Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

STRATEGI PENINGKATAN KESADARAN POLITIK WARGA NEGARA


INDONESIA

OLEH: ALFIRA M.

TUGAS 1 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAN

UNIVERSITAS TERBUKA
Daftar Isi

JUDUL MAKALAH.................................................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................................................... ii
BAB I........................................................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................................. 5
1.4 Manfaat Penulisan............................................................................................................... 5
BAB II.......................................................................................................................................................... 7
2.1 Sejarah Perkembangan Politik Indonesia..................................................................7
2.2 Kesadaran Politik Warga Negara Indonesia...........................................................16
2.3 Strategi Peningkatan Kesadaran Politik Warga Negara Indonesia...............19
BAB III..................................................................................................................................................... 21
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................ 21
3.2 Saran............................................................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................. 22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Politik menurut bahasa Yunani Πολιτικά, politiká (yang berarti dari, untuk,
atau yang berkaitan dengan warga negara) merupakan proses pembentukan dan
pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang berwujud pada proses pembuatan
keputusan, khususnya dalam negara. Berikut beberapa konsep-konsep politik
dasar yang bersumber dari para ahli.
1. Berdasarkan pandangan klasik Aristoteles bahwa, politik digunakan
masyarakat untuk mencapai suatu kebaikan bersama yang memilki
nilai moral lebih tinggi daripada kepentingan swasta (non-negara).
2. Menurut Max Weber, politik adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan penyelenggaraan negara. Max Weber melihat negara dari sudut
pandang yuridis formal yang statis. Negara dianggap memiliki hak
memonopoli kekuasaan fisik yang utama. Namun konsep ini hanya
berlaku bagi negara modern yaitu negara yang sudah ada differensiasi
dan spesialisasi peranan, negara yang memiliki batas wilayah yang
pasti dan penduduknya tidak nomaden.
3. Secara fungsional, David Easton berpendapat bahwa politik adalah
alokasi nilai-nilai secara otoritatif berdasarkan kewenangan dan
mengikat suatu masyarakat.
4. Pada pandangan konflik mendeskripsikan bahwa politik merupakan
kegiatan untuk memengaruhi perumusan dan kebijaksanaan umum
dalam rangka usaha untuk memengaruhi, mendapatkan dan
mempertahankan nilai. Oleh karena itu sering terjadi perdebatan dan
pertentangan antara pihak yang memperjuangkan dan pihak yang
mempertahankan nilai. Akan tetapi kelemahan pada konsep ini yaitu
tidak semua konflik yang terjadi berdimensi politik.

1
2

Berdasarkan beberapa konsep di atas dapat disimpulkan bahwa, politik


merupakan kegiatan yang dilakukan oleh warga negara untuk membentuk dan
merumuskan suatu kebijakan dalam mencapai tujuan negara.
Kesatuan politik bangsa Indonesia telah dirintis sejak peristiwa Kebangkitan
Nasional 20 Mei 1908 kemudian ditegaskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928 dan berhasil diwujudkan dengan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus
1945. Konsep semangat dan kesatuan kebangsaan kemudian membentuk kesatuan
politik negara bangsa Indonesia. Semangat persatuan tersebut didorong oleh
keinginan kuat untuk merdeka dari penjajahan yang menindas dan memecah belah
bangsa. Kesatuan politik ini berkaitan dengan kepentingan nasional Indonesia.
Kepentingan nasional merupakan turunan lebih lanjut dari cita-cita nasional,
tujuan nasional dan visi nasional.
Di Indonesia, politik dapat diartikan sebagai kegiatan pembentukan dan
pembagian kekuasaan sebuah negara hukum yang berbentuk kesatuan dengan
pemerintahan berbentuk republik dan sistem pemerintahan presidensial dengan
sifat parlementer. Kekuasaan eksekutif dipimpin oleh seorang presiden yang
merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam menjalankan
tugasnya, presiden dibantu oleh seorang wakil presiden. Kekuasaan legislatif
terletak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dibagi menjadi dua
kamar, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD). Cabang yudikatif terdiri dari Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang secara bersama-sama memegang kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan inspektif dipegang oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki
perwakilan di setiap provinsi dan kabupaten/kota di seluruh wilayah Republik
Indonesia.
Politik sejatinya adalah cara untuk mencapai kekuasaan yang dilandasi oleh
semangat pengabdian perjuangan dalam mewujudkan kebaikan umum. Hal inilah
yang kemudian menjadi ruh dari politik itu sendiri, yakni sebuah perjuangan untuk
mencapai kepentingan umum. Sudah 23 tahun sejak rezim Soeharto diruntuhkan,
demokrasi di Indonesia benar–benar dijalankan. Tentunya terdapat perbedaan
3

