A. PENDAHULUAN
Di sekitar kita ada beberapa bayi dengan kelainan bawaan seperti labioskizis,
labiopalatoskizis, atresia ani dan sebagainya. Banyak sekali faktor penyebabnya, diantaranya
pengaruh kebiasaan merokok, obat-obatan yang tidak aman bagi kehamilan,dan sebagainya.
Pada bab ini kita bisa mempelajariberbagai kelainan bawaan, faktor penyebab dan bagaimana
penatalaksanaannya.
B. TUJUAN INSTRUKSIONAL
1. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM
Mahasiswa mampu memahami berbagai kelainan bawaan pada bayi beserta
penatalaksanaannya
2. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
a. Mahasiswa mampu memahami tentang labioskizis dan labiopalatoskizis dan
bagaimana penatalaksanaannya
b. Mahasiswa mampu memahami tentang atresia esofagus dan bagaimana
penatalaksanaannya
c. Mahasiswa mampu memahami tentang atresia ani dan bagaimana penatalaksanaannya
d. Mahasiswa mampu memahami tentang obstruksi billiarisdan bagaimana
penatalaksanaannya
e. Mahasiswa mampu memahami tentang omfakel dan gastroskizis dan bagaimana
penatalaksanaannya
f. Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit hirschsprung dan bagaimana
penatalaksanaannya
g. Mahasiswa mampu memahami tentang hernia diafragma dan bagaimana
penatalaksanaannya
h. Mahasiswa mampu memahami tentang atresia duodenum dan bagaimana
penatalaksanaannya
i. Mahasiswa mampu memahami tentang atresia esofagus dan bagaimana
penatalaksanaannya
j. Mahasiswa mampu memahami tentang meningokel dan bagaimana
penatalaksanaannya
k. Mahasiswa mampu memahami tentang ensefalokel dan bagaimana
penatalaksanaannya
l. Mahasiswa mampu memahami tentang fimosis dan bagaimana penatalaksanaannya
m. Mahasiswa mampu memahami tentang hipospadia dan bagaimana
penatalaksanaannya
n. Mahasiswa mampu memahami tentang hidrosefalus dan bagaimana
penatalaksanaannya
C. MATERI
1. Labioskizis Dan Labiopalatoskizis
a. Definisi
Labioskizis dan labiopalatoskizis merupakan deformitas daerah mulut berupa
celah atau sumbing atau pembentukan yang kurang sempurna semasa perkembangan
embrional dimana bibir atas bagian kanan dan bagian kiri tidak tumbuh bersatu
b. Klasifikasi
Jenis belahan pada labioskizis atau labiopalatoskizis dapat sangat bervariasi,
bisa mengenai salah satu bagian atau semua bagian dari dasar cuping hidung, bibir,
alveolus dan palatum durum, serta palatum molle. Suatu klasifikasi membagi
struktur-struktur yang terkena menjadi bebrapa bagian berikut:
1) Palatum primer meliputi bibir, dasar hidung, alveolus dan palatum durum di
belahan foramen insisivum.
2) Palatum sekunder meliputi palatum durum dan palatum molle posterior terhadap
foramen.
3) Suatu belahan dapat mengenai salah satu atau keduanya, palatum primer dan
palatum sekunderdan juga bisa berupa unilateral atau bilateral.
4) Terkadang terlihat suatu belahan submukosa. Dalam kasus ini mukosanya utuh
dengan belahan mengenai tulang dan jaringan otot palatum.
c. Etiologi
Penyebab terjadinya labioskizis atau labiopalatoskizis adalah sebagai berikut:
1) Kelainan-kelainan yang dapat menyebabkan hipoksia.
2) Obat-obat yang dapat merusak sel muda (mengganggu mitosis), misalnya
sitostatika dan radiasi.
3) Obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme, misalnya defisiensi vitamin B6,
asam folat dan vitamin C.
4) Faktor keturunan
d. Patofisiologi
Labioskizis terjadi akibat kegagalan fusi atau penyatuan forminem maksilaris
dengan forminem medial yang diikuti disrupsi kedua bibir rahang dan palatum
anterior.Masa krisis fusi tersebut terjadi sekitar minggu keenam pasca
konsepsi.Sementara itu, palatoskizis terjadi akibat kegagalan fusi dengan septum
nasi.Gangguan palatum durum dan palatum molle terjadi pada kehamilan minggu ke-
7 sampai minggu ke-12.
e. Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada kelainan ini adalah:
1) Otitis media
2) Faringitis
3) Kekurangan gizi
f. Penatalaksanaan
1) Pemberian ASI secara langsung dapat pula diupayakan jika ibu mempunyai reflex
mengeluarkan air susu dengan baik yang mungkin dapat dicoba dengan sedikit
menekan payudara.
