. Adanya perubahan hormonal yang terjadi pada
orang lanjut usia memberikan kontribusi terhadap perkembangan asma bronkial.
Hasil penelitian yang dilakukan Oemiyati (2014) menunjukkan antara kategori
usia < 65 tahun dan ≥ 65 tahun memiliki prosentase yang hampir sama pada kejadian
PPOK. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestari yang
mendiskripsikan mayoritas penderita PPOK adalah usia 67-74 tahun dengan
perhitungan statistik diperoleh rerata usia yaitu 60,8 tahun. Haraguchi et al, (2016)
menyatakan semakin bertambah usia terutama pada lanjut usia, kejadian PPOK semakin
tinggi dan dampak PPOK akan semakin berat dibandingkan dengan usia yang lebih
muda (Huriah, Ningtias, 2017).
Menurut peneliti proses penuaan yang menyebabkan penurunan fungsi paru-paru.
Keadaan ini juga menyebabkan berkurangnya elastisitas jaringan paru dan dinding dada
sehingga terjadi penurunan kekuatan kontraksi otot pernapasan dan menyebabkan
kesulitan bernapas. Ketika elastisitas pada saluran pernapasan menurun, maka ventilasi
berkurang, dan akan mengalami kolaps ketika ekspirasi. Hal ini disebabkan ekspirasi
terjadi karena pengempesan paru-paru secara pasif saat inspirasi.
366
2019. Jurnal Keperawatan Silampari 3 (1) 362-371
PPOK adalah istilah yang digunakan pada penyakit paru-paru yang bersifat lama
(Gracee et al, 2011). PPOK bersifat asimptomatis pada awal gejalanya sehingga sering
pasiennya mengabaikan gejala penyakitnya dan sewaktu gejala penyakitnya sudah
mengganggu kesehatan dan kegiatannya barulah pasien memeriksakan kesehatannya ke
pelayanan kesehatan. Berdasarkan kondisi tersebut diagnosis penyakit PPOK menjadi
terlambat.
Penelitian ini tidak sejalan dengan peneliti sebelumnya Muthmainnah dkk, (2015)
mayoritas responden ada pada kelompok baru (< 3 tahun) menderita PPOK. Menurut
peneliti, karenakan PPOK bersifat asimptomatis pada gejala awalnya, sehingga sering
membuat pasien mengabaikan keluhan atau gejala dari penyakitnya. Setelah dirasakan
keluhan penyakitnya sudah mengganggu aktifitasnya, barulah pasien memeriksakan
kesehatannya. Tidak jarang mayoritas responden ditemukan atau memeriksakan
kesehatannya dalam kategori lansia atau dewasa tua.
367
2019. Jurnal Keperawatan Silampari 3 (1) 362-371
oksigen pada penderita PPOK derajat berat-sangat berat. Pada penelitian ini tidak
dijumpai perbedaan yang bermakna saturasi oksigen pada pasien pada pasien yang
melakukan aktivitas fisik baik pada kelompok umur <60 tahun, kelompok umur >60
tahun, dan derajat berat-sangat berat, namun dijumpai perbedaan yang bermakna pada
kelompok ringan–sedang.
Menurut Sherwood (2016) deep breathing exercise ini memiliki kemampuan yang
cukup untuk meningkatkan tekanan intra abdomen agar paru-paru dapat mengembang
secara optimal sehingga mampu meningkatkan kapasital vital yang mengakibatkan
semakin besar pula kuantitas gas yang dapat berdifusi melewati membran alveolus. Hal
ini berdampak makin meningkatnya ikatan oksihemoglobin dalam sel darah merah
dalam pembuluh darah arteri sehingga meningkatkan saturasi oksigen. Deep breathing
exercise adalah tekhnik latihan pernapasan dalam serta perlahan dengan memakai otot
diafragma menyebabkan abdomen dapat diangkat secara perlahan dan dapat terjadi
pengembangan dada (Smeltzer, 2008). Latihan deep breathing merupakan latihan
pernapasan yang diselingi batuk (Widiyani, 2015). Penelitian ini sejalan dengan I Made
Mertha (2018) dengan menggunakan uji dari paired samples t test mendapatkan
perbedaan rata-rata nilai saturasi pasien PPOK pada kelompok perlakuan sebelum dan
setelah pemberian deep breathing exercise mengalami peningkatan sebesar 5,1%. Ada
pengaruh pemberian deep breathing exercise terhadap saturasi oksigen pada pasien
PPOK di IGD RSUD Sanjiwani Gianyar tahun 2018.