sistem pemilihan kepala Negara, daerah, dan anggota legislatifnya. Oleh karena itu
diperlukannya pendidikan politik yang baik agar pelaku serta partisipan dari
pemilihan tersebut dapat bersikap dewasa. Indonesia tidak menganut sistem
pemisahan kekuasaan melainkan pembagian kekuasaan. Walaupun mayoritas
penduduknya beragama Islam, Indonesia bukanlah sebuah negara Islam. Warga
negara Indonesia merupakan warga negara majemuk dengan berbagai macam
latar belakang kehidupan yang berbeda.
Pandangan politik di Indonesia saat ini beragam macam. Berbagai peristiwa
yang menyangkut keadaan politik yang ada di negeri ini semakin menjadi sorotan
baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kemerosotan kualitas politik tersebut
dapat dilihat dari banyaknya peristiwa yang nampaknya mengganggu kestabilan
nasional. Setelah di bawah pemerintah otoriter, politik Indonesia mengalami
proses pembaruan untuk memberikan kekuatan lebih banyak kekuasaan dan
politik kepada warga negara Indonesia. Adapun permasalahan perebutan
kekuasaan politik yang menyebabkan mayoritas warga negara Indonesia enggan
berpartisipasi dalam dimana kondisi politik tersebut dijadikan sebagai ajang
memperebutkan kekuasaan.
Selain adanya isu perebutan kekuasaan, juga terdapat beberapa fenomena
seperti hoaks dan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan antar Golongan) yang membuat
masyarakat resah. Bahkan munculnya persoalan fundamental negara yang secara
politik tidak stabil seperti persoalan politik identitas yang memecah belah
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Maksud politik identitas ini adalah
gerakan politik yang relatif baru berkembang pada paruh kedua abad ke-20 di
lingkungan kaum minoritas tertindas yang mengalami diskriminasi. Dalam
perkembangannya, politik identitas juga dipakai untuk gerakan politik berbasis
identitas tunggal meski tanpa prakondisi ketertindasan kaum minoritas. Adapun
kemunculan gerakan separatis, terorisme dan radikalisme yang membuat
perpecahan semakin terjadi dan sulit untuk diatasi bersama.
Jika melihat pada masa kini, politik sangat erat hubungannya dengan media
massa, karena salah satu tujuan media massa yaitu untuk membentuk pendapat
4

umum mengenai berbagai hal, terutama hal politik. Ketika pendapat umum
tersebut dapat terealisasi seperti yang diinginkan media, maka pada saat itulah
yang menjadi tolak ukur tingkat keberhasilan suatu media. Sehingga salah satu
pesan yang hingga kini masih sangat eksis menggunakan media massa adalah
pesan politik. Pesan politik melalui media massa dengan berita–berita politiknya
yang ditayangkan dalam berbagai media baik cetak maupun elektronik akan
sangat kuat mempengaruhi perilaku dan kesadaran politik masyarakat.
Masyarakat Indonesia telah diberi kebebasan pers untuk memuat apa yang
benar–benar terjadi pada kenyataannya serta bebas mengemukakan berbagai hal
kepada publik yang tentunya masih dalam batas–batas yang sudah ditentukan.
Informasi yang diberikan oleh media massa khususnya media massa elektronik
seperti televisi mengenai isu–isu politik mengundang perhatian banyak
masyarakat. Isu–isu politik yang ditawarkan oleh media cetak maupun media
elektronik sangat beragam apalagi menjelang berlangsungnya suatu peristiwa
politik.
Penyelenggaraan politik di Indonesia, kekuasaan diperoleh dari rakyat
melalui pemilihan. Ini berarti yang akan menduduki kursi kekuasaan ditentukan
oleh masyarakat. Selain itu, masyarakat juga merupakan lahan tempat lahirnya
para pemimpin. Oleh karena itu, keikutsertaan masyarakat akan menentukan
kualitas penguasa yang terpilih. Disinilah pentingnya mencerdaskan masyarakat
dengan membangun kesadaran politik. Adanya kesadaran politik berarti adanya
kesadaran masyarakat tentang bagaimana pengaturan urusan mereka; aturan
seperti apa dan siapa yang akan menjalankan aturan tersebut. Kesadaran politik
dapat dikatakan juga sebagai tingkat kesadaran batin seseorang untuk ikut terjun
memikirkan dan berkontribusi terhadap aktivitas politik di negara individu itu
tinggal.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik mengangkat sebuah topik
masalah yang akan dituai dalam makalah/ karya tulis ilmiah ini dengan judul
“Strategi Meningkatkan Kesadaran Politik Warga Negara” dengan batasan
lingkup dunia politik Indonesia.
5

1.2 Rumusan Masalah


Untuk memperjelas permasalahan yang akan dikaji, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan politik di Indonesia?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi menurunnya kesadaran partisipan
warga negara Indonesia terhadap kegiatan politik di Indonesia?
3. Bagaimana strategi yang digunakan untuk meningkatkan kesadaran
warga negara dalam berpolitik?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, maka tujuan dari penulisan
ini sebagai berikut.
1. Menjelaskan sejarah perkembangan politik di Indonesia.
2. Menjelaskan apa saja faktor yang mempengaruhi menurunnya kesadaran
warga negara Indonesia sebagai partisipan pemilu.
3. Mengetahui strategi/ upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
kesadaran warga negara Indonesia dalam berpolitik.

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun kegunaan yang diharapkan dari penulis sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis
Secara akademisi, penulisan makalah ini diharapkan mampu
mengembangkan konsep atau teori-teori tentang politik. Selain itu, dapat
memberikan pengetahuan kepada masyarakat Indonesia mengenai pentingnya
keikutsertaan warga negara dalam berpolitik guna melahirkan pemimpin yang
layak dan berkualitas bagi negara Indonesia.
2. Kegunaan Praktis
a. Untuk masyarakat Indonesia, penulisan makalah ini diharapkan dapat
dimanfaatkan dalam melakukan kegiatan sosialisasi tentang kesadaran
warga negara dalam berpolitik untuk memecahkan masalah rendahnya
6

pengetahuan tentang politik yang dimiliki masyarakat, serta meningkatkan


kualitas berfikir masyarakat.
b. Untuk penulis, penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan mengenai politik khususnya kesadaran masyarakat terhadap
politik.
c. Secara umum, hasil dari penulisan ini diharapkan mampu memberikan
pengetahuan dan informasi bagi pihak yang berkepentingan dengan
masalah yang dikaji oleh penulis.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Perkembangan Politik Indonesia