2) Bila anak sukar mengisap sebaiknya gunakan botol peras (squeeze bottles). Untuk
mengatasigangguan mengisap, pakailah dot yang panjang dengan memeras botol
maka susu dapat didorong jatuh di belakang mulut hingga dapat diisap. Jika anak
tidak mau, berikan dengan cangkir dan sendok.
3) Dengan bantuan ortodontis dapat pula dibuat ocular untuk menutup sementara
celah palatum agar memudahkan pemberian minum, dan sekaligus mengurangi
deformitas palatum sebelum dapat dilakukan tindakan bedah.
4) Tindakan bedah, dengan kerja sama yang baik antara ahli bedah, ortodontis,
dokter anak, dokter THT, serta ahli wicara
h. Syarat palatoplasti
Platoskizis ini biasanya ditutup pada umur 9-12 bulan menjelang anak belajar
bicara, yang penting dalam operasi ini adalah harus memperbaiki lebih dulu bagian
belakangnya agar anak bisa dioperasi umur 2 tahun.Untuk mencapai kesempurnaan
suara, operasi dapat saja dilakukan berulang-ulang. Operasi dilakukan jika berat
badan normal, penyakit lain tidak ada serta memiliki kemampuan makan dan minum
yang baik. Untuk mengetahui berhasil atau tidaknya operasi harus ditunggu sampai
anak tersebut belajar bicara antara 1-2 tahun.
1) Jika sengau harus dilakukan terapi bicara (fisioterapi otot-otot bicara)
2) Jika terapi bicara tidak berhasil dan suara tetap sengau, maka harus dilakukan
farioplasti saat anak berusia 8 tahun.
Faringoplasti adalah suatu pembebasan mukosa dan otot-otot yang kemudian
didekatkan satu sama lain.Pada faringoplasti hubungan antara faring dan hidung
dipersempit dengan membuat klep/memasang klep dari dinding belakang faring ke
palatum molle.Tujuan pembedahan ini adalah untuk menyatukan segmen-segmen
agar pembicaraan dapat dimengerti.
Perawatan yang diberikan pacsa dilakukannya faringoplasti adalah sebagai
berikut:
1) Menjaga agar garis-garis jahitan tetap bersih
2) Bayi diberi makan atau minum dengan alat penetes dengan menahan kedua
tangannya.
3) Makanan yang diberikan adalah makanan cair atau setengah cair atau bubur saring
selama 3 minggu dengan menggunakan alat penetes atau sendok.
4) Kedua tangan penderita harus dijauhkan dari alat-alat permainan.
Sumber : Vivian Nanny Lia Dewi, 2010.Asuhan Neonatus Bayi dan Anak
Balita.Jakarta:Salemba Medika. Halaman 105
2. Atresia Esofagus
a. Definisi
Atresia berarti buntu, dengan demikian atresia esofagus adalah kelainan
bawaan dimana ujung saluran esophagus buntu, biasanya sebanyak 60% dengan
disertai dengan hidramnion.
b. Gambaran Klinis
Atresia menyebabkan saliva terkumpul pada ujung bagian esofagus yang
buntu. Apabila terdapat fistula, maka saliva ini akan mengalir keluar atau masuk ke
dalam trakea. Hal ini akan lebih berbahaya apabila saliva mengalir melalui fistula
trakeo-esofagus karena cairan saliva akan masuk ke dalam paru.
Kelainan ini biasanya baru diketahui setelah bayi berumur 2-3 minggu dengan
gejala muntah proyektil beberapa saat setelah minum susu. Pada pemeriksaan fisik
yang dilakukan setelah bayi menyusui akan ditemukan gerakan peristaltik lambung
karena ada usaha melewatkan makanan melalui daerah yang sempit di pylorus. Tidak
jarang teraba tumor saat ditemukannya peristaltik.
d. Penatalaksanaan
1) Posisikan bayi setengah duduk apabila atresia esophagus disertai fistula. Namun
apabila atresia tanpa disertai fistula, bayi diposisikan dengan kepala lebih rendah
(trendelenburg) dan seringlah mengubah-ubah posisi.