Strickland et al, (2013) menyatakan bahwa usaha peningkatan bersihan jalan
napas akan meningkatkan oksigenasi, menurunkan lama waktu perawatan, mengatasi
atelektasis/konsolidasi paru, dan meningkatkan pernapasan mekanik. Penelitian ini juga
merekomendasikan bagi pasien dengan PPOK yang mengalami gangguan bersih jalan
napas yang memiliki kelemahan untuk batuk secara manual ataupun dibantu secara
mekanik. Pembersihan jalan napas ini sangat penting bagi pasien PPOK khususnya
TBC karena retensi sekret yang tidak dikeluarkan dalam waktu yang lama dapat
menghambat pernapasan yang dapat berujung kepada kematian.
Pemberian terapi nebulizer merupakan pemberian obat secara langsung ke dalam
saluran nafas melalui penghisapan, dengan keuntungan berupa obat bekerja langsung
pada saluran nafas, onset kerjanya cepat, dosis yang digunakan kecil, serta efek samping
yang minimal karena konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau rendah (Supriyanto,
2002).
Menurut Agus dkk, (2018) Terapi nebulizer dengan menggunakan oksigen
sebagai penghasil uap, masih efektif terhadap perubahan suara napas dari tachypne
menjadi eupnea, dapat meningkatkan SpO2 dalam darah dan penurunan RR, dan
perubahan pola napas dari rhonchi/wheezing menjadi vesikuler, namun perlu ditinjau
ulang dalam penggunaanya, mengingat akan adanya resiko komplikasi yang disebabkan
penggunaan yang tidak tepat.
Menurut Kusyati (2006) kadar oksigen inspirasi yang tinggi dapat meningkatkan
net shunt dengan berbagai mekanisme, pengaruh ini meningkatkan PO2 arteri,
karenanya pada hipoksemia akut yang berat (saturasi oksigen arteri 85%) pasien PPOK
akan mengalami batuk-batuk, sesak nafas secara kronis dan menahun diakibatkan oleh
tumpukan mukus yang kental dan mengendap menyebabkan obstruksi jalan nafas,
sehingga asupan oksigen tidak adekuat.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Pradita Ayu (2015) dengan uji statistik
menggunakan uji wilcoxon menjelaskan bahwa ada pengaruh pemberian terapi inhalasi
dengan nebulizer terhadap peningkatan saturasi oksigen pada klien dengan serangan
368
2019. Jurnal Keperawatan Silampari 3 (1) 362-371
asma yang digambarkan dengan adanya perbedaan yang signifikan pada nilai saturasi
oksigen sebelum dan setelah diberikan terapi inhalasi dengan nebulizer.
Bilo et al, (2012) Saturasi oksigen penderita PPOK dapat ditingkatkan dengan
terapi nonfarmakologis yaitu dengan deep breathing atau latihan pernapasan dalam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa deep breathing secara signifikan dapat
memperbaiki ventilasi penderita PPOK yangditunjukkan dengan peningkatan saturasi
oksigen. Volvato et al, (2015) banyak penelitian yang menunjukkan bahwa terjadi
perbaikan dalam saturasi oksigenselama menggunakan metode relaksasi pada pasien
PPOK, seperti penggunaan progressive muscle relaxation, guided imagery dan lain-lain.
Thomsen (2014) pengukuran saturasi oksigen masih memungkinkan sebagai
metode yang applicble untuk mendeskripsikan masalah pertukaran gas dalam paru-paru.
Saturasi oksigen dapat diukur dengan menggunakan oxymetry fingertip yang diletakkan
pada jari pasien. Meskipun demikian ada faktor yang mempengaruhi ketidakakuratan
pengukuran saturasi oksigen seperti perubahan kadar Hb, sirkulasi yang buruk, akral
dingin, ukuran jari terlalu besar/kecil, aktivitas menggigil, adanya cat kuku berwarna
gelap.
Menurut peneliti pengobatan PPOK secara medis tidak bisa menyembuhkan
secara tuntas 100%, untuk mengencerkan mukus diberikan inhalasi atau nebulizer,
sedangkan pengobatan berupa suportif dan paliatif hanya untuk mengubah kualitas
hidup dengan jalan memenuhi kebutuhan oksigen (O2), sehingga peneliti melakukan
intervensi berupa tindakan terapi inhalasi, supportif dan paliatif. Tindakan tersebut
adalah pemberian fisioterapi dada, setelah itu dilakukan pemberian nafas dalam dan
batuk efektif kepada pasien, dan yang terakhir dilakukan terapi nebulizer, Setelah
dilakukan intervensi, peneliti melakukan pengukuran saturasi oksigen. Pada pemberian
tindakan supportif dan paliatif sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan oksigen
(O2), maka pengobatan suportif dan paliatif sangat memegang peranan penting, melalui
fisioterapi dada, antara lain: perkusi, vibrasi, postural drainase, batuk efektif dan nafas
dalam untuk memudahkan mengeluarkan secret sehingga jalan nafas menjadi lancar
kemudian saturasi oksigen (SaO2) mengalami peningkatan.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian maka kesimpulan yang didapat adalah sebagai
berikut :Gambaran distribusi responden menurut usia, lebih banyak dalam kategori usia
lanjut yang mengalami PPOK yaitu 59 tahun. Gambaran distribusi responden menurut
lama menderita PPOK yang lebih banyak yaitu lama menderita PPOK 23 tahun. Rata-
rata saturasi oksigen sebelum diberikan intervensi yaitu 93, sedangkan rata-rata sesudah
diberikan intervensi meningkat menjadi yaitu 97.