Sejarah awal pasca kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, pemerintah
Indonesia belum mengatur sistem kepemerintahan secara sempurna. Ir. Soekarno
dan Moh. Hatta dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada 18 Agustus
1945. Sistem pemerintahan yang diterapkan yaitu sistem presidensial yang artinya
seluruh kebijakan terpusat dan tersentral pada Soekarno-Hatta. Selain itu, mereka
membentuk kabinet presidensial untuk memenuhi alat kelengkapan negara. Untuk
menghindari adanya absolutisme atau kekuasaan mutlak dari satu pihak saja,
pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan tiga maklumat, yaitu.
1. Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945, yang berisi
ketetapan KNIP yang diubah menjadi lembaga legislatif.
2. Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, yang berisi mengenai
pembentukan partai-partai politik di Indonesia.
3. Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yang berisi mengenai
perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari sistem presidensial ke sistem
demokrasi parlementer. Dalam sistem demokrasi parlementer, kedaulatan
sepenuhnya ada di tangan rakyat.
Indonesia menerapkan demokrasi parlementer dengan mencontoh sistem
parlementer Barat setelah RIS dibubarkan. Masa ini kemudian disebut sebagai
Masa Demokrasi Liberal, yang secara otomatis bentuk negara serikat Indonesia
berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan
UUDS 1950. Dengan berlakuknya konstitusi ini, sistem pemerintahan Indonesia
lalu dijalankan oleh suatu dewan menteri atau kabinet yang dipimpin oleh perdana
menteri yang bertanggung jawab pada parlemen atau DPR.
Pada masa ini, Indonesia menganut sistem multipartai. Terdapat banyak
partai politik dengan beragam ideologi dan tujuan politik. Akan tetapi, banyaknya

7
8

partai pada masa tersebut akhirnya menciptakan dampak buruk bagi demokrasi
Indonesia. Karena kehidupan politik dan pemerintahan Indonesia pada saat itu,
menimbulkan adanya ketidak stabilan sebagai akibat dari seringnya melakukan
reshuffle/pergantian kabinet (sebanyak tujuh kali pergantian kabinet selama
sembilan tahun). Pergantian kabinet ini pun mempengaruhi kinerja pemerintah
menjadi tidak stabil dalam membuat dan menjalankan program-program yang
disusun oleh pemerintahan sebelumnya.
Karena UUDS 1950 dan sistem demokrasi liberal dinilai tidak cocok dan tidak
sesuai dengan kehidupan politik bangsa Indonesia yang majemuk. Akhirnya pada
tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden mengenai
pembubaran Dewan Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945, serta tidak
berlakunya UUDS 1950 karena dianggap tidak sesuai dengan ketatanegaraan
Indonesia. Setelah pengumuman dekrit ini, kemudian menjadi penanda awal
berlakunya demokrasi terpimpin di Indonesia.
Pada tahun 1955, untuk pertama kali Indonesia menyelenggarakan
pemilihan umum (Pemilu). Pemilu dilaksanakan sebanyak dua kali pada tanggal 29
September dan 15 Desember dengan tujuan pelaksanaan pemilu yaitu untuk
memilih warga negara yang berpotensi menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan dewan Konstituante. Pada pemilu ini menggunakan sistem proporsional
atau sistem berimbang. Hal ini berarti bahwa kursi yang tersedia dibagikan kepada
partai politik sesuai dengan imbangan perolehan suara yang didapat oleh partai
politik. Pada sistem ini wilayah negara adalah daerah pemilihan. Namun, karena
wilayah negara yang terlalu luas maka dibagikan berdasarkan daerah pemilihan
dengan membagi sejumlah kursi dengan perbandingan jumlah penduduk.
Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno kemudian memberikan
amanat ke konstituante mengenai pokok-pokok demokrasi terpimpin. Inti dari
penerapan demokrasi terpimpin ini adalah musyawarah untuk mufakat yang
diselenggarakan secara gotong royong. Namun pada saat itu, Partai Komunis
Indonesia (PKI) semakin berkembang melalui ajaran Nasakom. Sampai akhirnya
9