2) Segera lakukan pemasangan kateter ke dalam esophagus dan bila memungkinkan
lakukan pengisapan terus-menerus.
3) Berikan perawatan seperti bayi normal lainnya, seperti pencegahan hipotermi,
pemberian nutrisi adekuat dan lain-lain.
4) Rangsang bayi untuk menangis.
5) Lakukan informed consent dan informed choice kepada keluarga untuk
melakukan rujukan pada pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.
Sumber : Vivian Nanny Lia Dewi, 2010.Asuhan Neonatus Bayi dan Anak
Balita.Jakarta:Salemba Medika. Halaman 107
3. Atresia Ani
a. Definisi
Atresia ani terjadi karena tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya
berlubang karena cacat bawaan.Penyebab atresia ani ini belum diketahui secara pasti.
d. Penatalaksanaan
1) Puasakan bayi dang anti dengan pemberian cairan intravena sesuai dengan
kebutuhan, misalnya glukosa 5-10% atau Na-Bikarbonat 1,5%.
2) Pembedahan segera dilakukan, setelah tinggi atresia ditemukan.
3) Eksisi membran anal.
4) Kolostomi sementara dan lakukan perbaikan total setelah 3 bulan.
4. Obstruksi Billiaris
a. Definisi
Merupakan suatu kelainan bawaan karena adanya sumbatan pada saluran empedu,
sehingga cairan empedu tidak dapat mengalir ke dalam usus dan akhirnya dikeluarkan
dalam feses (Sebagai sterkolobilin).
b. Gambaran Klinis
Gejala mulai terlihat pada akhir minggu pertama ketika bayi tampak
ikterus.Selain itu feses tampak berwarna putih ke abu-abuan, terlihat seperti dempul,
dan urine tampak berwarna lebih tua karena mengandung urolobilin.
c. Penatalaksanaan
1) Berikan Perawatan layaknya bayi normal lainnya, seperti pemberian nutrisi yang
adekuat, pencegahan hipotermi, pencegahan infeksi, dan lain-lain.
2) Lakukan konseling pada orang tua agar mereka menyadari bahwa menguningnya
tubuh bayi bukan disebabkan oleh masalah yang biasa, tetapi karena adanya
penyumbatan saluran empedu.
3) Berikan informed Consent danInformed Choice untuk dilakukan rujukan.
Sumber :
Vivian Nanny Lia Dewi, 2010.Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita.Jakarta:Salemba
Medika. Halaman 113
c. Penatalaksanaan
1) Penanganan yang diberikan hampir sama dengan penanganan bayi normal
lainnya, misalnya pemberian nutrisi yang adekuat, pencegahan hipotermi, dan
lain-lain.
2) Lakukan tindakan pencegahan infeksi sebelum pembedahan dengan cara
mengolesi merkurokrum dan menutupnya dengan kassa steril, lalu ditutup sekali
lagi dengan kapas yang agak tebal dan terakhir dipasang gurita.
3) Berikan informed consent daninformed choice untuk dilakukan pembedahan
setelah ada penebalan setelah ada penebalan selaput kantong.
Sumber :
Vivian Nanny Lia Dewi, 2010.Asuhan Neonatus Bayi dan Anak
Balita.Jakarta:Salemba Medika. Halaman 113
6. Penyakit Hirschsprung
a. Definisi
Penyakit ini merupakan suatu kelainan bawaan berupan aganglionik usus
yang dimulai dari sfingter ani eksternal ke arah proksimal dengan panjang yang
bervariasi dan termasuk usus sampai rektum atau juga dikatakan sebagai suatu
kelainan konginental dimana tidak terdapat sel ganglion parasimpatik dan pleksus
auerbach di kolon. Keadaan abnormal tersebut dapat menimbulkan tidak adanya
peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, sfingter rektum tidak dapat berelaksasi,
tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian dapat
menyebabkan isi usus terdorong kebagian segmen yang tidak ada ganglion dan
akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut, sehingga dapat menyebabkan
dilatasi usus proksimal.
b. Penatalaksanaan Prapembedahan
Penatalaksanaan pra pembedahan pada klien hirschprung adalah sebagai berikut:
1) Memantau fungsi usus dan karakteristik feses.
2) Memberikan spooling dengan air garam fisiologis bila tidak ada kontraindikasi.
3) Penatalaksanaan medis dalam rencana pembedahan.
