International Standards For Tuberculosis
International Standards For Tuberculosis
Standards for
Tuberculosis
Care ( ISTC)
http://www.parupadang.com
• Launching ISTC ( international Standard for
Tuberculosis Care ) / “Standar Internasional
Penanganan Tuberkulosis”
• 24 Maret 2006
• IDI dan organisasi profesi lainnya
Didukung oleh :
• WHO
• Dutch Tubeculosis Foundation ( KNCV )
• American Thoracic Society (ATS)
• International Union Against Tuberculosis &
Lung DiseaseI (IUATLD)
• US Centers for Disease Control &
Prevention
• Stop TB Partnership
• Indian Medical Association
• Organisasi Profesi Indonesia :
IDI, PDPI, IDAI,PAPDI, POGI, PAMKI
Tujuan
R 150mg + H 150mg
RH Tablet
R 60mg + H 60mg (anak)*
R=Rifampisin, H=Isoniazid, Z=Pirazinamid, E=Etambutol *Dispersible form preferred
ISTC Training Modules 2008
Standar 9
• Untuk membina dan menilai kepatuhan
pengobatan , suatu pendekatan pemberian obat
yang berpihak pada pasien, berdasarkan :
• kebutuhan pasien dan
• rasa saling menghormati antara pasien dan
penyelengara kesehatan seharusnya
dikembangkan untuk semua pasien
• Pengawasan dan dukungan seharusnya
berbasis individu dan harus memamfaatkan
bermacam macam intervensi yang
direkomendasikan dan layanan pendukung yang
tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan
pasien
Standar 9 lanjutan
• Elemen utama dalam strategi yang
berpihak pada pasien adalah:
• Penggunaan cara-cara menilai dan
mengutamakan kepatuhan terhadap paduan
obat
• Menangani ketidak patuhan, bila terjadi.
• Cara cara ini seharusnya dibuat sesuai
keadaan pasien dan dapat diterima oleh
kedua belah pihak, yaitu pasien dan
penyelenggara pelayanan.
Standar 9 lanjutan
• Cara cara ini dapat mencakup :
• (pengawasan langsung menelan obat / PMO
directly observed theraphy –DOT)
• Identifikasi dan pelatihan bagi pengawas
menelan obat ( untuk tuberkulosis dan jika
memungkinkan , untuk HIV) yang dapat diterima
dan dipercaya oleh pasien dan sistem kesehatan.
• Insentif dan dukungan, termasuk dukungna
keuangan dapat diberikan untuk mendukung
kepatuhan
PMO pada pasien rawat inap
( oleh petugas kesehatan)
Standar 10
• Respons terhadap terapi pada pasien tuberkulosis
paru harus dimonitor dengan pemeriksaan dahak
mikroskopik berkala (dua spesemen) :
• Saat fase inisial selesai ( 2 bulan )
• jika apus dahak positif pada akhir fase intensif,
apus dahak harus diperiksa kembali pada bulan
ke tiga.
• Dan jika positif akir bulan ke tiga, biakan dan uji
resistensi terhadap isoniazid, rifampisin
harus dilakukan .
Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid
Etambutol
0 1 2 3 4 5
6 bulan
Utk diagnosis Penilaian utk kegagalan obat
• Klinis
setiap 2 minggu pada fase awal
setiap bulan pada fase lanjutan
• Foto toraks dengan sedian apus dahak negatif
dan kondisi lainnya (pleura, milier, dsb)
setelah dua bulan dan pada akhir pengobatan
• Biakan dan uji sensitifiti obat: dilakukan untuk
kasus khusus istimewa (jika tersedia)
• Resistensi sekunder/diperoleh
(acquired): “Kasus yang Pernah
Diobati”
Resistensi obat pada pasien yang sudah pernah
menjalani pengobatan OAT selama ≥ 1bulan
Standard 12
• Pasien yang menderita atau kemungkinan besar
menderita tuberkulosis yang disebabkan
kuman resisten obat ( khususnya MDR / XDR)
seharusnya diobati dengan paduan obat
khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis
lini ke dua
• Paduan obat yang dipilih dapat distandarisasikan
atau sesuai pola sensitiviti obat berdasarkan dugaan
atau yang terbukti.
• Paling tidak harus menggunakan empat obat yang
masih efektif, termasuk obat suntik, seharusnya
diberikan paling tidak 18 bulan setelah konversi
biakan
Penentuan Regimen Pengobatan
MDR/XDR
Prinsip Umum dari WHO
• Penggunaan paling sedikit 4 OAT yang
efektif/ sangat mungkin masih efektif.
• Jangan menggunakan obat dengan resistensi
silang (cross-resistance).
• Gunakan obat yang aman untuk pasien.
• Gunakan obat secara hirarki dari 1 sampai 5.
• Mampu melakukan pencegahan, memantau
dan menanggulangi efek samping obat yg
dipilih.
Hierarki dari OAT untuk penatalaksanaan
MDR TB