muncul peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau yang sering kita sebut G30S
PKI.
Setelah penumpasan komunis di Indonesia berhasil dilakukan, masa
pemerintahan Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin pun berakhir. Terjadi
peralihan masa Orde Lama menjadi Orde Baru sesuai dengan dikeluarkannya
Dekrit Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) pada tanggal 11 Maret 1966.
Kepemimpinan yang turun kepada Soeharto saat itu membuat sistem
pemerintahan Indonesia berganti menjadi Demokrasi Pancasila. Indonesia pun
berlanjut memasuki babak kehidupan selanjutnya di masa Orde Baru.
Pemerintahan Soeharto ini berfokus pada pembangunan ekonomi. Hubungan
dengan dunia Barat yang telah dihancurkan Soekarno kemudian dipulihkan
sehingga memungkinkan mengalirnya dana bantuan asing yang sangat dibutuhkan
masuk ke Indonesia. Manajemen fiskal yang penuh kehati-hatian mulai
dilaksanakan oleh para teknokrat dan konfrontasi yang berbahaya dan mahal
melawan Malaysia dihentikan.
Langkah selanjutnya yang dilakukan Soeharto adalah depolitisasi Indonesia.
Maksudnya, para menteri tidak diizinkan membuat kebijakan mereka sendiri.
Sebaliknya, mereka harus mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang
diformulasikan oleh atasannya (Presiden). Golkar (akronim dari Golongan Karya,
atau kelompok-kelompok fungsional) digunakan sebagai kendaraan parlementer
yang kuat milik Soeharto. Golkar ini mencakup beberapa ratus kelompok
fungsional yang lebih kecil (seperti persatuan-persatuan buruh, petani dan
pengusaha) yang memastikan bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa lagi
dimobilisasi oleh partai-partai politik.
Pada masa Orde Baru, partai politik diberikan keleluasaan untuk bergerak
lebih bebas. Hal ini ditunjukkan pada pelaksanaan pemilihan umum kedua pada
tahun 1971 yang diikuti oleh sepuluh partai. Partai-partai tersebut diantaranya,
Partai politik tersebut terdiri dari Partai Nadhalatul Ulama, Partai Muslim
Indonesia, Partai Serikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiiah, Partai
Nasionalis Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katholik, Partai Ikatan
10

Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Murba, dan Sekber Golongan Karya.


Partai Golongan Karya memenangkan perolehan suara terbanyak dengan jumlah
34.348.673 suara atau 62,82 persen.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan politiknya, Soeharto mendorong
sembilan partai politik yang ada untuk bergabung sehingga Indonesia hanya
memiliki dua partai besar. Partai pertama adalah Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) yang terdiri dari partai-partai Islam dan partai kedua adalah Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) terdiri dari partai-partai nasionalis dan Kristen.
Kendati begitu, aktivitas-aktivitas politik kedua partai ini sangat dibatasi sehingga
hanya menjadi masa-masa kampanye singkat sebelum pemilihan umum. Golkar
atau golongan karya pada masa itu menjadi tulang punggung penguasa Indonesia
pada rezim yang dipimpin oleh Soeharto di Orde Baru. Partai Golkar terus
mendominasi dunia perpolitikan Indonesia selama Orde Baru. Pada pemilu ini,
terbentuk suatu kelompok dari berbagai kalangan masyarakat khususnya dari
kalangan pribumi untuk melakukan aksi protes terhadap pemerintahan Soeharto
yang dinilai sangat otoriter. Kelompok ini disebut sebagai kelompok golongan
putih (golput).
Pada tahun 1984, semua organisasi sosial politik harus menyatakan
Pancasila (lima prinsip pendirian Negara Indonesia yang diperkenalkan oleh
Soekarno pada tahun 1940-an) sebagai satu-satunya ideologi mereka. Soeharto
kemudian menggunakan Pancasila sebagai alat penekanan karena semua
organisasi berada di bawah ancaman tuduhan melakukan tidakan-tindakan anti-
Pancasila.
Di tahun 1990, pemerintah Orde Baru Soeharto mulai kehilangan kontrol
ketika masyarakat Indonesia menjadi semakin asertif (percaya diri-tegas). Hal ini
disebabkan karena timbulnya rasa kesenjangan antara masyarakat pribumi dan
orang terdekat Soeharto dimana kesuksesan yang diraih oleh masyarakat pribumi
tidak sebanyak dengan kesuksesan yang diraih orang-orang terdekatnya (para
kroninya). Contohnya yakni pada pembagian lahan untuk para pengusaha yang
dilakukan secara tidak merata. Selain itu, banyaknya orang Indonesia yang
11

mendapat pendidikan dan mereka yang terdidik ini merasa frustasi karena tidak
memiliki pengaruh apa pun dalam merubah keadaan politik di negara ini. Hingga
pada tahun 1993, demonstrasi-demonstrasi di jalan menjadi lebih sering terjadi,
bahkan tak jarang terjadi aksi vandalisme terhadap beberapa infrastruktur
pemerintahan seperti sebuah lotere yang disponsori pemerintah terpaksa
dihentikan karena demonstrasi oleh para mahasiswa maupun kelompok-kelompok
Muslim.
Hingga akhirnya pada tahun 1998 ketika Soeharto lengser, masyarakat
Indonesia menuntut adanya perubahan dalam dinamika kehidupan politik
Indonesia agar lebih demokratis. Indonesia kemudian memulai fase baru yang
dikenal sebagai era Reformasi. Era ini dipandang sebagai awal periode demokrasi
dengan perpolitikan yang terbuka dan liberal (bebas). Dalam era baru ini, otonomi
yang luas kemudian diberikan kepada daerah dan tidak lagi dikuasai sepenuhnya
oleh Pemerintah Pusat (desentralisasi). Dasar dari transisi ini dirumuskan dalam
Undang-Undang (UU) yang disetujui parlemen dan disahkan Presiden Indonesia di
tahun 1999 yang menyerukan transfer kekuasaan pemerintahan dari Pemerintah
Pusat ke pemerintah-pemerintah daerah. Bacharuddin Jusuf Habibie yang saat itu
menjadi wakil presiden Soeharto naik dan menggantikan posisinya menjadi
Presiden ketiga Indonesia. Habibie kemudian mengeluarkan Undang-Undang No.
22 Tahun 1999 tentang Partai Politik. UU tersebut mengundang berdirinya partai-
partai politik baru di Indonesia.
Persiapan Pemilu 1999 tergolong singkat, tetapi Pemilu tetap dilakukan
sesuai jadwal yaitu 7 Juni 1999. Pemilu 1999 merupakan penanda pemilihan
pertama pada Masa Reformasi dan dilakukan serentak di seluruh Indonesia.
Pemilu 1999 juga menandai kebangkitan demokrasi di Indonesia. Pada saat itu,
terdapat 48 partai politik yang dinyatakan memenuhi syarat untuk mengikuti
Pemiihan Umum (Pemilu). Pada pelaksananaannya, teknis pembagian kursi pada
Pemilu tahun 1999 tetap mennggunakan sistem proporsional dengan mengikuti
varian Roget. Hal ini berarti bahwa sebuah partai memperoleh kursi seimbang
dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan. Namun, perbedaan
12