4) Pantau status hidrasi dengan cara mengukur intake dan output cairan tubuh.
5) Mengobservasi membran mukosa, turgor kulit, produksi urine, dan status cairan.
6) Memantau perubahan status nutrisi, antara lain turgor kulit, asupan nutrisi.
7) Melakukan pemberian nutrisi parenteral apabila secara oral tidak memungkinkan.
8) Melakukan pemberian nutrisi dengan tinggi kalori, tinggii protein dan tinggi sisa.
Sumber :
Vivian Nanny Lia Dewi, 2010.Asuhan Neonatus Bayi dan Anak
Balita.Jakarta:Salemba Medika. Halaman 118
7. Hernia
Hernia, atau yang lebih dikenal dengan turun berok adalah penyakit akibat
turunnya buah zakar seiring melemahnya lapisan otot dinding perut.Penderita hernia
memang kebanyakan laki-laki terutama anak-anak. Kebanyakan penderitanya akan
merasakan nyeri jika terjadi infeksi di dalamnya, misalnya jika anak-anak penderitanya
terlalu aktif.
Berasal dari bahasa Latinherniae yaitu menonjolnya isi suatu rongga melalui
jaringan ikat tipis yang lemah pada dinding rongga.Dinding rongga yang lemah itu
membentuk suatu kantong dengan pintu berupa cincin.Gangguan ini sering terjadi di
daerah perut dengan isi yang keluar berupa bagian dari usus.
Hernia yang terjadi pada anak-anak lebih disebabkan karena kurang sempurnanya
procesus vaginalis untuk menutup seiring dengan turunnya testis atau buah zakar.
Sementara pada orang dewasa, karena adanya tekanan yang tinggi dalam rongga perut
dan karena faktor usia yang menyebabkan lemahnya otot dinding perut.
Penyakit hernia banyak diderita oleh orang yang tinggal didaerah perkotaan yang
notabene yang penuh dengan aktivitas maupun kesibukan dimana aktivitas tersebut
membutuhkan stamina yang tinggi. Jika stamina kurang bagus dan terus dipaksakan
maka, penyakit hernia akan segera menghinggapinya.
Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas :
a. hernia bawaan (kongenital)
b. hernia yang didapat (akuisita)
Berdasarkan letaknya, hernia dibagi menjadi :
a. herniadiafragma yaitu menonjolnya organ perut kedalam rongga dada melalui lubang
pada diafragma (sekat yang membatasi rongga dada dan rongga perut).
b. inguinal
c. umbilical yaitu benjolan yang masuk melalui cincin umbilikus (pusar)
d. femoral yaitu benjolan di lipat paha melalui anulus femoralis.
Sedangkan menurut sifatnya, ada hernia :
a. reponibel :bila isi hernia dapat keluar masuk.
b. hernia irreponibel : bila isi kantung hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam rongga
c. hernia akreta : jika tidak ada keluhan rasa nyeri ataupun tanda sumbatan usus akibat
perlekatan tersebut
8. Hernia Diafragmatika
a. Definisi
Hernia Diafragmatika adalah penonjolan organ perut kedalam rongga dada
melalui suatu lubang pada diafragma. Diafragma merupakan sekat yang membatasi
rongga dada dan rongga perut.
c. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik, yaitu:
1) Gerakan dada pada saat bernafas tidak simetris
2) Tidak terdengar suara pernafasan pada sisi hernia
3) Rontgen menunjukkan adanya organ perut di rongga dada
b. Pengobatan
Hernia diafragmatika diatasi dengan tindakan pembedahan darurat.Organ perut garus
dikembalikan kerongga perut dan lubang diafragma diperbaiki.
Sumber :S Haws, Paulette.2008. Asuhan Neonatus Rujukan Cepat. Jakarta : EGC
halaman 152
b. Atresia Esofagus
1) Pengertian
Atresia Esofagus adalah tidak terdapatnya lubang atau muara pada esofagus
2) Etiologi
a) Secara Umum
Salah Satunya adalah kegagalan pada fase embrio terutama pada bayi lahir
premature. Ada beberapa etiologi yang dapat menimbulkan kelainan
congenital atresia esophagus, diantaranya :
(1) Factor obat
(2) Factor radiasi
(3) Factor gizi
b) Secara Khusus
Secara epidemologi anomaly ini terjadi padaumur kehamilan 3-6 minggu
akibat dari :
(1) Deferensiasi usus depan yang tidak sempurna
(2) Perkembangan sel endotel yang lengkap sehingga menyebabkan terjadinya
atresia
(3) Perlengkapan dinding lateral ususdepan yang tidak sempurna sehingga
terjadifistula trchea esophagus
3) Tanda dan gejala
a) Biasanya disertai hidramion (60%) dan hal ini pula yang menyebabkan
kenaikan frekuensi bayi lahir prematur, sebaiknya dari amamnesis didapatkan
keterangan bahwa kehamilan ibu disertai hidramion hendaknya dilakukan
kateterisasiesophagus. jika kateter berhenti pada jarak 10 cm,maka diduga
Atresia Etsopgus.