Ada pengaruh fisioterapi dada, batuk efektif dan nebulizer terhadap peningkatan
saturasi oksigen sebelum dan sesudah diberikan intervensi.
SARAN
1. Rumah Sakit
Agar pemberianfisioterapi dada, batuk efektif dan terapi nebulizerdapat diberikan
secara menyeluruh dan dapat dijadikan sebagai salah satu tindakan atau prosedur
tetap yang dapat dilakukan perawat dalam pemberian asuhan keperawatan bagi
pendertia PPOK yang mengalami penurunan saturasi oksigen.
369
2019. Jurnal Keperawatan Silampari 3 (1) 362-371
2. Petugas Kesehatan
Perlunya pendidikan atau pelatihan bagi petugas kesehatan lebih lanjut tentang
prosedur fisioterapi dada, batuk efektif dan terapi nebulizer terkait dengan hasil
penelitian dimana pemberian intervensi fisioterapi dada, batuk efektif dan terapi
nebulizer mempengaruhi peningkatan saturasi oksigen menjadi lebih baik
3. Terimakasih peneliti ucapkan kepada RS Islam Jakarta Cempaka Putih, para
responden dan juga petugas kesehatan di RS Islam Jakarta yang telah mendukung
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki N. (2012). Fisioterapi pada Kasus Respirasi. Surakarta: Politeknik
Kesehatan Surakarta Jurusan Fisioterapi
Darmanto, D. (2009). Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: Buku Kedokteran
Fitriananda, E., Waspada, E., & Fis, S. (2017). Pengaruh Chest Physiotherapy terhadap
Penurunan Frekuensi Batuk pada Balita dengan PPOK di Balai Besar Kesehatan
Paru Masyarakat Surakarta (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta)
Haraguchi, M., Nakamura, H., Sasaki, M., Miyazaki, M., Chbachi, S., Takahashi, S.,
Asano, K., Jones, P., Betsuyaku, T., K-CCR group. (2016). Determinants of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease Severity in the Late Elderly Differ from
Those in Younger Patients. BMC Res Notes, 9(7)
Huriah, T., Ningtias, D. W. (2017). Pengaruh Active Cycle of Breathing Technique
terhadap Peningkatan Nilai VEP1, Jumlah Sputum dan mobilisasi Sangkar
Thoraks Pasien PPOK. Indonesian Journal or Nursing Practices, 1(2), 44-54.
DOI: 10.18196/ijnp.1260
I Imade, M. (2018). Pengaruh Pemberian Deep Breathing Exercise terhadap Saturasi
Oksigen pada Pasien PPOK. Jurnal Gema Keperawatan: Potekkes Kemenkes
Denpasar Bali
Kent, B. D., Mitchell, P. D., McNicholas, W. T. (2011). Hypoxemia in Patients with
COPD. Cause, Effects, and Diseases Progression. International Journal of COPD,
6, 199-208s
Koes, I. (2014). Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular. Bandung:
Alfabeta
Oemiyati, R. (2013). Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Jakarta: Kemenkes RI
Padila, P. (2012). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta:
Nuhamedika
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). (2015). Diagnosis dan Penatalaksaan
Asma. Penerbit Universitas Indonesia
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses
Penyakit. Edisi 6, Vol. 2. Jakarta: EGC
Putri, A. P., Dwi, R. K., St FT, S., Fis, M., & Sari, Y. M. (2016). Pengaruh Chest
Therapy terhadap Penurunan Respiratory Rate pada Balita dengan Bronkitis di
RS Triharsi Surakarta (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta)
Sherwood, L. (2016). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.
370
2019. Jurnal Keperawatan Silampari 3 (1) 362-371
Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2008). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Alih Bahasa H. Y. Kuncara, Monica Ester,Yasmin
Asih. Jakarta: EGC
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hincle, J. I., & Cheever, K. H. (2010). Textbook of
Medical Surgical Nursing; Brunner & Suddarth's(Ed 12). Philadelphia:
Lippincott william & Wilkins
WHO. (2013). World COPD Day in Your Country. http://www.Goldcopd.Org/wed
inyoiurcountry.html?country_id=55&submit=Go
371