penetapan calon terpilih dibandingkan dengan Pemilu periode sebelumnya, yakni


calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah
tempat seseorang dicalonkan. Pada saat itu nomor urut pertama dalam daftar
calon partai secara otomatis terpilih apabila partai itu mendapat kursi.
Selama masa kepresidenan Habibie, 30 undang-undang (UU) baru disetujui
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), beberapa di antaranya ditandai
dengan perbedaan-perbedaan fundamental dengan perpolitikan di masa lampau.
Sejumlah tindakan reformasi penting tersebut yaitu.
1. Dimulainya kebebasan pers
2. Pemberian izin pendirian partai-partai politik dan serikat-serikat buruh
baru
3. Pembebasan tahanan-tahanan politik
4. Pembatasan masa jabatan presiden menjadi dua periode lima tahun
5. Desentralisasi kekuasaan ke daerah
6. Keputusan penting lainnya adalah penjadwalan pemilihan umum baru,
yang diselenggarakan pada bulan Juni 1999. Kendati begitu, parlemen
belum mempunyai niat untuk mengurangi pengaruh politik militer dan
memerintahkan penyelidikan terhadap kekayaan Suharto.
Pada bulan Oktober, Habibie harus menyampaikan pidato pertanggung
jawaban di depan MPR. Pidato ini adalah laporan tentang kinerjanya sebagai
presiden dan kinerja kebijakan selama masa kepresidenannya. Pidatonya ditolak
oleh mayoritas anggota MPR. Setelah penolakan ini, Habibie memutuskan untuk
menghentikan ambisinya menjadi presiden pada tahun 1999. Ini berarti bahwa
sekarang hanya ada dua orang yang menikmati dukungan politik yang signifikan
untuk menjadi presiden berikutnya dari Indonesia yaitu Megawati dan Wahid. Di
sesi lain, MPR Indonesia akhirnya memilih Wahid sebagai presiden baru. Megawati
menjadi wakil presiden baru dan Rais terpilih sebagai ketua MPR.
Di tahun 2004, Indonesia menyelenggarakan pemilu untuk kelima kalinya
dan secara pertama kali dilakukan dengan teknis yang berbeda. Masyarakat diberi
kebebasan secara langsung dapat memilih calon anggota DPR, DPD, DPRD,
13

Presiden, dan Wakil Presiden yang diinginkan. Pemilu ini dilaksanakan secara
serentak pada 5 April 2004 untuk memilih 550 anggota DPR, 128 anggota DPD
serta DPRD untuk periode 2004-2009. Untuk pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden RI dilaksanakan pada 5 Juli 2004 (Putaran I) dan 20 September 2004
(Putaran II).
Pemilu 2004 menunjukkan kemajuan demokrasi di Indonesia. Masyarakat
dapat memilih secara langsung dan bukan lagi melalui anggota MPR seperti Pemilu
sebelumnya. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada pemilu tersebut
dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden) dan Jusuf Kalla (Wakil
Presiden). Sebanyak 24 partai politik yang mengikuti pemilu tahun itu yakni Partai
Buruh Sosial Demokrat; Partai Merdeka; Partai Perhimpunan Indonesia Baru;
Partai Nasional Banteng Kemerdekaan; Partai Persatuan Nahdlatul Ummah
Indonesia; Partai Patriot Pancasila; Partai Sarikat Indonesia; Partai Persatuan
Daerah, Partai Pelopo; Partai Nasional Indonesia Marhaenisme; Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia, dan Partai Penegak Demokrasi Indonesia. Partai Karya
Peduli Bangsa; Partai Pelopor; Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan; Partai
Damai Sejahtera; Partai Bulan Bintang; Partai Persatuan Pembangunan; Partai
Demokrat; Partai Amanat Nasional; Partai Kebangkitan Bangsa; Partai Keadilan
Sejahtera; Partai Bintang Reformasi; Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; dan
Partai Golongan Karya.
Pemilu tahun 2009 adalah Pemilihan Umum kedua setelah Pemilu 2004 yang
diikuti dengan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia. Pasangan calon terpilih pada pemilihan presiden dan wakil presiden
adalah pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan
sedikitinya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah
provinsi di Indonesia. Peserta Pemilu 2009 untuk pemilihan anggota DPR, DPD,
dan DPRD diikuti oleh 44 partai politik, yaitu 3 partai nasional dan 6 partai lokal
Aceh. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan Umum 2009
dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden) dan Boediono (Wakil
Presiden).
14