b) Segera setelah diberi minum, bayi akan berbangkis, batuk dan sianosis karena
aspirasi cairan kedalam jalan nafas.
c) Pada fistula tracheo esophagus cairan lembung juga dapat masuk kkedalam
paru, oleh karena itu bayi sering sianosis.
d) Foto torak nampak bayangan udara esophagus proksimal yangbuntu.
4) Penatalaksanaan
a) Penanganan yang dapat dilakukan bidan :
(1) Pasang sonde lambung antara No 6-8 F yang cukup kalen dan radio opak
sampai di esophagus yang buntu. Lalu isap air liur secara teratur setiap 10-
15 menit
(2) Pada groos II bayi tidur terlentang dengan kepala lebih tinggi
(3) Pada groos I bayi tidur terlentang dengan kepala lebih rendah
(4) Bayi di puasakan dan di infus
(5) Konsultasi dengan yang lebih kompeten
(6) Rujuk ke rumah sakit
b) Pengobatan pada atresia etsophagus setelah dirujuk, yaitu antara lain:
(1) Keperawatan
Sebelum dilakukan operasi, bayi diletakkan setengah duduk untuk
mencegah terjadinya regurgitasi cairan lambung ke dalam paru, cairan
lambung harus sering diisap untuk mencegah aspirasi.
(2) Medik
Pengobatan dilakukan dengan operasi. Pada penderita atresia anus ini
dapat diberikan pengobatan sebagai beriikut:
(a) Fistula yaitu dengan melakukan kolostomia sementara dan setelah 3
bulan dilakukan koreksi sekaligus
11. Fimosis
a. Pengertian
Fimosis adalah penyempitan pada prepusium.Kelainan menyebabkan bayi/ anak
sukar berkemih.Kadang-kadang begitu suka sehingga kulit prepusium
menggelembung seperti balon.Bayi / anak sering menangis sebelum urine keluar.
b. Etiologi
Fimosis pada bayi laki-laki yang baru lahir terjadi karena ruang di antara kutup
dan penis tidak berkembang dengan baik.Kondisi ini menyebabkan kulup menjadi
melekat pada kepala penis sehingga sulit ditarik ke arah pangkal.Penyebabnya
bisa dari bawaan dari lahir, atau didapat, misalnya karena infeksi atau benturan.
c. Tanda dan gejala
1) Kulit penis anak tidak bisa ditarik ke arah pangkal ketika akan dibersihkan.
2) Anak mengejan saat buang air kecil karena muara saluran kencing diujung
tertutup. Biasanya ia menangis dan pada ujung penisnya tampak
menggembung.
3) Air seni yang tidak lancar, kadang-kadang menetes dan memancar dengan
arah yang tidak dapat diduga.
4) Kalau sampai timbul infeksi, maka si anak akan mengangis setiap buang air
kecil dan dapat pula disertai demam.
5) Kadang-kadang keluhan dapat berupa ujung kemaluan menggembung saat
mulai miksi yang kemudian menghilang setelah berkemih. Hal tersebut
disebabkan oleh karena urin yang keluar terlebih dahulu tertahan dalam
ruangan yang dibatasi oleh kulit pada ujung penis sebelum keluar melalui
muaranya yang sempit.
6) Iritasi pada penis
d. Komplikasi
1) Ketidaknyamanan / nyeri saat berkemih.
2) Akumulasi sekret dan smegma di bawah prepusium yang kemudian terkena
infeksi sekunder dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
3) Pada kasus yang berat dapat menimbulkan retensi urin.
4) Penarikan prepusium secara paksadapat berakibat kontriksi dengan rasa nyeri
dan pembengkakan glans penis yang disebut parafimosis.