Pemilu 2014 diselenggarakan dua kali. Pemilu pertama dilaksanakan pada


tanggal 9 April 2014 dengan tujuan pemilihan para anggota legislatif. Pemilu
legislatif ini bertujuan memilih 560 anggota DPR, 132 anggota DPD, dan anggota
DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/ Kota Se-Indonesia untuk periode 2014-
2019. Pemilu kedua dilakukan pada tanggal 9 Juli 2014 dengan tujuan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan Presiden diikuti oleh dua pasang calon
Presiden dan Wakil Presiden yaitu Prabowo Subianto yang berpasangan dengan
Hatta Rajasa dan Joko Widodo yang berpasangan dengan Jusuf Kalla.
Pemilu tahun 2014 diikuti oleh 10 partai politik. Partai politik tersebut
adalah Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP), Partai Demokrat, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai
Golongan Karya (Golkar), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat
(Nasdem), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden pada Pemilihan Umum 2014 dimenangkan oleh Joko Widodo
(Presiden) dan Jusuf Kalla (Wakil Presiden).
Pemilu terakhir dilakukan pada tahun 2019 lalu yang diikuti oleh 16 partai
politik nasional Keenam belas partai politik nasional tersebut adalah Partai
Amanat Nasional (PAN); Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP); Partai
Demokrat; Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra); Partai Golongan Karya
(Golkar); Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura); Partai Keadilan Sejahtera (PKS);
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB); Partai Nasional Demokrat (Nasdem); Partai
Persatuan Pembangunan (PPP); Partai Persatuan Indonesia (Perindo); Partai
Solidaritas Indonesia (PSI); Partai Beringin Karya (Berkarya); Partai Bulan Bintang
(PBB); Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda); dan Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia (PKPI); ditambah empat partai politik lokal Aceh yaitu Partai
Aceh, Partai Sira, Partai Daerah Aceh, dan Partai Nanggroe Aceh. Anda dapat
membaca artikel mengenai sejarah Partai Aceh. Pemilu 2019 diselenggarakan
secara serentak antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
yaitu digelar dalam satu hari yang sama tanggal 17 April 2019. Pasangan calon
15

Presiden dan Wakil Presiden dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf
Amin.
Terdapat beberapa perbedaan teknis pelaksanaan yang terjadi pada pemilu
tahun 2014 dan tahun 2019 lalu sebagai berikut.
1. Pemilihan anggota legislatif, Presiden dan Wakil Presiden dilakukan
secara serentak pada tahun 2019. Sedangkan pada tahun 2014
diselanggarakan sebanyak dua kali dengan jangka waktu yang berbeda.
Adanya perbedaan teknis tersebut karena Pemilu secara serentak ini
merupakan dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam
gugatan nomor 14/PUU-XI/2013 yang diputus pada 23 Januari 2014 yang
mana MK membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal
14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Nomor 42/2008 tentang Pilpres yang
mengatur pelaksanaan Pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan Pileg alias
tidak serentak.
2. Jumlah partai politik meningkat sejak lima tahun sebelumnya karena
adanya partai aceh lokal yang turut serta dalam penyelenggaraan pemilu
2019.
3. Presidential Threshold Pakai Hasil Pileg 2014 yang artinya batas syarat
partai politik berdasarkan aturan dari pemilu tahun sebelumnya yakni
tahun 2014.
4. Metode penghitungan jumlah kursi pada Pemilu 2019 juga berbeda
dengan Pemilu 2014. Jika Pemilu 2014 memakai metode BPP (Bilangan
Pembagi Pemilih) atau Quote Harre dalam menentukan jumlah kursi,
maka pemilu tahun 2019 menggunakan teknik Sainte Lague untuk
menghitung suara artinya partai politik yang memenuhi ambang batas
parlemen empat persen suaranya akan dibagi dengan bilangan pembagi 1
yang diikuti secara berurutan dengan bilangan ganjil 3,5, 7 dan
seterusnya.
5. Adanya kenaikan jumlah dana kampanye yang signifikan dari tahun 2014
hingga pemilu tahun 2019 seperti dana perseorang yang maksimal Rp1
16

Miliar menjadi Rp2,5 Miliar dan sumbangan badan hukum tahun 2014
sebanyak Rp7,5 Miliar menjadi Rp25 Miliar di tahun 2019. Aturan itu
termasuk dalam Pasal 327 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

2.2 Kesadaran Politik Warga Negara Indonesia


Pemilihan umum (Pemilu) adalah proses memilih seseorang untuk mengisi
jabatan politik tertentu. Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi
rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika,
hubungan publik, komunikasi massa, lobi dan lain-lain kegiatan. Di Indonesia,
pelaksanaan pemilu dilakukan selang 5 tahun sekali.
Pemilih pemula (first time voter) merupakan salah satu faktor penting yang
tidak dapat diabaikan oleh Partai Politik (Parpol) dalam mendulang suara pada
Pemilu. Kriteria pemilih pemula dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilu Legislatif dan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden, dalam pasal 1 disebutkan pemilih adalah warga negara
Indonesia yang telah genap berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah/ pernah
kawin. Karakteristik pemilih pemula yang “masih rentan” atau belum mandiri
dalam pengambilan keputusan untuk memilih secara mandiri menjadi ruang
tersendiri yang dapat disentuh oleh Partai politik.
Indonesia termasuk negara yang mengalami transisi politik besar-besaran
secara berulang, demokrasi di negeri ini pun juga mengalami pasang surut yang
cukup signifikan. Tak beda dengan kecenderungan umum di banyak negara,
perubahan politik serta naik-turunnya kualitas demokrasi di Indonesia juga
berimplikasi pada penyelenggaraan pemilu.
Keluhan-keluhan utama tentang kualitas demokrasi terjadi di masa
pemerintahan Orde Baru antara lain dimaksudkan pada penyelenggaraan pemilu
yang intimidatif dan penuh kecurangan. Maraknya aksi KKN (Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme) yang dilakukan oleh sebagian pejabat menjadikan masyarakat pribumi
merasa dirugikan sebagai penduduk asli Indonesia. Sebaliknya, kebanggaan pada
era reformasi pun senantiasa direfleksikan pada kemampuan bangsa kita untuk
17

menyelenggarakan pemilu multi-partai yang bebas, jujur dan adil semenjak tahun
1999.
Meskipun demikian, pemilu di Indonesia tak selalu mudah dipahami oleh
publik umumnya dan para pemilih khususnya. Regulasi yang senantiasa berubah-
ubah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap munculya kebingungan
akan sistem dan tata cara pemilu kita. Selain karena kesalahan cara pandang dan
perilaku orang atau manusia, keterpurukan suatu negara juga dapat disebabkan
oleh pihak pemerintah yang antara lain adalah:
1. Kegagalan dalam memilih model pemerintahan.
2. Kegagalan pemerintahan dalam memainkan peran sebagai penjaga
kepentingan bersama;
3. Kegagalan pemerintah dalam membangun suatu penyelenggaraan
pemerintah yang baik; dan
4. Terjadinya penyimpangan dan penyelewengan terhadap berbagai
ketentuan formal dibidang politik.
Pelaksanaan pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan
sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara
yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia dan diselenggarakan pada setiap lima tahun sekali, serta
dilaksanakan di seluruh wilayah NKRI sebagai satu kesatuan. Pemungutan suara
dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan. Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu anggota
DPR, DPD, dan DPRD. Pemilu Presiden dan pemilu legislatif tentu sangat beda.
Pemilu presiden secara proses dan pencalonan sangat sederhana, sehingga secara
teknis memudahkan pemilih memilih dan memudahkan penyelenggara
menjalankan tugas pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi.
Berdasarkan hitung cepat LSI dengan 100% sampel, data golput (golongan
putih) pada Pilpres 2019 mencapai 19,24%. Angka tersebut melawan tren golput
yang terus naik sejak pemilihan umum pascareformasi. Menurut data Komisi
Pemilihan Umum (KPU), tingkat golput 23,30% pada Pilpres 2004, 27,45% pada
18

2009, dan 30,42% pada 2014. Menjelang pelaksanaan Pilpres, 9 Juli 2014 terlihat
masalah yang muncul antara lain: dana kampanye, black campaign, money politic.
Indonesia Corruption Watch (ICW) atau yang bisa disebut sebagai Lembaga
Swadaya Masyarakat mencatat banyak indikasi kecurangan terkait dana
kampanye, termasuk pelaporan dana kampanye yang tidak rasional dengan
aktivitas kampanye yang dilakukan. Selain itu, ditemukan sejumlah nama
penyumbang diduga fiktif, maupun nama penyumbang dengan identitas palsu,
bahkan terindikasi adanya upaya memecah nominal sumbangan untuk menyiasati
ambang batas yang diperbolehkan. ICW menilai, beberapa titik kritis dalam
penyalahgunaan dana kampanye dapat dilakukan pada saat penyerahan dana
kampanye, pencatatan dan pelaporan serta aspek audit. Segala kecurangan dan
permasalahan yang terjadi saat menjelang pemilu ini mengakibatkan masyarakat
untuk lebih memilih menjadi kelompok golput saat pemilu dilaksanakan.
Di Indonesia, partisipasi politik dijamin oleh negara, tercantum dalam UUD
1945 pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-
Undang”, dan diatur secara jelas dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2005
mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, dimana poin-poin hak yang harus
dilindungi negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat, hak memilih, hak
dipilih, hak sama di hadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan
keadilan dan lain-lain.
Menurut Hutington dan Nelson yang dikutip oleh Cholisin (2007:151),
“Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-
pribadi yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
pemerintah”. Adapun fungsi partisipasi adalah sebagai pendukung program-
program pemerintah, sebagai sarana menyuarakan kepentingan masyarakat untuk
masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan,
juga sebagai kontrol terhadap pemerintah. Dalam partisipasi politik, pengetahuan
dan pemahaman sangat diperlukan, karena sebagai warga negara atau individu
tentunya harus mengetahui dan memahami mengenai masalah atau isu-isu yang
19

bersifat politis, dengan seperti itu akan mampu meningkatkan kualitas diri dalam
berpolitik atau pengetahuan dalam berpolitik. Sikap dan tindakan politik juga
diperlukan dalam partisipasi politik karena dapat menyadari akan tanggung jawab
sebagai warga negara yang menentukan masa depan bangsa. Pengetahuan dan
pemahaman politik dituangkan melalui wujud kesadaran politik dalam partisipasi
politik. Kesadaran politik akan memunculkan peran aktif masyarakat dalam
meningkatkan mutu kehidupan dengan melakukan pengawasan terhadap
pemerintahan.
Surbakti (2010:144) berpendapat bahwa, “Kesadaran politik adalah
kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara”. Tingkat kesadaran
politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian
terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menurunnya kesadaran warga
negara Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya kesenjangan
yang telah terjadi sejak masa Orde Baru pada pemilu 1971. Selain itu, timbulnya
isu SARA, politik identitas, politik uang dan konflik lainnya. Hal tersebut terjadi
karena adanya keinginan dan kepentingan pribadi dari suatu kelompok untuk
menguasai kepemimpinan negara tersebut. Kurangnya pendidikan dan
pengetahuan tentang politik dan ilmu sosial menyebabkan warga Indonesia masih
belum memahami segala sesuatu yang berhubungan dengan aspek sosial politik.