5) Pembengkakan/radang pada ujung kemaluan yang disebut balinitis.
6) Timbul infeksi pada saluran air seni (ureter) kiri dan kanan, kemudian
menimbulkan kerusakan pada ginjal.
7) Fimosis merupakan salah satu faktor resiko terjadinya kanker penis.
e. Penatalaksanaan
Ada tiga cara untuk mengatasi fimosis yaitu:
1) Sunat
Banyak dokter yang menyarankan sunat untuk menghilangkan masalah fimosis
secara permanen.Rekomendasi ini diberikan terutama bila fimosis
menimbulkan kesulitan buang air kecil atau peradangan di kepala penis
(balanitis).Sunat dapat dilakukan dengan anestesi umum ataupun lokal.
2) Obat
Terapi obat dapat diberikan dengan salep yang meningkatkan elastisitas
kulup.Pemberian salep ini harus dilakukan secara teratur dalam jangka waktu
tertentu agar efektif.
3) Peregangan
Terapi peregangan dilakukan dengan peregangan bertahap kulup yang
dilakukan setelah mandi air hangat selama lima sampai sepuluh menit setiap
hari. Peregangan ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari luka
yang menyebabkan pembentukan parut.
Sumber: Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal. 96
12. Hipospadia
a. Pengertian
Suatu keadaan abnormal dari perkembangan uretra anterior dimana meatus
uretra eksterna terletak di bagian ventral dan letaknya lebih proksimal dari letak yang
normal dan disertai adanya firosis pada bagian distal MUE yang menyebabkan
bengkoknya penis.
Hipospadia merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada 3 diantara 1.000
bayi baru lahir. Beratnya hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang uretra terletak di
dekat ujung penis, yaitu pada glans penis.
Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika lubang uretra terdapat di tengah
batang penis atau pada pangkal penis, dan kadang pada skrotum (kantung zakar) atau
di bawah skrotum. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan kordi, yaitu suatu
jaringan fibrosa yang kencang, yang menyebabkan penis melengkung ke bawah pada
saat ereksi.
Gambar 9.11 Hipospadia
b. Etiologi
d. Klasifikasi hipospadia
1) Tipe hipospadia yang lubang uretranya didepan atau di anterior
13. Hidrosefalus
a. Pengertian
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial
yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ruang tempat mengalirnya CSS.
Gambar 9.17 hidrosepalus
4) Pemeriksaan radiologi:
a) X-foto kepala: tampak kranium yang membesar atau sutura yang melebar.
b) USG kepala: dilakukan bila ubun-ubun besar belum menutup.
c) CT Scan kepala: untuk mengetahui adanya pelebaran ventrikel dan sekaligus
mengevaluasi struktur-struktur intraserebral lainnya.
g. diagnosis banding
1) Bayi sehat
2) Ciri keluarga (“familial feature”)
3) Megaensefal
4) Hidranensefali
5) Tumor otak
6) Cairan subdural (”subdural effusion”)
h. Penatalaksanaan
Pada dasarnya ada tiga prinsip dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu :
1) Mengurangi produksi CSS.
2) Mempengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS dengan tempat absorbsi.
3) Pengeluaran likuor (CSS) kedalam organ ekstrakranial.
Penanganan hidrosefalus juga dapat dibagi menjadi :
1) Penanganan Sementara
Terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi evolusi hidosefalus
melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau upaya
meningkatkan resorbsinya.
2) Penanganan Alternatif (Selain Shunting)
Misalnya : pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi
radikal lesi massa yang mengganggu aliran likuor atau perbaikan suatu
malformasi. Saat ini cara terbaik untuk melakukan perforasi dasar ventrikel III
adalah dengan teknik bedah endoskopik.
3) Operasi Pemasangan ‘Pintas’ (Shunting)
Operasi pintas bertujuan membuat saluran baru antara aliran likuor dengan kavitas
drainase.Pada anak-anak lokasi drainase yang terpilih adalah rongga
peritoneum.Biasanya cairan serebrospinalis didrainase dari ventrikel, namun
kadang pada hidrosefalus komunikans ada yang didrain ke rongga subarakhnoid
lumbar. Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada periode pasca operasi, yaitu:
pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan pemantauan kelancaran
dan fungsi alat shunt yang dipasang. Infeksi pada shunt meningatkan resiko akan
kerusakan intelektual, lokulasi ventrikel dan bahkan kematian.
Sumber: Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal. 104