2.3 Strategi Peningkatan Kesadaran Politik Warga Negara Indonesia


Ruslan (2000:96), mengatakan bahwa cara seseorang untuk mencapai
kesadaran politik adalah melalui arahan politik, pengalaman politik, kesadaran
mandiri yang muncul dari membaca koran, buku-buku tentang politik, mengikuti
berbagai peristiwa. Tidak semua pemilih pemula memiliki kesadaran politik yang
baik, karena terdapat beberapa hal yang mempengaruhi. Seperti kemampuan dan
kecakapan masing-masing individu. Kesadaran politik memiliki peran yang
penting dalam bergeraknya sistem demokrasi. Apabila masyarakat memiliki
tingkat partisipasi yang tinggi, maka proses pembangunan politik dan praktek
20

demokrasi di Indonesia akan berjalan dengan baik. Sehingga akan sangat berarti
pula terhadap perkembangan bangsa dan negara ini.
Strategi yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran warga negara
dalam berpolitik yaitu, perlunya pemberian pendidikan tentang politik untuk
memberikan wawasan dan pengajaran untuk generasi muda tentang politik yang
digunakan sebagai dasar yang berfungsi untuk mencapai kebijakan bersama.
Generasi muda harus menyadari bahwa dalam berpolitik kekuasaan yang berlebih
itu tidak baik karena berpolitik tidak hanya soal kekuasaan tetapi mengemban
sebuah amanat yang besar dalam kehidupan negara dan bermasyarakat. Pada
pelaksanaan pemberian pengetahuan tersebut dapat dilakukan melalui media
sosial karena dari kegunaannya, media massa dapat dijadikan sebagai salah satu
sarana/media komunikasi antar masyarakat umum serta menyajikan informasi
yang terkini dan mudah di akses.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Politik merupakan kegiatan yang dilakukan oleh warga negara untuk membentuk
dan merumuskan suatu kebijakan dalam mencapai tujuan negara. Di Indonesia,
politik dapat diartikan sebagai kegiatan pembentukan dan pembagian kekuasaan
sebuah negara hukum yang berbentuk kesatuan dengan pemerintahan berbentuk
republik dan sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer.
Kekuasaan eksekutif dipimpin oleh seorang presiden yang merupakan kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan. Pemilu di Idonesia dimulai pada tahun
1955 sampai dengan tahun 2019 lalu, akan tetapi pada pelaksanaannya terdapat
beberapa perbedaan yang disebutkan sebelumnya. Berbicara mengenai pemilu,
dari tahun ke tahun, terdapat satu masalah yang sering terjadi saat menjelang
pemilu yakni adanya sekelompok orang yang mengaku golput (Golongan Putih).
Hal ini pun membuktikan menurunnya kesadaran masyarakat Indonesia dalam
berpolitik sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlunya dikaji
kembali sistem pendidikan di Indonesia dan lebih mengajarkan sejaka dini bahwa
pentingnya sebuah politik untuk mendukung pemerintah dalam mencapai tujun
negara. Selain itu, melakukan sosialisasi pemanfaatan media sosial sebijak dan
sebagus mungkin untuk menghindari adanya salah pendoktrinan dari msayarakat
lain.

3.2 Saran
Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan
sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki
makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan
nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang
pembahasan makalah diatas.

21
DAFTAR PUSTAKA

BUKU/JURNAL
Anwar, Yesmil & Adang. 2013. Sosiologi untuk Universitas, Bandung: PT Refika
Aditama.

Hikmat. 2011. Komunikasi Politik, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Lasiyo, Reno Wikandaru & Hastangka. 2020. MKDU4111 – Pendidikan


Kewarganegaraan (Edisi 2), Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

Setyawan, Dody & Ignatius Adiwidjaja. 2013. “Strategi Meningkatkan Kesadaran


Politik dan Menolak Money Politic Pemilih Pemula Pada Pilkada Kota
Malang“, dalam Jurnal Reformasi. Universitas Tribhuwana Tunggadewi.

Yuliani, Dian & Sugiaryo. 2016. “Hubungan Kesadaran Politik Dan Civic Disposition
Dengan Partisipasi Politik Pemilih Pemula Dalam Pilkades Di Desa Klodran,
Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar Tahun 2016” dalam Program
Studi PPKn. Surakarta: Universitas Slamet Riyadi.

WEBSITE
https://pahamify.com/blog/sejarah-politik-indonesia-di-awal-kemerdekaan/
https://era.id/sejarah/41284/sejarah-politik-indonesia-gonta-ganti-sistem-
pemerintahan-hingga-menjamurnya-partai-politik
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum
https://news.detik.com/kolom/d-2639982/catatan-pemilu-presiden-2014
https://www.tempo.co/abc/4003/ini-alasan-mengapa-sebagian-pemilih-di-
indonesia-memilih-golput
https://www.kelaspintar.id/blog/tips-pintar/pengertian-integrasi-nasional-
9670/
https://us05web.zoom.us/j/84164842324?
pwd=K2twVDRvbW02QUd6Z1RZcjhrcFdaUT09
https://sejarahlengkap.com/indonesia/sejarah-pemilu-di-indonesia

22

Anda mungkin juga menyukai